Tampilkan postingan dengan label Sekte dan Sampradaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sekte dan Sampradaya. Tampilkan semua postingan

Senin, 31 Agustus 2015

dvaita dari lakulisa pasupata

Dvaita dari lakulisa pasupata

Sistem filsafat Lakulisa Pasupata berbeda dengan Pasupata yang bersifat Dualis, walaupun keduanya mengakui adanya 5 kategori utama, yaitu:
  1. Karana,
  2. Karya,
  3. Yoga,
  4. Viddhi, dan
  5. Duhkhanta. 
Perbedaan system ini dengan Pasupata dualis tempaknya telah di tunjukkan dalam ulasannya yang disebut Ratna Tika pada Gana Karika dari Bhasarvajna, ketika ia membahas tentang perbedaan Lakulisa Pasupata dengan sistem filsafat lainnya (Sastrantare).Pernyataan tentang gambaran yang berbeda itu kelihatannya menjadi sangat perlu, karena hal itu di kutip oleh Madhava dalam Sarva Darsana Samgraha-nya. Hal ini dapat di nyatakan sebagai berikut:
  1. Pada sistem filsafat lain, masalah pembebasan tiada lain merupakan akhir dari segala kesengsaraan, tetapi menurut filsafat Lakulisa Pasupata, pembebasan merupakan pencapaian keunggulan atau kesempurnaaan ILahi.
  2. Di sini perbedaan Lakulisa Pasupata dengan Pasupata dualis dinyatakan; karena Lakulisa tampaknya mengawali Pasupata Sutra-nya dengan objek tentang pernyataan perbedaan dari sistem filsafatnya dengan Pasupata yang lebih awal, karena tujuan karya tersebut, seperti yang di nyatakan dalam sutra pertamanya, adalah untuk menghadirkan disiplin spiritual yang berguna dalam penyatuan dengan Tuhan, seperti yang di kemukakan oleh Tuhan sendiri (athatah pasupateh pasupatam yogavidhim vyakhyasyamah).
    Kita mengetahui bahwa konsepsi pasupata tentang pembebasan di pakai oleh Nyaya dan Vaisesika, karena Nyaya sutra dari rsi Gautama secara jelas menunjukkannya dalam sutra yang ke dua dan rsi Vatsyayana dalam ulasannya memperjelas hal itu ketika ia mengatakan :
    katham buddhiman sarva duhkhocchedam sarvaduhkha samvidam apavargam na rocayet
    yang artinya
    Bagaimana seorang bijak dapat tidak menyukai pembebasan (apavarga) ini, yang di cirikan dengan penghentian total dari segala kesengsaraan”.
  3. Sistem filsafat lain mengakui bahwa akibat (Karya) tak akan terjadi sebelum terjadi, tetapi menurut sistem filasafat Lakulisa Pasupata, akibat (Karya) yang terbagi menjadi 3 kategori, yaitu: Kala, Vidya, dan Pasu, adalah abadi. Pada keadaan kehadiran pengetahuan kita tentang sistem Pasupata yang kita peroleh dari referensi tentang hal tersebut oleh sankara dan para pengulasnya, kita tak dapat mengatakan secara tegas sejauh mana masalah ini menyebutkan tentang sistem Pasupata. Tetapi apabila kita mengakui bahwa pandangan Vaisesika tentang ketiadaan akibat sebelum ada kejadian (asat karyavada) di ambil dari Pasupata, seperti konsepsi tentang pembebasan sebagai akhir dari segala kesengsaraan, kita dapat mengatakan bahwa hal ini merupakan masalah perbedaan lain dari Lakulisa Pasupata terhadap Pasupata Dualis; karena yang pertama berpendapat bahwa semua akibat ada dan sepertinya sama dengan daya (sakti ) Tuhan, darimana ia mewujudkannya seketika.
  4. Menurut sistem filsafat lain, Isvara dan Pradhana, yang merupakan 2 penyebab, yaitu penyebab efisien dan penyebab material, tidak bebas, karena penciptaan tak akan dapat mulai dengan ketidakhadiran salah satunya. Tetapi menurut Lakulisa Pasupata, Tuhan adalah bebas, karena seperti yang akan kita saksikan secara metafisika sistem ini merupakan kebebasan yang rasionalistik. Masalah ini secara jelas di tunjukkan dalam sistem Pasupata, karena seperti yang kita nyatakan sebelumnya mengenai authoritas dari Ratna Prabha, Pasupata mengakui 2 penyebab, yaitu Isvara dan Pradhana. Dua titik perbedaan yang di nyatakan di sana tampaknya untuk menunjukkannya terhadap sistem Yoga dan Mimamsa.

Tradisi tentang sistem filsafat Lakulisa Pasupata,tidak hanya di ketemukan dalam berjenis-jenis bagian dari Taittriya Aranyaka pada anuvakah 5, sloka 17 sampai 21, tetapi juga dalam bagian terbesar dri buku tersebut, pada anuvakah 5 dari sloka 43 sampai sloka 47. Mantra-mantra yang menyusun naskah anuvakah ini, telah diambil oleh Lakulisa dalam Pasupata Sutra-nya, dengan sedikit sekali perubahan untuk menggambarkan Brahman atau Siva, karena ia di renungkan pada berbagai tahap dari jalan pembebasan. Sayana, dalam ulasannya tentang Taittiriya Aranyaka menunjukkan hal-hal berikut, yang merupakan gambaran yang penting tentang sistem filsafat Lakulisa Pasupata, Tampaknya bahwa pada saat munculnya sistem filsafat Lakulisa Pasupata, kata “Brahman” tidak secara ekslusif berarti realita tertinggi dari konsep Vedantin, karena dalam Pasupata Sutra dari Lakulisa, kita menemukan kata “Brahman” di pergunakan untuk realitas sebagai objek perenungan pada tingkatan yang berbeda. Apabila kita membaca ulasan Sayana, kita menemukan bahwa apa yang di katakan tentang Brahman, kebanyakan seperti yang di nyatakan pada sistem Lakulisa Pasupata, sebagai Pati, yaitu kategori pertama.

Jadi dengan demikian Taittiriya Aranyaka, menurut Sayana mengakui hal-hal berikut:
  1. Bahwa Brahman merupakan penyebab dari dunia objektif dan yang merupakan penyebab material sepanjang sebagai Maya yang merupakan daya yang tak terpisahkan dengan Brahman. Oleh karena itu, ia merupakan Mayin yang Saguna dan Mayavisista.
  2. Bahwa seperti sifat dari Nirguna Brahman yang menjadi kesatuan dari Saccidananda, demikianlah ia merupakan Saguna Brahman untuk menciptakan, memelihara dan menghancurkan alam semesta ini (svabhava).
  3. Bahwa Isvara lah yang memberikan buah kegiatan dan bukan Karma itu sendiri.
  4. Bahwa, dunia objektif dan sang diri yang terbatas merupakan akibat dari Brahman yang di batasi oleh Maya.
  5. Bahwa akibat tak dapat terjadi di luar dari penyebab, karena itu Brahman merupakan penyerap segalanya dan Ananta.
  6. Bahwa Brahman adalah Sat, yang meciptakan dunia dan kemudian memasukinya, seperti seseorang yang membangun sebuah rumah, kemudian masuk ke dalamnya dan berdiam di sana. Brahman sebelah menciptakan semuanya, dari Akasa sampai Purusa, masuk ke dalamnya, karena ia di dapatkan sebagai yang meneriman dan yang mengetahui di dalam Buddhi, dalam teratai hati.
  7. Bahwa Brahman menjadi segala sesuatu yang dapat dan yang takiamati, yang tetap dan yang tidak tetap, yang berjiwa dan yang tak berjiwa, yang benar dan yang tidak benar.
  8. Bahwa Brahman adalah Sukrta, karena ia menciptakan segala sesuatu secara bebas. Pemikiran ini di nyatakan melalui kata “Svatantra” dalam Pasupata Sutra.
  9. Bahwa Rudra adalah segala sesuatu; Ia merupakan diri dari semua makhluk hidup; Ia adalah “keberadaan”; Ia adalah yang mengatasi segalanya; Ia adalah semua yang telah ada, yang sekarang ada dan yang bakal ada nantinya; Ia adalah Umapati, yaitu penguasa ajaran.
  10. Bahwa Brahman adalah penyebab sumber, pemantap dan kehancuran dari dunia objektif.
  11. Bahwa Brahman berbeda dengan kelima Kosa, yaitu Anna, Prana, Manas, Vijnana, dan Ananda.
  12. Bahwa Brahman memiliki bermacam-macam wujud Jyestha, dsb yang jumlahnya 9 dan penguasa dari 9 daya, Vama dsb.
  13. Bahwa Brahman memiliki 3 wujud sehubungan dengan 3 sifat dari Sattva, Rajas, dan Tamas, yaitu 
    • yang lebih banyak sattvamnya menjadi tenang (santa) di sebut Aghora; 
    • yang lebih banyak rajasnya menjadi menakutkan, di sebut dengan Ghora; 
    • yang lebih banyak tamasnya, menjadi sunggug-sungguh mengerikan, di sebut Ghoratara.
Konsepsi tentang Moksa, menurut Sayana,Taittiriya Aranyaka mengakui hal-hal sebagai berikut:
  1. Bahwa Moksa terkandung dalam jiva yang memiliki Pratistha dalam Brahman yang tak dapat di amati.
  2. Bahwa Pratistha tersebut artinya kemantapan pemikiran mengenai identitas pribadi dan yang semesta atau realisasi bahwa Brahman merupakan diri sejati dari diri seseorang.
  3. Bahwa seseorang yang mengetahui identitas dari Ananda yang merupakan perseorangan dengan yang ada pada Brahman, secara perlahan-lahan mendapatkan penyatuan dengan Brahman (upasankramati), tenpa meninggalkan kepribadiannya. Yang bebas temasuk kategori tertinggi, sehingga pembebasan terkandung dalam perembesan Jiva ke dalam Brahman sehingga daya Brahman lolos ke dalamnya, persis seperti darah dari suatu organism hidup yang lolos ke dalam perut seekor lintah. Naskah-naskah ini tampaknya telah menjadi dasar dari persepsi tentang Sayujya Moksa dalam sistem filsafat Lakulisa Pasupata, tetapi beberapa authoritas yang lebih awal di bawah pengaruh Vedanta monistik, seperti yang di nyatakan oleh Sayana berpendapat bahwa kata “Sankramati” di dalam naskah di pergunakan dalam pengertian yang ke dua dari buah pengetahuan, yang menghancurkan khayalan.
  4. Bahwa yang terbebas (mukta) pergi ke dunia Brahman.
  5. Bahwa objek perenungan mungkin Brahman atau suatu aspek dari pada-nya, yang dapat membuat perenungan menjadi kuat atau lemah. Karena itu, apabila perenungan menjadi kuat dan objeknya menjadi Brahman, sang perenung mendapatkan penyatuan (sayujya) dengan Brahman. Tetapi apabila menjadi lemah, ia mendapatkan dunia Brahman (Salokata). Demikian pula objek perenungan menjadi suatu aspek dari Brahman dan perenungan menjadi kuat, menengah atau lemah, si perenung mendapatkan penyatuan dengan daya yang sama (sarstikata-samanaisvaryata) atau dunia ke illahian (samalokata).
  6. Bahwa pembebasan akhir di capai melalui bermacam-macam tahapan dan pada tahapan akhir Yang terbebas mencapai keagungan Brahman (mahima).
Beberapa hal yang senada bagi filsafat Lakulisa Pasupata dari Taittiriya Aranyaka, menurut penafsiran Sayana, adalah sebagai berikut:
  1. Bahwa sang diri di dalam guha, terbuat dari 5 kosa, yang utamanya identik dengan Brahman dan orang yang mewujudkan hal ini, mengalami keseluruhan objektifitas secara terus menerus.
  2. Bahwa purusa merupakan suatu akibat (annat purusah).
  3. Bahwa Akasa adalah ruang dan bahan, di mana suara ada di dalam atau bersamanya.
  4. Bahwa penciptaan memungkinkan bagi subjek yang terbatas untuk menikmati dan menderita buah karma.
  5. Bahwa tak ada pertentangan yang mendasar antara identitas dan perbedaan; di mana identitas menunjukkan intisari, yaitu Brahman dan perbedaan terhadap wujud saja (akara) brahmakarena advaitam, bhoktrbhogyakarena dvaitam.
Jadi dengan demikian Taittiriya Aranyaka menghadirkan dasar-dasar pengertian Dvaitadvaita atau Bhedabheda.

Kita telah merujuk pada 5 anuvakah dalam Taittiriya Aranyaka,yang merupakan dasar dari sistem filsafat Lakulisa Pasupata. Sayana dalam penafsirannya tentang naskah ini setuju bahwa mereka mengemukakan tentang Saivaisme secara umum, baik sebagai sebuah agama (aliran) maupun sebagai sebuah filsafat. Jadi, ia menyatakan bahwa 5 mantra yaitu: Sadyojatamm, Vamadevaya, Aghorebhyah, Tatpurusaya dan Isanah, menghadirkan 5 muka (vaktra) dari mahadeva atau siva, di mana empat yang pertama, menghadap ke empat arah dan yang ke lima menghadap ke atas (urdhva)

Penafsiran dapat di ketengahkan sebagai berikut:
  1. Hamba mendekati Sadyojata, yang mengarah ke barat, penguasa dalam wujud tersebut; hamba bersujud pada Sadyojata. Ya Tuhan! Doronglah hamba, bukan kepada keberadaan yang berpindah-pindah, tetapi untuk mengatasinya. Hamba bersujud kepada mereka yang bebas dari siklus kelahiran dan kematian.
  2. Hamba bersujud kepada Vamadeva yang menghadap ke utara, yang memiliki 9 aspek, yang di lengkapi 9 daya, yaitu: 1. Jyestha, 2. Srestha, 3. Rudra, 4. Kala, 5. Kalavikarana, 6. Balavikarana, 7. Balapramathana, 8. Sarvabhutadamana, 9. Manonmana.
  3. Hamba bersujud kepada Aghora, yang menghadap ke selatan, yang memiliki 3 macam wujud, sesuai dengan Guna yang lebih banyak mempengaruhinya.
  4. Hamba bersujud kepada Tatpurusa, yang menghadap ke timur, hamba merenungkan Tuhan yang agung (Mahadeva); semoga Rudra mendorong hamba untuk mengetahui pengetahuan dan perenungan.
  5. Isana, yang mengahadap ke atas (urdhva-vaktra) merupakan penguasa pengetahuan, pengendali semua makhluk, pelindung Veda. Sang diri yang mengatasi segalanya lebih tinggi dari pada Hiranyagarbha Brahman sekalipun; semoga ia berkenan mewujudkan aspek yang penuh kedamaian kepada hamba. Hamba adalah Sadasiva.
Kita akan menunjukkan perbedaan antara penafsiran dari Sayana mengenai mantra ini dengan yang di berikan Lakulisa dalam Pasupata Sutra-nya dan perbedaan antara teks-teks (naskah) dari mantra ini, seperti yang di jumpai dalam Taittiriya Aranyaka, dengan yang di pergunakan oleh Lakulisa.

Menurut Lakulisa Pasupata, Moksa tak terkandung dalam penghentian dari semua kemalangan (duhkhanta) saja, seperti yang di nyatakan oleh Nyaya, tetapi juga dalam pencapaian daya-daya pengetahuan dan kegiatan.

Akibat, menurut beberapa sistem lain, misalnya Vaisesika adalah yang tidak ada sebelu hal itu terjadi (asatkaryavada); tetapi menurut sistem ini, akibat tersebut sifatnya abadi, seingga Kala, Vidya, dan Pasu semuanya abadi.

Menurut beberapa sistem lain, penyebab efisien tergantung pada sesuatu di luar, berkenan dengan masalah penciptaan dan akibat. Misalnya Nyaya dan Vaisesika tentang Isvara yang tergantung pada atom dan karma, tetapi menurut sistem ini, penyebab itu selamanya bebas sama sekali.

Upacara-upacara, yang di uraikan oleh beberapa sistem lain membawa menuju surga,dsb, dari mana dapat di pastikan akan jatuh kembali setelah habis menikmati pahala; tetapi upacara Pasupata, membawa pada tahap Samipya, di mana mereka yang telah mencapai tahapan ini tak akan kembali ke dalam keberadaan yang berpindah-pindah.

Lakulisa Pasupata menolak konsepsi Moksa seperti yang di kemukakan oleh Ramanuja dan Ananda Tirtha, yang secara teknis di sebut “perbudakan“ (dasatva), karena perbudakan bukanlah akhir dari segala kesengsaraan. Oleh karena itu ia menyatakan bahwa pembebasan adalah pencapaian atribut dari yang tertinggi.

Perbedaan antara Saiva Dualis dengan Lakulisa Pasupata adalah sebagai berikut:
  1. Menurut Lakulisa Pasupata, Tuhan terlepas (bebas) dari karma dalam kegiatan penciptaan-nya, tetapi menurut Saiva Dualis, dia tergantung pada karma.
  2. Menurut Lakulisa Pasupata, daya pengetahuan dan kegiatan lolos ke dalam pembebasan (sankranti), tetapi menurut Saiva Dualis daya-daya tersebut berwujud (abhivyakti). Yang satu berpendapat bahwa daya-daya tersebut bukan milik dari pasu, sedang yag lain berpendapat bahwa daya-daya tersebut adalah milik Pasu,tetapi di selubungi (di kaburkan).
  3. Saiva Dualis mengakui siva sebagai pencipta berdasarkan penyimpulan, sehingga argumentasinya merupakan kosmologi. Ia berpendapat bahwa ketergantungan pada cara, seperti karma misalnya, tidak bertentangan dengan kebebasan si pencipta, karena kebebasan sseorang raja member hadiah tak terpengaruh walaupun ia melakukannya lewat harta benda. Kebebasan si pencipta terkandung dan tak membiarkannya untuk mendorongnya berbuat serta dalam penggunaan peralatan dan bukan menjadi bebas dari padanya. Namun Lakulisa Pasupata berpendapat bahwa Tuhan bebas dari karma pada kegiatan penciptaannya dan bahwa objek penciptaan terjadi dalam dirinya sebagai daya-dayanya. Karena itu, dia terbebas dari segala sesuatu secara abadi dalam kegiatan penciptaan (svatantra). Ia mewujudkan akibat atas kehendak-nya.

Lakulisa Pasupata tidak mengakui materi yang menjadi hakekat pikiran, menjadi sifat dari pemikiran, tetapi bukan pemikiran yang tetap di dalam diri apa yang sesungguhnya merupakan sifat dari pikiran (cit). Materi terjadi dalam kemampuan (sakti) dari Tuhan, yang tidak berbeda dari-nya dan merupakan aspek dari pada-nya seperti panas yang merupakan aspek dari api. Dengan demikian ia merupakan dvaitadvaita (BHEDABHEDAVADA); karena walaupun ia mengakui perbedaan pokok antara pikiran dan materi, antara yang pribadi dan yang semesta, namun ia berpendapat bahwamateri bukan berada di luar cit, atau Tuhan, tetapi di dalamnya, yang merupakan Saguna Brahmavada, ia mengakui bahwa para dewa dan makhluk-makhluk surgawi juga merupakan keberadaan yang berasal dari daya Rudra sebagai objek kegiatan penciptaan dan penghancuran-nya.

Komentar atau ulasan agama, mengenai Pasupata Sutra-nya Lakulisa oleh Kaundiya disebut Pancartha Bhasya, karena ia berkaitan dengan lima kategori utama dari sistem filsafat Lakulisa Pasupata,di mana dua kategori bersifat metafisika dan tiga kategori bersifat agamis, sehingga dalam sistem ini tak di kenal pencabangan antara filsafat dan agama. Kelima kategori tersebut adalah:
  1. Karana (pati),
  2. Karya (pasu),
  3. Yoga,
  4. Viddhi, dan
  5. Duhkhanta, atau Tuhan (penyebab), akibat penyatuan, ritual, dan pebebasan.
Tampak bahwa ketika filsafat Lakulisa Pasupata muncul, tak banyak pertentangannya dengan sistem Vedanda. Dalam Pasupata Sutra, perkataan Brahman di pergunakan sebagai objek perenungan dan kata Pati, Karana dan Brahman artinya sama; karena Sutra “Atredam Brahma Japet” di ulang-ulang lima kali pada permulaan pengenalan Brahman atau Pati pada dasar dari setiap mantra dari kelima mantra, “Sadyojatam” dsb.

Pati atau Brahman adalah sat (keberadaan), yang berbeda dengan Asat (bukan keberadaan). Sifatnya yang abadi berbeda dengan pembebasan, karena Lakulisa Pasupata berpendapat bahwa ke abadiaan ada dua jenis, yaitu: yang tidak memiliki awal dan akhir, serta yang memiliki awal tetapi tidak memiliki akhir. Dan jenis yang pertama merupakan milik dari penyebab atau pati dan jenis yang ke dua merupakan milik dari yang terbebaskan atau Moksa, karena ia memiliki awal tetapi tidak memiliki akhir. Pati merupakan penyebab tanpa sebab yang abadi, yang tanpa awal-nya berbeda dengan purusa, seperti yang di nyatakan oleh Samkhya dan yoga. Purusa merupaka subjek kelahiran dan kematian, tetapi Pati bebas dari ahl-hal semacam itu.

Uraian di atas tadi merupakan penafsiaran Kaundiya tentang kata “Sadyojatam”. Tetapi, menurut Sayana, kata ini hanya merupakan satu nama dari Siva yang menghadap ke barat, yang secara artistic di terima oleh pikiran ke agamaan sebagai lima muka (Pancavaktra).

Sadyojata ini harus di capai secara mental untuk pengecualian dari segala sesuatu lainnya dan si perenung harus mempersembahkan seluruh keberadaannya kepada-nya. Objek persembahan ini melampaui ciptaan,akibat, yang merupakan landasan di bawah kategori yang secara teknis di sebut Karya dan yang patut mendapat anugerah.

Pati meresapi diri pribadi melalui daya pengetahuan (jnana sakti) dan karena kehendaknya lah maka pribadi di hubungkan dengan kepribadian dan hubungan pribadi dengan badan, kegiatan dengan tanpa kegiatan dsb, bergantung kepada kehendaknya.

Pati bertanggung jawab terhadap perceraian serta penggabungan alam dunia, yang terdiri dari 14 macam keberadaan, objek-objek serta tempat kediamannya. Ia mengendalikan semua daya dan bertanggung jawab terhadap keterikatan yang timbul terhadap badan, indria, objek-objeknya serta rumah, dalam segala makhluk yang terbatas, kecuali para Siddha. Ia tidak di batasi oleh manas, yaitu semua yang berada di bawah Kala, seperti 13 indriya, 5 tanmatra, dan 5 unsur. Ia merupakan si pengendali, si pengarah dari semua akibat dan cara (Karya dan Karana dalam pengertian Samkhya).Oleh karena itu ia di katakan sebagai Sakala, hanya oleh pemindahan dari sifat; tetapi sesungguhnya ia melampaui dan mengatasi segalanya, sehingga di katakana sebagai Akala atau Amanas. Ia merupakan penyebab dari berbagai-bagai objek dari sifat yang berlawanan, oleh Karena itu ia di gambarkan menjadi berbagai-bagai wujud, baik yang menakutkan maupun yang penuh dengan kedamaian dan merupakan tempat bagi semua yang berada di bawah kategori “ Karya”, yaitu: Vidya, Kala dan Pasu.

Pati juga di nyatakan sebagai Mahadeva, penguasa para dewa dan kejenakaan merupakan sifat utama-nya. Ia lebih tinggi dan jauh lebih kuasa dari pada makhluk apapun. Ia berbeda dengan diri-diri pribadi dan ia menciptakan semua sifat dari akibat, yaitu Kala, Vidya, Pasu, karena kejenakaannya. Ia merupakan penyebab penciptaan, pemeliharaan dan penghancuran, pengaburan serta anugerah. Ia hanya satu-satunya walaupun secara berbeda di katakan sebagai Pati dan Adya, karena berbagai atribut dan fungsinya. Ia di sebut Pati, karena ia memiliki daya-daya pengetahuan dan kegiatan yang mengatasi segalanya (niratisaya drkkriyasaktimattvam), yang tanpa awal dan tanpa akhir.

Daya-dayan-nya terwujud dalam semua yang terbatas, yang tak terbatas atau terbatas pada satu aspek dan tak terbatas pada aspek lainnya, baik yang indah maupun yang buruk. Ia merupakan dewa Rudra,lautan matahari, ether, sang diri,Brahman dan tak satupun yang dapat di pandang sebagai berbeda dengan-nya (na sakyam bhedadarsanam). Tuhan di katakan sebagai tanpa awal dan tanpa penyebab yang menyebabkan, yang pada pokoknya merupakan sifat ( hakekat ) dari “keberadaan”, dalam bab pertama sutra 58,40,44. Ia juga di katakana sebagai banyak, karena keberadaannya yang memiliki banyak atribut dan melakukan fungsi yang bermacam-macam seperti yang di nyatakan dalam bab 2, sutra 1,4,5,20,23, sampai 27. Ia juga di akui memiliki sifat-sifat yang berlawanan seperti Ghora,Aghora dan Ghoratara.

Karena itu timbul suatu pertanyaan:
Apakah menurut sistem ini Realitas terakhir merupakan kejamakan”?
jawabannya adalah Tuhan itu satu dengan wujud yang banyak, yaitu realitas terakhir itu merupakan kesatuan dalam kejamakan (tatpurusa). Ia di katakan rsi karena ia mengendalikan semua yang merupakan sifat dari akibat (karya). Ia di sebut dengan Vipra, karena ia maha tau. Daya pengetahuannya berlanjut mengatasi segenap medan pengetahuan. Ia merupakan yang agung ( mahan ) karena daya-daya pengetahuan dan kegiatannya alamiah dan tak terjangkau serta jauh melampaui yang di miliki keberadaan lainnya, yang merupakan miliknya sebagai sifat-sifatnya. Dalam kenyataannya Ia di sebut Isvara, karena sifat-sifat ini berada di dalamnya (aisvaryam tad gunasadbhavah). Ia mengatasi sesuatu yang dapat di amati dan lebih tinggi dari purusa. Ialah yang menjadi sasaran meditasi yang berasal dari perkataan dan Manas. Ia adalah Niaskala, namun berbeda dengan Pralayakala. Walaupun Niskala, ia memiliki sifat mahatau dan maha kuasa.

Ia adalah penguasa segala ajaran yang membawa pada pencapaian empat tujuan umat manusia yang di kenal. Ia merupakan penguasa semua makhluk hidup kecuali para Siddha dan Isvara. Ia di sebut Brahman karena ia bertanggung jawab terhadap pengkasaran dari Vidya, Kala dan Bhuta, namun ia tetap mengatasinya. Ia adalah penguasa dari brahma, makhluk pertama yang berbeda dengan semua subjek yang terbatas yang di katakan sebagai Virinci. Ia di sebut Siva karena ia bebas dari segala kemalangan dan dengan demikian menyatakan pengalaman bebas akhir yang abadi (nitya).

Konsepsi tentang akibat atau Karya, menurut Lakulisa Pasupata, sangat berbeda dengan sistem filsafat lainnya. Ia bukanlah Vikrti, sebagai lawan dari Prakrti menurut sistem Samkhya, karena di dalamnya bukan saja “vikrti” tetapi juga purusa atau subjek, yang bukan prakrti ( penyebab ) maupun vikrti (perubahan). Selanjutnya, ia tidak mengakui teori evolusi bahwa mahan berasal dari prakrti dsb, sebaliknya ia berpendapat bahwa segala sesuatunya ada dalam sakti (daya) Tuhan dan penciptaan tidak lebih dari pengkasaran dari apa yang ada dan penyelenggaraan dari apa yang terpisah adanya menjadi keseluruhan ini, sesuai dengan kehendak-nya.

Akibat juga bukanlah hanya sifat dari “pemikiran” dalam pikiran universal, seperti pandangan dari Monistik Kasmir, karena Lakulisa Pasupata menemukan perbedaan antara yang berjiwa dengan yang tak berjiwa (cit dan acit) walaupun mereka ada dalam daya Tuhan. Akibajuga bukan hanya hayalan seperti yang di kemukakan oleh para Vedantin, karena lakulisa pasupata bukanlah monistik, tetapi Dualisme yang monistik. Ia mengakui bahwa realitas bukanlah kesatuan yang murni tetapi kesatuan dalam kejamakan, sehingga menurutnya kejamakan ada dalam kesatuan seperti yang di lakukan binatang-binatang di surga. Akibat juga bukannya tak terjadi sebelum sesuatunya terjadi seperti asatkaryavadin-nya Nyaya dan Vaisesika, karena akibat sebagai sebuah kategori menurut Pasupata Lakulisa, adalah abadi.

Tampak bahwa Lakulisa Pasupata di pengaruhi dalam konsepsi tentang kategori utam yang kedua, yaitu akibat , oleh konssepsinya tentang kategori utama yang pertama yaitu pati, yang kemungkinan hanya pada suatu tahapan berikutnya dalam pengembangan sistem, yang di sebut penyebab (Karana) karena Pati hanya kata yang di pergunakan sebagai kategori pertama dalam pasupata Sutra, pada sutra pertama; demikian pula kata “Pasu” di pergunakan untuk kategori kedua yang tampaknya menjadi apa yang di kendalikan oleh Tuhan ( pasanat pasuh).Dan kemudian dua yang pertama, yang hanya merupakan kategori metafisika d beri nama yang lebih bersifat filsafat yaitu penyebab (karana) dan akibat (karya). Kata karya sebagai nama dari kategori yang ke dua dalam filsafat ini,bukan berarti “ yang di akibatkan atau hasil yang belu ada sebelum di hasilkan”; tetapi yang merupakan objek dari kehendak Tuhan yang bebas yaitu yang tidak bebas (asvantantra) sebagai lawan dari Tuhan (PATI) yang bebas, karena sistem ini menyatakan bahwa “pati” (penguasa) tak berarti tanpa pasu. Akhirnya sistem ini menyertakan 3 kategori yang tidak bebas, yaitu Vidya (subjek yang terbatas), Kala (materi), dan pasu (subjek pribadi).

Vidya merupakan yang pertama dari 3 kategori akibat (karya) yang bergantung (tidak bebas) dn merupakan atribut dari subjek pribadi.Hal ini merupakan dasar dari Lakulisa Pasupata tentang teori pengetahuan dan etika. Ia merupakan daya perasa, yang sebagai atribut subjek yang terbatas, membedakannya dari Kala yang tak berjiwa, yaitu materi, sebagai kategori kedua yang bergantung pada akibat (karya). Sebagai dasar teori pengetahuan, ia bersinar sendiri dan mencerahi apa yang berada di luarnya, yaitu objek seperti sebuah lampu. Ia memperlihatkan makna yang tersembunyi dari naskah-naskah suci dan membawa pada pengetahuan tentang sifat-sifat pokokdari ketidakmurnian (mala), cara (upaya) untuk mendapatkan pelepasan darinya dan perolehan (laba) akibat mengenai kebebasan dari ketidakmurnian tersebut. Hal itu merupakan sinarpengajaran yang di wujudkan oleh Tuhan dan menuntun pada pencapaian empat tujuan umat manusia, yang di kenal sebagai Dharma, Artha, Kama, dan Moksa. Menurut Lakulisa Pasupata, hal ini merupakan perolehan pertama sebagai akibat dari disiplin kehidupan, dan hal semacam itu di sebut dengan pengetahuan (jnana), yaitu pengetahuan yang benar sebagai lawan dari pengetahuan yang salah (mithyajnana) yang di sebabkan oleh cara pengetahuan yang salah (pramanabhasajam jnanam) termasuk keragu-raguan, kesalahan, keterikatan, keengganan kemarahan bersama-sama dengan akar penyebabnya. Jadi kata “Vidya”, dalam konteks yang berbeda menyatakan :
  1. atribut dari subjek pribadi;
  2. pengetahuan yang di dapat melaluinya, dan
  3. adat istiadat lama yang di wujudkan oleh Tuhan, Karena itu merupakan objek pengetahuan.
Vidya, sebagai sebuah kategori yang bergantung, di gambarkan dalam hubungannya dengan subjek pribadi, sebagai kondisi terbatasnya, yaitu atribut atau sifat. Pembagian di bawahnya menghadirkan atribut ini karena ia tampak dan berfungsi dalam situasi yang berbeda, dimana pribadi menemukan dirinya. Dalam suatu situasi ke agamaan, di mana seorang penyembah mendengarkan dengan penuh perhatian kepada suatu pelajaran mengenai reliatas terakhir, yaitu Vidya, tampak hanya sebagai kesadarn tentang realitas terakhir tersebut, seperti yang di nyatakan oleh guru. Terhadap kesadaran semacam itu, caranya hanya dengan perintah-perintah spiritual (upadesa) dan hal ini di sebut “Vivekavrtti”.

Madhava dalam Sarva Darsana Samgraha-nya mempergunakan istilah “Pravrtti” sebagai pengganti “vrtti” seperti yang di jumpai dalam ulasan pada Gana Karika, oleh penyusun yang tak di kenal.Kata Pravrtti biasanya berarti gerakan, tetapi vrtti biasanya berarti keadaan pikiran yang terpengaruhi, yang artinya bahwa keadaan pikiran dimana pengaruh objek luar tampak,yang kebanyakan seperti pantulan objek pada sebuah cermin.
Karena itu timbul pertanyaan:
"apa arti dari “pravrtti” dalam konteks yang sekarang ini"?
Tampaknya Pravrtti menyatakan keadaan pikiran yang terpengaruh dan juga kegiatan pengamatan dari pikiran.

Apabila Vidya mencerahi suatu objek, ia di sebut “Bhodasvabhaa” yang bersifat mencerahi (menjelaskan); tetapi apabila ia tidak mencerahi suatu objek tetapi hanya merupakan pencerahan diri, ia di sebut “Abodhasvabhava”, yang tak bersifat mencerahi, yang merupakan bagian (kelompok) akibat dari perbuatan yang di lakukan, baik yang bijak maupun yang berdosa, pada aspek pusat dari kepribadian umat manusia dan akibat ini di sebut sebagai Dharma dan Adharma. Vidya semacam itu merupakan dasar etika dari Lakulisa Pasupata.
Pembagian menurun ketiga dari VidyaAbodhasvabhava, adalah Samskara, yang merupakan akibat, bukan dari perbuatan yang di lakukan tetapi dari objek yang di ketahui. Hal ini berkaitan bukan pada teori etika tetapi pada teori pengetahuan; yang bertanggung jawab atas ingatan, semua factor yang sangat penting dalam pemunculan dari pengetahuan yang pasti; karena penentuan pengetahuan terkadang dalam hubungan objek, yang di ketahui dengan suatu kata, yaitu ingatan.

Sekarang coba kita perhatikan pembagian lain di bawah Vidya yang bersifat mencerahi (bodhasvabhava), yang selanjutnya di bagi menjadi Vivekavrtti atau Vivekapravrtti dan Sadharanavrtti atau Avivekapravrtti perlu di tekankan di sini bahwa tedapat perbedaan pandangan antara pengulas pada Gana Karika dan Madhava tentang masalah ini; karena sementara yang pertama menyebutnya sebagai Samayavrtti” yang belakangan menamakannya sebagai “Avivekapravrtti”. Kita telah sependapat dengan Vivekavrtti, yaitu suatu keadaan terpengaruh dari pengamatan, di mana realitas terakhir tampak dalam kesadaran dari seorang pemuja dalam mendengarkan ajaran tersebut dengan penuh perhatian.Samanyavrtti atau Avivekapravrtti merupakan dasar dari teori pengetahuan empiris dari Lakulisa Pasupata seperti yang di nyatakan di depan.

Lakulisa Pasupata menjelaskan tentang persepsi dalam istilah Citta,tetapi citta disini bukanlah salah satu dari indra dalam (antahkarana), seperti yang dikenal oleh para Vedantin. Ia merupakan kegiatan pencerahan diri dan mencerahi pengamatan (Vidya bhodha svabhava samanyavrtti), yang merupakan suatu atribut dari subjek pribadi. Kegiatan ini terkandung dalam gerakan dari sinar, yang berlangsung dari aspek penyinaran (bodhassvabhava) dari pengamatan vidya. Ia mencerahi objek pengetahuan seperti sinar dari sebuah lampu.
Akibatnya, indra-indra dalam dan luar bekerja da suatu kecendrungan pengamatan oleh objek mengikutinya. Inilah yang di sebut dengan persepsi yang terdiri atas dua jenis yaitu yang pasti dan yang tidak pasti. Apabila ingatan, yang tiada lain adalah penghidupan kembali bekas-bekas jejak (samskara), bekerja sama dalam mempertunjukkan pada kesadaran kata yang membantu objek yang di ketahui sebagai kaitan terhadap kecenderungan, maka persepsi itu adalah pasti. Tetapi apabila ingatan tidak bekerja sama , persepsi itu adalah tidak pasti. Dalam kasus yang pertama kita memiliki pengetahuan yang pasti dan pada kasus yang kedua kita memiliki pengetahuan yang tidak pasti.

Lakulisa Pasupata mengakui 3 cara pengetahuan, yaitu:
  1. Persepsi,
  2. Penyimpulan,
  3. Pengujian verbal. 
Ia berpendapat bahwa semua cara yang lain, yang di akui oleh sistem filsafat lainnya, seperti Arthapatti,Sambhava, Abhava,Aitihya dan Pratibha termasuk di dalamnya.

Persepsi ada 2 jenis, yaitu:
  1. persepsi indriyani (indriya praktyaksa), dan
  2. persepsi spiritual (atma praktyaksa). 
Persepsi indriyani yang sah di sebabkan oleh kontak indra dengan objek, yang tergantungpada perangkat penyebab pencerahan dan kerjasama dari faedah dan tidaknya, sinar, waktu, tempat dan kehendak-nya. Persepsi spiritual di sebabkan oleh kontak dari citta dan indra dalam (antahkarana).

Penyimpulan di sebabkan oleh kontak citta dan indra dalam (antahkarana), yang penyebab utamanya adalah ingatan yang muncul karena faedah, kekurangan,waktu, tempat dan kehendaknya. Penyimpulan ini ada 2 jenis, yaitu yang berkaitan dengan apa yang di terima sebelumnya dalam bentuk khusus (drsta) dan apa yang di terima sebelumnya dalam bentuk umum (samanyatodrsta). Yang pertama selanjutnya terbagi menjadi: Purvavat dan Sesavat.

Hal ini sangat mirip dengan pandangan penyimpulan dari Samkhya, yang menyebut pembagian utamanya sebagai vita dan avita. Dan kemiripannya dengan Nyaya pada masalah ini adalah sama antara Samkhya dan Nyaya, karena Nyaya secara pokok membagi penyimpulan menjadi 3.

Agama sebagai pembuktian verbal sebagai suatu cara pengetahuan, adalah naskah-naskah suci yang berasal dari Tuhan yang sampai kepada para pengikut agama atau para filsuf melalui garis perguruan yang tak terputus.
Kala, yang merupakan kategori kedua dari akibat yang bergantung, sifatnya adalah jada, yang kebanyakan mirip dengan pradhana dari sistem Samkhya, yang sedemikian jauh terdiri dari 23 kategori, yang menyusun kondisi dari subjek pribadi dan tergantung pada pengendalian dari yang merasakan seperti kereta dengan kuda-kudanya di bawah pengendalian kusirnya.

Subjek yang dapat merasakan, yaitupasu merupakan kategori ketiga dari akibat (karya) yang tidak bebas dan di kelompokkan di bawah akibat karena ia juga merupakan buatan Tuhan. Setiap makhluk hidup bernyawa kecuali para Siddha dan Isvara adalah Pasu, yang di sebut demikian karena ia berada dalam ikatan dan tidak bebas (svatantra); karena daya untuk menyebabkan, yang menjadi miliknya terbatas (karanasakti sannirodha). Belenggunya tanpa awal dan ia memiliki keterbatasan, yang tersusun oleh Kala dan 23 kategori seperti pada sistem Samkhya.

Suatu mahkluk yang terbatas( pasu) tak berhenti di batasi walaupun pembatasan dari kala lenyap; karena pemisahan dari diri terbatas dari badan menggantikan pada saat penghancuran dunia ini. Tetapi mahkluk yang terbatas yang memperoleh pemisahan dengan badannya, akan lahir kembali. (Di sini merupakan asal mula konsepsi tentang pralayaka, seperti yang di jumpai dalam monistik kasmir) Ia di sebut patu karena walaupun pada dasarnya ia meresapi dan meraskan, namun ia masih mempersamakan dirinya dengan badan (ini merupakan dasar konsepsi tentang Dehapramata dari Saiva Monistik Kasmir). Ia di sebut pasu juga karena setelah ia terpisah dengan badan dalam peleburan universal, ia tidak bebas mengenakan suatu badan baru, karena hal itu tergantung pada habis tidaknya pahala dan ganjaran, waktu dan ruang serta kehendak Tuhan.

Menurut Lakulisa Pasupata, sang diri atau Atman adalah yang menegetahui badan, termasuk indra-indra dalam dan luar , yang di kenal juga sebagai Ksetrajna dan merupakan kesadaran diri (cetana). Ia di sebut demikian karena ia secaraterus menerus aktif, mengetahui objek-objek dengan mencerahinya dengan sinarnya sendiri;yang di simpulkan dari pengalaman tentang kesenangan, kesedihan, keinginan, keengganan, dan usaha yang sadar. Hal ini sesuai dengan yang di nyatakan oleh Nyaya, yaitu: “iccha dvesa prayatna sukha dukha jnanani atmano lingam”.

Pasu berbeda dengan Pati walaupun keduanya meresapi segalanya,tetapi pengetahuan dri yang pertama terbatas, sedang yang ke dua (pati) mahatau. Perbedaan ini hanya ada apabila pasu ada dalam tingkatan empiris. Tetapi apabila ia mendapatkan tingkatan spiritual yang lebih tinggi, ia memperoleh penggabungan dengan daya pengetahuan dan kegiatan, serta menjadi mahatau serta mampu untuk menciptakan serta menghancurkan sesuatu atas kemauannya sendiri.
Lakulisa Pasupata mengakui 5 ketidak murnian (mala), yaitu
  1. pengetahuan yang salah,
  2. adharma (tidak benar),
  3. keteikatan dan penyebabnya,
  4. kemerosotan pikiran,
  5. kepribadian subjektif. 
Konsepsi dari 5 ketidak murnian ini berbeda sedikit dengan yang di pakai oleh Saiva Dualis. Uraian dari masing-masing Mala tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Pengetahuan yang salah (mithyajnana), adalah pengetahuan yang di sebabkan oleh cara pengetahuan yang cacat, seperti kebimbangan, kesalahan dsb. Juga semua sifat kecemaran terhadap pikiran, seperti mencintai objek-objek duniawi, kemarahan, ketamakan, kesombongan dan permusuhan.
  2. Adharma merupakan timbunan akibat dari perbuatan yang berdosa pada subjek pribadi.
  3. Penyebab keterikatan bersama-sama dengan keterikatan terhadap objek duniawi (saktihetu) merupakan kecenderungan, karena hal itu menyebabkan subjek pribadi mempersamakan dirinya dengan badan, udara vital dan kecerdasan serta merasakan terikat pada objek-objek yang di senanginya. Hal ini di sebabkan I oleh timbunan akibat dari pelaksanaan ritual yang di uraikan oleh sistem lain.
  4. Kemerosotan (cyuti) adalah yang menyebabkan pikiran penyembah menjauh dari objek pemujaan dan cenderung menuju objek-objek empiris, walaupun tak terjamah olehnya.
  5. Kepribadian subjektif adalah ketidak murnian yang menyebabkan pasu (subjek pribadi) berlawanan dengan pati (Tuhan).
Ia memiliki 14 ciri yang membedakan Pasu dari seorang siddha(roh terbatas, yaitu:
  1. Absennya sifatnya ke mahatahuan dan
  2. kemahakuasaannya. Ini yang membedakan konsepsi Lakulisa Pasupata dengan Samkhya karena Samkhya berpendapat bahwa sang diri terbebas segera setelah ia memperoleh pembebasan dari Prakrti dan 23 evolusinya. Ini di sebut “Pemisahan” atau Kaivalya dan di peroleh melalui merekahnya fajar pengetahuan tentang perbedaan antara Purusa Prakrti. Tetapi Lakulisa Pasupata menyatakan bahwa pencapaian Kaivalya bukian berarti pembebasan, karena ketidak murnian yang disebut Pasutva, yang di cirikan dengan absennya ke mahatahuan dan kemahakuasaan masih tetap ada, sehingga roh yang mencapai Kaivalya saja, akan lahir kembali dan tak ada kemerdekaan yag sebenarnya selama tak ada penyatuan (sayujya) dengan Tuhan, yang di cirikan dengan lolosnya daya-daya Tuhan seperti mahatau dan mahakuasa, ke dalam pasu.
  3. Absennya daya kehendak,
  4. berkaitan dengan cara pengetahuan terbatas;
  5. Absennya kemampuan untuk mengetahui dan melakukan semuanya, walaupun tanpa suatu kaitan dengan “cara” dan “akibat”;
  6. Absennya kemampuan untuk mengendalikan semuanya;
  7. Absennya kemampuan untuk memasuki segalanya;
  8. Absennya kemampuan untuk memisahkan badan dari prinsip kehidupan;
  9. Penaklukkan akan katakutan;
  10. terhadap kemerosotan;
  11. terhadap usia tua;
  12. terhadap keberadaan yang berpindah-pindah;
  13. gerak yang terbatas;
  14. Absennya daya untuk menguasai.
Konsepsi tentang 5 ketidak murnian yang di bicarakan di depan, tampaknya telah membawa Lakulisa Pasupata untuk berpikir dalam pandangan “petads” (pancaka), yaitu hal-hal yang mengandung 5 masalah atau 5 bagian. Ada 8 pancaka, termasuk yang pertama tadi yang mengandung 5 ketidak murnian,sedang sisanya sebanyak 7 pancaka, adalah sebagai berikut:
  • Lima cara untuk membebaskan diri dari 5 ketidak murnian, yaitu:
    1. Basa, yang merupakan kemampuan intelektual untuk meraih dan mempersamakan makna sebenarnya dari bacaan-bacaan yang di berikan oleh guru (basa)
    2. Carya, yang merupakan cara pencapaian pahala keagamaan, yaitu Dharma menurut sistem ini, termasuk ragam kehidupan dan pemujaan. Hal ini tercantum dalam pasupata Sutra, dari sutra ke-2 bab I sampai sutra ke-8 bab IV. Dapat di kemukakan di sini bahwa Carya sebagai cara perolehan pahala ke agamaan sering di artikan secara lebih luas, termasuk cara penyatuan dengan Tuhan seperti japa-dhyana (termasuk pratyahara dharana dan semadhi). Snana= mandi dalam abu; Sayana= tidur dalam abu; Upahara=identifikasi melalui kegiatan di pura; Japa= konsentrasi mental; Pratyaharaphala= konsentrasi sukarela;Samadhiphala=Konsentrasi dengan tidak sadar, yang merupakan tahapan terakhir (kelima) di mana konsentrasi di tujukan kepada Isana; sedang Japa, konsentrasi pada Sadyojata (tahap pertama) dan pradaksina merupakan tahapan kedua, yaitu kosentrasi pada vamadeva; Japapurvaka merupakan tahap ketiga yang di tujukan pada Aghora dan Dharanapurvaka merupakan tahap keempat yang di tujukan pada Tatpurusa. Dhyana sendiri merupakan konsentrasi yang terus menerus; Apara dengan pertalian objektif dalam Para, tanpa pertalian dengan objektif dalam.
    3. Japa-dhyana yang di dalam tabel berhubungan dengan carya dan bedanya hanya pada di siplin fisik pada carya dan disiplin mental pada japa-dhyana. Japa harus di sertai dengan penarikan pikiran dari objek-objek luar (pratyahara), dan hal itu mungkin di sebabkan oleh usaha tanpa sengaja dari indra dalam ( a tat karana purvakah), dan yang demikian itu disebut Apara (yang lebh rendah). Tetapi apabila pikiran secara otomatis tertarik dan secara tak terputus-putus di hubungkan dengan objek meditasi, akibat dari konsentrasi yang terus-menerus, yaitu ketika tak ada jarak dalam kegiatan mental dalam kaitannya dengan suatu objek luar, sepertinya tak ada sesuatupun dalam lingkaran sinar, ketika suatu api unggun di gerakkan melingkar dengan sangat cepat (alatacakravat), maka Pratyahara lebih tinggi (para). Konsentrasi yang lebih tinggi menghancurkan timbunan akibat dari karma dan menyatukan pikiran pada objek meditasi, seperti sebatang paku pada kayu. Dhyana merupakan aliran kegiatan mental yang terus menerus terhadap objekkonsentrasi, yang jenisnya ada 2 yaitu:Japapurvaka dan Dharanapurvaka.
    4. Sadarudrasmrti, yaitu cara pokok untuk menyatukan pikiran pada objek meditasi dan menjaga pikiran dari menjauhi objek meditasi.
    5. Prasada (anugerah), yang merupakan cara untuk membebaskan dari ketidak murnian, yang secara teknis di sebut “pasutva”.
  • Desa, yang merupakan pancake yang ke dua. Tempat (desa), di mana seseorang berusaha untuk mencapai pembebasan akhir, hendaknya hidup dalam 5 tahapan, pada 5 tempat yaitu:
    1. kuil (pura)
    2. Tempat, dimana para pemuja berkumpul;
    3. Gua;
    4. Tempat pembakaran mayat, dan
    5. Rudra.

  • Avastha, yang merupakan Pancaka ketiga, yaitu keadaan yang juga berjumlah 5 yaitu:
    1. Vyakta, yang merupakan keadaan di mana para calon spiritual di perintahkan untuk memiliki semua tanda yang menunjukkan seorang pengikut Pasupata, menuju pembebasan akhir.
    2. Avyakta, yaitu keadaan di mana tanda-tanda luar di buang.
    3. Jaya yaitu keadaan di mana para calon spiritual telah dapat mengendalikan indra-indranya (indriyajaya).
    4. Cheda yaitu keadaan penolakan penuh terhadap duniawi yang juga di sebut Dana, karena berarti pelepasan semua hak milik(sarvasvatyaga)
    5. Nistha merupakan penghentian kegiatan secara total.

  • Suddhi yang merupakan pancake ke empat yang terdiri dari 5 macam cara pemurnian (suddhi) yaitu:
    1. Melenyapkan ketidaktahuan,
    2. Dari adharma,
    3. Dari keterikatan,
    4. Dari perginya pikiran dari objek konsentrasi dan
    5. Dari ketidakmurnian yang di sebut dengan Pasutva.

  • Bala, yang merupakan pancake kelima, yaitu daya dari subjek pribadi yaitu:
    1. bhakti kepada guru,
    2. membebaskan pikiran dari nafsu yang mengganggu,
    3. penenangan pikiran di tengah-tengan penderitaan dan kesakitan segala bentuk,
    4. pahala keagamaan,
    5. pengetahuan yang sebenarnya.

  • Diksakari, yang merupakan pancake ke enam yaitu suatu cara inisiasi spiritual yaitu:
    1. Materi (dravya), yang artinya vidya atau ajaran yang di miliki para murid dan guru;Kusa dsb.Dan murid brahmana yang akan di inisiasi (di lantik).
    2. Waktu (kala), yang diuraikan dalam kitab suci untuk pelantikan
    3. Upacara seperti yang di uraikan dalam Samskara Karika
    4. Gambaran Devata dan
    5. Guru.
  • Labha, yang merupakan pancake ke tujuh, yaitu pencapaian (labha) yang di peroleh melalui inisiasi (diksa) yang jumlahnya 5 macam yaitu:
    1. penguasaan terhadap sistem filsafat Lakulisa Pasupata (jnana),
    2. Pahala keagamaan yang berasal dari pelaksanaan upacara sehari-hari (tapas),
    3. Kemampuan untuk berkonsentrasi terhadap objek meditasi, tanpa selang-seling (nityatva),
    4. pemusatan pikiran pada rudra, karena lenyapnya factor pengganggu (shtiti), 
    5. Daya pembebasan (siddhi) yang karenanya seseorang disebut dengan “siddhat”
Sistem filsafat Pasupata pada awalnya di kaitkan dengan pernyataan disiplin spiritual yang secara perlahan-lahan menuntun pada penyatuan dengan Tuhan; tetapi dalam membujuk para siswa untuk mengalami disiplin, daya seorang siddha, manusia yang telah mencapai penyatuan di nyatakan.

Seorang siddha memperoleh daya pengetahuan dan kegiatan di mana daya pengetahuan itu sesungguhnya satu tetapi disebut dengan nama-nama yang berbeda seperti daya melihat objek yang sangat jauh (duradarsana), karena kaitannya dengan jenis objek yang berbeda-beda.

Daya kegiatan terkandung di dalam kecepatan pikiran di dalam menghasilkan kegiatan, sehingga tak ada jurang pemisah antara gagasan dengan hasil dari gagasan tersebut,seperti pada kakus Prajapati yang di katakan melakuka tapah setelah munculnya gagasan untuk memproduksi, sebelum mereka benar-benar dapat menghasilkan. Ia menghasilkan semua wujud seketika, sehingga ia dapat berfikir pada semua mahkluk yang berjiwa, yang dapat berfikir. Ia adalah satu dan tak berbeda dengan Mahesvara, karea ia meresapi segalanya, ini merupakan satu pemahaman dari “Rudrasayujya”.

Pada semua kasus terdapat suatu kesadaran tentang trika (tiga serangkai) yang jelas antara subjek, objek dan cara. Pemikiran oleh Nagarjuna tampaknya menjadi salah dalam Madhyamika Karika-nya.

Ia juga mampu menghilangkan semua yang di ciptakannya. Ia bukan seperti Visvamitra yang dapat menciptakan tetapi tak dapat menghancurkannya. Peleburan berlangsung hanya dengan pemunculan di atas tingkatan cara (vikarana), yaitu peleburan ciptaan tiada lain adalah peleburan gagasan penciptaan, yang bersamaan waktunya dengan pemunculan pada tingkatan kesadaran murni (kaivalya).

Seorang Yogin adalah siddha, apabila ia memperoleh kemampuan untuk melihat yang tersamar dsb, dan orang semacam itu tak terpengaruh oleh karma yang di lakukan sebagai akibat hubungannya dengan badan, indra dan objek-objeknya.

Perkataan “yoga” dalam sistem filsafat ini di pergunakan bukan dalam pengertiann yang di pergunakan oleh Patanjali dalam yoga sutra-nya yaitu, Mengekang munculnya keterikatan mental” (yogascittavrtti nirodhah), tetapi dalam pengertian: ‘Penyatuan dengan Tuan’. Jadi menurut patanjali, yoga semata-mata hanya cara untuk mencapai Kaivalya, namun menurut sistem ini yoga adalah akhir atau tujuan.

Yoga, yaitu penyatuan dengan siva atau isvara, bukan di sebabkan oleh kegiatan dari subjek yang terbatas saja, seperti kontak antara seekor burung dengan sebongkah karang, tetapi di sebabkan oleh kegiatan dari keduanya, yaitu sang diriyang terbatas dan Isvara, seperti dua ekor kambing yang berkelahi, yang berarti bahwa bagaimanapun kerasnya seorang pribadi mencoba untuk mencapai penyatuan tidak akan dapat di capai tanpa anugerah-nya.

Roh pribadi di akui oleh Lakulisa Pasupata seperti Nyaya dan Vaisesika,yaitu meresapi segalanya (vibhu). Oleh karena itu, dalam kenyataannya, sang roh senantiasa dalam penyatuan dengan Isvara, keterpisahannya terkandung dalam ketidak beroperasinya daya pengetahuan dan kegiatan, akibat dari belenggu yang tak berawal. Penyatuan membutuhkan kebebasan dari belenggu, yaitu pembatasankondisi yang memisahkan sang pribadi Tuhan dan hal itu dapat di capai melalui disiplin spiritual, termasuk Samadhi seperti yang di nyatakan oleh Pasupata sastra.

Lakuisa pasupata mengakui 8 cara penyatuan dengan Tuhan, yang di kenal sebagai 8 bagian dari yoga (astangga yoga) yaitu:
  1. Melakukan tugas wajib sehari-hari (yama),
  2. Menghindari perbuatan yang di larang (niyama), 
  3. Sikap badan (asana),
  4. Pengendalian nafas (Pranayama), 
  5. Penarikan pikiran dari objek luar (pratyahara), 
  6. Konsentrasi pikiran (dharana),
  7. Meditasi (dhyana), dan
  8. Samadhi.
Sistem ini mengakui daya supra normal dari seorang yogi dan menyatakan bahwa dalam waktu 6 bulan, akan muncul daya penglihatan jauh dalam diri seorang yogin yang berdiam dalam sebuah gua dan telah memusatkan pikirannya secara mantap kepada Tuhan.

Menurut Lakulisa Pasupata, yoga pada awalnya ada 2 macam, yaitu:
  1. Kriyalaksana, yang di cirikan dengan kegiatan fisik dan lakulisa pasupata mengakui kegiatan dari 4 macam, tari-tarian dan music vocal, sebagai cara menuju penyatuan spiritual dengan Tuhan. Ia juga mengakui bahwa terdapat 5 tahapan penyatuan, yang sama dengan 5 tahapan kegiatan dalam sebuah drama. Tahap pertama dari yoga di mulai, dimana dari calon spiritual harus melakukan kehidupan pertapa, mandi dalam abu suci, tidur di abu, menaruh rangkaian bunga yang di persembahkan kepada para devata di kuil; mengenakan tanda-tanda luar dari seorang penganut sekta Lakulisa Pasupata; hanya mengenakan satu potong pakaian; berdiam di sekeliling kuil siva, berpantang, melakukan kekerasan dalam pikiran, perkataan dan perbuatan; membujang, melaksanakan kebenaran, tidak mencuri dsb. Jadi apabila para calon spiritual mendapat pembebasan dari segala nafsu, ia harus melaksanakan pengendalian nafas (pranayama) dan mengkonsetrasikan pikirannya pada makna dari mantra pertama dari kelima mantra dalam Taittriya Aranyaka, seperti “Sadyojjatam prapadyami” dsb, duduk di sebelah selatan dari para devata dalam kuil.Pada akhir perenungan, ia harus berusaha untuk bergabung, berserah diri atupun mempersamakan dirinya dengan Tuhan melalui gerak-gerak Siva, mengenai ketawanya yang keras (attahasa), atau melalui lembunya, tentang menguaknya (dundukara). Ia juga harus berusaha untuk berbuat yang sama dengan cara menari dan olah suara.
  2. Apabila pengetahuan yang sebenarnya muncul pada dirinya, sebagai hasil dari disiplin pada tahapan pertama dan ia bebas sepenuhnya dari nafsu, ia harus masuk ke dalam tahap ke dua untuk menguji bahwa ia tidak memiliki bekas-bekas nafsu yang tertinggal dalam dirinya. Pada tahapan ini, di dalam masyarakat, ia harus melakukan tidur lelap (krathana), gemeteran (spandana), gerakan perlahan-lahan dan tidak teratur seperti orang yang kakinya pincang (mandana) berbuat seperti seorang pecinta saat memandang gadis cantik (srngarana); melakukan sesuatu yang tercela, seperti orang yang tidak memperdulikan perbuatan benar dan salah (apitatkarana) dan berbicara tidak karuan ujung pangkalnya (apitanhasana). Semuanya ini harus dilakukannya agar ia dapat menjadi objek celaan dan kebencian dan memastikan dirinya bahwa tak ada nafsu yang muncul dalam dirinya, dalam berhadapan dengan hinaan dan ketidak adilan.
    Lakulisa dalam Pasupata Sutra-nya, mencatat suatu tradisi yang mengatakan bahwa indra mengikuti cara Pasupata dalam mencari timbunan pahala dari para setan (indro va agre asuresu pasupatamacarat). Hal ini menyusun tahapan kedua di mana para calon spiritual harus mengkonsentrasikan pikirannya pada mantra kedua dari lima mantra “Vamadevaya namah”. Pada tahapan ini si calon spiritual mencapai tingkatan spiritual yang lebih tinggi dari pada mereka yang mengikuti sistem Samkhya dan Yoga. Disini pikiran si calon spiritual mendapatkan penggabungan dengan Tuhan (Yoga), yang secara teknis di sebut Samipiya (kedekatan dengan Tuhan). Hal ini tampaknya telah memberikan gambaran tentang konsep samipiya Moksa.
    Jadi penyatuan yang di cirikan dengan kegiatan, merupakan jenis pertama dari penyatuan yang secara teknis di sebut Kriyalaksana Yoga,

  3. Kriyoparamalaksana, yang merupakan penyatuan (yoga) jenis yang kedua, yang tidak memerlukan kegiatan fisik seperti di atas dan yang di perlukan tiada lain dari konsentrasi mental dan tiga tahapan Yoga yang tersisa, merupakan cara pelaksanaan dari yoga ini, yaitu melalui dharana, dhyana, semadhi.
  4. Tahapan terakhir merupakan peresapan ke dalam Tuhan, di mana daya tuhan lolos kedalam pribadi, yang di peroleh melalui Samadhi pada Tuhan seperti yang di nyatakan dalam mantra kelima yaitu: :isanah sarvavidyanam”, yang secara teknis di sebut “sayujya”. Sang pribadi menjadi Siva selamanya. Gagasan ini tampaknya telah menjadi dasar dari kategori Sadasivadalam Saiva Monistik Kasmir.
    Viddhi, merupakan katagori awal yang ke empat dari sistem filsafat ini; termasuk kehidupan pertapaan, upacara bhakti dan pengendalian indra-indra. Lakulisa lebih banyak menekankan pada penakklukan indra-indra guna pemahaman spiritual dan penyatuan dengan Tuhan atau Mahesvara. Ia berpendapat bahwa pengetahuan intelektual semata tentang perbedaan antara prakrti dan purusa tidak cukup bagi pencapaian Kaivalya dan bahwa disiplin yang di uraikan dalam sistem Lakulisa Pasupata harus di alami guna realisasinya.
    Duhkhanta, yaitu akhir dari segala kesengsaraan, merupakan katagori awal yang pertama dan terakhir dari sistem ini. Lakulisa menyatakan bahwa akhirnya hal ini tergantung pada anugerah-Nya dan tidak dapat di peroleh melalui pengetahuan dan penolakan duniawi saja (jnana-vairagya) secara berdiri sendiri dan duhkhanta ini ada 2 macam yaitu; (1). Anatmaka, (2). Satmaka.
    Anatmaka terkandung Cuma penghentian dari segala kesengsaraan dan ini tampaknya menggambarkan konsepsi Moksa seperti yang di nyatakan oleh Gautama dalam Nyaya Sutra-nya dan hal ini memberikan dukungan terhadap pandangan bahwa Gautam adalah seorang Pasupata, karena konsepsinya tentang MOKSA seperti yang di berikannya dalam “duhkhanhajanmapravrtti” adalah; apa yang di nyatakan di sinisebagai Niratmaka. Hal yang sama mungkin dapat di katakana tentang Vaisesika.
    Satmaka terkandung tidak hanya kebebasan dari segala kesengsaraan, tetapi juga dalam pencapaian daya pengetahuan dan kegiatan yang mencirikan seorang siddha. Hal ini di capai apabila sang pribadi meresap ke dalam tuhan, sehingga daya-daya tersebut lolos ke dalamnya ketika ia mencapai yoga yang secara teknis di sebut sayujya tadi.

Pembebasan menurut Lakulisa Pasupata bukan hanya bebas dari belenggu saja tetapi juga penyatuan (yoga). Kenyataannya, penyatuan sangat di tekankan dalam sistem ini untuk memberikan perbedaan dengan yoga,samkhya, bauddha dan Vedanta, menurut mana pembebasan hanya merupakan pembebasan dari pembatasan kondisi; dalam hilangnya kepribadian; lenyapnya keberadaan yang terpisah, sama seperti ether di dalam kendi (ghatakasa) ketika kendi di pecahkan. Ia menyatakan bahwa pemahaman spiritual (darsana) dari samkhya dan yoga, tidak sempurna, seperti persepsi tentang bulan oleh orang dengan pandangan samar-samar.

Lakilisa Pasupata mengakui pembatasan kesadaran diri natau kepribadian hanya suatu bentuk terbatas dari pikiran (vrtyakarasya). Diiringi oleh manas, ia terbang pada objek-objek dan berhenti di sana seperti seekor burung pada sebatang pohon. Bila bentuk terbatas ini, yang di pengaruhi pikiran (citta) yang menyusun kepribadian lenyap dan pikiran tidak lagi mengejar objek dan tinggal di sana, namun sebaliknya tinggal pada Mahesvara, di katakana menjadi Yukta atau kesatuan.

Sang diri yang terbatas mendapat penyatuan dengan Tuhan, apabila ia memperoleh pembebasan dari kondisinya yang terbatas; di murnikan dari ketidakmurnian (dosa); tidak lagi tertarik oleh dunia objektif; melepaskan pemikiran tentang objek-objek kesenangan; apabila kegiatannya secara terus-menerus diarahkan kepada Tuhan; apabila ia muncul mengatasi segala yang di dapat dengan indra-indra dalam dan luar (aja); dan apabila ia bebas dari segala keinginan dank e engganan dan memiliki citta yang secara mantap di pusatkan pada Tuhan (maitra). Kondisi ini muncul segera setelah citta mendapat pemusatan pada Tuhan,walaupun tetap berhubungan dengan badan dan indra-indra.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
ALL ABOUT HINDUISM, Oleh Swami Sivananda
Sari filsafat INDIA, Oleh DR Harun Hadiwiyono
SIVA SUTRA, the Yoga of supreme identity, oleh Jaideva Singh
LORD SIVA and His worship, oleh Sri Svami Sivananda
AN OUTLINE OF HISTORY OF SAIVA PHILOSOPHY, oleh E.C.Pandey
SPANDA-KARIKA, The Divine Creative Pulsation, oleh Jaideva Singh
AHANDBOOK OF VIRA SAIVISM, oleh S.C.Nandimath

Senin, 17 Agustus 2015

Eksistensi Sekte Wais̩n̩awa di Bali

Eksistensi Sekte Wais̩n̩awa di Bali

Untuk dapat menyelusuri tentang keberadaan sekte Wais̩n̩awa di Bali, kita kembali pada Maharesi Markandya sebagai orang pertama yang datang ke Bali dan menyebarkan ajaran Hindu bagi orang-orang Bali. 
Cerita tentang Maharesi Markandya tersebut adalah demikian:

Ketika orang-orang Bali Mula belum beragama, mereka Cuma menyembah leluhur yang mereka sebut Hyang. Dari pandangan spiritual, mereka masih hampa. Oleh karenanya Pulau Bali ketika itu oleh Purana-purana Bali dikatakan masih kosong. Keadaan yang demikian itu berlangsung sampai abad ke empat sesudah masehi.


Melihat keadaan Pulau Bali yang masih terkebelakang itu, maka para penyiar Agama Hindu berdatangan ke Pulau Bali ini. Di samping untuk mengajarkan agama juga memajukan Bali dalam segala sektor kehidupan. Maka untuk kepentingan itu datanglah seorang Resi ke Bali, yang bernama Resi Markandya.

Menurut Purana, Maharesi Markandya berasal dari India, seperti dinyatakan dalam pustaka sebagai berikut “Sang Yogi Maharkandya Kawit hana sakeng Hindu” yang artinya : “Sang Yogi Maharkandya bukan nama perorangan melainkan adalah nama Perguruan atau Pasrama, seperti halnya juga nama Agastya. Perguruan atau Pasraman ini adalah lembaga yang mempelajari dan mengembangkan ajaran-ajaran gurunya, yaitu Sang Resi Penumbuh ajaran itu. Kebiasaan secara tradisi, setiap generasi ada yang diangkat menjadi Guru dari Pasraman atau Perguruan itu, dengan gelar yang sama. Garis perguruan ini namanya Param-para. Masing-masing perguruan menyusun pokok-pokok ajaran, yang umumnya disebut Purana yakni buku suci yang memuat ajaran dan cerita kuno. Demikianlah akhirnya ada pustaka suci yang bernama Markandya Purana, Agastya Purana dan lain-lain.

Jadi Sang Resi Maharkandya adalah seorang Resi dari perguruan maharkandya di India, beliau datang ke Indonesia adalah untuk menyebarkan Agama Hindu dari Sekte Wais̩n̩awa.

Di Jawa Sang Resi mula-mula berasrama di gunung wilayah pegunungan Dieng. Lalu beliau berdharmayatra ke Timur sampailah akhirnya di gunung Raung di Jawa Timur. Di sini beliau membuka asrama dengan murid-murid dari Wong Aga. Dari Pasraman Gunung Raung ini, beberapa tahun kemuadian beliau pergi ke Timur, ke Pulau Bali, yang ketika itu konon di Bali masih kosong. Kosong dalam artian spiritual. Beliau berangkat dengan diiringi murid beliau sebanyak 800 orang. Kedatangan Sang Resi dengan murid-muridnya adalah untuk menyebarkan ajaran Agama Hindu di Pulau Bali, ketyika itu orang-orang Bali Mula belum beragama. Di samping ajaran agama, juga beliau ingin mengajarkan teknik pertanian dan bidang-bidang lainnya. Untuk itu beliau mengajak murid-muridnya ke Bali untuk memberikan contoh cara-cara bertani yang teratur, cara membuat peralatan Yajña dan lain sebagainya.

Perjalanan beliau ke Bali pertama menuju Gunung Agung. Di sanalah beliau dan murid-muridnya membuka hutan untuk pertanian. Tapi sayang, murid-muridnya kena penyakit, banyak diantaranya yang meninggal. Akhirnya beliau kembali ke Pasraman beliau di Gunung Raung. Di sanalah beliau beryoga, ingin tahu sebabnya bencana menimpa murid-muridnya itu. Akhirnya beliau mendapat pawisik bahwa terjadinya bencana itu, karena beliau tidak melaksanakan upacara keagamaan sebelum membuka hutan itu.

Setelah mendapat pawisik, beliau pun pergi kembali ke gunung Tolanhkir Bali. Kali ini beliau mengajak peserta sebanyak 400 orang. Sebelum mengambil pekerjaan, beliau lebih dahulu menyelenggarakan upacara ritual, dengan menanam Pañcadhatu di lereng Gunung Agung itu. Demikianlah akhirnya semua pengikut beliau selamat. Oleh karena itu wilayah ini lalu dinamai Besuki, kemudian menjadi Besakih, yang artinya selamat. Tempat beliau menanam Pañcadhatu, lalu menjadi Pura, yang diberi nama Pura Besakih.

Entah berapa lamanya beliau berada di sana, lalu Resi Markandeya pergi menuju arah Barat, dan sampai di suatu daerah yang datar dan luas, di sanalah beliau merabas hutan. Wilayah yang datar dan luas ini lalu diberi nama Puwakan. Kemungkinan dari kata Puwakan ini lalu menjadi Swakan dan terakhir menjadi Subak.

Di tempat ini beliau menanam jenis-jenis bahan pangan. Dan semuanya bisa tumbuh dan menghasilkan dengan baik. Oleh karenanya tempat ini disebut Sarwada yang artinya serba ada. Keadaan bisa terjadi karena kehendak Sang Yogi, Kehendak bahasa Balinya Kahyun atau adnyana. Dari kata kahyun menjadi kayu. Kayu bahasa Sanskertanya taru, kemudian menjadi Taro. Taro adalah wilayah ini kemudian.

Di wilayah Taro ini Sang Yogi mendirikan sebuah pura sebagai kenangan terhadap pasraman beliau di Gunung Raung. Pura ini disebut pura Gunung Raung sampai sekarang. Di sebuah bukit tempat beliau beryoga juga didirikan sebuah pura yang kemudian dinamai Pura Payogan, yang letaknya di campuan Ubud. Pura ini juga disebut Pura Gunung Lebah.

Berikutnya Resi Maharkandya pergi ke Barat dari Payogan itu, dan sampai di sana juga membagun sebuah pura yang diberi nama Pura Murwa dan wilayahnya diberi nama Pahyangan, yang sekarang menjadi Payangan.

Orang-orang Aga, murid Sang Yogi, menetap di desa-desa yang dilalui beliau. Mereka becampur baur dengan orang-orang Bali Asli. Mereka mengajarkan cara-cara bercocok tanam yang baik, menyelenggarakan yajña seperti yang diajarkan Sang Resi Maharkandya. Dengan demikian Agama Hindu pun dapat diterima dengan baik oleh orang-orang Bali Asli itu.

Sebagai Rohaniawan (Pandita), orang Aga dan Bali Mula, adalah keturunan Maharesi Markandya sendiri yang disebut Warga Bujangga Waisnawa.

Dalam zaman raja-raja berikutnya, Bujangga Waisnawa ini selalu menjadi Porohita mendampingi raja, ada yang berkedudukan sebagai Senapati, Kuturan. Beliau-beliau antara lain Mpu Gawaksa dinobatkan menjadi Senapati Kuturan oleh Ratu Adnyanadewi tahun 1016 Masehi, sebagai pengganti Mpu Rajakerta (Mpu Kuturan). Ratu ini pula yang memberikan kewenangan kepada Sang Guru Bujangga Waisnawa untuk melakukan pecaruan Waliksumpah ke atas. Karena beliau mampu membersihkan segala noda di bumi ini. Lalu Mpu Atuk, di dalam masa pemerintahan Sri Sakala Indukirana (1098 M), dinobatkan sebagai senapati Kuturan dari keturunan Bujangga Waisnawa pula yang berleluhur Resi Markandya.

Pada pemerintahan Suradhipa (1115-1119 M), yang dinobatkan sebagai Senapati Kuturan dari keturunan Sang Resi Markandya adalah Mpu Ceken, kemudia diganti oleh Mpu Jagathita.

Kemudian ketika pemerintahan Raghajaya tahun 1077 M, yang diangkat sebagai Senapati Kuturan adalam Mpu Andonamenang, dari keluarga Bujangga Waisnawa. Demikianlah seterusnya untuk selalu ada salah seorang Purohita Raja atau Dalem yang diambil dari keluarga Bujangga Waisnawa, keturunan Maharesi Markandya. Sampai terakhir masa pemerintahan Dalem Batur Enggong di Bali. Ketika itu yang menjadi Bhagawanta Dalem, mewakili sekte Waisnawa, adalah dari Bujangga Waisnawa pula dari Griha Takmung. Namun sayang dan mungkin sudah kehendak Dewata Agung, terjadi kesalahan Sang Guru Bujangga, di mana beliau selaku Ācārya (Guru) telah mengawini sisyanya sendiri yakni putri Dalem yaitu Dewa Ayu Laksmi. Atas kesalahan ini Sang Guru Bujangga Waisnawa akan dihukum mati. Tapi beliau segera menghilang dan kemudian menetap di wilayah Tabanan.

Semenjak kejadian itulah Dalem tidak lagi memakai Bhagawanta dari Bujangga Waisnawa keturunan Sang Resi Markandya. Dari sejak itu dan setelah kedatangan Danghyang Nirartha di Bali, posisi Bhagawanta diambil alih oleh Brahmana Siwa dan Budha. Selesailah sudah peranan Bujangga Waisnawa sebagai pendamping raja di Bali. Bahkan setelah strukturisasi masyarakat Bali ke dalam sistem Wangsa Oleh Danghyang Nirartha atas restu Dalem, keluarga Bujangga Waisnawa tidak dimasukkan lagi sebagai Warga Brahmana.

Namun sisa-sisa kebesaran Bujangga Waisnawa dalam peranannya sebagai pembimbing masyarakat Bali, terutama di kalangan Bali Mula dan Bali Aga masih dapat kita lihat sampai sekarang. Pada tiap-tiap pura dari masyarakat Bali Aga atau Bali Mula itu selalu ada Palinggih sebagai Sthana Bhatara Sakti Bujangga. Alat-alat pemujaan selalu siap pada Palinggih itu. Orang-orang Bali Aga/Mula, cukup nuhur tirtha, tirtha apa saja, terutama tirtha pengentas adalah melalui palinggih ini. Dan sampai sekarang para warga ini tidak berani mempergunakan atau nuhur Pedanda Siwa.

Warga Bujangga Waisnawa, keturunan Maharesi Markandya sekarang telah tersebar di seluruh Bali. Pura Padharmannya di sebelah Timur Penataran Agung Besakih, sebelah Tenggara Padharman Dalem. Demikianjuga pura-pura Kawitannya tersebar di seluruh Bali, seperti Takmung Kabupaten Klungkung, Batubulan Kabupaten Gianyar, Jatiluwih Kabupaten Tabanan dan lain-lain tempat lagi.

Demikianlah Maharesi Markandya, leluhur Warga Bujangga Waisnawa penyebar Agama Hindu di Bali, dan warganya sampai sekarang ada saja yang melaksanakan Dharma Kawikon dengan gelar Resi Bujangga Waisnawa. Sedangkan keturunan orang Aga dari Gunung Raung telah membaur denganBali Mula penduduk asli Pulau bali, mereka menjadi orang Bali Mula/Bali Aga (dipetik dari Leluhur Orang Bali dari Dunia Babad dan Sejarah oleh I Nyoman Singgih Wikarman, 1998 : 14-19).

Dari kutipan cerita diatas, diketahui bahwa adanya sebutan Bali Mula/Bali aga adalah untuk membedakan orang-orang yang leluhurnya datang belakangan ke Bali, umumnya mereka dari Jawa. Perbedaan orang Bali mula dengan orang Bali yang datang belakangan tampak sekali pada upacara kematiannya. Orang Bali mula melaksanakan upacara kematiannya dengan cara mendem atau menanam, yang disebut beya tanem. Banyak interpretasi yang berkembang di masyarakat, mengapa orang-orang menyelenggarakan beya tanem, tidak beya bakar.

Śāstra-śāstra lontar mengatakan, karena mereka penganut sekte Wais̩n̩awa dan Bayu. Tradisi sekte Wais̩n̩awa adalah beya tanem. Tapi di India, justru penganut sekte Wais̩n̩awalah yang paling konsisten melaksanakan beya bakar. Sedangkan sekte Bayu di India tidak jelas keberadaannya. Tafsir lain muncul, agar abu sawa yang dibakar tidak mencemari kahyangan-kahyangan yang ada di gunung-gunung. Tapi yang namanya abu pastilah akan meninggi ke atas melampaui pura-pura yang ada.

Dalam (Wikarman, 1998 : 12) kedua alasan di atas dikatakan kurang tepat. Dan alasan yang tepat yaitu, mereka orang Bali Mula keturunan orang-orang Austronesia dari zaman perundagian (Megalithikum), tradisi mereka dalam upacara kematian adalah menguburkan. Kalau ketua kelompok mempergunakan peti batu. Tradisi ini begitu mendarah daging sulit untuk diubah. Kemudian datang agama Hindu, mereka terima dengan tetap melanjutkan tradisinya. Ngaben mereka terima tapi bakar mayat tidak. Mereka hanya menerima upacara dan upakaranya saja, lalu muncullah istilah beya tanem. Sistem beya tanam sampai sekarang dilaksanakan oleh orang-orang Bali Mula. Demikian juga ada satu ada satu ciri lagi untuk mengingati keturunan orang-orang Austronesia dari zaman Megalithikum ini. Bila mereka ngaben, mereka tidak berani menghias wadahnya dengan kertas, Parasbaan, kapas dan lain-lainnya. Mereka hanya mempergunakan bahan-bahan lokal seperti ambu, padang-padang, plawa dan lain-lainnya.

Mereka semua dikelompokkan sebagai warga Bali Mula. Para ketua kelompok, kemudian disebut Pasek Bali. Di antaranya mereka adalah Pasek Taro (Wikarman, 1998 : 12). Demikianlah sekilas tentang eksistensi Sekte Wais̩n̩awa di Bali.

Saiwa Wisistadwaita

Saiwa Wisistadwaita

Pada abad ke-11 Masehi terdapat usaha-usaha yang dikonsentrasikan dalam menjembatani jurang yang memisahkan Saivisme dan Vaisnavaisme dengan Brahmanisme. Srikantha dan Ramanuja, adalah 2 orang sarjana besar yang mengusahakan tugas ini seperti yang ditunjukkan dalam 2 ulasan mengenai Vedanta Sutra, yaitu;
  1. Brahma-mimamsa bhasya dan
  2. Sribhasya. 
Dalam rangkaian penafsirannya tentang Pasupatadikarana, yang menurut Sankara, menyalahkan filsafat Saiwa Pasupata. Srikantha mengemukakan bahwa tak ada pertentangan antara Veda dengan Saiwagama dan keduanya sama-sama berwewenang. Keduanya telah bertindak dari sumber terakhir dari segala sesuatu, yaitu Brahman atau Para Siva, dan oleh karena itu layak untuk membicarakan Veda juga sebagai “Saiwagama”.


Ia menegaskan bahwa cara-cara ritual dan pelaksanaan keagamaan dari Saiwa, seperti melumuri badan dengan abu dan mengenakan tanda Tripunda, dinyatakan dalam kitab-kitab Upanisad, seperti Atharvasirah, Kalagnirudra, dan Brhajjabala.

Akhirnya dalam ulasan Brahma Sutra, ia memperlihatkan bahwa sistem yang dinyatakan itu merupakan Monistik bersyarat, seperti yang dinyatakan oleh Upanisad dan Saiwagama Monistik bersyarat, baik Saiwaitik maupun Vaisnavaitik didasarkan pada agama nya masing-masing, yang merupakan suatu akibat langsung dari Monistik yang Dualistik (Bhedabhedavada). Sebelum munculnya Vaisnava Monistik Terbatas, 2 orang yang berwewenang telah membicarakan tentang Bhedabheda;  yang seorang Yadava Prakasa, yang merupakan guru dari Ramanuja sendiri, dan yang lainnya, Bhaskara yang merupakan seorang yang netral, pada abad ke-9 Masehi. Demikian pula kepustakaan Saiwagama, secara terbuka mengemukakan Bhedabheda, dan sistem Lakulisa Pasupata, menyatakan hal yang sama sebelum munculnya Wisistadwaita Saiwaisme dari Srikantha, yang muncul pada abad ke-11 Masehi. Terdapat bukti-bukti yang terbatas dalam menopang pandangan ini, karena ia mengutip dari Isvara Pratiyabhijna Karika-nya Utpalacarya, yaitu “CIDATMAIVA HI DEVONTAH”.

Srikantha berbeda dengan Abhivagupta dalam penafsiranya tentang kutipan sloka di atas dan berpendapat bahwa “kebebasan dari penyebab material” (nirupadanam) bukan berarti tanpa suatu penyebab material, tetapi hanya tanpa suatu penyebab material yang diluar Tuhan.

Ia merupakan seorang pengikut dari aliran Saiwa Siddhanta yang menerima 28 buah Saiwagama, di mana yang 18 buah memperuntukkan filsafat Bhedabheda. Ia mengambil dasar pemikiran filosofis dari Saiwa Siddhanta Dualis, dan mengakui;
  1. bahwa terdapat 3 kategori awal yaitu: Pati, Pasu, dan Pasa. 
  2. bahwa dari titik pandang lain, ada 36 katagori dan ini tampaknya diakibatkan oleh pengaruh Saiwa Monistik dari Kasmir, seperti yang kita ketahui dari pernyataan ulasannya Appayya Diksita.
  3. bahwa ada 3 ketidak murnian, yaitu: Pasutva, Karma dan Mayiya, yang berupa material seperti kehitam-hitaman pada tembaga.
  4. bahwa Moksa (pembebasan) merupakan pencapaian kesamaan (samya) dengan Siva.
  5. bahwa subyek pribadi memiliki sifat maha tahu dan maha kuasa, tetapi daya-daya ini terselubungi oleh ketidak murnian, sehingga apabila ia memperoleh pembebasan darinya daya-dayanya yang tersembunyi menjadi berwujud dan ia menjadi sama dengan Tuhan.
  6. bahwa Para Siva mengatasi semua katagori dan memiliki daya (sakti) yang ada didalam diri-Nya dan menyusun sifat-sifat (guna) utama-Nya.
Suatu perbandingan yang seksama tentang konsepsi Tuhan, daya (sakti)-Nya, dan kaitan antara keduanya, seperti yang dinyatakan dalam Lakulisa Pasupata, dengan yang diketemukan dalam ulasan iikantha tentang Vedanta Sutra, seperti yang ditafsirkan oleh Appayya Diksita, meninggalkan sedikit keragu-raguan tentang kenyataan bahwa Srikantha telah mengambil pandangan Monistik Dualis dari Lakulisa Pasupata.

Srikantha secara terbuka menyatakan bahwa ia ditentang oleh Bhedabheda dan ia mengakui bahwa terdapat naskah Veda yang membicarakan tentang identitas dari dunia obyektif dan realitas terakhir, seperti yang dinyatakan oleh; “tadananya tvam arambha nasabdadibhyah” dan ada juga naskah yang membicarakan tentang perbedaan keduanya, misalnya seperti; “adhikantu bhedanirdesa”. Tetapi ia menyatakan bahwa hal ini bukan berarti bahwa kedua pernyataan itu dalam kaitan Saiwa dengan alam dunia memiliki keabsahan yang sama, dan karena itu Bhedabheda hanyalah suara filsafat, karena pandangan yang demikian itu tidak logis, sebab ia membuat pernyataan yang bertentangan mengenai yang satu dan sama. Menurutnya dunia obyektif tidak ada secara bebas dan terpisah dari Brahman, mereka itu sama sekali tidak identik karena pandangan semacam itu bertentangan dengan naskah lain yang membicarakan tentang perbedaan Brahman atau Siva dengan dunia obyektif, karena perbedaan sifat yang ada padanya dari keduanya dan Dvaitadvaita adalah tidak logis.

Dalam hal ini harus secara hati-hati dipahami bahwa disini Srikantha secara terang-terangan mencela Bhedabheda dari macam tertentu. Karena sistem Bhedabheda mengartikan bahwa penyamaan dan perbedaan ada pada tingkatan yang sama dan bahwa mereka ada bersama-sama serta sama-sama pentingnya. Berlawanan dengan Bhedabheda seperti yang dikemukakan diatas, ia mengemukakan filsafat Wisistadwaita Saiwa. Bahwa hubungan antara obyektif dengan Brahman atau Siva sesuai dengan yang kita jumpai antara badan dengan roh, dimana yang satu bergantung dengan yang lainnya.

Ia juga menolak Monisme murni, Dualis murni, Dualis yang monistik dan juga pandangan yang menganggap sukar untuk menyatakan secara tepat, baik Monisme maupun Dualis. Ia menyatakan bahwa dua hal akan tetap ada bersama-sama, dimana yang satu tak dapat ada tanpa yang lainnya demikian pula dengan masalah Brahman dan kejamakan empiris; karena menurutnya kejamakn memiliki keberadaan potensial dalam daya (sakti) dari Brahman dan kejamakan empiris tiada lain adalah bentuk badan kasar dari apa yang ada dalam bentuk halus dalam daya Brahman. Maka daya merupakan atribut dari Brahman dan akhirnya kejamakan empiris juga merupakan atribut-Nya yang secara potensial ada dalam daya-Nya dan tidak berada bebas dari pada-Nya walaupun ketika ia mengenakan wujud kasar. Oleh karena itu Srikantha menyatakan bahwa teorinya tentang Monisme terbatas merupakan penyesuaian yang sempurna dengan naskah-naskah suci yang membicarakan tentang penyamaan dan perbedaan.

Kenyataan terakhir tentang Brahman atau Siva bebas dari pembatasan sementara, sebagian dan formal, sehingga tiada bandingannya. Dia memiliki daya tertinggi (parama sakti) yang memungkinkan memunculkan segenap kejamakan empiris, termasuk yang berjiwa dan tidak, dan dunia obyektif ini tiada lain adalah badan kasarnya dari suatu keadaan yang halus dalam daya-Nya. Kejamakan itu adalah nyata bukan khayalan saja.

Hal ini hanya untuk menyatakan bahwa semuanya perlu dalam penggunaan kata Brahman untuk Siva, yang merupakan pribadi agung seperti Puspadanta, raja para Gandharva, dalam Mahimna Rtotra, yang menunujukkan Siva dalam 8 kata sebagai pengganti atribut utamanya, yaitu;
  1. Bhava, ia disebut Bhava karena ia merupakan sumber alam semesta dan pemikiran ini dijumpai dalam Taittiriya Aranyaka, yaitu Bhaodbhavaya.
  2. Sarva, ia disebut Sarva karena ia menghancurkan alam semesta pada saat peleburan.
  3. Siva, ia disebut Siva karena ia memiliki atribut yang baik.
  4. Pasupati, ia disebut Pasupati karena ia mengendalikan roh-roh dalam belenggu.
  5. Paramesvara, ia disebut Paramesvara karena ia menguasai segenap alam semesta.
  6. Mahadeva, ia disebut Mahadeva karena ia bersandar pada kebahagiaan transendental-Nya sendiri.
  7. Rudra, ia disebut Rudra karena ia membebaskan yang terbelenggu dari ikatan keberadaan yang berpindah-pindah.
  8. Sambhu, ia disebut Sambu karena ia memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan pada segenap ciptaan.
Kesatuan Brahman atau Siva merupakan kesatuan yang sama dengan pengalaman aestetika, karena keselaran penyatuan dari segala isinya, demikian pula Siva merupakan satu kesatuan, karena semua yang ada didalam-Nya membentuk satu kesatuan yang sama dengan yang dibentuk oleh berbagai bahan dari Panaka Rasa, sehingga ia bukan merupakan kesatuan yang murni tapi kesatuan dalam kejamakan dan ia tidak ada tanpa atribut (nirvisesa), karena daya untuk menghasilkan kejamakan kasar merupakan sifat alamiah-Nya.

Dunia obyektif dengan segala kejamakannya tidak berbeda dengan Siva, bagaimanapun hal ini bukan berarti Siva berubah atau berkembang karena evolusi bukan pada giva tetapi dalam Daya (sakti) yang digerakkan untuk bekerja oleh kehendak-Nya. Tetapi bagaimana Siva dapat dipertahankan untuk tak berubah kewika Daya-Nya, yang identik dan tidak berbeda dengan-Nya, diakui berkembang. Dalam menjawab pertanyaan ini Wisistadwaita Saiwaisme menyatakan bahwa penyamaan dan perbedaan dapat dikatakan apabila ada Dualitas dari apa yang dipersamakan dan yang dengan apa dipersamakan, demikian pula ketidak berbedaan dapat terjadi hanya apabilaterdapat yang dibedakan dan dari mana perbedaan itu. Oleh karena itu dalam kontek ini ketidak berbedaab bukan berarti kesatuan mutlak atau pun perbedaan mutlak.
Bahkan pada keadaan penghancuran alam semesta, dimana matahari dan bulan, waktu dan ruang sebagai kondisi terbatas, serta nama dan rupa lenyap sepenuhnya, sedang diri pribadi dan penyebab meterial (pasu dan pasa) tetap tidak berhenti adanya. Kegiatan penciptaan didorong oleh belas kasih-Nya guna roh-roh yang terbelenggu. Keaneka ragaman yang kita jumpai dalam dunia obyektif ini bukan disebabkan oleh tingkahnya saja, ia dipandu dalam menghasilkan keanekaragaman ini oleh tujuan pemberian nasib yang beraneka ragam terhadap roh-roh dalam belenggu untuk dapat mengalami buah dari timbunan akibat perbuatan-perbuatan baik dan berdosa, sehingga mendapatkan pembebasan dari belenggu Karma. Oleh karena itu ia tak dapat dikatakan kejam, karena dari penciptaan perubahan bentuk yang buruk dan penuh dosa, disebabkan oleh dorongan pribadi terhadap-Nya.

Pasu adalah katagori kedua dari katagori utama, yang memiliki 3 ketidak murnian yang tanpa awal, yaitu;
  1. Pasutva,
  2. Karma dan
  3. Mayiya. 
Disebabkan oleh ketidak murnian (mala) yang pertama, yaitu Pasutvamala atau Anavamala, ia mempersembahkan dirinya dengan badan, udara vital atau kecerdasan, sehingga ia mengalami berbagai pengalaman, sesuai dengan kegiatannya, dalam badan yang berbeda-beda, yang ia peroleh atau ia tinggalakan sesuai dengan Karma-Nya. Ia tidak bebas (asvatantra) tetapi abadi dan bukan suatu hasil dari Siva. Semua naskah yang membicarakan tentang asal mulanya dari Siva atau kehadirannya berhubungan dengan Siva sebagai percikan api, hanya menunjukan pada kemunculan nama dan wujud yang berkaitan dengannya.

Ia adalah yang mengetahui (jnata) dalam dirinya sendiri yakni ketidak bebasan dari suatu kondisi luar. Dalam kenyataannya, daya pengetahuan dan kegiatannya tak terbatas, tetapi tampak terbatas, karena ketidak murnian yang tanpa awal itu, sehingga sehingga apabila ketidak murnian itu dilepaskan, maka daya pengetahuan dan kegiatan yang ada bersamanya menjadi berwujud dan ia mencapai kesamaan dengan Siva (sivasamya). Tetapi dalam keadaan terbelenggu, ia merupakan yang mengalami kesenangnan dan kesedihan, karena hubungannya dengan Manas empiris (prakrtamanah sambandhat).
Ia juga adalah si pelaku (karta), karena hanya suatu pengakuan yang demikian sajalah yang dapat membenarkan keberadaan dari naskah-naskah yang sifatnya memrintah dan melarang. Menjadikannya seorang pelaku juga diartikan oleh naskah-naskah semacam itu sebagai pembicaraan tentang pengambilan maknanya. Dalam kenyataannya, konsepsi tentang indra dalam sebagai cara dari pengetahuan mengartikan keberadaan dari si pelaku, yang mempergunakannya dan menolak bahwa Prakrti (buddhi) sebagai si pelaku.
Hubungan antara Pati atau Siva dan subyek pribadi, digambarkan pada analogi dari hubungan antara seorang raja dengan pembantunya. Roh-roh pribadi berbuat sesuai dengan kematangan dari akibat perbuatan, yang dilakukan pada masa lalu (karmaparipakavasena), tetapi bukan tanpa ijin Tuhan dan Tuhan merupakan si pendorong dari pribadi untuk berbuat sesuai dengan karma-Nya masing-masing. Subyek pribadi tidak identik dengan sang diri universal, seperti pendapat dari para Vedantin yang mengatakan bahwa diri universal tampak sebagai pribadi, karena keterbatasannya, persis seperti ether universal (akasa) yang tampak terbatas karena batasan dari obyek dari sebuah kendi.

Wisistadwaita Saiwaisme mengakui pentingnya pelaksaan upacara, pengurbanan dsb. Yang diakui oleh Brahmanisme, dalam pencapaian kebebasan, sedemikian jauh sehingga mereka dapat membebaskan diri pribadinya dari dosa-dosa sehingga membuatnya pantas untuk mengikuti jalan pembebasan, tetapi ia menyatakan bahwa semuanya itu akhirnya bergantung kepada anugrah Tuhan. Wisistadwaita Saiwaisme menyatakan bahwa walaupun pada pembebasan pribadi yang dibeda-bedakan secara pribadi, memiliki keberadaan yang terpisah dengan Brahman atau Siva dan tidak memiliki kesadaran tentang kejamakan empirls dan ia melihat tiada lain dari Brahman, dengan mana segenap kejamakan ini dipersatukan. Wisistadwaita Saiwaisme mengakui bahwa Parama Siva melampati segala sesuatu dan berbeda dengan Pasu, walaupun mereka telah bebas. 
Karena itu akan muncul pertanyaan, “bagaimana Mahavakya Tattvamasi dapat dijelaskan, berkenan dengan penyamaan pribadi dengan yang semesta?”. 
Jawabannya adalah bahwa penyamaan yang dinyatakan oleh naskah suci tersebut, menyatakan tentang penyamaan seperti yang dijumpai dalam penyamaan seniman dengan titik pusat situasi, yaitu pahlawan, pada tingkatan yang mengharukan. Seperti seorang pribadi yang merenungkan tentang Siva, memperoleh penyamaan dengan-Nya, tanpa kehilangan kesatuannya sendiri.

Akhirnya Srikantha menyatakan bahwa didalam naskah-naskah semacam itu, dimana kata-kata seperti, “Seseorang yang mengetahui Brahman menjadi Brahman” (brahmaveda brahmaiva bhavanti), artinya bahwa seseorang yang mengetahui Brahman menjadi seperti Brahman, dan kata “eva” dipergunakan dalam pengertian “iva”, sehingga naskah tersebut bukan berarti bahwa sang pribadi hilang dalam yang universal, sama seperti hilangnya ether yang dibatasi dalam sebuah kendi, dalam ether universal, ketika kendi tersebut dipecahkan Ia mempertahankan pendapatnya bahwa kesamaan selalu termasuk perbedaan dan naskah suci yang dikaji bersama-sama, mengartikan bahwa pembebasan menjadi sama dengan dan bukan secara penuh jadi satu dengan Brahman atau Siva. Jadi perkataan Sayujya menurut Wisistadwaita Saiwaisme bukan berarti “penyatuan penetrasi”, tetapi kesamaan (samya) saja. Penghancuran universal tidak berakibat terhadap yang bebas, karena mereka itu tanpa akhir. Ia menjadi bagian yang pertama dari 36 katagori, yaitu Siva, karena ia berbeda dengan Pasu dan Pasa.

DAFTAR PUSTAKA: Maswinara, I Wayan. 2006. Sistem Filsafat Hindu (Sarva Darsana Samgraha). Surabaya: Paramita

Minggu, 26 Juli 2015

Penerapan Siwa Siddhanta di Bali

Penerapan Siwa Siddhanta di Bali

Ajaran Agama Hindu yang dianut sebagai warisan nenek moyang di Bali adalah ajaran Siwa Siddhanta yang kadang - kadang juga disebut Sridanta.
Siddhanta artinya akhir dari sesuatu yang telah dicapai, yang maksudnya adalah sebuah kesimpulan dari ajaran yang sudah mapan. Ajaran ini merupakan hasil dari akulturasi dari banyak ajaran Agama Hindu. Didalamnya kita temukan ajaran Weda, Upanisad, Dharmasastra, Darsana (terutama Samkya Yoga), Purana dan Tantra. Ajaran dari sumber - sumber tersebut berpadu dalam ajaran Tattwa yang menjadi jiwa atau intisari Agama Hindu di Bali.

Dalam realisasinya, tata pelaksanaan kehidupan umat beragama di Bali juga menampakkan perpaduan dari unsur - unsur kepercayaan nenek moyang. Wariga, Rerainan (hari raya) dan Upakara sebagian besarnya merupakan warisan nenek moyang. Warisan ini telah demikian berpadu serasi dengan ajaran Agama Hindu sehingga merupakan sebuah satu kesatuan yang bulat dan utuh. Dengan demikian, Agama Hindu di Bali mempunyai sifat yang khas sesuai dengan kebutuhan rohani orang Bali dari jaman dahulu hingga sekarang. Di masa sekarang ini, warisan Agama yang adhiluhung tersebut perlu kita jaga, rawat dan menyempurnakan pemahaman kita sehingga tetap bisa memenuhi kebutuhan jiwa keagamaan umatnya.


Tempat - tempat pemujaan menunjukkan tempat memuja Bhatara Siwa dalam manifestasi beliau. Belia dipuja sebagai Siwa Raditya di Padmasana, dipuja sebagai Tri Murti di sanggah, paibon, Kahyangan Desa dan kahyangan jagat. Pemujaan Tuhan pada berbagai tempat sebagai Ista Dewata sesuai dengan ajaran Tuhan berada dimana - mana. Demikinalah orang Bali menyembah Tuhan disemua tempat, di Pura Dalem, Pura Desa, Pura Puseh, Bale Agung, Pempatan Agung, Peteluan, Setra, Segara, Gunung, Sawah, Dapur dan sebagainya.

Pada abad ke-8 Danghyang Markandeya mendapat wahyu di Gunung di Hyang (sekarang Dieng, Jawa Timur) bahwa bangunan palinggih di Tolangkir (sekarang Besakih) harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur –unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah. Setelah menetap di Taro, Tegal lalang-Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siwa Siddhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual: Surya Sewana, Bebali (banten), dan pecaruan. Dari konsepsi ajaran  Danghyang Markandeya dapat disamakan dengan ajaran sekta-sekta lain yang ada di Bali. Seperti sekta Sora yang mengutamakan pemujaan terhadap Dewa Surya dalam bentuk pemujaan Surya sewana, sama halnya yang dilakukan oleh Sekta Siwa Siddhanta. Ini dapat dikatakan adanya kesamaan bentuk pemujaan antara sekta Siwa Siddhanta dengan sekta Sora.

Siwa Siddhanta dalam pelaksanaannya di Bali terdapat relasi antara manusia dengan Tuhan. Relasi ini diwujudkan dalam bentuk bakti sebagai wujud Prawrtti Marga. Tuhan dipuja sebagai saksi agung akan semua perbuatan manusia di dunia. Tuhan yang memberikan berkah dan hukuman kepada semua mahluk. Di Bali, bhakti kepada Tuhan direalisasikan dalam berbagai bentuk. Untuk orang kebanyakan, bhakti diwujudkan dengan sembahyang yang diiringi dengan upakara. Upakara artinya pelayanan dengan ramah diwujudkan dengan banten. Upakara termasuk Yajna atau persembahan suci. Baik sembahyang maupun persembahan Yajna memerlukan tempat pemujaan. Pemangku, Balian Sonteng dan Sulinggih mengantarkan persembahan umat kepada Tuhan dengan saa, mantra dan puja. Padewasan dan rerainan memengang peranan penting, yang mana pada semua ini ajaran sradha kepada Tuhan akan selalu tampak terwujud. Demikian juga misalnya saat Bhatara Siwa sebagai Dewata Nawa Sanga diwujudkan dalam banten caru, belia disimbulkan pada banten Bagia Pula Kerti, beliau dipuja pada puja Asta Mahabhaya, Nawa Ratna dan pada kidung belia dipuja pada kidung Aji Kembang. Bhatara Siwa sebagai Panca Dewata dipuja dalam berbagai Puja, Mantra dan saa, ditulis dalam aksara pada rerajahan dan juga disimbulkan pada alat upacara serta aspek kehidupan beragama lainnya.

Praktek – praktek ritual dari Saiwa Siddhanta dengan warna Tantrik dapat kita lihat dari ritual para Pendeta di Bali seperti dalam pelaksanaan Suryasevana dengan patangan atau mudra serta mantra – mantra ( Stuti dan Stava ) dengan kuta mantra-Nya dan lain – lain. Waisnawa Sampradaya memiliki peninggalan dalam tradisi adalah pemujaan kepada Dewi Sri sebagai Dewi kemakmuran. Sri adalah sakti dari Dewa Wisnu sedang Wisnu diyakini sebagai pemelihara alam semesta yang dikaitkan pula dengan pura puseh ( dipuja melalui pura puseh ) , Pura Ulun sui/ bedugul dimaksudkan pula untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasi utamanya sebagai Shang Hyang Wisnu.

Pelaksanaan Siwa Siddhanta dalam Panca Yajna

Penerapan Siwa Siddhanta di Bali lebih banyak yang nampak melalui pelaksanaan upacara agama Hindu yang dikelompokkan dalam lima bagian besar yang dinamain pancaa yajna, yakni : 
  1. Dewa Yajna yakni persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa beserta dengan semua manifestasi-Nya, dengan pelaksanaan upacar agama berupa piodalan di Pura, persembahyangan, perayaan hari suci agama Hindu seperti : Saraswati, Pagerwesi, Galungan, Kuningan, Siwaratri, Nyepi, Purnama, Tilem, dan sebagainya. 
  2. Manusa Yajna yakni persemban kepada manusia yang dimulai sejak dalam kandungan sampai menjelang meninggal dengan berbagai jenis upacaranya yang bertujuan untuk melakukan penghormatan terhadap sesama manusia, melakukan upacara seperti upacara megedong-gedongan, dapetan, tutug kambuhan, telu bulanan, ngotonin, ngeraja wala, matatah, mawiwaha, pawintenan, dan sebagainya. 
  3. Pitra Yajna yaitu persembahan kehadapan orang tua selama masih hidup maupun setelah mati kehadapan pitara-pitari guna mendapatkan kerahayuan hidup di dunia ini dan di akhirat, cara pelaksanaannya dengan melakukan penghormatan kepada orang tua, berbakti kepada orang tua, melakukan upacara pitra yajna, dan lain-laainnya. 
  4. Resi Yajna yakni persembahan kehadapan para orang suci, para resi yang telah berjasa dalam pembinaan, pengembangan, serta menuntut umat , yang pelaksanaanya dengan menaati ajaran para Resi, berbakti kepada Resi, berdana punia kepada para Resi, memberikan pelayanan keapda para Resi, dan sebagainya. 
  5. Bhuta Yajna yakni persembahan kehadapan para bhuta kala atau makhluk bawahan, oleh karena para bhuta kala itu turut memberikan kekuatan kehidupan di alam semesta ini sehingga semua kehidupan menjadi harmonis. Pelaksanaannya dengan melakukan masegeh, macaru, dan pelaksanaan tawur.

Unsur-Unsur Sekte Waisnawa Yang terdapat Dalam Saiwa Siddhanta

Untuk melihat unsur-unsur Waisnawa yang terdapat dalam Saiwa Siddhanta perlu kiranya kita lihat dari 2 sisi,yaitu : Upakara dan Upacara.Dibawah ini akan diuraikan unsur-unsur Waisnawa dalam dua sisi tersebut.

1. Upakara
  • Dalam upakara dapat dilihat bahwa unsur-unsur Waisnawa ada pada penggunaan Sesayut Agung,bentuknya:memakai aled/alas sesayut,tumpeng agung yang dipuncaknya memakai telur itik direbus 1,4 kwangen,4 bunga yang berwarna hitam,pada saat dihaturkan bertempatkan di utara.Bentuk sesayut ini menggambarkan ciri-ciri dari Wisnu yang merupakan Dewa yang dipuja dalam sekta waisnawa.
  • Sesayut Ratu Agung,bentuknya:Menggunakan tiga nasi tumpeng dengan puncaknya diisi satu buah telur itik,Bunga cempaka yang ditempatkan pada empat penjuru mengelilingi tumpeng,dua kwangen disandarkan pada tumpeng,dua tulung,sasangahan sarwa galahan,sodan woh,berbagai jenis buah-buahan.Dipersembahkan pada Dewa Wisnu.
  • Canang Genten,bentuknya : memakai alas yang berupa ceper atau yang berupa reringgitan,disusun dengan plawa(daun),Porosan yang berupa sedah berisi apuh dan jambe diikat dengan tali porosan,disusun dengan tempat minyak,bunga dan pandan arum yang bermakna penyatuan pikiran yang suci untuk sujud bhakti kehadapan Hyang Widhi dalam wujudnya sebagai Brahma Wisnu dan Iswara.
  • Banten Pula Gembal;Terdapat beberapa bagian yang mewakili wisnu diantaranya adalah terdapat jajan yang menggambarkan senjata dan salah satunya adalah senjata cakra yang merupakan senjatanya Dewa Wisnu.
  • Gayah Urip:mempergunakan seekor babi.diatas kepala babi tersebut ditancapkan sembilan jenis sate yang berbentuk senjata,yang penempatannya sesuai dengan pengideran dewata nawa sanga.salah satu dari sate tersebut berbentuk cakra (senjata Dewa Wisnu) dengan puncaknya Amparu ditancapkan disebelah utara (Untram).
  • Tirta:hampir disetiap upacara menggunakan tirta yang terbuat dari yang telah disucikan.Air merupakan lambang dari Dewa Wisnu.
  • Banten catur rebah : pada banten ini salah satunya menggunakan biyu lurut 4 bulih,diletakan diutara sebagai simbol Dewa Wisnu.

2. Upacara
  • Upacara Mapag Yeh : dilakukan oleh para krama subak yeh yang ditujukan kepada Dewa Wisnu.
  • Mabyukukung : menggunakan upakara berupa banten dapetan penyeneng,jerimpen,pangambyan,sodan,canang,raka putih kuning,toya anyar mawadah sibuh yang berisi muncuk daun dapdap.Yang dipuja adalah Hyang Sri Laksmi yang merupakan saktinya Dewa Wisnu.
  • Upacara yang dilakukan pada saat menanam padi:dilaksanakan pada sasih kaulu,kesanga,dan kedasa Dengan menggunakan segehan nasi kepalan berwarna hitam,ikan serba hitam,buah yang berwarna hitam,masawen (sawen=penanda) dengan kayu yang berwarna Hitam.Yang disembah atau dipuja adalah Hyang Guru Wisnu.

Unsur-unsur Sekte Bhairawa dalam Saiwa Siddhanta

Dalam pelaksanaan setiap upacara di Bali tidak dapat terlepas dari proses upacara pecaruan. Dalam proses upacara pecaruan ini sebagian besar penggunaan sarananya mirip dengan penggunaan sarana sekta Bhairawa yang menggunakan arak, tuak dan brem. Selain itu dalam setiap penutup kegiatan Pujawali di setiap Pura di Bali menyelenggarakan upacara Tabuh Rah yang merupkan simbolisasi pemberian penyupatan kepada bhuta kala. Sekta Bhairawa juga mengadakan upacara Tabuh Rah, ini tidak dapat dipungkiri adanya kesamaan bentuk dan pelaksanaan upacara antara Siwa Siddhanta dan Bhairawa.

Unsur-Unsur Sekte Sora dalam Saiwa Siddhanta

Setiap pelaksanaan upacara di Bali saat ini merupakan penerapan dari ajaran Siwa Siddhanta. Dan Ajaran Siwa Siddhanta ini merupakan salah satu bentuk ajaran yang mengkristalisasi semua ajaran sekta-sekta yang ada di Bali. Seperti dalam setiap pelaksanaan upacara pemujaan dalam bentuk surya sewana yaitu pemujaan kepada Dewa Surya, hal ini merupakan salah satu unsur dari sekta Sora yang kemudian di kristalisasikan dalam sekta Siwa Siddhanta. Adapun makna yang terkandung dalam pelaksanaan upacara pemujaan Dewa Surya ini adalah sebagai simbolisasi bahwa umat manusia telah melaksanakan Yajna.

Unsur-unsur Sekte Pasupata dalam Siwa Siddhanta

Sekta pasupata merupakan sekta yang mengutamakan bentuk pemujaan terhdap Dewa Siwa melalui Lingga. Dalam Siwa Siddhanta pelaksanaanya dalam mewujudkan Sang Hyang Widhi Wasa yang berwujud Transenden menggunakan simbolisasi berupa arca atau lingga. Hal ini dapat disamakan dengan bentuk pemujaan yang dilakukan oleh sekta Pasupata. Mpu Sangkulputih merupakan pelopor pembuatan arca atau pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan batu, kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi. Lingga merupakan lambang Dewa Siwa atau Tuhan Siwa, yang pada hakekatnya mempuriyai arti, peranan dan fungsi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat lampau, khususnya bagi umat manusia yang beragama Hindu. Hal ini terbukti bahwasanya peninggalan lingga sampai saat ini pada umumnya di Bali kebanyakan terdapat di tempat-tempat suci seperti pada pura-pura kuno. Bahkan ada juga ditemukan pada goa-goa yang sampai sekarang masih tetap dihormati dan disucikan oleh masyarakat setempat.Di Indonesia khususnya Bali, walaupun ditemukan peninggalan lingga dalam jumlah yang banyak, akan tetapi masyarakat masih ada yang belum memahami arti lingga yang sebenarnya. Untuk memberikan penjelasan tentang pengertian lingga secara umum maka di dalam uraian ini akan membahas pengertian lingga, yang sudah tentu bersifat umum.

Ajaran Hindu yang berkembang di Indonesia adalah ajaran Siwa Siddhanta, yaitu ajaran yang menekankan pada pemujaan Lingga dengan tokoh Tri Murti yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa. Serta pada Tri Purusa yaitu Parama Siwa, Sada Siwa, Siwa. Pengertian Tri Purusa ialah lukisan Tuhan sebagai penguasa alam atas, alam tengah dan alam bawah yang dilukiskan sebagai Parama Siwa (atas), Sada Siwa (tengah) dan Siwa (bawah). (Sara,1994:56). Dari kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa Siwa Siddhanta menggunakan lingga sebagai simbolisasi. Hal ini merupakan kemiripan dari ajaran Pasupata.

Unsur-unsur Sekte Bodha atau Sogatha dalam Siwa Siddhanta

Masuknya agama Hindu di Bali diperkirakan sebelum abad ke-8 Masehi, karena terdapat bukti berupa fragmen-fragmen pada prasasti yang ditemukan di desa Pejeng, Gianyar yang berbahasa Sanskerta. Ditinjau dari segi bentuk hurufnya diduga sejaman dengan meterai tanah liat yang memuat mantra Budha yang dikenal dengan "Ye te mantra", dan diperkirakan berasal dari tahun 778 Masehi. Pada baris pertama dari dalam prasasti itu menyebutkan kata "Sivas.......ddh......." yang oleh para ahli, terutama Dr. R. Goris menduga kata yang hampir pudar itu kemungkinan berbunyi: "Siva Siddhanta". Dengan demikian pada abad ke-8, Paksa (Sampradaya atau Sekta) Siwa Siddhanta sudah berkembang di Bali. Berkembangnya ajaran agama yang dianut oleh raja dan rakyat tentunya melalui proses yang cukup panjang, sehingga dapat dikatakan Hindu Sekte Siwa Siddhanta sudah masuk secara perlahan-lahan sebelum abad ke-2 hingga ke-8 Masehi.

Bukti lainnya adalah ditemukannya arca Siwa di Pura Putra Bhatara Desa di Bedahulu, Gianyar. Arca tersebut merupakan satu tipe dengan arca-arca Siwa di Candi Dieng yang berasal sekitar abad ke-8, yang menurut Stutterheim tergolong berasal pada periode seni arca Hindu Bali. Dalam prasasti Sukawana di Bangli yang memuat angka 882 Masehi, menyebutkan adanya tiga tokoh agama yaitu Bhiksu Sivaprajna, Bhiksu Siwa Nirmala dan Bhiksu Sivakangsita yang membangun pertapaan di Cintamani (di Kintamani), yang menunjukkan kemungkinan telah terjadi sinkretisme antara Siwa dan Budha di Bali. Bila dilihat perkembangannya, kedua aliran agama tersebut sesungguhnya berasal dari pohon yang sama yaitu ajaran Hindu. Berkembangnya dan terjadinya sinkretisme antara penganut Siwa dan Buddhisme di Bali, diduga lebih menonjol pada masa pemerintahan raja besar Dharma Udayana Warmadeva, karena kedua agama tersebut merupakan agama yang diakui kerajaan.

Konsep Budha memang tidak dapat tempat ke dalam konsep ini. Namun secara fhilosofis, Budhisma sesungguhnya tidak memerlukan tempat suci. Sebab inti Budhisma bukan pemujaan, namun pelatihan-pelatihan untuk mengubah prilaku diri sendiri. Karena itu, pura bagi pengikut sang Budha adalah dirinya sendiri. Para pengikut Budha tidak memerlukan tempat suci, meskipun memang ada pengikut Budha yang masih memerlulan tempat suci. Mereka diberi kebebasan untuk membangun tempat suci untuk dewa pujaannya dirumanya masing-masing.

Keseluruhan konsep ini dikembangkan kedalam sebuah tatanan yang disebut Pakraman. Tatanan ini mengikat seluruh warga yang ada di dalam Pekraman. Sehingga semua sekte atau aliran pemikiran tersebut melebur ke dalam Pakraman. Pada sekitar abad ke 15 masehi, peleburan ini telah mencapai pada titik sempurna. Dhangyang Dwijendra pada sekitar abad tersebut, hanya menemui sekte-sekte seperti terdapat dalam kelompok-kelompok elite para brahmana, seperti brahmana Waisnawa, Shiwa dan Budha. Sementara masyarakat bali sendiri telah terlebur ke dalam Pakraman. Siapa pun tidak bisa membedakan sekte-sekte mereka. Walau pun mereka menganut sebuah sekte tertentu. Sifatnya sangat pribadi. Tak perlu diumumkan di tengah-tengah masyarakat luas.