Tampilkan postingan dengan label Sekte Saiwa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sekte Saiwa. Tampilkan semua postingan

Senin, 17 Agustus 2015

Saiwa Wisistadwaita

Saiwa Wisistadwaita

Pada abad ke-11 Masehi terdapat usaha-usaha yang dikonsentrasikan dalam menjembatani jurang yang memisahkan Saivisme dan Vaisnavaisme dengan Brahmanisme. Srikantha dan Ramanuja, adalah 2 orang sarjana besar yang mengusahakan tugas ini seperti yang ditunjukkan dalam 2 ulasan mengenai Vedanta Sutra, yaitu;
  1. Brahma-mimamsa bhasya dan
  2. Sribhasya. 
Dalam rangkaian penafsirannya tentang Pasupatadikarana, yang menurut Sankara, menyalahkan filsafat Saiwa Pasupata. Srikantha mengemukakan bahwa tak ada pertentangan antara Veda dengan Saiwagama dan keduanya sama-sama berwewenang. Keduanya telah bertindak dari sumber terakhir dari segala sesuatu, yaitu Brahman atau Para Siva, dan oleh karena itu layak untuk membicarakan Veda juga sebagai “Saiwagama”.


Ia menegaskan bahwa cara-cara ritual dan pelaksanaan keagamaan dari Saiwa, seperti melumuri badan dengan abu dan mengenakan tanda Tripunda, dinyatakan dalam kitab-kitab Upanisad, seperti Atharvasirah, Kalagnirudra, dan Brhajjabala.

Akhirnya dalam ulasan Brahma Sutra, ia memperlihatkan bahwa sistem yang dinyatakan itu merupakan Monistik bersyarat, seperti yang dinyatakan oleh Upanisad dan Saiwagama Monistik bersyarat, baik Saiwaitik maupun Vaisnavaitik didasarkan pada agama nya masing-masing, yang merupakan suatu akibat langsung dari Monistik yang Dualistik (Bhedabhedavada). Sebelum munculnya Vaisnava Monistik Terbatas, 2 orang yang berwewenang telah membicarakan tentang Bhedabheda;  yang seorang Yadava Prakasa, yang merupakan guru dari Ramanuja sendiri, dan yang lainnya, Bhaskara yang merupakan seorang yang netral, pada abad ke-9 Masehi. Demikian pula kepustakaan Saiwagama, secara terbuka mengemukakan Bhedabheda, dan sistem Lakulisa Pasupata, menyatakan hal yang sama sebelum munculnya Wisistadwaita Saiwaisme dari Srikantha, yang muncul pada abad ke-11 Masehi. Terdapat bukti-bukti yang terbatas dalam menopang pandangan ini, karena ia mengutip dari Isvara Pratiyabhijna Karika-nya Utpalacarya, yaitu “CIDATMAIVA HI DEVONTAH”.

Srikantha berbeda dengan Abhivagupta dalam penafsiranya tentang kutipan sloka di atas dan berpendapat bahwa “kebebasan dari penyebab material” (nirupadanam) bukan berarti tanpa suatu penyebab material, tetapi hanya tanpa suatu penyebab material yang diluar Tuhan.

Ia merupakan seorang pengikut dari aliran Saiwa Siddhanta yang menerima 28 buah Saiwagama, di mana yang 18 buah memperuntukkan filsafat Bhedabheda. Ia mengambil dasar pemikiran filosofis dari Saiwa Siddhanta Dualis, dan mengakui;
  1. bahwa terdapat 3 kategori awal yaitu: Pati, Pasu, dan Pasa. 
  2. bahwa dari titik pandang lain, ada 36 katagori dan ini tampaknya diakibatkan oleh pengaruh Saiwa Monistik dari Kasmir, seperti yang kita ketahui dari pernyataan ulasannya Appayya Diksita.
  3. bahwa ada 3 ketidak murnian, yaitu: Pasutva, Karma dan Mayiya, yang berupa material seperti kehitam-hitaman pada tembaga.
  4. bahwa Moksa (pembebasan) merupakan pencapaian kesamaan (samya) dengan Siva.
  5. bahwa subyek pribadi memiliki sifat maha tahu dan maha kuasa, tetapi daya-daya ini terselubungi oleh ketidak murnian, sehingga apabila ia memperoleh pembebasan darinya daya-dayanya yang tersembunyi menjadi berwujud dan ia menjadi sama dengan Tuhan.
  6. bahwa Para Siva mengatasi semua katagori dan memiliki daya (sakti) yang ada didalam diri-Nya dan menyusun sifat-sifat (guna) utama-Nya.
Suatu perbandingan yang seksama tentang konsepsi Tuhan, daya (sakti)-Nya, dan kaitan antara keduanya, seperti yang dinyatakan dalam Lakulisa Pasupata, dengan yang diketemukan dalam ulasan iikantha tentang Vedanta Sutra, seperti yang ditafsirkan oleh Appayya Diksita, meninggalkan sedikit keragu-raguan tentang kenyataan bahwa Srikantha telah mengambil pandangan Monistik Dualis dari Lakulisa Pasupata.

Srikantha secara terbuka menyatakan bahwa ia ditentang oleh Bhedabheda dan ia mengakui bahwa terdapat naskah Veda yang membicarakan tentang identitas dari dunia obyektif dan realitas terakhir, seperti yang dinyatakan oleh; “tadananya tvam arambha nasabdadibhyah” dan ada juga naskah yang membicarakan tentang perbedaan keduanya, misalnya seperti; “adhikantu bhedanirdesa”. Tetapi ia menyatakan bahwa hal ini bukan berarti bahwa kedua pernyataan itu dalam kaitan Saiwa dengan alam dunia memiliki keabsahan yang sama, dan karena itu Bhedabheda hanyalah suara filsafat, karena pandangan yang demikian itu tidak logis, sebab ia membuat pernyataan yang bertentangan mengenai yang satu dan sama. Menurutnya dunia obyektif tidak ada secara bebas dan terpisah dari Brahman, mereka itu sama sekali tidak identik karena pandangan semacam itu bertentangan dengan naskah lain yang membicarakan tentang perbedaan Brahman atau Siva dengan dunia obyektif, karena perbedaan sifat yang ada padanya dari keduanya dan Dvaitadvaita adalah tidak logis.

Dalam hal ini harus secara hati-hati dipahami bahwa disini Srikantha secara terang-terangan mencela Bhedabheda dari macam tertentu. Karena sistem Bhedabheda mengartikan bahwa penyamaan dan perbedaan ada pada tingkatan yang sama dan bahwa mereka ada bersama-sama serta sama-sama pentingnya. Berlawanan dengan Bhedabheda seperti yang dikemukakan diatas, ia mengemukakan filsafat Wisistadwaita Saiwa. Bahwa hubungan antara obyektif dengan Brahman atau Siva sesuai dengan yang kita jumpai antara badan dengan roh, dimana yang satu bergantung dengan yang lainnya.

Ia juga menolak Monisme murni, Dualis murni, Dualis yang monistik dan juga pandangan yang menganggap sukar untuk menyatakan secara tepat, baik Monisme maupun Dualis. Ia menyatakan bahwa dua hal akan tetap ada bersama-sama, dimana yang satu tak dapat ada tanpa yang lainnya demikian pula dengan masalah Brahman dan kejamakan empiris; karena menurutnya kejamakn memiliki keberadaan potensial dalam daya (sakti) dari Brahman dan kejamakan empiris tiada lain adalah bentuk badan kasar dari apa yang ada dalam bentuk halus dalam daya Brahman. Maka daya merupakan atribut dari Brahman dan akhirnya kejamakan empiris juga merupakan atribut-Nya yang secara potensial ada dalam daya-Nya dan tidak berada bebas dari pada-Nya walaupun ketika ia mengenakan wujud kasar. Oleh karena itu Srikantha menyatakan bahwa teorinya tentang Monisme terbatas merupakan penyesuaian yang sempurna dengan naskah-naskah suci yang membicarakan tentang penyamaan dan perbedaan.

Kenyataan terakhir tentang Brahman atau Siva bebas dari pembatasan sementara, sebagian dan formal, sehingga tiada bandingannya. Dia memiliki daya tertinggi (parama sakti) yang memungkinkan memunculkan segenap kejamakan empiris, termasuk yang berjiwa dan tidak, dan dunia obyektif ini tiada lain adalah badan kasarnya dari suatu keadaan yang halus dalam daya-Nya. Kejamakan itu adalah nyata bukan khayalan saja.

Hal ini hanya untuk menyatakan bahwa semuanya perlu dalam penggunaan kata Brahman untuk Siva, yang merupakan pribadi agung seperti Puspadanta, raja para Gandharva, dalam Mahimna Rtotra, yang menunujukkan Siva dalam 8 kata sebagai pengganti atribut utamanya, yaitu;
  1. Bhava, ia disebut Bhava karena ia merupakan sumber alam semesta dan pemikiran ini dijumpai dalam Taittiriya Aranyaka, yaitu Bhaodbhavaya.
  2. Sarva, ia disebut Sarva karena ia menghancurkan alam semesta pada saat peleburan.
  3. Siva, ia disebut Siva karena ia memiliki atribut yang baik.
  4. Pasupati, ia disebut Pasupati karena ia mengendalikan roh-roh dalam belenggu.
  5. Paramesvara, ia disebut Paramesvara karena ia menguasai segenap alam semesta.
  6. Mahadeva, ia disebut Mahadeva karena ia bersandar pada kebahagiaan transendental-Nya sendiri.
  7. Rudra, ia disebut Rudra karena ia membebaskan yang terbelenggu dari ikatan keberadaan yang berpindah-pindah.
  8. Sambhu, ia disebut Sambu karena ia memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan pada segenap ciptaan.
Kesatuan Brahman atau Siva merupakan kesatuan yang sama dengan pengalaman aestetika, karena keselaran penyatuan dari segala isinya, demikian pula Siva merupakan satu kesatuan, karena semua yang ada didalam-Nya membentuk satu kesatuan yang sama dengan yang dibentuk oleh berbagai bahan dari Panaka Rasa, sehingga ia bukan merupakan kesatuan yang murni tapi kesatuan dalam kejamakan dan ia tidak ada tanpa atribut (nirvisesa), karena daya untuk menghasilkan kejamakan kasar merupakan sifat alamiah-Nya.

Dunia obyektif dengan segala kejamakannya tidak berbeda dengan Siva, bagaimanapun hal ini bukan berarti Siva berubah atau berkembang karena evolusi bukan pada giva tetapi dalam Daya (sakti) yang digerakkan untuk bekerja oleh kehendak-Nya. Tetapi bagaimana Siva dapat dipertahankan untuk tak berubah kewika Daya-Nya, yang identik dan tidak berbeda dengan-Nya, diakui berkembang. Dalam menjawab pertanyaan ini Wisistadwaita Saiwaisme menyatakan bahwa penyamaan dan perbedaan dapat dikatakan apabila ada Dualitas dari apa yang dipersamakan dan yang dengan apa dipersamakan, demikian pula ketidak berbedaan dapat terjadi hanya apabilaterdapat yang dibedakan dan dari mana perbedaan itu. Oleh karena itu dalam kontek ini ketidak berbedaab bukan berarti kesatuan mutlak atau pun perbedaan mutlak.
Bahkan pada keadaan penghancuran alam semesta, dimana matahari dan bulan, waktu dan ruang sebagai kondisi terbatas, serta nama dan rupa lenyap sepenuhnya, sedang diri pribadi dan penyebab meterial (pasu dan pasa) tetap tidak berhenti adanya. Kegiatan penciptaan didorong oleh belas kasih-Nya guna roh-roh yang terbelenggu. Keaneka ragaman yang kita jumpai dalam dunia obyektif ini bukan disebabkan oleh tingkahnya saja, ia dipandu dalam menghasilkan keanekaragaman ini oleh tujuan pemberian nasib yang beraneka ragam terhadap roh-roh dalam belenggu untuk dapat mengalami buah dari timbunan akibat perbuatan-perbuatan baik dan berdosa, sehingga mendapatkan pembebasan dari belenggu Karma. Oleh karena itu ia tak dapat dikatakan kejam, karena dari penciptaan perubahan bentuk yang buruk dan penuh dosa, disebabkan oleh dorongan pribadi terhadap-Nya.

Pasu adalah katagori kedua dari katagori utama, yang memiliki 3 ketidak murnian yang tanpa awal, yaitu;
  1. Pasutva,
  2. Karma dan
  3. Mayiya. 
Disebabkan oleh ketidak murnian (mala) yang pertama, yaitu Pasutvamala atau Anavamala, ia mempersembahkan dirinya dengan badan, udara vital atau kecerdasan, sehingga ia mengalami berbagai pengalaman, sesuai dengan kegiatannya, dalam badan yang berbeda-beda, yang ia peroleh atau ia tinggalakan sesuai dengan Karma-Nya. Ia tidak bebas (asvatantra) tetapi abadi dan bukan suatu hasil dari Siva. Semua naskah yang membicarakan tentang asal mulanya dari Siva atau kehadirannya berhubungan dengan Siva sebagai percikan api, hanya menunjukan pada kemunculan nama dan wujud yang berkaitan dengannya.

Ia adalah yang mengetahui (jnata) dalam dirinya sendiri yakni ketidak bebasan dari suatu kondisi luar. Dalam kenyataannya, daya pengetahuan dan kegiatannya tak terbatas, tetapi tampak terbatas, karena ketidak murnian yang tanpa awal itu, sehingga sehingga apabila ketidak murnian itu dilepaskan, maka daya pengetahuan dan kegiatan yang ada bersamanya menjadi berwujud dan ia mencapai kesamaan dengan Siva (sivasamya). Tetapi dalam keadaan terbelenggu, ia merupakan yang mengalami kesenangnan dan kesedihan, karena hubungannya dengan Manas empiris (prakrtamanah sambandhat).
Ia juga adalah si pelaku (karta), karena hanya suatu pengakuan yang demikian sajalah yang dapat membenarkan keberadaan dari naskah-naskah yang sifatnya memrintah dan melarang. Menjadikannya seorang pelaku juga diartikan oleh naskah-naskah semacam itu sebagai pembicaraan tentang pengambilan maknanya. Dalam kenyataannya, konsepsi tentang indra dalam sebagai cara dari pengetahuan mengartikan keberadaan dari si pelaku, yang mempergunakannya dan menolak bahwa Prakrti (buddhi) sebagai si pelaku.
Hubungan antara Pati atau Siva dan subyek pribadi, digambarkan pada analogi dari hubungan antara seorang raja dengan pembantunya. Roh-roh pribadi berbuat sesuai dengan kematangan dari akibat perbuatan, yang dilakukan pada masa lalu (karmaparipakavasena), tetapi bukan tanpa ijin Tuhan dan Tuhan merupakan si pendorong dari pribadi untuk berbuat sesuai dengan karma-Nya masing-masing. Subyek pribadi tidak identik dengan sang diri universal, seperti pendapat dari para Vedantin yang mengatakan bahwa diri universal tampak sebagai pribadi, karena keterbatasannya, persis seperti ether universal (akasa) yang tampak terbatas karena batasan dari obyek dari sebuah kendi.

Wisistadwaita Saiwaisme mengakui pentingnya pelaksaan upacara, pengurbanan dsb. Yang diakui oleh Brahmanisme, dalam pencapaian kebebasan, sedemikian jauh sehingga mereka dapat membebaskan diri pribadinya dari dosa-dosa sehingga membuatnya pantas untuk mengikuti jalan pembebasan, tetapi ia menyatakan bahwa semuanya itu akhirnya bergantung kepada anugrah Tuhan. Wisistadwaita Saiwaisme menyatakan bahwa walaupun pada pembebasan pribadi yang dibeda-bedakan secara pribadi, memiliki keberadaan yang terpisah dengan Brahman atau Siva dan tidak memiliki kesadaran tentang kejamakan empirls dan ia melihat tiada lain dari Brahman, dengan mana segenap kejamakan ini dipersatukan. Wisistadwaita Saiwaisme mengakui bahwa Parama Siva melampati segala sesuatu dan berbeda dengan Pasu, walaupun mereka telah bebas. 
Karena itu akan muncul pertanyaan, “bagaimana Mahavakya Tattvamasi dapat dijelaskan, berkenan dengan penyamaan pribadi dengan yang semesta?”. 
Jawabannya adalah bahwa penyamaan yang dinyatakan oleh naskah suci tersebut, menyatakan tentang penyamaan seperti yang dijumpai dalam penyamaan seniman dengan titik pusat situasi, yaitu pahlawan, pada tingkatan yang mengharukan. Seperti seorang pribadi yang merenungkan tentang Siva, memperoleh penyamaan dengan-Nya, tanpa kehilangan kesatuannya sendiri.

Akhirnya Srikantha menyatakan bahwa didalam naskah-naskah semacam itu, dimana kata-kata seperti, “Seseorang yang mengetahui Brahman menjadi Brahman” (brahmaveda brahmaiva bhavanti), artinya bahwa seseorang yang mengetahui Brahman menjadi seperti Brahman, dan kata “eva” dipergunakan dalam pengertian “iva”, sehingga naskah tersebut bukan berarti bahwa sang pribadi hilang dalam yang universal, sama seperti hilangnya ether yang dibatasi dalam sebuah kendi, dalam ether universal, ketika kendi tersebut dipecahkan Ia mempertahankan pendapatnya bahwa kesamaan selalu termasuk perbedaan dan naskah suci yang dikaji bersama-sama, mengartikan bahwa pembebasan menjadi sama dengan dan bukan secara penuh jadi satu dengan Brahman atau Siva. Jadi perkataan Sayujya menurut Wisistadwaita Saiwaisme bukan berarti “penyatuan penetrasi”, tetapi kesamaan (samya) saja. Penghancuran universal tidak berakibat terhadap yang bebas, karena mereka itu tanpa akhir. Ia menjadi bagian yang pertama dari 36 katagori, yaitu Siva, karena ia berbeda dengan Pasu dan Pasa.

DAFTAR PUSTAKA: Maswinara, I Wayan. 2006. Sistem Filsafat Hindu (Sarva Darsana Samgraha). Surabaya: Paramita

Rabu, 29 Juli 2015

Siwa Lingga dalam Siwa Sidhanta

Siwa Lingga dalam Siwa Sidhanta

Membuat Siwa Lingga sebenarnya merupakan penerapan sekte Pasupata, yang kemudian melebur menjadi satu dalam konsep Siwa Sidhanta atau Saiva siddhanta. Dalam susastra Hindu di Bali banyak dijumpai ajaran Siwa Sidhanta. 
peninggalan Lingga Yoni
Ajaran Saiwa Siddhanta di Bali merupakan kelanjutan dari ajaran Sekte Saiva Gama yang masuk ke Indonesia sekitar abad ke 4. Namun dengan perpaduan antara konsep-konsep Saiva, Tantra, Buddha Mahayana, Trimurthi dan juga paham Waisnawa maka lahirlah konsep Saiva Siddhanta Indonesia. Adapun konsep ajaran Saiva Siddhanta Indonesia lebih banyak berpedoman pada konsep ajaran lokal serta ajaran yang telah berkembang sebelumnya seperti konsep Saiva, konsep Waisnawa, konsep Tantra, konsep Tri Murthi, bahkan konsep Buddha Mahayana yang kesemuanya dipadukan sehingga menghasilkan konsep-konsep yang dituangkan ke dalam lontar-lontar yang kemudian menjadi dasar konsep Saiva Siddhanta Indonesia, konsep-konsep yang dimaksud adalah Bhuwana kosa, Wrhaspati tattwa, Tattwa Jnana, Ganapati tattwa, bhuwana Sang Ksepa, Siwa Tattwa Purana, Sang Hyang Maha Jnana, dan sebagainya. Dari sekian banyak  susastra Hindu di Bali, sesuai dengan sumbernya; maka sangat kaya dengan nilai-nilai filsafat Hindu, terlebih lagi dengan ajaran Saiva Siddhanta.


Siwa Sidhanta menempatkan Dewa Siwa sebagai realitas tertinggi, jiva atau roh pribadi adalah intisari yang sama dengan SIWA, walaupun tidak identik. Juga ada Pati (Tuhan), pacea (pengikat), serta beberapa ajaran yang tersurat dalam tattwa sebagai prinsip dalam kesemestaan yang realita.

Salah satu sekte yang termasuk dalam sekte Saiva yang sangat dekat dengan pemujaan dengan media lingga adalah sekte Pasupata yang juga menempatkan Siva sebagai realitas tertinggi. Sekte ini memiliki perbedaan dengan Saiva Siddhanta, tetapi ia merupakan bagian dari Saiva Siddhanta itu sendiri karena Saiva Siddhanta itu merupakan gabungan atau peluruhan dari semua sekte yang ada di Bali. Bedanya dengan Saiva Siddhanta adalah dalam cara pemujaannya. Cara pemujaan sekte Pasupata adalah dengan menggunakan lingga sebagai simbol tempat turunnya/bersthananya Dewa Siva.

Jadi, penyembahan lingga sebagai lambang Siva adalah merupakan ciri khas sekte Pasupata  yang merupakan sekte pemuja Siva dengan menggunakan lingga sebagai sarana dalam pemujaan kepada Sang Hyang Siva.

Makna Siwa Lingga

Lingga berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti tanda, ciri, isyarat, sifat khas, bukti, keterangan, petunjuk, lambang kemaluan laki-laki, terutama lingga Siwa dalam bentuk tiang batu, Patung Dewa, titik tuju pemujaan, titik pusat, pusat, poros, sumbu .

Sedangkan pengertian yang umum ditemukan dalam Bahasa Bali, bahwa lingga diidentikkan dengan: linggih, yang artinya tempat duduk, pengertian ini tidak jauh menyimpang dari pandangan umat beragama Hindu di Bali, dikatakan bahwa lingga sebagai linggih Dewa Siwa.

Petunjuk tertua mengenai lingga terdapat pada ajaran tentang Rudra Siwa telah terdapat di hampir semua kitab suci agama Hindu, malah dalam berbagai penelitian umat oleh arkeolog dunia diketahui bahwa konsep tentang Siwa telah terdapat dalam peradaban Harappa yang merupakan peradaban pra-weda dengan ditemuinya suatu prototif tri mukha yogiswara pasupati Urdhalingga Siwa pada peradaban Harappa. Kemudian pada peradaban lembah Hindus bahwa menurut paham Hindu, lingga merupakan lambang kesuburan. Perkembangan selanjutnya pemujaan terhadap lingga sebagai simbol Dewa Siwa terdapat di pusat candi di Chennittalai pada sebuah desa di Travancore, menurut anggapan orang Hindu di India pada umumnya pemujaan kepada lingga dilanjutkan kepada Dewa Siwa dan saktinya.

Dalam Lingga Purana, lingga merupäkan yang erat kaitannya dengan konsep wujud alam semesta yang tak terhingga dan kemaha-kuasaan Tuhan. Lingga pada Lingga Purana adalah simbol Dewa Siwa (Siwa lingga). Semua wujud diresapi oleh Dewa Siwa dan setiap wujud adalah lingga dan Dewa Siwa.

Kitab Lingga Purana dan Siwaratri Kalpa karya Mpu Tanakung semakin memperkuat kenyataan bahwa pada mulanya pemujaan terhadap lingga pada hakekatnya merupakan pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam wujudnya sebagai Siwa.

Kitab-kitab Purana banyak memberikan gambaran tentang cerita maupun keutamaan yang diperoleh dari Sivalingga, Oleh karenanya Sivalingga dijadikan sarana sebagai objek pemujaan.
Bagian dan jenis Lingga

Bagian dan Jenis Siwa Lingga

Lingga mempunyai bagian-bagian yang sangat jelas. Pembagian lingga berdasarkan bentuknya terdiri atas: dasar lingga paling bawah yang pada umumnya berbentuk segi empat yang pada salah satu sisinya terdapat carat atau saluran air bagian ini disebut yoni. Di atas yoni yang merupakan bagian lingga paling bawah berbentuk segi empat disebut dengan Brahma Bhaga, bagian tengah berbentuk segi delapan disebut Wisnu Bhaga, sedangkan bagian atas berbentuk bulatan yang disebut Siwa Bhaga.

Jadi bentuk lingga menggunakan konsep Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) ketiga bagian lingga tersebut kiranya dapat disamakan dengan konsepsi Bhur Bwah Swah. Lingga pada umumnya diletakkan di atas lapik yang disebut pindika atau pitha. Bentuk lapik ini biasanya segi empat sama sisi, segi empat panjang, segi enam, segi delapan, segi dua belas, bulat, bulat telur, setengah bulatan, persegi enam belas dan yang lainnya. Yang paling sering dijumpai adalah Lapik yang berbentuk segi empat. Mengenai bentuk-bentuk dan puncak lingga ada banyak ragam antara lain : berbentuk payung (chhatrakara), berbentuk telur (kukkutandakara), berbentuk buah mentimun (tripusha kara), berbentuk bulan setengah lingkaran (arddhacandrakara), berbentuk balon (budbudhasadrisa).
Dalam Jnana Siddhanta disebutkan:
Pranalo Brahma visnus ca Lingotpadah Siwarcayet”.
Terjemahan:
Salurannya ialah Brahma dan Visnu dan penampakan lingga dapat dianggap sebagai sumber Siwa.
Dalam bahasa Sansekerta pranala berarti saluran air, pranala dipandang sebagai kaki atau dasar lingga yang dilengkapi sebuah saluran air. Dengan istilah lingga pranala lalu di maksudkan seluruh konstruksi yang meliputi kaki dan lingga, jadi lingga dan yoni. Kemudian lingga yoni, berkaitan dengan tri purusa yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa, di mana Siwa dinamakan lingga, sedangkan Brahma dan Wisnu bersama-sama dinamakan pranala sebagai dasar yaitu yoni.

Berdasarkan jenisnya Lingga dapat dikelompokkan atas dua bagian antara lain: Chalalingga dan Achalalingga.

Chalalingga
Chalalingga adalah lingga-lingga yang dapat bergerak, artinya lingga itu dapat dipindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa mengurangi suatu arti yang terkandung. Adapun yang termasuk dalam kelompok lingga ini adalah:
  1. Mrinmaya Lingga, merupakan suatu lingga yang dibuat dari tanah liat, yang prosesnya dengan cara dibakar. Dalam kitab Kamikagama dijelaskan bahwa pembuatan lingga ini berasal dari tanah liat putih dan tempat yang bersih. Proses pengolahannya adalah tanah dicampur susu, tepung, gandum, serbuk cendana, menjadi adonan setelah beberapa lama disimpan lalu dibentuk sesuai dengan ketentuan, lalu dibakar.
  2. Lohaja Lingga, yaitu suatu lingga yang terbuat dari jenis logam, seperti : emas, perak, tembaga, logam besi, timah dan kuningan.
  3. Ratmaja Lingga, yaitu lingga yang terbuat dan jenis batu-batuan yang berharga seperti, permata, mutiara, kristal, jamrud, waidurya, kwarsa, blue stone dan lain-lain.
  4. Daruja Lingga, yaitu lingga yang terbuat dari bahan kayu seperti kayu sami, tinduka, karnikara, madhuka, arjuna, pippala dan udumbara. Dalam kitab Kamikagama disebutkan juga jenis kayu yang digunakan yaitu khadira, chandana, sala, bilva, badara, dan dewadara.
  5. Kshanika Lingga, yaitu lingga yang dibuat untuk sementara jenis-jenis lingga ini dibuat dari saikatam, beras, nasi, tanah pekat, rumput kurcha, janggery dan tepung, bunga dan rudrasha.
Bahan dan pembuatan lingga erat kaitannya dengan tujuan dilakukannya pemujaan. Lingga yang terbuat dari emas bertujuan untuk mendapatkan kekayaan. Lingga yang terbuat dari nasi umumnya digunakan bila pemujanya mengharapkan makanan, terutama nasi. Adapun lingga tanah liat ditujukan untuk mendapatkan kekayaan, sedangkan lingga dari kotoran sapi digunakan untuk menghilangkan penyakit. Lingga dengan bahn dasar mentega umumnya memberikan suasana gembira. Pemuja lingga yang ingin mendapatkan umur panjang maka mengadakan pemujaan dengan menggunakan lingga yang terbuat dari bunga-bungaan. Untuk mendapatkan kebahagiaan lingga yang dipuja umumnya terbuat darisadlewood. (Gunawan, 2012; 81-82).
Achala Lingga

Achala Lingga merupakan lingga yang tidak dapat dipindah-pindahkan seperti gunung sebagai linggih Dewa-Dewi dan Bhatara-Bhatari. Di samping itu pula lingga ini biasanya berbentuk batu besar dan berat yang sulit untuk dipindahkan. I Gusti Agung Gde Putra dalam bukunya berjudul : “Cudamani, kumpulan kuliah-kuliah agama jilid I”, menjelaskan bagian lingga atas bahan yang digunakan. Beliau mengatakan lingga yang dibuat dari barang-barang mulia seperti permata tersebut spathika lingga, lingga yang dibuat dari emas disebut kanaka lingga dan bahkan ada pula dibuat dari tahi sapi dengan susu disebut homaya lingga, lingga yang dibuat dari bahan banten disebut Dewa-Dewi, lingga yang biasa kita jumpai di Indonesia dari di Bali khususnya adalah linggapala yaitu lingga terbuat dari batu. 

Mengenai keadaan masing-masing jenis lingga T.A. Gopinatha Rao dalam bukunya berjudul “Elements of Hindu Iconografi Vol. II part I” dapat dijelaskan, sebagai berikut:
  1. Svayambhuva lingga. Dalam mitologi, lingga dengan sendirinya tanpa diketahui keadaannya di bumi, sehingga oleh masyarakat lingga yang paling suci dan lingga yang paling utama (uttamottama). Atau dapat dikatakan “terjadi dengan sendirinya”.
  2. Ganapatya lingga. Lingga ini berhubungan dengan Ganesa, Ganapatya lingga yaitu lingga yang berhubungan dengan kepercayaan dibuat oleh Gana (padukan Dewa Siwa) yang menyerupai bentuk mentimun, sitrun atau apel hutan.
  3. Arsha lingga. Lingga yang dibuat dan dipergunakan oleh para Resi. Bentuknya bundar dengan bagian puncaknya bundar seperti buah kelapa yang sudah dikupas.
  4. Daivika lingga. Lin/gga yang memiliki kesamaan dengan Ganapatya lingga dan arsha lingga hanya saja tidak memiliki brahma sutra (selempang tali atau benang suci, dipakai oleh brahman).
  5. Manusa lingga. Lingga yang paling umum ditemukan pada bangunan suci, karena langsung dibuat oleh tangan manusia, sehingga mempunyai bentuk yang bervariasi. Lingga ini umumnya mencerminkan konsep tri bhaga yang Brahma bhaga (dasar), Wisnu bhaga (badan) dan Rudra bhaga (puncak). Mengenai ukuran panjang maupun lebar menyamai pintu masuk tempat pemujaan utama
Manusalingga terbagi atas 3 bagian, yaitu : Rudrabhaga (lingga bagian atas) berpenampang garis lengkung, Visnubhaga (lingga bagian tengah) mempunyai bentuk segi-8 (octagonal), dan Brahmabhaga (lingga bagian bawah) mempunyai bentuk persegi.

Senin, 27 Juli 2015

Sekte Aghori makan mayat

Sekte Aghori makan mayat

Aghoris percaya bahwa Shiva diinduksi terbaik dan terburuk di dunia dan tidak ada yang profan, semuanya sakral bagi mereka. Oleh karena itu, apa sekte Hindu lainnya menganggap tidak dapat diterima atau tabu, yang Aghoris menerimanya – yang 'kekuatan gelap' atau 'kotoran' - membawa mereka ke tingkat kesadaran yang lebih tinggi. dibali sekte Aghori hampir mirip dengan Sekte Bhairawa hitam, yang didentikan dengan Panca MA-nya. Mari kita melihat sekilas kehidupan di India mengenai Sekte Aghori.
Sekte Aghori Memakan Mayat Dan Menjadikan Tulang Manusia Sebagai Hiasan
kehidupan Sekte Aghori di India
Sepanjang sejarah kehidupan manusia telah ada segudang praktek kultus dan sekte agama yang aneh, membuat teror, unik bahkan menjijikkan. Mereka melakukan ritual aneh, ritual yang mengganggu, atau keyakinan ekstrim, sebagian kelompok ini telah lama melakukan sesuatu yang misterius dan mengancam keselamatan orang di luar kelompoknya. Sebuah kelompok misterius yang yang mempunyai kebiasaan yang menakutkan, menebarkan kebencian, dan horor, adalah suku mistik aneh dan kanibal yang ada di India dan dikenal sebagai sekte Aghori, atau Sadhu Aghori.
Mereka mendandani diri dengan kain kafan dari mayat atau baju yang ditinggalkan oleh keluarga orang mati, mengolesi diri dengan abu mayat sebagai pelindung dari penyakit, merenungkan mayat dan mengkonsumsi segala sesuatu dari manusia atau hewan daging untuk ekskreta, urine, alkohol – semua bagian dari ritual Aghora, yang secara harfiah berarti non-menakutkan, dan Aghoris adalah praktisi.
Para Sadhu Aghori adalah bagian dari sekte pertapa Hindu, khususnya mereka yang beraliran Shaivites,dimana mereka mengabdikan diri untuk Dewa Siwa, Dewa kematian dan kehancuran yang sering digambarkan sebagai Dewa yang paling menakutkan, di dunia barat disebut sebagai "The Destroyer" dan "The Transformer"

salah satu pengikut Sekte Aghori

Jalan Non-dualitas

Para aghoris harus menghilangkan pikiran Dualitas antara murni dan tidak murni, baik dan buruk; menyangkal kesempurnaan sesuatu akan seperti melecehkan kesucian hidup dalam manifestasi penuh.
Robert Svoboda, seorang penulis Amerika dan dokter ayurvedic dalam bukunya – Aghora II: Kundalini, menjelaskan – “Aghori menetapkan untuk mengatasi keterbatasan manusia dengan menghancurkan internal setiap menahan diri, tidak peduli seberapa kuno atau kuat tabu, dan juga dengan membuat tubuh / pikiran yang mampu mengandung emosional, pengalaman sensorik dan lainnya yang akan mengkonsumsi siapa pun yang tidak disiapkan dengan baik.”
Sekte ini diajarkan oleh seorang pertapa yang bernama Kina Ram, yang dianggap sebagai inkarnasi dari Dewa Siwa dan telah hidup selama 150 tahun pada akhir abad ke-18. Sekte Aghori adalah sebuah sekte yang menyimpang dari kepercayaan Hindu tradisional dimana  mereka tidak membuat perbedaan antara kesucian dan najis. Mereka pada dasarnya percaya bahwa alam semesta adalah non-dualistik, yang berarti bahwa semua kehidupan ini murni semuanya sama dan tidak bisa dibedakan antara satu dengan lainnya, dan bahwa semua manusia adalah bagian dari segala sesuatu yang sama. Menurut keyakinan sekte Aghori, tidak ada apapun di alam semesta ini adalah hal  "baik" atau "buruk," melainkan semuanya adalah bentuk manifestasi dari dewa mereka, dengan demikian semua manusia adalah dewa dan sempurna. Mereka percaya semua manusia, termasuk umat Hindu dan sekte Hindu, hidup di dalam dunia yang penuh dengan ilusi.

Penggunaan Tengkorak Manusia dan Tantra


Setelah dimulai, yang Aghori pergi mencari tengkorak manusia atau 'Kepala', yang merupakan tanda nyata dari Aghori, untuk digunakan sebagai mangkuk. Hal ini diyakini bahwa setelah kematian, prana atau kekuatan hidup dari menempel meninggal di atas tengkorak.

Menggunakan mantra dan persembahan tertentu, terutama alkohol, sebuah Sadhna Aghori memanggil roh untuk kembali ke tubuh, dan mendapatkan kendali atas hal itu, memanfaatkan layanannya. Aghori sadhana termasuk praktek tantra, berbagai bentuk Yoga dan meditasi.

Pengikut sekte Aghori berusaha untuk membebaskan diri dari siklus reinkarnasi dengan menyadari tempat mereka sendiri adalah mutlak. Mereka percaya bahwa mereka adalah bagian dari Dewa Siwa, dan akhirnya akan  melampaui dari tubuh mereka sendiri, atau Shava, untuk inkarnasi dari Dewa Siwa itu sendiri. Untuk mewujudkan ini, mereka harus menjadi acuh tak acuh terhadap segala sesuatu. Mereka harus merangkul kematian, hidup dengan cara menjijikan,kuatan tradisional, dan menolak kesenangan fisik seperti seks, serta menolak emosi seperti kebencian, keserakahan, atau malu.

Demikian juga, mereka tidak ingin meninggalkan tanda-tanda fisik pada dunia dan dengan menghindari gagasan memiliki keluarga dan tempat tinggal. Melalui penyangkalan total dari diri sendiri, menghilangkan rasa tabu, dan menganggap semua sama, Pengikut sekte Aghori percaya bahwa dengan menghilangkan keinginan duniawi dan mencapai pencerahan dengan cara memutus siklus reinkarnasi, maka akan membuat mereka  menjadi bagian dari Dewa Siwa. Orang Aghori juga percaya bahwa cara tercepat untuk mendapatkan  cahaya pencerahan adalah melakukan perjalanan ke dalam kegelapan terdalam pertama, yaitu dengan cara mencari kemurnian kematian dan melakukan apa yang paling di anggap jahat dan kotor.

Ini adalah pendekatan yang sangat tidak lazim, serta keinginan non-dualistik mereka yang aneh untuk melakukan semuanya, bahkan perbuatan tabu, kotor, dan kematian, semua itu yang membentuk dasar dari keyakinan mereka yang sangat mengerikan.
Svoboda menjelaskan dalam bukunya, Aghora: Di Tangan Tuhan: “Aghora adalah pendewaan Tantra ... yang dewa tertinggi adalah ibu dewi ... .Tantra sejauh ini telah dilirik di Barat hanya dalam bentuk yang paling vulgar dan direndahkan nya, diumumkan oleh bajingan yang tidak bermoral yang menyamakan seks dengan kesadaran yang super. Seks memang pusat Tantra, serikat seksual kosmik dualitas yang universal. Tujuan dari Tantra adalah Laya, kembali dari para pencari ke keadaan eksistensi terdiferensiasi.
dokumenter 'Hidup dengan orang mati’ menunjukkan kehidupan Aghori Ramnath, yang diprakarsai oleh guru tantra, dan tinggal di lapangan kremasi dan mengikuti jalan Aghora menjadi satu dengan Shiva, video wawasan tentang sekte ini.


Film dokumenter singkat ini berbicara tentang aghoris dan ritual mereka dan kekuatan yang berada di luar imajinasi manusia.

Setiap Aghori berikut praktek-praktek yang berbeda tergantung pada kemampuannya; satu-satunya faktor umum adalah gelar mereka intensitas dan tekad.
Sekte Aghori mengenakan tulang belulang manusia

Sekte Aghori makan daging manusia

Untuk 12 tahun ia bermeditasi dalam nama Dewa Siwa di dasar kremasi, dianggap sebagai tempat yang ideal untuk menyembah Shiva. Mereka makan daging manusia, yang berfungsi sebagai pengingat kepada Aghori bahwa tidak terdapat perbedaan antara baik atau buruk, daging manusia atau hewan. Perbedaan tersebut hanya menyesatkan, dan jarang melayani tujuan apapun dalam pengembangan spiritual dari jiwa manusia. Ini melambangkan transendensi diri nya lebih rendah dan realisasi yang lebih besar.

Aghoris melakukan ritual yang dikenal sebagai Shava (mayat segar) sadhana yang artinya bermeditasi di atas mayat, mantra nyanyian untuk memohon Smashan Tara (dewi alasan kremasi), siapa yang akan memberkati Aghori dengan kekuatan supernatural jika ritual dilakukan dengan cara yang benar. Aghoris tidak takut mati, mereka minum minuman keras seperti alkohol atau ganja, sebelum melakukan ritual yang membantu mereka untuk mengatasi ketakutan mereka dan melampaui tubuh mereka.

Orang Aghori juga tidak memotong rambut dan jenggot mereka, dibiarkan panjang. Rambut kusut dan gimbal adalah karakteristik dari sadhu Aghori.

Dalam upaya untuk benar-benar menyangkal terhadap diri sendiri dan menerobos emosi mereka membuang jauh-jauh rasa takut dan jijik. Orang Aghori dikenal karena kecenderungan mereka untuk makan apa pun yang sangat menjijikkan dalam jumlah cukup banyak. Apa yang mereka makan cukup membuat orang merasa ngeri dan mual. Mereka makan makanan busuk, sampah membusuk, bahkan kotoran manusia dan meminum air kencing. Mereka makan dengan menggunakan mangkuk yang terbuat dari tengkorak manusia, mereka juga menggunakan tulang manusia untuk menyantap hidangan lainnya.

Bagi sebagian besar manusia ritual ini tentu merupakan sesuatu yang sangat mengerikan, namun sekte Aghori percaya bahwa mengkonsumsi barang-barang menjijikkan adalah merupakan upaya untuk membunuh ego dan menentang persepsi manusia tentang keindahan. Selain itu, karena mereka tidak percaya bahwa apa pun bisa menjadi "suci" atau "tidak suci," maka semuanya tidak ada masalah bagi mereka apakah makan makanan kotor atau sesuatu yang lebih baik bagi manusia. Untuk pengikut sekte Aghori, makan sampah adalah sama seperti makan makanan yang umum di makan oleh manusia.

Tema gelap tentang kematian dan penggunaan sisa-sisa manusia memainkan peranan besar dalam ritual dan kehidupan sehari-hari sekte Aghori. Dalam upaya untuk benar-benar menghadapi kematian dan kerusakan, anggota sekte Aghori umumnya tinggal atau berada dekat dengan lokasi pemakaman atau tempat kremasi jenazah, yang dianggap sebagai tempat suci, di mana di tempat tersebut diyakini sebagai tempat tinggal Dewa Siwa dan mewakili tempat tinggal akhir bagi semua manusia.

Para pengikut sekte Aghori juga mengumpulkan abu pembakaran mayat  untuk melumuri tubuh mereka. Mereka juga sering tidak mengenakan pakaian dan mlumuri tubuhnya dengan abu sisa pembakaran manusia dan hanya mengenakan sobekan kain untuk menutupi bagian pribadi mereka. Mereka juga kadang-kadang mengenakan perhiasan dari pernak-pernik yang terbuat dari potongan tulang manusia, dan beberapa diantara  menggunakan tongkat yang terbuat dari tulang paha manusia. Juga tidak jarang terlihat pengikut sekte Aghori menggunakan mangkuk mengerikan yang dibuat dari tengkorak manusia, yang disebut sebagai  Kapala, mereka menggunakannya  sebagai wadah minum untuk minuman keras, tempat makanan, atau sebagai mangkuk untuk mengemis.

Sekte Aghori dengan ritual Tantra Agni Hotra
Penggunaan organ tubuh mati tidak tidak hanya digunakan sebagai pernak-pernik dan mangkuk, sekte Aghori juga menggunakan mayat sebagai semacam altar yang digunakan sebagai tempat berdoa atau bermeditasi, praktek tersebut dikenal sebagai Shava samskara, mereka percaya bahwa mayat adalah simbol tubuh mereka sendiri. Lebih mengerikan lagi mereka juga melakukan kanibalisme terhadap jasad orang yang telah meninggal. Tindakan kanibalisme tersebut adalah bagian dari ritual mereka dengan tujuan pengobatan dan menunda penuaan, bukan hanya itu juga bertujuan untuk menghadapi dualitas kehidupan dan kematian dan mendapatkan transendensi dari diri sendiri kepada posisi lebih rendah ke dalam kesadaran universal. Daging manusia yang dimakan diambil dari mayat dan kemudian dimakan mentah-mentah, kadang dimasak selayaknya sate, bahkan kadang daging yang mereka makan adalah daging manusia yang sudah membusuk.

Sangat mengerikan dan menjijikkan karena semuanya dilakukan di tempat terbuka,  Mayat-mayat yang mereka makan diambil dari mayat yang hanyut atau mengambang di Sungai suci umat Hindu India yaitu sungai  Gangga. Di India, tidak semua mayat dikremasi, ada sebagian mayat yang tidak dikremasi. Mayat yang tidak dikremasi adalah anak-anak, orang suci, wanita hamil, perempuan yang belum menikah, dan mereka yang telah meninggal karena kusta, bunuh diri, atau digigit ular, maka mereka akan dihanyutkan di  Sungai Gangga, mereka percaya dengan membuang mereka ke sungai gangga maka tubuhnya akan disucikan dari dosa. Dari jasad-jasad yang dibuang ke sungai Gangga itulah sekte Aghori makan.

Tubuh yang dikremasi kadang juga tidak sepenuhnya terbakar dan masih menyisakan bagian tubuh yang utuh, saat sisa tubuh tersebut dibuang ke sungai Gangga dan hanyut terbawa oleh air maka mereka juga mengambilnya. Para pengikut sekte Aghori tersebut kemudian melakukan ritual doa untuk jasad yang diambil,  sebelum menggunakan mayat sebagai altar, memanfaatkan tulang untuk berbagai keperluannya, atau memakan daging mereka.
Mentor penulis Svoboda, Aghori Vimalananda, yang praktek spiritual terbangun Kundalini dan Svoboda ini Aghora trilogi didasarkan pada dirinya, mengatakan "mikroba Extraterrestrial mungkin sedekat planet-planet di tata surya kita sendiri, “Daging, Ikan, anggur, gandum kering dan seks yang semua yang memabukkan, dan tujuan yang memabukkan adalah untuk merangsang saraf Anda untuk dapat menahan kekuatan Kundalini Shakti. Anda dapat menggunakan alkohol dan sisanya untuk membuat kemajuan spiritual cepat hanya jika Anda tahu bagaimana menggunakannya dengan benar, jika tidak, anda hanya mengikat diri Anda lebih erat dengan roda eksistensi.
Sejarah Aghoris –
Benares adalah tempat rumah dan kelahiran Aghoris. Sekte ini merupakan cabang dari terkenal Kapaliks Kashmir Saivism yang membawa tengkorak manusia sebagai simbol sekte. Dalam bentuknya yang sekarang asal-usul sekte dapat ditelusuri ke Baba Kinaram, seorang pertapa Aghori yang tinggal untuk 150 tahun, dan diyakini sebagai inkarnasi Tuhan Shiva. Ada sebuah kuil Kinaram di Varanasi, di mana ia dimakamkan, yang merupakan paling suci untuk Aghoris. Dattatreya yang diyakini sebagai inisiator Aghor tradisi.
Aghoris adalah kelompok yang kuat antara Sadhus di India, hari segelintir tetap yang memimpin kehidupan biasa ini. Motif utama untuk Aghori adalah untuk mencari pembebasan dari siklus tak berujung ini reinkarnasi dan mencapai keselamatan.

Disamping ritual mengerikan yang berhubungan dengan sekte Aghori, mereka juga dikenal mempunyai sihir ampuh untuk penyembuhan. Dukun Aghori yang konon mampu mentransfer penyakit dari pasien  ke dalam tubuh mereka, setelah itu mereka akan mengusir melalui kekuatan magis yang dimiikinya. Menurut ajaran mereka dikatakan bahwa tindakan penyembuhan disukai oleh Dewa Siwa, yang kemudian Dewa Siwa memberikan kekuatan kepada pengikut sekte Aghori penyihir yang bahkan kekuasaannya lebih besar atas alam. Bahkan Dukun Aghori mengklaim bahwa mereka telah berhasil membuat obat ampuh dari minyak yang diambil dari mayat yang mereka kumpulkan, yang konon mampu menyembuhkan segala macam penyakit, bahkan penyakit yang paling menakutkan seperti kanker dan AIDS.
Aghori Baba
Pengikut sekte Aghori banyak ditemukan di India terutama di India bagian utara sepanjang aliran Sungai Gangga, terutama di tempat yang disebut Varanasi, di mana kuil paling suci mereka dibangun. Kuil tersebut dianggap sebagai kuil paling suci dan digunakan untuk menyimpan peninggalan Kina Ram, yang diyakini merupakan inkarnasi asli Dewa Siwa yang mengajarkan sekte Aghori modern