Jumat, 15 Juli 2016

Terjebak Nostalgia 2



Di kampus kami, tembok pun bisa mendengar dan berbicara. Keesokan harinya, gosip mengenai Liz yang tidur di kamar kost-ku menyebar dengan cepat.
Beberapa teman cowok menyalamiku. “Selamat, gay insyaf!” kata mereka, sementara yang lain bertepuk tangan dan mengalungkan karangan bunga.
“Jay, maaf yo.. kemarin ane sudah salah paham.” Slamet menghampiriku saat pergantian dosen.
“Yo..” jawabku malas, pasti dia yang menyebarkan gosip ini.
Tapi nek kowe jadian karo Liz, ane mendukung 101% Mas Bro! Kalian cocok, sama-sama sableng, sama-sama eror!”
Halah, sok tahu banget Slamet ini, sebal aku jadinya. Namun aku tidak begitu peduli, karena kuliah pagi ini membuatku ngantuk nggak ketulungan, ditambah lagi tidur bersama Liz membuat tidurku nggak nyenyak, dag-dig-dug sepanjang malam.
Seharusnya bisa saja aku nitip absen sama Slamet atau KW, tapi karena KW bilang akan ada Quiz, terpaksa aku berangkat walau malas.

Aku mencari-cari Liz, kulihat ia juga sedang terkantuk-kantuk di sudut seberang, memperhatikan dosen yang makan gaji buta dan mengajar tidak jelas.
Lama aku memandangi wajah Liz dan rambut pendeknya, hingga tanpa sadar aku mencorat-coret di atas notebook.
Aku menggambar seorang cewek tomboy berambut pendek, mengenakan celana jins belel, dan tank-top, dengan lengan kiri yang dipenuhi Tatoo.
“Nyet, gambar siapa tuh? Liz?” tegur cewek yang duduk di sampingku.
“Mau-tahu-aja.” aku menyahut malas.
Namanya Grace, Gracia Anindhitia. Yep, seperti yang kujelaskan di depan, Grace adalah cewek paling seksi di kampus, bahan coli kedua setelah Ameri Ichinose, dan satu peringkat di atas Luna Maya.
Mukanya mirip artis panas Hongkong, Shu Qi, yang main bareng Jason Statham di The Transporter, bibirnya tebal, sensual. Ukuran cup-nya... fuck, memangnya aku dagang BH?! Yang jelas toketnya yahud gilak, lihat saja dia sekarang memakai kemeja ketat tipis, bh-nya warna hitam sampai nampak... aaah... tuh, kan malah konak.
“Jay, kamu beneran ML sama Liz? aku sih, masih nggak yakin kalau kamu suka cewek.”
Bajigur, pagi-pagi sudah nyari perkara. Grace ini benernya baik, cuma anaknya sengak dan sedikit bossy. Kali ini aku sedikit mangkel, maka aku pura-pura tidak mendengar, dan terus menggambar.
Namun Grace sepertinya kesal karena nggak kutanggapi, hingga dia kembali bertanya, “Jay, kamu naksir Liz, ya?”
“Mpret.”
“Halah, kalian itu nempel terus semenjak semester satu, kayak amplop sama perangko. Daripada sama Bang Igo Kampret, aku yakin dia lebih cocok sama kamu. Yang satu tomboy, yang satu maho. Fit and Propper,” tandas Grace mantap, sambil pura-pura mencatat.
Bajigur.
“Lagian, Liz naksir kamu dari dulu, tahu.”
Nguapusi tenan, cuk!
Grace melotot, mencubit tanganku, “Dikandani ngeyel. Tapi karena kamu nggak nembak-nembak, dan malah PDKT sama Senja. Liz akhirnya jadian sama Bang Igo,” ungkapnya, klise.
Aku menelan ludah, entah Grace serius atau tidak, tapi yang jelas jantungku kembali berdetak lebih cepat lagi saat tiba-tiba Liz menoleh dan melambai ke arah Grace.
Shit.... shit... shit... kenapa ane salah tingkah gini.

***

Episode 5
Could it Be?

Kuliah diakhiri tanpa aku sempat bertanya lebih jauh lagi, dan sekarang Liz sedang meng-copy power point kuliah dosen dari komputer. Anak itu melihatku, dan melambaikan tangannya.
“Weits sudah dipanggil tuh, wiz yo... tak tinggal dulu... eh, Jay.... sekarang dia lagi jomblo, lho.” kata Grace sambil ngeloyor pergi, dan segera aku menimpuknya dengan binder.
Aku mendekat menghampiri Liz, menyapanya gugup, “L-Liz... ehem... udah makan belum?”
“Makan apa? Makan hati udah.” Liz menyahut cuek.
“Sama dong, minumnya Teh Botol Sosro.” lelucon yang sama seperti tadi malam, garing. Akhir-akhir ini aku memang kehabisan bahan lelucon.
“Hahaha...” tawanya berderai sambil meninju lenganku.
“Makan apa nie?” kataku lagi.
“Temen ‘makan’ temen.”
“Haha, terus Minumnya Teh Botol Sosro.. ah seriuslah.. mau makan apa nie?”
Liz membereskan bukunya. “Hehehe... aku udah makan, Jay. Maaf, ya...”
“Yah...” aku menunduk lesu.
Shit... kenapa ane kecewa gini...
“Ntar malem aja, yah. Jemput aku.” ucap Liz lagi, sambil menonjok lenganku.

***

Siang itu amat terik, sudah beberapa bulan ini hujan tidak turun di Yogyakarta. Namun entah kenapa aku merasa sangat sejuk. Kami berjalan beriringan di bawah pohon Akasia yang ditanam sepanjang halaman kampus, dinaungi daun lebat yang menghalangi terik sinar matahari.
“Jay.. anu... umm...” Liz terdiam lama, “yang semalem, m-maaf..”
“I-iya.. aku juga khilaf, maafin aku ya..." Aku menelan ludah, "aaku... aku nggak mau... kalau dibilang mengambil kesempatan dalam kesempitan.”
“Enggak kok Jay, aku juga yang salah...” jawab Liz, menyenggol lenganku.
Kesempatan dalam kesempitan...” gumamku nggak jelas. “Tapi semalam memang benar-benar sempit... ckckck...“ aku menunjuk pada meki-nya yang memang ‘kesempitan’.
“Iiiiih... Jay, apaan sih,” Liz memukul-mukul dadaku.
“Hahaha..” aku tertawa sambil menghindar.
Siang itu Liz menggamit tanganku. Kami berjalan bergandengan menuju tempat parkir. Aku bisa melihat teman-teman kampusku yang memandangi kami dengan takjub: pasangan ter-gaib abad ini.
Wattaaaaaaaa!!!

***

Malam itu kami makan di lesehan di pinggir Jalan Kaliurang. Motor-motor lalu lalang di sepanjang jalan yang ramai dengan bangunan dan kedai makan. Kami duduk lesehan di tikar sambil menikmati sajian gudeg basah, nasi hangat dan potongan nangka manis yang disiram kuah santan yang mengepul hangat.
Pengamen berseliweran di sekeliling kami, dari yang berdandan banci, sampai yang bermodal 'kecrek-kecrek', namun ada satu yang berbeda: Bapak-bapak tua dengan potongan rambut model bob ala John Lennon, mengenakan celana bahan dan kemeja yang dimasukkan rapi.
Ia tidak bernyanyi, melainkan memainkan harmonika yang disangkutkan begitu rupa pada gitarnya, dan yang lebih unik lagi: di sepanjang jalan itu dia hanya memainkan lagu The Beatles.
Kuperhatikan mata Liz tak berhenti berbinar melihat si Bapak bermain gitar sambil meniup harmonika.
“Selamat malam. Mau lagu apa? Buat pacarnya, mungkin?” Si Bapak memberi preambulepada penampilannya.
Liz terkekeh, “Jay, kamu yang milih.”
Aku sejenak gelagapan, sebelum akhirnya memilih sebuah lagu.
“Pilihan yang bagus.” Si Bapak mengacungkan jempol, sebelum memainkan gitarnya. Lagu itu tak berlirik, hanya alunan harmonika dan iringan gitar, namun Liz dengan riang ikut bersenandung.

“Oh yeah, I'll tell you something
I think you'll understand
When I say that something

I want to hold your hand
I want to hold your hand
I want to hold your hand”

Liz tersenyum ke arahku, menggenggam tanganku erat-erat sepanjang lagu dinyanyikan. “Makasih.” bisik Liz sambil menatapku.
Aku balas menatap matanya, berucap hati-hati, “L-Liz...”
“A-apa, Jay.”
“Aku lupa bawa duit.”
“Kere.” Liz mengumpat pelan, sambil merogoh dompetnya.
Begitulah, semenjak hari itu ada yang berubah mengenai hubunganku dengan Liz. Sekarang ia lebih mesra kepadaku, kemana-mana ia selalu mengelendot manja di lenganku. Sekarang Liz jadi lebih perhatian padaku, dengan menanyakan: Jay, Udah makan belum? Udah minum belum? Jangan kebanyakan coli yah.. dll.
Mungkin aku yang terlambat menyadari, namun kuakui ada perasaan hangat menjalari hatiku, saat berada dekat dengan Liz.
Meskipun begitu, tak sedikit pun aku berani mengutarakan perasaanku. Apalagi memintanya jadi pacarku.
Sex doesn’t ruin friendship, It is Love that ruin friendship...

***

“Liz, Umm..”
“Apa?”
“Enggak.. ga jadi.. enggak apa-apa,”
“Huu, ngomong ga jadi..”
“Liz..”
“Yah?”
“Beha-nya bagus yah.” aku menunjuk ke jemuran kost-kostan cewek di sebelah.
Sore itu kami duduk di teras kost-kostan ku. Sebenarnya hari itu aku bertekad untuk mengungkapkan perasaanku kepada Liz.
Aku tahu, kami sudah berjanji nggak akan melibatkan perasaan dalam hubungan ini, namun aku juga sudah membaca banyak cerita tragis tentang Unrequited Love, cinta yang tak tersampaikan.
Adi dan Tania (Rasa Untuk Tania), Keenan dan Kugy (Perahu Kertas), mereka semua adalah orang yang memendam perasaan pada sahabatnya,- hanya karena takut persahabatan mereka rusak karena cinta.
Akibatnya? Perasaan tetap nggak bisa dibohongi, mereka sama-sama terluka saat masing-masing mendapat pasangan.
Maka hari ini, di hari berbahagia ini, aku mengumpulkan segenap keberanianku untuk berkata:
“Liz, sebenarnya....”
Liz menatapku dalam-dalam.
“Sebenarnya, weteng inyong kencot(perutku lapar, terj...) makan yuk...” aku berkata, kebetulan ada dagang nasi goreng lewat depan rumah. Kami membeli dua piring, sebelum aku melanjutkan kalimatku.
“Liz sebenarnya aku sayang sama kamu,” kataku pada akhirnya, sambil mengunyah nasi goreng.
“Hehehehe.. aku juga sayang kamu kok Jay,” Liz menyahut jenaka, dengan mulut yang penuh kerupuk.
Yak, peluang di depan gawang, sodara-sodara!
“Liz... ehem... k-kamu mau nggak, j-jadi pacar aku?”
Liz terdiam, menyelesaikan menelan kerupuknya. Lalu, “Aku pengen kita begini aja.”
“M-maksud... mu?”
“Jay, dari dulu aku sudah sayang sama kamu, tahu...“
Jantungku dag-dig-dug tak karuan.
“Pacaran itu…” ia terdiam sebentar, “… menyakitkan, Jay.”
Memang, tapi indah juga kan?
Liz menggenggam tanganku. “Jay, kamu itu spesial, lebih spesial dari Bang Igo atau yang lain... aku cuma nggak pengin kehilangan kamu kalau nantinya kita putus.”
“J-jadi.... a-ane d-ditolak?”
Nasib.... rekor hattrick, ditolak 3 kali berturut-turut...
Liz menggeleng dan tersenyum, diraihnya kepalaku pelan, hingga bibir kami yang penuh minyak dan kerupuk saling menempel.
“Mudah-mudahan ini bisa menjawab pertanyaanmu...” ucapnya sambil tersenyum, cantik sekali, dan Liz tidak menolak ketika aku kembali meraih dagunya, mengecup bibirnya lembut.
Kami berciuman di bawah langit sore, diiringi suara penjual Sari Roti yang lewat di depan rumah. "Tiroti roti sariroti."
Begitulah, akhirnya hubungan kami hanya berakhir sebagai TTM. Part Time Lover, Full Time Friend.

***

Episode 6
Part Time Lover, Full Time Friend


Sebenarnya aneh juga, aku dan Liz kini leluasa bermesraan meski tanpa embel-embel pacaran. “Buat apa sih status? Cuma sebagai papan nama doang? Buat gaya-gayaan di wall FB?” begitu kilah Liz. “Yang penting saling cinta, saling sayang,” tandasnya lagi.
Mungkin Liz ada benarnya juga, tanpa embel-embel status-pun, aku sudah sangat bahagia bisa bersama Liz. Seperti saat malam berikutnya kami berjalan-jalan ke Alun-alun Kidul Yogyakarta.
Seperti layaknya pasangan baru, kami berjalan dengan bergandengan erat. Liz menyandarkan kepalanya di lenganku, kami berputar-putar mengelilingi tempat itu, melewati penjual mainan dengan dekorasi lampu yang melingkar-lingkar membentuk hati.
"Jay, senyum!" ucap Liz, sambil mengambil foto kami dengan kamera ponsel-nya.
Malam itu kami menikmati hangatnya ronde di alun-alun kidul, sambil memandangi pohon beringin kembar dan kerlap-kerlip sepeda tandem yang dihiasi dengan lampu LED (Light Emitting Diode) sehingga lapangan itu dipenuhi dengan warna-warni yang indah.
Sampai di tempat yang menjual gula-gula, aku membelikan Liz setangkai gula-gula kapas yang besar.
Mata Liz berkaca-kaca saat aku menyodorkan manisan gula itu. “Jay... coba kamu nembak aku dari dulu...”
“Iya…”
“Coba kamu nembak aku... sebelum Bang Igo.” Liz menyebut nama mantan pacarnya yang memerawaninya. Ia menempelkan wajahnya di bahuku, terdiam lama. Selalu begini setiap ‘dia yang tidak boleh di sebut namanya’ itu disebut.
Mungkin aku yang terlalu banyak berharap, namun aku hanya berpikir, apa salahnya punya mimpi? Mungkin suatu saat Liz akan membuka hati, dan ia mau menjadi yang pertama dan terakhir untukku, dan selama itu pula aku akan menunggu.
Liz tidak pulang ke kost-nya malam itu. Setelah berganti dengan kaus longgar milikku, dengan santainya ia melompat santai ke atas kasur, persis seperti biasa.
Karena belum ngantuk, aku dan Liz menonton TV melalui TV tuner yang dihubungkan ke monitor PC-ku. Kalau tidak salah, waktu itu acaranya sinetron laga yang di-dubbing. Liz menggelendot manja di dadaku, lengannya yang mungil memeluk perutku, menyaksikan tayangan absurd tentang tongkat yang bisa berbicara, serta Puteri Kerajaan yang mengenakan behel.
“Jay, kamu tahu nggak? aku tuh naksir kamu dari semester satu, lho.” Liz berceletuk tiba-tiba.
“S-sama. A-aku juga naksir kamu dari dulu... he... he...”
“Bohong. Waktu itu kamu kan masih ngejar-ngejar Senja.”
“Hahahaha... ungkiiit teruuuuus.” ucapku sambil mencubit Liz, sekalian curi-curi mencium pipinya.
“Iiih... Jay genit aaah!” protesnya.
“Hehehe, habisnya kamu cantik banget sih.” aku mencubit pipinya yang lucu.
“Huuuuu gombal! Kain pel gombaaaal!!!" Liz meronta jenaka sambil tertawa-tawa. "Sekarang kutanya, cantik mana aku sama Senja?”
“Cantik kamu, lah!”
Liz mencubitku, “Kalau Senja yang nanya pasti beda lagi jawabannya," cewek tomboy itu memonyongkan bibirnya mengejekku, dan langung saja kusosor bibir itu.
Liz meronta, sambil terkikik-kikik, namun di detik-detik terakhir ia membalas ciumanku dengan tak kalah ganasnya. Kami berpagut, sambil melenguh dan membelai tubuh masing-masing.
Gawat, ‘Si Jay-Hok’ di bawah sudah tegang.
“Iiiih.. belum apa-apa udah berdiri!”
“Ya iyalah! Make out sama cewek seksi gini gimana nggak berdiri coba? Kalau nggak berdiri itu malah nggak normal!” ucapku sambil nyengir, memperbaiki posisi 'Si Jay-HO' sekilas kuperhatikan mata Liz tak berkedip memandangi tonjolan di balik celanaku.
“Besar juga ya,” Liz berceletuk pelan.
“SNI.” jawabku pendek.
“Apaan tuh?”
Standar Nasional Indonesia.
“Wkwkwkwkwk... emangnya helm?” Liz mulai nakal meraba kepala si Jay-Ho. “Standar Nasional Irlandia kali,” bisiknya setengah takjub.
“Eh, awas! Jangan digituin! Itu burung buas, kalau lepas, ntar masuk kemana-mana.”
“Hehehe..” Liz mengekeh jenaka, kembali memelukku.
Aku membelai wajah Liz, dan Ia hanya tersenyum sambil menatapku hangat, kembali menggelendot manja di dadaku. Tak bisa aku berhenti memandangi wajah itu, potongan rambutnya yang pendek itu membuatnya begitu seksi, mirip Emma Watson. Sementara pipinya menyembul gembil, seperti punyanya Gita Gutawa. Entah kenapa, sepertinya ia kelebihan zat kolagen di bagian itu.
“Waktu itu kita gila yah, Jay...”
“Ngapain ngomongin itu? Kamu pengin lagi?”
“Huuuu.. emang ya, dasar cowok.. maunya itu aja.”
“Hehe,” aku cuma nyengir, mengecup kening Liz.
“Kemaren kan bilang, enggak lagi-lagi, dosa katanya.”
“Iya.. iya ...”
Liz tersenyum, “Tapi enggak sekarang, ya Jay.” bisiknya sambil mencium pipiku, menangkupkan selimut ke atas tubuh kami.
Hah? Apa maksudnya dengan ‘enggak sekarang’
Malam itu Liz kembali menginap di Kamarku. Sepertinya aku harus mulai rajin memberi upeti kepada Slamet dkk, agar mereka tidak comel, dan cerita yang aneh-aneh.
“Kita sudah kayak suami istri ya,” Liz terkekeh, mengomentari posisi kami yang berpelukan mesra di bawah selimut.
“Iya, padahal baru bulan lalu masih becanda-becandaan sama Slamet, Buluk, Gugun, Heru..."
“Kok bisa ya, aku sama kamu... hehehe.”
“Hehehe, iya... berawal dari teman, berakhir di ranjang.” Kami saling bercekikikan sambil saling menggelitik. Lucu. “Eh, Liz...” ucapku lagi.
“Apa?”
“Pengin deh punya istri kayak kamu,” kataku tiba-tiba, entah kenapa.
Liz terdiam lama, wajahnya seperti berpikir.
“Iya, mudah-mudahan kamu dapat istri yang kaya aku, Jay sayang.”
Waktu itu aku belum memahami maksud tersirat dari kata-kata Liz ini.
Aku mendekatkan wajahku, sehingga hidung kami bersentuhan. Liz menggerak-gerakkan kepalanya, memainkan hidungku - dengan hidungnya, hingga Liz jadi tertawa sendiri, dan pipinya tampak semakin menggemaskan.
Aku hendak mengecup pipi Liz, namun ia menghindar sambil tertawa. Wajahnya tampak bahagia, pipinya merona merah muda saat aku membenamkan wajahku di sana.
“Aku sayang kamu, Liz,” bisikku sambil mendaratkan ciuman tipis di bibirnya. Lebih dari yang kamu tahu.
“Aku juga, Jay.”
Aku menatap mata Liz dalam-dalam, sebelum ia memejamkan mata, membiarkan aku mengecup bibirnya yang lembut, sangat lembut. Liz menyambut ciumanku, melumat bibirku pelan.
Suara lenguhan pelan terdengar samar di balik suara kipas angin busuk. Aku membelai wajah Liz, dan perlahan mulai tercium harum nafasnya yang memburu di wajahku seiring remasan yang kudaratkan di dadanya. Bibirnya yang tipis, membelai bibirku. Sayup namun samar, kurasakan lidahnya bergerak mencari jalan masuk.
"Mmmmhh... hhhh...." kembali kami melenguh, saat lidah kami saling membelai di dalam sana.
Aku meremas payudara Liz yang masih tertutup bra, membuat Liz mendesah dalam ciuman kami. Diremasnya pantatku, dan dibelai-belainya kejantananku dari balik celana seolah tak mau kalah, membuatku berani menyusupkan tangan ke balik celana batikku yang dikenakan Liz.
"Jay.... sssshhhh...." desahnya, sambil menggeliat resah. Jariku bergerak membelai kewanitaan Liz dari balik celana dalamnya, membelai belahan basah yang lembab di bawah situ. Kami saling meremas, dan saling membelai dengan buasnya. Tubuh kami bergesekan dengan liar, ditingkahi desahan dan erangan binal.
“L-Liz....” bisikku bergetar di telinganya.
“A-apa.. Jay...” Liz tersengal dengan nafas naik turun, karena tanganku membelai kewanitaannya dari balik celana.
“B-boleh, nggak?”
“B-boleh... a-apa?”
“ML.”
Liz tersenyum sayu, “Pelan-pelan ya.”
Sip, Lampu hijau menyala!
Bergemetaran, aku melepas kausku, dan Liz pun segera melepas kaus yang dikenakannya, sekaligus BH yang menutupi payudara indahnya. Satu persatu penutup tubuh kami berserakan di lantai. Sampai akhirnya hanya terdengar suara nafas kami dan suara kipas angin rongsokan di kamarku. Aku segera mencumbu Liz, dan mendelegasikan beberapa tugas khusus bagi anggota tubuhku. Waktu itu aku juga sudah mulai rajin membaca cerita panas untuk mendapatkan referensi cara bercumbu.
Berikut ini pembagian tugas-nya: Tangan kiri: memilin-milin puting kiri Liz. Mulut dan Lidah: Menghisap puting kanan Liz. Tangan Kanan: mengobel-gobel kewanitaan Liz.
Liz membalik badan, “Jay... kamu... bisa?” ucapnya dengan nada menggoda sambil menunggingkan pantat.
Aku menelan ludah, sepasang pantat Liz yang bulat sekal terpampang indah di depan mataku, dan kewanitaannya yang tembem nampak basah dan merekah.
“A-anal?” jawabku pelan.
“Dasar mantan homo.” Liz terkekeh.
Widih, doggy style boook....
Hati-hati aku berlutut di belakangnya. Mengarahkan kejantananku ke belahan Liz yang membuka, Liz melengguh pelan saat aku mendorong kejantananku. Licin, kejantananku terpeleset ke selangkangannya.
“Lho... eh?” Liz mengernyit.
Aku nyengir, mendorong lagi. Kejantananku menggesek di belahannya yang membanjir licin, hingga meluncur-luncur di bawah situ, menyundul klitorisnya, "Slllllph...... sleppppph....."
“Mmmh… oooh... masukin... Jay!”
“I-iya... Ummh....”
“Sssssssh.... Ohhh.. ohhh... eh... eh? eh?” Liz mengernyit, penisku terlepas lagi.
Aku mulai menyodok lagi, kali ini lebih mantap, dengan semangat 45.
“Aaaaaaaa!!!” Liz menjerit keras, ternyata salah lubang.
Para pembaca nan budiman, ternyata praktikum lebih sulit daripada teori. Kesimpulannya : posisi Doggy Style ini masih terlalu susah untuk seorang nubie.
Liz tersenyum, dan berbalik. Aku cuma nyengir, dan menjawab dengan jawaban standar: “Maklum masih nubie, hehe.”
Liz mendorong tubuhku sehingga telentang, ia menatapku dengan senyuman yang menggoda. Cewek berambut pendek itu kemudian duduk di atas perutku mengambil posisi WOT. Seperti biasa, aku hanya bisa menelan ludah.
Liz membimbing kejantananku memasuki kewanitaannya. Wajahnya menjengit sedikit saat batang kejantananku amblas ditelan vaginanya.
Liz tersenyum dengan wajah sayu, kejantananku tertancap di dalam tubuhnya. Malam itu wajahnya sangat cantik, tertimpa temaram lampu tidur, kedua payudaranya tergantung di atasku, indah. “Siap..?” matanya memejam sejenak, sebelum mamasang senyum termanis yang pernah kulihat.
Aku mengangguk gugup, menelan ludah.
Sungguh pemandangan yang kontras: rambut pendek seperti lelaki bersanding dengan tubuh seksi yang berada di atas badanku.
Liz mulai menggerakkan pinggulnya, otot perutnya yang rata terlihat berkontraksi saat ia menggoyangkan tubuhnya di atasku.
Liz tersenyum, tangannya bertumpu di atas dadaku. Liz mempercepat gerakannya, dadanya berguncang-guncang hebat, disertai erangan nikmat saat ia memejamkan matanya, dengan wajahnya merona merah, cantik sekali.
Aku jadi semakin bernafsu, kuremas-remas dua bongkahan indah di dadanya itu. Liz meringis, ia menggerakkan pinggulnya memutar seperti bur.
Liz menggerakkan pinggulnya maju mundur lagi, namun tiba-tiba Liz menggetarkan pinggulnya dalam ritme yang sangat cepat. Sebelum melambat, dan kemudian bergetar cepat lagi.
“A-anak setan... jangan. J-jangan. N-nanti ane...”
“Sssssssh...... oooooooh....” Liz menjambak rambutnya sendiri, menceracau seperti orang kesetanan, menunggangi tubuhku dengan garang.
“Liiiiiiiz!!! Aku mauuuu.... aaaaaah.....” aku menjerit panik, sudah hampir ngecrot di dalam karena bocah sableng itu sengaja mengkontraksikan otot kegelnya, hingga mekinya yang sempit ngempot tanpa ampun.
“Oooohh.... mmmmmhhhh...” Liz menceracau binal, menggoyang dengan lebih liar.
Mataku menatap nanar. Mulutku menganga tak bersuara.
“Lho.... eh... ehhhh?” Liz melotot melihatku yang berkelojotan tidak jelas. Cepat ia menarik tubuhnya, mengocok kejantananku.
Terengah-engah, Liz berlutut dan memasukkan kejantananku ke dalam mulutnya, aku merasakan bibir Liz yang lembut dan lidahnya memijat kejantananku yang hampir meledak. Aku melirik ke bawah, dan mendapati Liz tersenyum, sambil memaju-mundurkan kepalanya, cepat. Sedetik sebelum pandanganku mengabur, dan pinggulku terangkat penuh kenikmatan.
Terdengar suara tersedak, dan Liz cepat menarik kepalanya. Pinggulku mengejang lagi, menyemburkan semprotan kedua yang memuncrat membasahi wajah dan dada Liz.
Aku terengah, berucap lemah, “M-maaf...”
“Ng-nggak apa apa.“ Liz tersenyum kecil, dengan ceceran sperma yang meleleh dari sela bibirnya. "Jay... k-kamu mau ap-" Liz tidak sempat menyelesaikan kalimatnya, karena aku segera mendorong tubuhnya ke atas kasur. Liz sedikit meronta ketika aku membuka pahanya, menjilati kemaluannya. Ya, aku tidak ingin mengecewakan Liz. Aku harus memuaskannya, meski dengan cara lain.
“Oooh Jay.. Udaah.. nggak papaa.. aaah!” Liz mendekap kepalaku, menjambak rambutku sambil menggeleng-geleng panik.
Aku menjilati Klitoris Liz, sambil menghisap cairannya, sementara tanganku memijat bibir vagina Liz yang tembem, kemudian menyibaknya. Aku menjulurkan lidahku memasuki liang vagina Liz. Seperti yang kubaca, aku memasukkan dua jari ke dalam kewanitaan Liz, meraba bagian depan dekat tulang pelvic, mencari lokasi...
"Aaaaaaaaah...." Liz melotot, pinggulnya terangkat-angkat. Ia menjambak rambutku, sambil menceracau tidak jelas. “Jaay!! Ngapain kamu?! Aah! Aah!” Liz berteriak histeris. Aku merasakan pinggulnya bergerak liar.
Jariku mengocok g-spotnya, dan lidahku menjilati klitorisnya, membuat Liz menggelinjang heboh, menjerit jerit tidak karuan. "Ssssssh.... oooooh..... yeeeeesssss.... JAAAAAY... aaaku nyampeee..."
Paha Liz memeluk kepalaku, dan dibekapnya kepalaku ke arah kewanitaannya. membuatku tidak bisa bernafas. Liz melengguh kencang, dengan tubuh melengkung ke atas, sambil meremas payudaranya. Sesaat kemudian aku merasakan cairan menyemprot deras dari vagina Liz, membasahi wajahku.
Kalaulah ini game DOTA, maka tentu akan terdengar sound effet: Monster Kill!!!!
Terdengar suara kipas angin rongsokan. Terdengar suara nafas kami yang terenggah, sebelum kami sama terkikik-kikik bego, melihat wajah kami yang belepotan cairan cinta masing-masing.
“Sepasang orang tolol.”
“Hah...h.... h..... Haha..” Liz tertawa dengan wajahnya yang merah setelah orgasme, seksi sekali.
Liz menonjokku keras, "Nggak usah sampai sebegitunya, kali.... tapi.... thanks..... that was awesome," ucapnya dengan wajah memerah, dan senyum merekah.
“Liz…” ucapku ketika kami saling membersihkan wajah dengan tissue.
“Apa, Jay sayang?”
“Lapar nih.”
“Sama.”
“Cari makan yuk.”
“Yuk.”
Kami segera berpakaian, dan aku tidak bisa melupakan wajah Liz yang tersipu, saat aku memakaikan swaterku agar ia tidak kedinginan.
Saat itu hampir jam 1 malam. Jam-jam segitu, dagang makanan yang buka hanya Angkringan, Burjo, Gudeg Basah, McD, dan Circle K. Dua pilihan terakhir dicoret, karena tidak ekonomis bagi mahasiswa di akhir Bulan.
Akhirnya kami makan di Angkringan di daerah Seturan. Kami duduk bangku kayu, menikmati teh hangat, dan nasi kucing yang porsinya sekecil upil. Meski begitu, aku dan Liz saling menyuapi dengan mesra. Ah, senangnya.
Setelah makan, aku memasuki Circle K yang terletak tidak jauh di sana.
“Mau beli apa?”
“Kondom, kamu mau rasa apa?”
“Iiiih Jay mesum! Liz mencubit lenganku.
Aku menghindar dan berlari, kami hingga kami berkejaran di trotoar yang sepi.
“Jay!”
“Apa?”
“Aku mau rasa duren!”
Celanaku langsung sesak mendengarnya. “Rasa jengkol aja, Liz!”
Tawa Liz berderai keras, dan di mataku, malam belum pernah seindah itu.

***

Aku memarkir motorku hati-hati ketika kembali ke kostan.
“Jay, ngobrol di tempat lain, yuk.”
“Hah? Memang mau kemana?”
“Aku pengin ngobrol-ngobrol aja, kalau di kamar ntar jadinya yang aneh-aneh, hehe...” Liz mengekeh, sambil menggandeng tanganku.
Kali ini, aku mendapat ide yang bagus.
Aku mengambil gitar bolong murahan dari atas lemariku. Aku mengajaknya naik ke lantai 3 yang tak beratap - yang digunakan sebagai tempat jemuran - rooftop istilah kerennya.
“Yang romantis dikit napa lagunya?” kata Liz saat aku memainkan lagu ‘Iwak Peyek’.
Akhirnya aku memainkan lagu-lagu lama saja, seperti lagunya Barry Mannilow, The Carpenters, sampai Eric Clapton.
“Kamu ternyata jago juga maen gitar..” kata Liz.
“Hehe.. masa sih?”
“Iya, suaranya bagus lagi.” Liz memujiku.
Aku salah tingkah mendengarnya. Slamet dan teman-temanku memang mengatakan suaraku mirip John Mayer, tapi dengan logat ngapak.
Liz senyum-senyum melihatku yang salah tingkah. Ah, wajahnya cantik sekali.
Aku memandangi mata Liz lekat-lekat, meraih dagunya. Mata Liz terpejam, aku mengecup bibirnya. Lembut, sangat lembut.
Malam itu, aku dan Liz memandangi langit Jogja yang tak berawan. Milyaran bintang berkelap-kelip dengan indah di tengah belantara semesta. Liz bersandar di pundakku, ia tersenyum. Indah, jauh lebih indah dari semua bintang itu. Aku menghela nafas, belum pernah aku sebahagia ini.
“Liz, aku cinta kamu,” tanpa sadar, kata-kata ini keluar dari mulutku.
“Aku... juga.”
“Pengin deh, kayak gini terus,” kataku sambil memandangi wajah Liz dengan latar belakang bintang-bintang.
“Iya.” jawab Liz sambil tersenyum.
“Pengen deh, punya istri kayak kamu.”
Ya, dalam imaji-ku terkilas bayangan tentang aku, Liz dan anak-anak kami.
Liz terdiam, lama. Suasana mulai tidak enak.
“Liz?”
“Jay.. Aku… takut ngecewain kamu…” kata Liz akhirnya.
“Takut ngecewain… kenapa?”
“Jay.... sebenernya...”
“Sebenernya, dulu kamu cowok? Wah gawat!” aku mencoba melucu, untuk mencairkan suasana.
“Aku serius nie!” Nadanya terdengar tidak senang. “Jay.. kamu sebaiknya jangan terlalu berharap.”
Perih, mendengar jawabannya...
“Aku.. aku.. huk.. sebenarnya sayaaang banget sama kamu.. tapi.. tapi… huk huk..!” Liz malah menangis sesenggukan.
Aku mendekapnya. Sekali lagi, Liz menangis dalam pelukanku. Mencurahkan segala rasa sakit yang ada di hatinya.
Aku tahu, jauh di relung hati Liz tersimpan pilu yang sangat. Sembilu yang teramat, karena dikhianati oleh orang yang pernah dicintainya.
“Sampai kapan kamu mau kaya gini?”
Liz tidak menjawab, tetap menangis, dan membiarkan aku membelai rambutnya.
Sudahlah, aku tidak akan memaksanya lagi. Mungkin belum saatnya. Lama aku memeluknya sampai ia berhenti menangis. Ia terdiam, lama. Aku pun diam saja, bingung harus berkata apa lagi.
Malam semakin dingin.
Karena suasana tidak enak, aku berinisiatif memainkan gitar, menyanyikan lagu untuk Liz.
“Akademia jogja, Lagu berikut ini dikirim dari Jay buat TTM-nya tersayang.” kataku memberi preambule, meniru penyiar Radio ternama di Jogja.
Aku melirik Liz, ada senyum di sudut bibirnya yang tadinya mewek.
Jariku bergerak lincah pada fret-fret gitar, memainkan intro lagu “Time Like These” dari Foo Fighters.Temponya lambat, jauh lebih lambat dari versi full band-nya.
I.. I am a one way motorway… I'm the road that drives away.. Then follows you back home…” suaraku mengalun pelan, lirih.

“It's times like these you learn to live again…
It's times like these you give and give again…
It's times like these you learn to love again…
It's times like these time and time again…”


Pada bagian refrain pertama, suaraku begitu rendah. Mengulang-ulang kata, “It's times like these” seperti mantra.
Liz menutup mulutnya seperti hendak menangis.

I… I am a new day rising!
I'm a brand new sky!
To hang the stars upon tonight!


Aku menekankan intonasi pada kata ‘new day’ dan ‘brand new sky’. Ya, aku ingin menjadi hari yang baru, aku ingin menjadi langit yang baru bagi Liz!
Tempo kocokan gitarku semakin cepat.

“It's times like these you learn to live again!
It's times like these you give and give again!”


Pada refrain kedua, suaraku seperti setengah berteriak. Mengeluarkan segala emosi dari dalam dadaku.

“It's times like these you learn to love again!
It's times like these time and time again!”


Aku begitu emosional menyanyikan bagian ini, sampai-sampai bulu kudukku ikut merinding.
Liz sesengukan lagi, ia menutup mulutnya, terisak pelan, “Kamu jahat, Jay...”
“M-maksudmu?”
“Kamu jahat… kamu… kamu… huk.. huk..”
Aku meletakkan gitarku, dan memeluk Liz erat-erat. Mulai saat ini aku bersumpah akan mengobati luka di hatinya.
Ya, aku akan menjadi hari yang baru, aku akan menjadi langit yang baru bagi Liz!

BERSAMBUNG
Author : Jaya S.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar