Tampilkan postingan dengan label Jilbab Lovers. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jilbab Lovers. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 23 Juli 2016

Kenangan Hitam Masa Lalu 8



Jam setengah lima sore, Gatot pergi lagi. Ia sengaja tidak membangunkan Murti yang masih tertidur pulas. Ia juga sangat hati-hati saat mengambil kunci pintu kamar dari sela paha Murti, lalu melangkah perlahan-lahan tanpa suara. Aman. Gatot kembali menutup pintu kamar dan langsung ke garasi. Ia tidak menghidupkan mobil, tapi mendorong mobil itu sampai ke jalan raya. Barulah ia menyalakan mesin. Gatot sudah akan melaju tapi ada yang menghalangi mobilnya.
Persis di depannya tiba-tiba ada sebuah motor melintang di jalan. Motor itu tidak juga menyingkir meski sudah di klakson berkali-kali. Gatot hilang kesabaran. Iapun keluar dari mobil dan melangkah cepat menghampiri motor itu. Belum sempat ia menegur, pengendara motor itu mendahului membuka helm dan mengurai rambut panjangnya, lalu berbalik memandang Gatot dengan senyuman yang menghanguskan kemarahan. Emosi Gatot yang siap meledak jadi jinak. Sekarang pengendara motor itu menepi.
“Masih ingat aku?” kata pengendara motor.
“Ya Tuhan! Ningsih?!” seru Gatot senang.
“Benar, Tot. Lama sekali kita tidak jumpa.” kata Ningsih.

“Iya.” Gatot mengangguk. ”malah kupikir kamu sudah punya anak banyak.” candanya.
Ningsih tertawa, “Boro-boro beranak, nikah aja belum. Kamu mau kemana?” tanyanya kemudian.
“Jemput majikanku. Kamu sendiri?” tanya Gatot.
“Mau jalan-jalan ke komplek. Aku kan juga lahir di sini, Tot.” jawab Ningsih. ”Gimana si murti?” ia bertanya lagi.
“Kamu langsung ke rumahnya aja.” sahut Gatot. ”Maaf ya, Ning, aku buru-buru.” serunya.
“Baiklah. Sampai ketemu lagi, Tot.” Ningsih tersenyum.
Mereka berjabat tangan sebelum berpisah. Sayang sekali waktu tidak mengijinkan, padahal Gatot sangat ingin ngobrol lama dengan Ningsih. Iapun tancap gas dan ngebut karena sudah jam lima sore lewat sedikit. Berarti ia sudah terlambat menjemput Pak Camat. Semoga Pak Camat tidak marah, batinnya.
Sesampainya di tujuan, Gatot disambut senyum ramah sang pemilik rumah; seorang wanita yang cantik dan seksi. Pak Camat belum menampakkan batang hidungnya, yang nampak hanya hidung mancung wanita pemilik rumah. Gatot mengedarkan mata dan berharap Pak Camat segera muncul, tapi harapannya sia-sia. Daripada menunggu lama, tidak ada salahnya bertanya.
“Pak Joko ada, mbak?” tanya Gatot pada wanita muda itu.
“Masuk saja dulu. Ayo,” ajak wanita tersebut.
Gatot ikut masuk sampai ruang tamu, lalu duduk di kursi yang empuk dan berhadapan dengan si wajah ayu. Inilah wajah wanita idaman lain Pak Camat. Gatot mulai dilanda gelisah karena yang ia tunggu tak juga muncul. Ia tidak mau bertanya dua kali. Sesekali ia memandang sebentar ke tuan rumah. Ia memandang hanya ke bagian wajah saja karena kalau memandang lebih ke bawah ia takut imannya goyah. Wanita itu duduk serampangan, begitu juga pakaiannya yang melekat sembarangan. Gatot ingin secepatnya keluar dari ruang tamu ini, tapi si wanita malah menyuguhkan segelas susu hangat. Keinginan Gatot pun tertahan.
“Mana Pak Joko, mbak?” tanyanya lagi dengan terpaksa.
“Sudah pulang,” kata wanita itu dengan gaya centil dan suara mendayu.
“Sudah pulang? Kok Mbak Ayu tidak bilang dari tadi?” Gatot merasa ditipu. ”Naik apa Pak Joko pulang?” tanyanya sengit.
Rentetan pertanyaan Gatot dijawab oleh Ayu dengan kerling mata merayu. Gatot jadi serba salah, serba tak tahu harus berkata apa lagi dan tak tahu harus berbuat apa menghadapi situasi yang sangat berbahaya ini. Gatot sudah terbiasa menghadapi berbagai jenis marabahaya, tetapi menghadapi bahaya berupa wujud wanita, ia seringkali kalah. Contohnya; ia sudah kalah dan takluk di pelukan Murti. Ini ada tanda-tanda ia akan kalah lagi di hadapan Ayu.
“Baiklah, Mbak. Saya pulang dulu,” Gatot mencoba untuk pamit.
“Jangan buru-buru.” Ayu mencegah. ”Nanti aku bantu cari alasan ke Pak Joko,” ia tersenyum lagi.
“Terima kasih, Mbak.” sahut Gatot. ”tapi saya masih punya banyak kerjaan di rumah Pak Camat.” katanya. ”selamat sore,” ia pamit kembali.
“Yah, mau gimana lagi.” Ayu tampak kecewa, tapi tidak bisa lagi mencegah. ”Habiskan dulu susunya sebelum pulang,” ia meminta.
Gatot menenggak habis susu itu tanpa tersisa barang setetespun. Setelah itu ia pamit pulang dan menjabat tangan mulus Ayu. Sungguh terlalu, sungutnya setelah berada dalam mobil. Gatot masih terbayang-bayang segala bentuk tingkah laku Ayu. Memang wajar kalau ia menyumpahinya, wanita itu memang benar-benar terlalu. Gatot tak habis pikir, betapa Ayu tidak sedikitpun merasa malu mempertontonkan diri, menampakkan berbagai gaya dan aksi yang mengundang birahinya.
Tiba-tiba Gatot merasakan kepalanya nyeri. Ia mencoba untuk bertahan, tetapi nyeri itu semakin keras menghantam, membuat kepalanya serasa dipukul-pukul, pusing sekali. Konsentrasinya pun buyar dan ia tak sadar telah mengemudikan mobil ke jalur yang tak semestinya. Sekuat tenaga ia terus mencoba kembali fokus, namun pandangannya malah ikut-ikutan kabur.
Ketika sampai di sebuah perempatan, Gatot sudah tak bisa lagi membedakan yang mana rem yang mana pedal gas. Dalam keadaan tak sepenuhnya sadar, mobil melaju kencang menerobos lampu merah, tepat di saat sebuah tronton melintas. Dalam panik, Gatot tak bisa lagi berbuat apa-apa. Ia masih sempat melihat dan merasakan benturan sebelum semuanya menjadi sangat gelap. Bahkan ia tidak sempat melihat darah mengucur deras, darahnya sendiri. Gatot pingsan di dalam mobilnya yang ringsek.

***

“Praaaangg...!!!”
Murti terkaget-kaget ketika mendengar suara gaduh dari dapur. Ia melompat dari tempat tidur dan berlari ke asal suara. Ia berdiri tercenung. Tidak ada siapapun di dapur, baik itu manusia ataupun hewan. Pintu dapur juga tertutup rapat, pun demikian dengan jendela. Aneh. Tidak ada angin tidak ada badai, tiba tiba piring sudah pecah, berserakan di lantai.
Perasaan Murti seketika menjadi galau. Ia ingat petuah dari para orang tua bahwa jika ada barang atau apa saja jatuh dan pecah tanpa sebab, berarti akan ada hal-hal buruk yang akan terjadi. Semacam firasat. Murti memungut pecahan piring dengan hati kalut. Ia berharap tidak terjadi apapun yang menimpa diri dan keluarganya. Ia maghsul. Perasaannya makin tak nyaman, membuatnya gelisah. Ada apa ini? batinnya.
“Mur, cepat pakai baju dan ikut aku,” seru sebuah suara.
“Mas Joko! Bikin kaget saja!” Murti sama sekali tidak menduga suaminya sudah berdiri di belakangnya. Dalam hati ia bersyukur suaminya pulang dalam keadaan selamat dan sehat wal afiat. Berarti kekhawatirannya tidak terbukti. “Ikut kemana, Mas?” tanya Murti kemudian.
“Ke rumah sakit. Gatot kritis!” jawab Pak Camat.
“Apa?!!” Murti berteriak dengan mulut menganga dan wajah penuh tanda tanya. “A-apa yang terjadi dengan Gatot, Mas?” tanyanya dengan suara bergetar.
“Kecelakaan.” jawab Pak Camat pendek. ”Waktu kita sedikit. Cepatlah.” desak laki-laki itu.
Kalau menyangkut Gatot maka Murti tak mau terlambat. Ia berlari cepat menyambar pakaian dan tanpa make up langsung menyusul suaminya di mobil. Tak lama merekapun melesat. Murti gelisah. Ternyata piring pecah itu memang sebuah firasat buruk. Petuah dari para orang orang tua itu benar. Terjadi hal-hal yang sangat tidak diharapkan. Gatot kecelakaan dan sekarang tengah kritis di rumah sakit. Murti ingin segera sampai di rumah sakit.
“Cepat dikit, Mas.” ia meminta.
“Ini sudah cepat, Murti.” jawab Pak Camat. ”Kamu mau kita kecelakaan juga?” tanyanya mengingatkan.
Murti mencubit perut suaminya dengan wajah merengut. Tentu ia tidak ingin mengalami kecelakaan. Masih banyak keinginannya yang belum tercapai dan ia tak ingin mati sekarang. Murti merasa mobil terlalu lambat padahal jarum speedometer sudah menunjuk angka seratus lebih. Berarti suaminya memang ngebut, sama-sama ingin segera sampai di rumah sakit. Dan akhirnya memang sampai juga.
“Yang mana kamarnya, Mas?” tanya Murti sedikit panik.
“Sabar, kita tanya dulu,” sahut Pak Camat.
Murti paling benci birokrasi, tapi kalau mau tahu kamar pasien memang mau tidak mau harus bertanya ke bagian administrasi. Setelah informasi didapat, iapun berkelebat cepat mendahului Pak Camat menuju ruang perawatan. Pak Camat cuma tersenyum samar lalu menyusul istrinya. Kini mereka sudah berada di instalasi gawat darurat. Murti ingin masuk, tapi perawat yang berjaga melarang. Ia cuma bisa mengintip dari lubang pintu. Murti langsung pucat begitu tahu apa gerangan yang terjadi di dalam ruangan. Buru-buru ia berbalik dan menyandarkan kepala di bahu suaminya, duduk berdua dengan suaminya di bangku depan IGD. Perawat yang berseliweran keluar masuk tidak bersedia memberi pernyataan.
“Kita tunggu dokter saja. Sabar ya,” kata Pak Camat.
“Bagaimana bisa terjadi, Mas?” tanya Murti.
“Entahlah, Mur. Aku sendiri tidak tahu. Malah polisi yang memberitahuku tadi.” jawab Pak Camat.
“Mas Joko bagaimana sih? Memangnya Mas nggak pulang bareng Gatot?” ketus Murti dengan curiga.
“Tidak.” jawab Pak Camat. ”Tadinya aku memang minta dijemput. Tapi karena Gatot lama, terpaksa aku pulang bareng Pak Hasan. Ternyata malah kecelakaan gini,” gumamnya.
“Mas Joko rapat dimana?” tanya Murti, masih tak percaya.
“Ya di kantor dong, sayang.” jawab Pak Camat, mencoba untuk tersenyum.
“Bohong.” potong Murti. ”Orang kecamatan bilang Mas Joko tidak ngantor sama sekali hari ini.” terangnya.
“Aku memang tidak ngantor, tapi rapat di gedung DPRD.” kilah Pak Camat, berusaha tetap bersikap tenang. ”Jangan curiga, ah!” katanya kemudian.
“Gimana nggak curiga kalau tiap hari Mas Joko lupa sama istri.” ketus Murti.
“Aku tidak melupakanmu, Mur. Aku sibuk.” kata Pak Camat. ”Sudahlah, ini rumah sakit, bukan tempat untuk berdebat.” tutupnya.
Mulut Murti langsung mengatup rapat, tidak bicara lagi. Tapi dalam hati ia yakin ada yang tidak beres dengan suaminya. Pak camat memang mengalami perubahan besar, itu yang dirasakan oleh Murti, mengingat suaminya yang akhir-akhir ini jarang di rumah. Liburpun Pak Camat tidak di rumah. Kepercayaannya pada sosok suami perlahan luntur, digerus oleh kecurigaan yang semakin hari semakin tak terbendung lagi. Satu-satunya orang yang tahu betul adalah Gatot. Sayang Gatot tidak berani membuka rahasia, malahan kini Gatot tengah menghadapi maut.
Teringat Gatot, lagi-lagi Murti mendesah. Padahal tadi siang ia masih bersama Gatot, melewati masa-masa bahagia dan suka, menghiasi siang dengan tumpahan kasih dan mesra. Tapi di sore menjelang petang ini, Gatot tak bisa lagi diajak bercanda dan tertawa. Murti jadi gelisah.
“Maafkan aku, Mas.” ia akhirnya berkata.
“Tidak apa, Mur. Aku tidak pernah menganggapmu bersalah. Kita berdoa saja buat keselamatan Gatot.” sahut Pak Camat bijak.
Tanpa diminta, Murti memang sudah berdoa sejak mendapat firasat tadi. Kini doanya semakin ia perbanyak, tak peduli Tuhan masih sudi mendengar doanya atau tidak. Yang pasti sebagai makhluk penuh dosa, ia tak pernah berhenti berdoa. Terlebih ini menyangkut hidup mati seorang pria yang sangat melekat kuat dalam hatinya. Pria yang sejak kecil telah menjadi idaman yang abadi, dan setelah dewasa menjadi tempatnya melipur duka.
“Bagaimana pelantikan tadi pagi?” tanya Pak Camat.
“Baik-baik aja, Mas.” sahut Murti. ”Tapi aku dimutasi ke SMA 3. Jadi jauh kerjaku sekarang.” tambahnya.
“Tidak apa. Sementara biar aku antar kamu sampai Gatot sembuh.” kata Pak Camat.
“Tidak usah, Mas. Aisyah bersedia berangkat bersamaku,” tolak Murti halus.
“Kasihan Aisyah, Mur. Sudah jauh dari Cemorosewu, masih harus jemput kamu.” kata Pak Camat.
“Aisyah berencana pindah ke komplek kita, Mas. Dia lagi nyari kontrakan atau kos-kosan.” terang Murti.
“Bagaimana kalau kita tawarkan rumah Gatot saja?” usul Pak Camat.
“Sudah. Aisyah sendiri yang ngomong langsung ke Gatot. Tapi Gatot masih pikir-pikir.” jawab Murti.
“Itu bisa diatur,” sahut Pak Camat.
Seorang dokter keluar dari ruangan. Murti dan Pak Camat serempak berdiri dan memburu dokter itu.
“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Pak Camat. Murti yang ada di sebelahnya berusaha untuk ikut mendengarkan.
“Masih koma. Tapi tidak usah khawatir. Dia tidak mengalami luka fatal.” jawab sang dokter.
“Syukurlah.” Pak Camat menghela nafas lega. ”Bagaimana dengan tulang-tulangnya?” tanyanya lagi.
“Baik.” jawab dokter itu. ”Memang ada beberapa tulang kaki yang retak. Tapi kami usahakan tidak diamputasi,” lanjutnya.
“Bisakah kami masuk ke ruangan itu?” tanya Murti.
“Silahkan. Tapi jangan terlalu dekat dengan pasien,” pesan dokter.
“Terima kasih, Dok.” Murti mengangguk.
Mereka bergegas masuk dan berdiri agak jauh dari tempat dimana Gatot terbaring koma. Tidak ada yang berani bersuara. Hanya mata mereka saja yang berkaca-kaca menyaksikan Gatot dikelilingi beragam jenis peralatan medis yang serba canggih. Selang infus menempel di sana-sini dan perban membalut hampir seluruh bagian wajah dan kaki. Belum ada tanda-tanda kehidupan sama sekali. Alat pendeteksi detak jantung masih menampilkan garis lurus.
“Maaf, adakah diantara bapak dan ibu yang bergolongan darah AB?” seorang perawat bertanya.
“Saya, Mbak. Silahkan kalau mau ambil darah,” sahut Murti cepat.
“Baik. Silahkan ibu berbaring di kasur itu.” kata si perawat.
Murti tidak menunggu persetujuan Pak Camat. Ia mematuhi perintah si perawat untuk berbaring dan menjalani pemeriksaan kesehatan sebelum mendonorkan darah. Ia rela dan ikhlas, bahkan biar darahnya tersedot sampai habis ia rela demi kesembuhan Gatot.
“Kami sangat butuh pendonor untuk memenuhi persediaan darah.” kata perawat itu sambil terus bekerja.
“Mas Joko, cari dong orang kantor yang bergolongan darah AB.” seru Murti pada suaminya.
“Baiklah. Kamu tunggu sebentar ya,” Pak Camat keluar dari ruangan dan menelepon beberapa pegawai kecamatan. Wajahnya tampak kecewa karena hanya satu yang punya golongan darah AB.
“Dewi, bisakah kamu datang ke rumah sakit?” tanya Pak Camat.
“Baik, Pak. Saya langsung kesana,” jawab Dewi dari seberang telepon. Pak Camat tidak pernah tahu kalau Dewi menjawab sambil tubuhnya berada di dalam pelukan seorang laki-laki.
”Siapa?” tanya laki-laki itu yang rupanya adalah Pak Rahmad, bapak kost Dewi.
”Atasan saya, Pak. Ada yang kecelakaan, saya disuruh cepat ke rumah sakit.” jawab Dewi, tubuhnya sedikit menggelinjang saat Pak Rahmad kembali menggerakkan penisnya. Mereka memang sedang bersetubuh saat itu. Seperti biasa, setiap kali ibu kos tidak ada, Pak Rahmad akan pergi ke kamar Dewi untuk mengambil jatahnya. Termasuk malam ini.
”Sekarang?” tanya Pak Rahmad dengan mimik muka kecewa. Baru saja dapat enak, masa harus diputus di tengah jalan.
”Bapak selesaikan aja dulu,” Dewi tersenyum. Ia berhitung, paling lama permainan ini berlangsung 5 menit lagi, itu sebentar untuk ukuran seorang wanita.
Pak Rahmad pun kembali menggerakkan penisnya, sambil tangannya membelai rambut dan payudara Dewi yang bulat membusung. Kecepatan tusukannya mulai bertambah, dari yang semula pelan kemudian berubah menjadi semakin cepat. Nafsu laki-laki itu rupanya kembali memuncak, hingga setelah beberapa menit, ia berbisik mesra di telingan Dewi, ”Wi, aku sudah nggak tahan lagi, mau orgasme.”
”Iya, Pak. Akan Dewi temani sampai ke puncak sama-sama.” sahut Dewi sabar.
Pak Rahmad makin mempercepat gerakannya, ia tampak berkonsentrasi ke tubuh Dewi yang mulus dan sintal. Sambil terus menggenggam dan meremas-remas payudara Dewi, ia pun menyemprotkan air maninya kuat-kuat; creet… creet… creet… berkali-kali penis tuanya berkedut kencang, menumpahkan segala isinya memenuhi lorong vagina Dewi hingga jadi terasa begitu basah dan lembab.
“Ahh... bapak sampai, Wii,” rintih Pak Rahmad sambil memeluk dan mendekapkan kakinya ke pinggul Dewi, dengan begitu batang penisnya bisa tertanam sangat dalam di belahan vagina gadis cantik itu.
Dewi membelai tubuh gendut bapak kos-nya itu. Tidak ada cinta disana, cuma pelampiasan nafsu. ”Cabut ya, Pak. Dewi harus lekas pergi ke rumah sakit,” ia berbisik.
”Ah, i-iya.” Pak Rahmad segera mencabut penisnya.
Dewi buru-buru bangun dan mengambil kertas tissue yang ada di atas meja, ia lap penis Pak Rahmad dengan hati-hati sekali. Setelah itu bibir vaginanya yang basah ia lap juga, lalu ia pergi ke lemari untuk mengambil baju ganti.
”Kamu nggak mandi dulu?” tanya Pak Rahmad sambil rebahan di ranjang, tubuhnya masih telanjang. Penisnya yang tadi menegang, kini sudah mengkerut kembali ke ukuran semula.
Dewi tersenyum saat melihatnya, ”Nanti nggak keburu, Pak.” jawabnya singkat dan lekas pergi meninggalkan kamar.

***

Pak Camat masih berusaha menghubungi siapa saja yang dikenalnya. Sungguh repot mencari, dan sampai habis pulsa, tidak ada yang cocok dengan permintaan si perawat. Murti juga sibuk menelpon dan mengirim sms pada rekan-rekannya sesama guru, juga kawan-kawannya, siapapun yang ia kenal segera ditelponnya. Tapi Murti ragu untuk menelpon Aisyah karena malam ini adalah acara tujuh hari meninggalnya ayah Aisyah. Tapi demi Gatot, ia menepis keraguan itu dan coba untuk menghubunginya. Beberapa kali belum juga diangkat. Murti paham Aisyah pasti sibuk. Sekali lagi ia coba, dan kali ini langsung tersambung.
“Assalamu’alaikum, Aisyah.” sapa Murti.
“Wa’alaikum salam, Bu Murti. Ada apa?” tanya Aisyah.
“Begini, Aisy. Kami sangat butuh pendonor. Apa golongan darahmu?” tanya Murti.
“AB.” jawab Aisyah, yang langsung memberi kelegaan di hati Murti. ”Buat siapa, Bu? Siapa yang sakit?” tanya Aisyah kemudian.
“Buat Gatot. Tadi sore dia kecelakaan dan sekarang masih koma.” sahut Murti.
“Astaghfirullah.” Aisyah berseru kaget. ”Ada di rumah sakit kan? Saya segera kesana, Bu.” janjinya.
“Terima kasih, Aisyah.” Murti mempersilahkan. ”Assalamualaikum...” ia kemudian menutup pembicaraan.
Murti lega. Setidaknya ada empat orang termasuk dirinya sendiri yang bersedia menjadi pendonor. Tiga orang yang lain adalah Aisyah, Ningsih, dan Dewi. Tidak sampai setengah jam, Ningsih dan Dewi sudah berada di rumah sakit. Pak Camat mengantar keduanya ke ruang gawat darurat. Murti menyambut mereka dengan jabat tangan dan ucapan terima kasih. Pengambilan darah berlangsung cepat. Meski sudah selesai, tapi Ningsih dan Dewi tetap bertahan di rumah sakit bersama Murti. Pak Camat ijin pulang untuk mengambil beberapa kebutuhan Gatot.
Sepeninggal Pak Camat, Aisyah datang dengan keringat bercucuran. Murti maklum, pasti Aisyah naik angkot sampai keringetan begitu. Semua berlangsung sama dengan tadi. Dalam sekejap tiga kantong darah sudah siap. Mereka memang memaksa perawat untuk mengambil darah sebanyak-banyaknya.
“Terima kasih, kalian semua mau membantu kami.” kata Murti.
“Saya juga senang bisa membantu.” sahut Ningsih. ”Padahal tadi sore aku bertemu Gatot. Katanya sih dia mau jemput suamimu,” tambahnya.
“Iya, Mbak Murti. Aku juga sempat lihat mobil Pak Camat di perumahan Residence. Pasti gatot yang bawa mobil itu,” kata Dewi.
“Perumahan Residence?” tanya Murti mulai berpikiran curiga. Ia tidak lagi tertarik pada obrolan ketiga tamunya. Ia lebih tertarik pada penjelasan yang disampaikan oleh Dewi; mobil suaminya kedapatan memasuki perumahan Residence.
Selama bertahun-tahun berumah tangga, belum pernah sekalipun Pak Camat  membawanya ke perumahan mewah itu. Suaminya juga tidak pernah menyinggung kawasan elit itu. Tapi yang dibilang Dewi membuatnya berpikir seribu kali. Ada apa gerangan dengan keberadaan mobil suaminya di sana? Apakah itu berhubungan dengan perubahan suaminya? Siapa yang ditemui oleh suaminya disana? Kenapa Gatot tidak bilang apa-apa? Pertanyaan-pertanyaan itu bergentayangan merasuki alam pikirannya, membuat Murti semakin yakin dengan gosip yang dihembuskan di arisan darma wanita.
“Kok Bu Murti malah diam?” tanya Aisyah.
“Tidak apa, Aisy.” jawab Murti. ”Kamu serius mau tinggal di komplek?” tanyanya kemudian untuk mengalihkan pembicaraan.
“Benar, Bu. Ini saya malah bawa seragam kerja. Rencana saya malam ini mau menginap di rumah Bu Murti.” kata Aisyah.
“Nanti bilang sama Pak Camat dulu ya,” sahut Murti.
“Baik, Bu.” Aisyah mengangguk.
“Oh ya, Mur, aku lupa sampaikan kalau keluargaku berencana kembali ke komplek,” kata Ningsih memberitahu.
“Benarkah? Dimana keluargamu mau tinggal, Ning?” tanya Murti gembira.
“Ya di rumah yang dulu.” jawab Ningsih. ”Abah sudah membeli kembali rumah itu. Kami tidak betah di tengah kota, berisik.” terangnya.
“Syukurlah, kita bisa berkumpul lagi, Ning.” jawab Murti.
“Harapanku juga begitu, Mur. Bukan cuma dengan kamu, tapi aku berharap bisa berkumpul dengan teman-teman kecil yang dulu.” kata Ningsih.
“Sepertinya komplek sangat menarik buat dihuni ya, Mbak Murti?” tanya Dewi yang sedari tadi cuma diam mendengarkan.
“Kamu juga mau pindah ke komplek?” tanya Murti penasaran.
“Melihat antusias kalian, terus terang membuat saya tertarik, Mbak.” jawab Dewi.
“Sayang sekali komplek sudah penuh, Dewi. Si Aisyah saja masih bingung cari kontrakan.” kata Murti.
“Sayang sekali.” Dewi kelihatan kecewa. ”Aku juga mulai nggak kerasan di kos-kosan yang sekarang, tidur sering nggak nyenyak.” Bagaimana bisa tidur nyenyak kalau Pak Rahmad terus menyatroninya setiap malam.
“Nantilah kutanyakan ke tetangga,” janji Murti.
Ada-ada saja. Kenapa semua orang ingin tinggal di komplek yang tersohor sebagai kawasan buram itu? Tapi siapa yang bisa menebak isi hati orang. Murti hanya bisa menebak isi hatinya sendiri.
Jam sepuluh malam Pak Camat kembali ke rumah sakit. Murti dan Aisyah membantu membawakan empat tas besar berisi pakaian dan kebutuhan Gatot selama dirawat, sementara Dewi dan Ningsih setengah jam yang lalu sudah meninggalkan rumah sakit karena jam besuk sudah berakhir.
“Mur, kamu tahu kemana Gatot mau pergi?” tanya Pak Camat.
“Maksud Mas Joko?” tanya Murti tak mengerti.
“Begini, tadi aku masuk ke rumah Gatot. Aku lihat satu setel baju koko dan kopiah seperti sudah disiapkan olehnya. Makanya kutanya kamu, tau dia kondangan dimana?” jelas Pak Camat.
Murti dan Aisyah berpandangan. Aisyah lalu memandang Pak Camat dengan wajah sedih. “Mungkin Mas Gatot mau tahlilan ke rumah saya, Pak. Tadi siang saya memang undang dia.” jawabnya.
“Ooh begitu.” Pak Camat manggut-manggut. ”Saya juga mohon maaf kalau tidak bisa hadir ya, Aisyah. Saya sibuk.” tambahnya.
“Tidak apa-apa, Pak. Saya memahami kesibukan Pak Camat.” kata Aisyah.
“Sudah malam. Ayo kita pulang. Aisyah mau ikut?” tanya Pak Camat.
“Iya, Pak.” Aisyah mengangguk. ”Saya harap bapak tidak keberatan menerima saya semalam saja. Terlalu malam kalau saya pulang ke Cemorosewu.”
“Saya malah senang. Ayo,” jawab Pak Camat sambil tersenyum.
Merekapun meninggalkan rumah sakit dengan hati berat, terutama Murti. Ia sangat ingin lebih lama di rumah sakit, bahkan kalau perlu menginap untuk memastikan keadaan Gatot baik-baik saja. Sayangnya semua itu tak mungkin karena ia bersuami. Cukup doa saja yang ia panjatkan bersama mekarnya seribu harapan.

***

Di dalam kamar, Dewi memekik kaget saat seseorang tiba-tiba memeluk tubuhnya dari belakang. ”Auw! Pak Rahmad... saya kira sudah tidur.” gelinjangnya.
Laki-laki tua itu tertawa, ”Tadi belum puas,” bisiknya sambil mengendus leher jenjang Dewi.
Si cantik yang baru pulang dari rumah sakit itu tersenyum, ”Dasar, bapak ini nggak ada bosan-bosannya ya!”
”Sama gadis secantik kamu, masa aku bisa bosan?” balas Pak Rahmad, mulutnya perlahan mencari dan memagut pelan bibir Dewi yang tipis mungil, lalu mengulumnya lembut.
Mereka saling berciuman, lidah Pak Rahmad dijulurkan ke dalam rongga mulut Dewi, yang diterima Dewi dengan senang hati. Langsung saja mereka saling melumat dengan penuh gairah. Tangan mereka juga saling meraba. Dewi yang saat itu mengenakan hem agak longgar, mulai dibuka kancingnya satu persatu oleh Pak Rahmad. Dadanya pun akhirnya terbuka, menampakkan sepasang payudara indah miliknya yang terlihat begitu mulus dan menggiurkan.
Dewi tak berkutik saat Pak Rahmad menggiringnya naik ke atas ranjang, laki-laki itu merebahkannya ke tempat tidur tanpa melepaskan lumatannya, sambil tangan kanannya mulai meremas-remas payudara Dewi yang bulat besar dengan penuh nafsu.
Dewi yang sudah mulai horny langsung melucuti sisa pakaiannya hingga telanjang bulat, ia juga membantu Pak Rahmad untuk melepas kain sarungnya. Setelah sama-sama bugil, mereka kembali berpelukan dan saling bertindihan di atas ranjang. Dengan gemas Dewi memegang dan meremas-remas batang kemaluan Pak Rahmad yang pendek tapi sangat besar, cepat sekali benda itu ereksi. Kini sudah terasa sangat keras dan tegang sekali.
Tangan kanan Pak Rahmad terus meremas-remas payudara Dewi, bibirnya juga tak henti melumat dan menghisap mulut perempuan cantik itu, bahkan kini ciumannya turun ke arah leher Dewi yang jenjang. Ia menghisap lembut disana sambil memberikan gigitan-gigitan kecil yang sangat diinginkan oleh Dewi.
”Ah, Pak...” gadis itu merintih, paha kanannya ditumpangkan ke paha kiri Pak Rahmad, sementara lututnya ia gesek-gesekkan ke atas pinggul laki-laki tua itu hingga alat kelamin mereka bisa saling bersentuhan.
Pak Rahmad memindahkan tangannya, kini ia menggesek naik turun tepat di bagian luar vagina Dewi yang sudah mulai basah berlendir, sementara bibirnya terus menciumi bagian-bagian tubuh Dewi yang sensitif. Dengan piawai Pak Rahmad memainkan ujung jarinya di belahan vagina Dewi, sambil sesekali menyentuh dam merangsang klitorisnya. Dengan sengaja ia menyentil-nyentil daging mungil itu hingga Dewi sampai menghentak-hentakkan tubuhnya karena saking gelinya.
Pelan ciuman Pak Rahmad juga mulai turun ke bawah dan berhenti di payudara Dewi yang bulat besar, dengan lembut lidahnya menggelitik puting susu Dewi yang ranum dan berwarna merah kekuningan. Buah dada itu habis dilumatnya, Pak Rahmad sudah hafal dimana titik-titik sensitif di tubuh Dewi, dan semuanya habis ia kerjai.
Sekarang tinggal yang bawah. Dewi melenguh saat merasakan nikmatnya belaian tangan Pak Rahmad di lubang vaginanya. Jari laki-laki itu yang besar menggosok-gosok bagian luar vaginanya, berkali-kali sengaja mengenai bulatan klitorisnya, sambil jari tengahnya seperti dimain-mainkan di lorongnya yang sempit sehingga vagina Dewi dengan cepat menjadi basah dan becek. Terdengar bunyi kecipak keras saat Pak Rahmad terus merangsangnya.
Tak ingin kalah, Dewi mengulurkan tangan. Kembali ia meremas dan mengocok-ngocok batang kemaluan laki-laki tua itu. Ia terus melakukannya saat dengan telapak tangannya, Pak Rahmad mendorong lutut Dewi ke atas dan mengangkangkan pahanya lebar-lebar sehingga bagian vagina Dewi yang mungil terpampang jelas.
Pak Rahmad lalu mengarahkan kepalanya ke situ, dengan rakus mulutnya langsung menyerbu mulut vagina Dewi, semua cairan yang ada disana dijilat dan langsung ditelannya sampai habis. Seakan tidak puas, laki-laki itu terus menjulurkan lidahnya, menjilat belahan pantat Dewi hingga lubang anusnya juga. Tak ketinggalan liang vagina Dewi yang sempit juga jadi sasaran lidahnya, Pak Rahmad mengorek dan menusuk-nusuknya hingga dalam sekali.
”Augh... Pak!” diperlakukan seperti itu, nafsu Dewi jadi semakin memuncak. ”Ooo... ampun, Pakk... aduh... aduduh... uhh... bapak gila! Aah...” rintihnya kesetanan.
Pak Rahmad yang tidak ingin memberi Dewi kesempatan untuk menarik nafas, segera merangkak naik mencium bibirnya, sambil tangan kanannya kembali meremas-remas puting susu perempuan cantik itu.
”Ahh...” Dewi melenguh saat merasakan benda lunak padat menempel di bibir vaginanya.
Dengan tangan kirinya Pak Rahmad menuntun batang kemaluannya agar tepat berada di pintu masuk vagina Dewi. Setelah tepat, segera didorongnya dengan sepenuh tenaga. Sleepp... bleessh! Masuklah batang gemuk itu, memenuhi lorong vagina Dewi dengan segala pesonanya.
”Arghh...!” Dewi mengernyit, tapi terlihat menikmatinya. Apalagi saat Pak Rahmad mulai memompa penisnya maju-mundur, mengocok lubang vaginanya, rasanya bukan main. Dewi jadi semakin menggelinjang keenakan dibuatnya.
”Aduh... enak banget, Pak... terus!” rintih Dewi penuh kepuasan, karena sambil tetap mengocok batang kemaluannya, ibu jari tangan kanan Pak Rahmad ditempelkan ke klitorisnya dan digesek-gesekkan dengan lembut disana, sementara tangan kirinya meremas-remas payudara Dewi sambil juga memilin-milin puting susunya.
”Ooo... ooh! Dewi, aku sudah mau keluar lagi.” rintih Pak Rahmad tiba-tiba. Seperti biasa, laki-laki itu tidak bisa tahan lama.
”Sebentar, Pak! Kita keluarkan sama-sama.” kata Dewi sambil ikut menggerakkan pinggulnya, dengan begitu ia berharap rangsangan pada tubuhnya akan lebih nikmat lagi.
Pak Rahmad hanya bisa menggeleng-geleng dan menyusupkan kepalanya  ke belahan payudara Dewi yang besar saat menerima semua itu. ”Ooh... s-sudah, Dewi... aku nggak tahan!” jerit laki-laki tua itu, dan akhirnya ia orgasme sambil memeluk tubuh montok Dewi erat-erat.
Dengan selangkangan masih basah dan belepotan oleh cairan sperma Pak Rahmad yang sedikit kental, Dewi meneruskan genjotannya. Mumpung penis laki-laki itu masih belum melemah, ia membatin. Dan akhirnya bisa juga menjemput orgasmenya tak lama kemudian. Cairannya memancar keluar banyak sekali, begitu deras, bahkan hingga sampai membasahi bantal dan sprei. Pak Rahmad tersenyum saat melihatnya.
”Enak?” tanya laki-laki tua itu, tangannya kembali meremas-remas payudara Dewi yang begitu putih dan montok.
”He-em,” Dewi mengangguk. ”Bapak juga enak kan?” tanyanya balik.
Pak Rahmad tersenyum, ”Kalau nggak enak, nggak mungkin aku bisa ketagihan sama tubuh kamu.” jawabnya diplomatis.
Mereka saling berangkulan dan akhirnya tertidur pulas tak lama kemudian, sama-sama puas dan kelelahan.

Selasa, 19 Juli 2016

Ketika Iblis Menguasai 6



Perselingkuhan Aida dan Pak Sobri

Apakah pak Sobri sudah puas dengan pengalaman sekali saja menggarap Aida – ataukah di masa depan masih ada kesempatan lagi mencicipi tubuh Aida yang bahenol itu? Apakah Aida telah belajar kenal dengan semua teknik bercinta? Ooh, masih jauh dari itu. Pak Sobri bertekad akan mengulang menikmati Aida dengan cara lain dan menjadikannya budak sex yang patuh 100%

***

Keadaan kesehatan Ubaidillah yang dirawat di RS hanya menunjukkan perbaikan sedikit sekali. Uang yang diperoleh dari pak Sobri telah terpakai untuk segala macam pemeriksaan, perawatan, obat-obatan, dan juga honorarium dari para dokter spesialis. Sementara itu Ustadz Mamat serta adik iparnya, Farah, tetap belum memperoleh pemasukan yang pasti.

Secara sepintas terdengar jumlah uang tiga juta yang diperoleh Aida dari pak Sobri memang banyak, namun dengan kenaikan harga kebutuhan hidup sehari-hari, ditambah biaya RS, maka punahlah semuanya bagaikan tetesan air di kuali panas yang langsung menguap di udara. Demi mengusahakan agar dapur tetap berasap, maka Ustadz Mamat terpaksa sering bekerja di sebuah madrasah di kota kecil lain yang cukup jauh sehingga tak jarang harus menginap satu dua malam meninggalkan rumahnya.
Demikian pula dengan Farah yang karangannya belum juga dimuat dan telah mengalami pelecehan oleh pak Burhan, berusaha melupakan pengalaman gelapnya itu dengan bekerja sebagai guru agama di Sekolah Rakyat di sebuah desa yang berjauhan dengan rumahnya. Dengan demikian maka Aida semakin sering tinggal seorang diri di rumahnya – dan hal ini tentu saja tak luput dari pengamatan para lelaki di desa itu. Salah satu lelaki yang mengamati bagaimana keadaan Aida adalah seorang duda pemilik warung serba ada kecil-kecilan di desa itu : Fadillah.
Fadillah telah berusia masuk lima puluh tujuh, bertubuh sangat kekar dan wajah sangat bengis, jarang tertawa terkecuali jika ada langganan yang datang untuk membeli seorang wanita muda. Fadillah yang sehari-haridisebut Fadil itu pernah bekerja sebagai buruh kuli harian, dan kebetulan dahulu menjadi kuli bangunan pada saat rumah pak Sobri dibangun. Dimasa  menjadi kuli borongan itulah, Fadil yang memang berjiwa maksiat, pernah mencuri bahan bangunan dan berusaha menjualnya di pasar gelap.
Akibatnya Fadil ditangkap polisi dan dimasukkan ke penjara – namun karena istri Fadil almarhum merasa kasihan terhadap suaminya, maka ia meminta tolong kebijaksanaan kepada pak Sobri yang banyak mengenal pihak polisi. Istri Fadil bernama Subiati memang cukup cantik sehingga pak Sobri bersedia menolongnya, namun tentu saja tidak dengan gratis, melainkan menjebak Subiati ke rumahnya untuk dapat digarapnya.
Subiati sebagai istri alim shalihah tak dapat sembuh kembali dari tekanan jiwa akibat perkosaan yang dialami, sehingga menderita tekanan batin dan semakin kurus akibat mengidap sakit paru-paru. Perempuan itu akhirnya meninggalmendahului suaminya, Fadillah, yang sejak saat itu hidup menduda.     
Setelah ditinggal mati sang istri, Fadillah menjadi kaki tangan pak Sobri, terutama di dalam hal mencarikan daun muda” di desa, karena Fadillah faham sekali apa kegemeran dan kesenangan pak Sobri.
Oleh karena itulah Fadillah mendapat perintah dari pak Sobri agar memperhatikan bagaimana kehidupan Aida setelah berhasil digarap olehnya, terutama pada saat berbelanja keperluan dapur di kedai milik Fadillah yang sejak awal mula didirikan dengan modal dari pak Sobri.
Tentu saja Fadillah harus menahan nafsunya sendiri melihat istri Ustadz yang seronok behenol setiap kali membeli beras, minyak dan bumbu-bumbu masak lainnya. Fadillah berusaha ramah-tamah dan menanyakan bagaimana keadaan Ustadz Mamat yang semakin lama semakin jarang muncul sendiri di warung itu.
Semula agak segan Aida menceritakan keadaan keluarganya, keadaan ayahnya yang masih dirawat di rumah sakit, kegiatan yang dilakukan suaminya mencari nafkah. Namun karena Fadillah yang memang diberikan perintah oleh pak Sobri untuk menjebak Aida semakin sering memberikan potongan harga dan menjual barang keperluan sehari-hari jauh di bawah harga pasaran biasa , maka Aida tanpa disadari mulai terhanyut olehkebaikan hati’ laki-laki itu.
Dalam waktu hanya beberapa minggu, maka Fadillah telah memperoleh banyak informasi dari Aida yang polos dan lugu, bahwa biasanya di hari Senin dan Kamis, Ustadz Mamat mempunyai tugas mengajar para siswi di madrasah yang terletak cukup jauh dari desa. Informasi berharga ini disampaikan kepada pak Sobri yang memang selalu mencari kesempatan untuk menggauli kembali wanita alim idamannya itu. Apalagi memasuki musim hujan, maka hubungan antar desa semakin sukar sehingga Ustadz Mamat lebih sering terpaksa bermalam di madrasah setelah usai tugas mengajarnya itu – meninggalkan istrinya Aida seorang diri di rumah.         

***
Setelah makan siang bersama, kembali Ustadz Mamat meninggalkan Aida, istrinya, untuk balik mengajar ke madrasah tempatnya bekerja. Ia memberitahu Aida bahwa karena banyaknya tugas, maka ia akan bermalam di asrama madrasah selama dua hari.
Secara naluri, Aida merasakan adanya perbedaan kelakuan suaminya sejak mempunyai pekerjaan di madrasah baru yang terletak di desa lain itu. Aida merasakan bahwa suaminya tidak lagi menunjukkan kegairahan di saat menggaulinya sebagaimana lazimnya seorang suami dengan istri yang masih berusia muda. Tak banyak dilakukan oleh Ustadz Mamat untuk mencumbu merayu sang istri sebelum sanggama, dan sesudah itupun, Ustadz Mamat langsung membalikkan tubuhnya ke arah lain dan mendengkur.
Aida yang baru saja kehilangan ayahnya yang meninggal setelah menderita stroke, ikut acuh pula terhadap sang suami. Dalam suasana kesedihan itulah, Aida merasakan tak adanya seseorang yang dapat menghibur dirinya; ketiga adik perempuannya semakin sibuk dengan tugas dan kuliah masing masing. Bahkan tak pernah diduganya bahwa Farah telah menjadi korban pelecehan pak Burhan dan kini menjadi guru di sekolah agama sehingga hanya sekali dua kali sebulan mengunjunginya.
Ada dugaan di dalam hati kecil Aida bahwa Ustadz Mamat, suaminya, mungkin menyeleweng dengan wanita lain; mungkin dengan salah seorang siswi muridnya sendiri. Namun dengan segera dihapusnya rasa syak wasangka itu. Semua siswi madrasah pasti alim shalihah, mana mungkin mau untuk menjadi sasaran nafsu gurunya sendiri? Demikianlah cara berpikir Aida yang amat lugu dan naif.
Selain itu Aida menyimpan pula sebuah rahasia dan rasa bersalah karena telah menjadi korban pak Sobri. Semuanya menyebabkan Aida semakin merasakan dirinya sendiri kurang berharga dan tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya untuk memulihkan segalanya seperti awal semula.
Semua suasana yang kurang menguntungkan itu tentu saja tidak luput dari pengawasan iblis yang memakai anak buahnya yaitu Fadillah, si pemilik warung dimana Aida selalu belanja.
Setelah suaminya kembali ke tempat kerja di madrasah, maka Aida bergegas membeli keperluan mandi di warung langganannya itu, dan karena kebetulan sepi maka mereka ngobrol sebentar. Dari hasil obrolan itulahFadillah mengetahui bahwa Ustadz Mamat akan absen selama dua hari, artinya Aida hanya seorang diri di rumahnya karena ketiga adik wanitanya pun sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Fadillah yang tahu bagaimana keadaan Aida, segera melapor kepada majikannya yaitu pak Sobri. Dengan seksama pak Sobri mendengarkan laporan Fadillah, dan paham inilah kesempatannya untuk menikmati istri Ustadz yang selalu dirindukannya sejak digarap tempo hari.
Fadillah memberitahukan pula kepada pak Sobri bahwa Aida meminta bantuannya mendirikan tiang jemuran di halaman belakang serta memperbaiki grendel pintu belakang yang hampir terlepas. Aida telah bosan meminta suaminya membetulkan kedua hal sepele itu, namun entah memang sengaja atau tidak, selalu dilupakan oleh Ustadz Mamat. Fadillah berjanji akan datang setelah menutup warungnya di sore hari.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, demikian pikir pak Sobri yang memang mencari akal untuk dapat masuk ke rumah Aida. Setelah berhasil menipunya tempo hari, maka kemungkinan besar Aida tak akan mau membukakan pintu jika pak Sobri yang datang sendirian. Fadillah akan dijadikannya sebagai umpan pemancing; pada saat Fadillah membetulkan tiang jemuran itu, maka pak Sobri akan coba menyelinap masuk. Semuanya harus diatur sedemikian rupa waktunya sehingga bisa berjalan lancar.
Pak Sobri bertekad kali ini akan menggarap dan menaklukkan Aida untuk dijadikan budak seks-nya, sehingga di masa depan Aida akan selalu 'ketagihan' dan bersedia menerimanya tanpa bantuan serta akal bulus siapapun.
Fadillah juga tidak sebodoh yang diperkirakan pak Sobri. Untuk jasanya menjadi umpan pemancing kali ini, maka diajukannya persyaratan bahwa ia harus diberi kesempatan untuk ikut menikmati tubuh Aida yang sudah lama dilahap matanya saat belanja di warung.
Setelah menimbang semua untung ruginya, akhirnya pak Sobri menyetujui keinginan Fadillah - saat itulah iblis menyeringai lebar penuh kepuasan karena dua manusia itu akhirnya jatuh ke dalam jebakannya!!!
Pak Sobri menjanjikan kepada Fadillah untuk boleh menikmati tubuh Aida, namun harus tunggu giliran. Fadillah diberikan petunjuk untuk merejang kedua tangan Aida, kemudian jika perlu diikatnya di ujung ranjang, demikian pula kedua pergelangan kakinya jika Aida tetap melawan. Setelah itu Fadillah harus menunggu giliran untuk dapat menikmati mulut serta buah dada Aida, namun kedua lubang di bawah adalah milik pak Sobri.
Fadillah semula menolak dan menuntut agar diberi kesempatan menikmati semua lubang di tubuh Aida, bahkan sedikit mengancam akan mengundurkan diri dan membatalkan bantuannya, hingga akhirnya pak Sobri bersedia bernegosiasi lebih lanjut dan memberikan tawaran bahwa disamping Fadillah diperkenankan menciumi mulut Aida, ia juga boleh meminta service lainnya. Namun memek Aida tetap menjadi bagian yang tabu bagi Fadillah, ia boleh merangsang sedemikian rupa, namun tak boleh dicoblos – bagian ini adalah hak monopoli pak Sobri.
Selain itu pak Sobri berniat menjarah lubang Aida lainnya yang di waktu pergulatan pertama belum sempat ia nikmati; sebuah lubang yang diyakini pak Sobri belum pernah dijamah oleh Ustadz Mamat, suami Aida, yang di dalam bidang seksual tidak begitu banyak fantasi liar.
Tanpa meneruskan perundingan mereka, sebetulnya Fadillah pun berpikir bahwa jika vagina Aida tidak boleh ia nikmati, mungkin ada lubang lain dimana si otongnya dapat mampir. Itu sama dengan yang diinginkan olek pak Sobri. Sepertinya mereka akan rebutan nanti.

***

Sore itu terasa udara sangat panas menyengat, langit mendung dan beberapa kali terdengar gelegar guntur. Namun hujan yang turun tak begitu lebat, hanya gerimis rintik-rintik saja. Tidak seperti biasanya, Fadillah telah menutup warungnya sekitar jam empat sore, kemudian dengan sepeda motor bekas pemberian pak Sobri, ia melawan rintik hujan menuju rumah Aida yang letaknya di pinggiran desa, agak tersembunyi di balik pelbagai pohon besar.
Di gang kecil tempat tinggal Ustadz Mamat hanya ada tiga rumah lain - yang terletak paling memojok di akhir jalan adalah rumah Aida. Ketika Fadillah membelokkan sepeda motornya memasuki gang itu, dilihatnya bahwa Aida sedang bergegas akan masuk ke rumah tetangganya di ujung jalan, di tangannya membawa botol kecil.
"Eeh, mau pergi kemana, ustazah? Saya kan sore ini mau membetulkan jemuran di belakang rumah," demikian tanya Fadillah sambil menghentikan sepeda motornya.
"Iya, ini saya mau bawakan minyak tawon ke bu Nur, karena ia barusan jatuh di tepi sumur hingga lututnya memar. Silahkan bapak mulai saja betulkan jemuran dan pegangan pintu belakang, saya tidak lama koq." jawab Aida dengan nafas agak tersengal dan segera masuk ke rumah bu Nur.
"Baik, ustazah. Saya harus mulai nih karena sudah turun hujan gerimis," lanjut Fadillah yang merasa dapat kesempatan baik untuk memberitahu pak Sobri yang ternyata secara seksama mengikuti semua adegan itu dari belakang setir mobilnya yang berada di tempat agak jauh.
Ketika Aida telah masuk ke rumah bu Nur, maka Fadillah mengacungkan tangannya ke atas sebagai tanda bahwa pak Sobri agar segera parkir dan meninggalkan mobilnya. Pak Sobri lekas melakukannya. Setelah itu, bagaikan dikejar setan, ialangsung lari secepatnya mengikuti jejak Fadillah yang telah memutari pekarangan rumah Ustadz Mamat dan kini mulai menegakkan jemuran pakaian yang miring itu.
Rupanya Aida lagi mengangkat pakaian di jemuran ketika dia dipanggil oleh bu Nur, sehingga ia bergegas ke dalam mengambil botol minyak tawon dan berlari ke rumah tetangganya itu, tanpa menyadari bahwa pintu belakang rumahnya lupa ia kunci. Akibatnya, kini dengan mudah pak Sobri masuk ke dalam dan bersembunyi di dalam kamar tidur Ustadz Mamat.
Hujan gerimis berubah semakin lebat sehingga tanah menjadi sangat basah. Fadillah dengan mudah dapat menegakkan tiang penyangga jemuran, namun untuk memasang pondasi semen pada saat itu sungguh tidak mungkin. Karena itulah ia memutuskan untuk mengalihkan kegiatannya membetulkan grendel pintu belakang, dan hal itu ternyata hanya sepele saja; cukup dengan mengencangkan dua sekrup kecil yang berada di pegangan grendel sebelah dalam dan luar, maka sebentar saja grendel itu telah mantap dan tak goyang lagi sedikitpun.
Di saat Fadillah berniat untuk menyimpan lagi segala peralatan yang dibawanya ke tas di bagian belakang sepeda motornya, ternyata Aida telah kembali dan merasa kasihan karena Fadillah basah kuyup. Namun sebagai ustazah yang alim maka tak mungkin ia mengajak Fadillah masuk ke dalam rumah karena saat itu hanya seorang diri, tanpa mengetahui bahwa mahluk buas telah berada di dalam kamar tidurnya.
Fadillah pun berpura-pura sama sekali tak berniat masuk dan hanya numpang meneduh sekedarnya di bawah jendela rumah sang Ustadz yang sedikit terbuka. Namun Fadillah telah melihat sebelumnya bahwa jendela itu sangat mudah untuk dicongkel penyangganya dari luar, dengan demikian ia dapat melompat masuk ke dalam rumah tanpa perlu susah payah.
Ketika hujan mulai mereda - namun keadaan sudah gelap sehingga tak mungkin di saat itu untuk Fadillah melanjutkan pekerjaannya, maka ia dengan suara lantang pamit pulang kepada Aida dan menjanjikan untuk meneruskan membetulkan jemuran yang miring itu esok hari. Aida setuju dan merasa lega ketika mendengar suara sepeda motor Fadillah menderu sayup-sayup semakin menjauh.
Padahal Fadillah hanya menjalankan motornya beberapa puluh meter, kemudian kembali berhenti dan meneduh di bawah pohon sambil menantikan beberapa saat lagi, dimana di luar sudah sedemikian gelap sehingga tak ada manusia yang melihatnya, barulah ia kembali ke rumah Aida.
Sekitar sepuluh menit setelah suara sepeda motor Fadillah tak terdengar lagi, maka Aida berniat untuk membasuh dirinya di kamar mandi. Setelah menunaikan tugasnya seharian sebagaimana biasa sebagai ibu rumah tangga, maka Aida merasakan badannya membutuhkan siraman air segar untuk menghapus keringat yang melekat di badan. Sebagaimana biasanya ia selalu menukar pakaian setelah mandi, maka Aida menuju ke kamar tidurnya untuk mengambil pakaian baju kurung sederhana tapi bersih untuk dipakai sehari-hari di rumah. Tanpa curiga sedikit pun Aida membuka pintu kamar tidurnya dan mulai melangkahkan kaki masuk ke dalam, ketika tubuhnya disergap-dibekap secara tiba-tiba dari belakang.
"Uumpfh.. efpffhhh.. s-siapa?! Aauuffhhh," Aida menggeliat dan berusaha meronta membebaskan dirinya dari sergapan dan pelukan ketat yang melingkar di pinggangnya.
Dirasakannya bahwa tubuh lelaki yang menyergapnya dari belakang itu sangat kekar serta memiliki tenaga yang jauh berlipat dibandingkan dengan tenaganya sendiri. Selain itu aroma yang keluar dari tubuh penyergapnya sangat khas kelaki-lakian, bau keringat yang tidak keluar dari tubuh suaminya sendiri, namun bau itu pernah dialaminya beberapa bulan lalu. Ditambah lagi dengusan nafas menderu bagaikan banteng murka di tepi telinganya, dengusan penuh nada kejantanan yang didengarnya saat dirinya ditakluki seorang pemerkosa : pak Sobri!
Tanpa disadari Aida merinding, bulu kuduknya berdiri, lututnya melemas, badannya menggigil bagaikan demam : Ya Allah, jangan biarkan hal yang nista ini terulang lagi, demikianlah panjatan doanya.
"Ssh.. tenang aja, neng geulis, kan pernah kenalan sama bapak, pasti udah péngén digenjot lagi. Bapak juga kangeeen banget.. kenapa merinding, neng? Sini bapak bikin badan neng jadi anget," bisik pak Sobri disertai nafasnya yang berbau rokok semakin menembus lubang hidung mungil Aida.
Tanpa memperdulikan rontaan dan hentakan Aida yang melawan mati-matian nasib yang akan terulang kembali, pak Sobri yang walapun telah cukup usia namun masih sangat tegap dan kuat, menyeret mangsanya perlahan-lahan ke arah ranjang. Sementara tangan kirinya tetap membekap mulut Aida, jari-jari tangan kanan pak Sobri semakin liar menjalar dan menyelinap masuk diantara belahan kebaya yang dipakai istri Ustadz Mamat itu.
Aida berusaha mencakar tangan pak Sobri, namun sang pejantan yang telah kemasukan iblis ini seolah tidak merasakan kuku wanita cantik mangsanya. Dengan sekali putaran dan dorongan, maka pak Sobri berhasil menghempaskan tubuh Aida ke ranjang dan langsung ditindih dengan badannya yang sangat berotot. Bagaikan singa telah menjatuhkan kancil ke tanah, maka pak Sobri semakin ganas menguasai calon korbannya.
Mulutnya kini sepenuhnya menutup rekahan bibir Aida yang ingin berteriak, namun sama sekali tak berdaya. Lidah pak Sobri menerobos dan menjalar ke dalam rongga mulut Aida, membasahi dan mencampuri ludah manis Aida dengan liur kentalnya yang berbau tembakau sangat memualkan dan tak disenangi oleh Aida.
Pada saat itu pintu kamar tidur Aida kembali terkuak dan dari sudut matanya, Aida melihat kemunculan sesosok tubuh yang dikenalnya : Fadillah! Penuh harap Aida menggapai ke arah Fadillah untuk meminta tolong, namun yang dilihat olehnya adalah sinar mata Fadillah berbinar-binar penuh nafsu. Telah beberapa kali Aida menangkap sinar mata liar Fadillah semacam itu di warungnya, namun memang dianggapnya bahwa itu lumrah saja untuk semua lelaki. Namun dalam situasi seperti ini, barulah Aida menyadari bahwa harapannya untuk mendapat bantuan dan pertolongan Fadillah sama sekali sia-sia belaka, bahkan dilihatnya kini Fadillah bergegas melepaskan pakaiannya sendiri!
"Gimana, pak, perlu bantuan?" demikian tanya Fadillah sambil melepaskan celana panjangnya sehingga kini hanya memakai kaos dan celana dalam saja, lalu mendekati pergulatan di ranjang itu.
"Iya, nih cewek masih cukup binal. Mana tali serta lakbannya, Dil ?" demikian tanya pak Sobri diantara ciuman ganasnya di bibir Aida sambil tetap menindih dan menggeluti tubuh yang makin terlihat kemulusan serta putih menggiurkan itu. Sarung kebaya yang selalu sopan ketat menutup tubuh Aida kini telah acak-acakan dan tersingkap akibat ronta mati-matian, menyebabkan dada berbukit kembar, perut datar berpusar menantang, serta paha betis halus bagaikan batu pualam milik Aida menonjol keluar!
Sambil tersenyum lebar penuh kemesuman, Fadillah menghampiri serta kini berdiri di ujung ranjang bagian kepala. Pak Sobri merenggut kasar kebaya dan BH yang dipakai oleh Aida, kemudian sarung penutup pinggul serta auratnya juga ditarik ke bawah, sementara Fadillah merejang merentangkan kedua tangan Aida, lalu diikatnya seerat mungkin ke ujung ranjang, sehingga kini tak dapat mencakar lagi.
"Toloong.. empfh.. sialaan! Bangsat! Bajingan kalian semua! Terkutuk, cepat lepaskan! Atau saya akan teriak panggil polisi.. tol-eummpfh!!" Kali ini teriakan Aida diredam oleh bibir Fadillah yang ternyata tak kalah ganas dan juga sama berbau tak sedap seperti mulut pak Sobri.
Kesempatan ini dipergunakan oleh pak Sobri untuk melepaskan semua pakaiannya. Dalam waktu hanya satu menit, terlihatlah tubuh pak Sobri yang meskipun agak tambun namun tetap berotot dan agak mengkilat dengan keringat akibat pergulatannya dengan Aida. Setelah itu pak Sobri kembali ke ranjang dan menindihi tubuh Aida yang tetap menggeliat meronta-ronta. Sarung yang telah turun melorot ke betis Aida dilepaskannya sama sekali, setelah mana pak Sobri menarik celana dalam kecil warna biru muda, diciuminya bagian tengah cd yang telah nampak lembab itu penuh nafsu.
"Wuih, harumnya nih air madu dari memek... enggak percuma selalu disimpan ya, neng.. udah waktunya ntar disedot ama bapak. Tapi sekarang bapak mau nyusu dulu ah," celoteh pak Sobri sambil menelusuri bukit kembar di dada Aida; diremas dan dipilin-pilinnya puting yang semakin mengeras itu, kemudian dicaploknya bergantian kiri kanan sambil digigit dan dikenyotnya habis-habisan.
Aida semakin kewalahan menghadapi serangan kedua lelaki durjana ini, mulutnya masih tertutup oleh bibir dan lidah Fadillah yang menyapu langit-langitnya dengan kasar. Bau tak sedap terpaksa harus diterimanya karena liur Fadillah semakin bercampur dengan ludahnya sendiri, dan kini ujung syaraf tubuhnya sebagai wanita dewasa yang  agak kurang mendapatkan nafkah batin dari suaminya mulai tergugah akibat rangsangan yang dilancarkan oleh pak Sobri di kedua puting buah dadanya.
Kedua betis langsing Aida yang sedari tadi menghentak menendang-nendang, kini mulai berubah irama; kaki dengan jari-jari amat kecil mungil kemerahan itu menekuk ke dalam mengiringi lekukan gelisah di sendi lutut Aida. Paha mulus yang selama itu berusaha merapat mempertahankan aurat yang tersembunyi di tengahnya, kini mulai agak gemetar dan perlahan-lahan kehilangan tenaga untuk bertahan.
Pak Sobri dengan penuh keahlian telah menempatkan diri diantara kedua paha korbannya, sementara tangannya tetap menyiksa kedua puting bukit kembar kemerahan milik Aida. Bibirnya yang tebal dower merambat turun dari dada ke arah perut, menggelitik pusar melengkung ke dalam perempuan itu, kemudian semakin turun...
Meskipun masih menciumi Aida dengan penuh rasa birahi tak tertahan, namun Fadillah sempat melihat dengan sudut matanya bahwa pak Sobri telah meningkatkan rangsangannya dengan makin mendekati bawah perut Aida. Fadillah merasakan nafsunya sendiri semakin tak tertahan, belahan bibir Aida yang sedemikian hangat menggiurkan, diidamkannya untuk bisa menerima kemaluannya. Betapa seringnya Fadillah mendambakan untuk menikmati tubuh Aida saat melayaninya di warung, kini bidadari idamannya itu telah berada dalam genggamannya : kedua nadi Aidaterikat erat di sudut ranjang, mulutnya yang setengah terbuka kini akan dipaksanya mengulum menyepong penisnya.
Fadillah berlutut menempatkan diri di samping kepala Aida yang langsung melengos, namun secara sigap wajah cantik itu dipaksanya kembali menoleh dan kepala kejantanannya yang berbentuk jamur itu segera ditempelkannya ke bibir Aida. Tentu saja Aida menutup mulutnya sekuat tenaga, tapi Fadillah langsung menjepit hidung bangir mancung yang menggemaskan itu sehingga Aida tak dapat bernafas dan terpaksa membuka sedikit mulutnya. Namun bukaan ini belum cukup lebar untuk ditembus pentungan daging yang cukup besar keras dan tegang itu : Fadillah harus sabar!
Sementara itu pak Sobri telah menurunkan wajahnya mendekati bukit Venus kemaluan Aida. Bukit nan lebam hanya dihiasi bulu halus sangat terawat itu menampilkan lembah mungil di tengahnya, sebuah lekukan panjang, dalam dan sempit, sebuah celah yang mengundang untuk dijelajahi. Pak Sobri masih mengingat betapa empuk dan halus dinding celah surgawi itu, betapa lembut denyutan serta pijitan yang dialami kemaluannya ketika akhirnya berhasil membelah celah hangat licin itu.
Aroma kewanitaan yang khas menerpa hidungnya, aroma khas tubuh Aida yang meskipun belum sempat mandi namun justru menampilkan bau alami wanita yang amat membius. Dengan kedua tangan yang kuat berotot, pak Sobri membuka dengan paksa lutut Aida ke samping kiri kanan. Walaupun Aida dengan mati-matian mempertahankan diri, namun tenaganya kalah kuat sehingga kedua lututnya terbuka maksimal dan ditekan ditindih oleh lutut pak Sobri, menyebabkan Aida memekik kesakitan.
Kini terbukalah selangkangan Aida di hadapan mata pak Sobri yang menelan ludahnya beberapa kali, jakunnya turun naik, jari-jari kasar hitam pak Sobri mulai mengelus betis serta paha mulus Aida.
Fadillah menyaksikan kegiatan pak Sobri dari sudut matanya. Karena pak Sobri telah mengalihkan kegiatan jari-jarinya ke bawah tubuh Aida, maka tibalah giliran Fadillah untuk merasakan betapa halus namun kenyal dan padatnya gunung kembar di dada Aida. Tanpa menghentikan ciuman rakusnya yang sangat menjijikkan, mulailah Fadillah meraba dan mengelus bahu mangsanya. Dari bahu, jari-jari kasarnya menjalar ke ketiak, sedikit memijit-mijit disitu sehingga Aida menggeliat kegelian.
Perantauan jari-jari hitam Fadillah dengan kuku panjang tak terawat semakin nakal menaiki lereng bukit montok, mengelus-elus disitu sebelum mendaki ke puncak untuk menemukan puting mencuat berwarna merah kecoklatan, berdiam sebentar disitu kemudian mulai mengusap dan meremas-remasnya pelan.
"Aauummpfhh.. aasshhh.. eeiimmppfhh.. ooaahhh.. oooh.." bunyi desahan Aida tak nyata karena mulutnya tetap disumpal lidah Fadillah yang besar. Tubuh Aida yang putih montok semakin menggeliat menggelinjang resah sehingga terlepaslah tindihan lutut pak Sobri, Aida berusaha menggulingkan tubuhnya ke kiri ke kanan walaupun kedua tangannya terikat erat di ujung ranjang.
Namun semuanya hanya sia-sia saja karena kini pak Sobri bahkan meneruskan penjarahannya lebih lanjut dengan menangkap kedua pergelangan kaki Aida yang mencoba menendang ke kiri kanan. Kedua betis langsing bak padi membunting itu dicekalnya keras kemudian dinaikkan dan diletakkan di atas bahunya, sehingga Aida kini hanya dapat memukul-mukul lemah dengan tumit mungilnya ke punggung pak Sobri.
"Aauww.. sakiit! Lepaskan! Aaah.. sakiit! Auwffmph.." Aida menjerit kesakitan ketika Fadillah dengan sadis mencubit putingnya dengan kuku tajam tak terawat.
Pada saat mulutnyamembuka lebar, maka kesempatan yang telah lama ditunggu Fadillah akhirnya tiba. Cepat lelaki itu menjejalkan kemaluannya yang memang sejak tadi menunggu di depan bibir Aida yang hanya terbuka sedikit. Lidah Aida berusaha sekuat tenaga mendorong keluar daging pentungan berkepala topi baja itu, namun Fadillah tak kenal kasihan. Tanpa mengurangi cubitannya bergantian di kedua puting Aida yang semakin ngilu mengeras, ia mendorong dan menekan kejantanannya senti demi senti ke dalam rongga mulut Aida sehingga menyentuh langit-langit dan menyebabkan Aida tersedak.
"Kalo enggak mau disiksa, makanya nurut dong! Ayo, sekarang kulum yang bener..isepin, jilat yang bersih.. iya, gitu.. pinter, udah biasa nyepongin suami ya?" celoteh Fadillah keenakan ketika akhirnya Aida terpaksa menyerah, mulai mengulum penis hitam yang dibencinya itu. Namun biarlah daripada terus-menerus disakiti dengan puting yang telah sedemikian peka ditarik dan dicubiti kuku tajam.
Tanpa merasa kasihan Fadillah mencekal rambut Aida, kemudian digerakkannya kepala perempuan itu mundur maju memanjakan penisnya  yang kini terlihat mengkilat akibat basah oleh ludah Aida. 
Bagian bawah tubuh Aida kini tak kalah serunya dijadikan sasaran keganasan sang pejantan lain : sambil menikmati pukulan-pukulan lemah tumit Aida di punggungnya, pak Sobri telah menjelajahi bukit kemaluan Aida dengan beberapa jarinya. Terlihat betapa licin mengkilat lembah sempit yang telah lama diimpikannya itu. Dengan hati-hati Pak Sobri membuka dan melebarkan celahnya yang mungil, lalu disentuh dan dijilatnya dengan penuh rasa kepuasan sebelum lidahnya menyapu dinding halus itu.
Tanpa rasa jijik pak Sobri menikmati licinnya dinding surgawi Aida yang berwarna merah muda, dicicipinya lendir yang mulai keluar membasahi celah nirwana itu, dijilatinya penuh mesra hingga membuat Aida kegelian. Dilanjutkannya penjarahan lembah kewanitaan Aida dengan mengutik-utik, menyentuh, meraba dan mengusap-usap ujung klitoris yang kini semakin peka dan tanpa disadari mulai menonjol keluar.
"Ooohh.. jangan! Lepasin saya, pak! Ooohh... bang, jangan! Saya sudah menjadi istri ustadz! Tolong kasihani dong, pak! Jangan begini.. saya enggak rela! Ooohh.." Aida mulai menangis menimbulkan iba, namun tubuhnya yang kekeringan selama ini mau tak mau mulai memberikan respons terhadap rangsangan kedua lelaki berpengalaman itu.
"Kenapa nangis, neng? Nikmati aja, percuma nunggu berkah dari suami bodoh yang pergi melulu.. masa istri bahenol gini enggak diganyang tiap malam? Ayolah, neng, lepasin semuanya! Jangan ngelawan, percuma aja ngarepin suami yang enggak pulang-pulang. Ini ada penggantinya," pak Sobri mencoba berusaha mesra, kemudian mulai dikecupi, diciumi dan dijilatinya memek basah Aida.
Dibukanya bibir kemaluan Aida ke kiri kanan dengan hati-hati sehingga terlihatlah lubang kecil dari kandung kemihnya, demikian juga sepotong daging mungil di lipatan atas bagaikan yang penis kecil. Inilah pusat kenikmatan yang diabaikan sang ustadz, namun kini didapat oleh pak Sobri!
"Uumhhh.. duh mungilnya nih lubang.. cupp, cupp, aaah.. neng, wangi amat memeknya? Bapak enggak puas-puas ngeliatin nih kelentit. Bapak gigit dan jilatin mau ya?" Tanpa menunggu jawaban, pak Sobri segera menyentuh lubang kencing Aida dengan ujung lidah, sementara kumisnya yang sengaja dua hari tak dicukur, menyentuh klitoris Aida bagaikan sapu ijuk, mengakibatkan Aida merasakan kegelian luar biasa sehingga menjerit lupa diri!
"Jangan, pak! Lepaskan, udaah.. oohh.. saya mau diapain lagi?! Enggak mau, ooohh.. sssh.. saya mau pipis! Aaaah.. jangan! Lepasin," Bagaikan terkena aliran listrik, tubuh Aida mulai menegang, sementara cairan memeknya semakin deras keluar.
"Sssh.. tenang aja, neng. Nikmati biar puas.. ini surga dunia, neng. Jangan dilawan, buang tenaga aja. Dijamin ntar puas, kapan lagi gratis dikerjain dua lelaki,? Ayo sepongin lagi tuh si Fadil, udah lama dia enggak dapat jatah perempuan. Sekarang bapak mau nerusin ngegali lobang si neng," pak Sobri menundukkan kepalanya lagi dan meneruskan penjarahannya ke liang vagina dan kelentit Aida.
Sebelum Aida dapat protes lebih banyak, kembali mulutnya dijejali oleh penis Fadillah yang berbau asam meskipun disunat. Mungkin Fadillah tak mempunyai kebiasaan untuk mencuci kemaluannya jika telah kencing, dan sekarang justru nafsunya semakin meningkat melihat Aida telah berkali-kali hampir muntah. Pemilik warung ini semakin bersemangat memperkosa mulut mungil yang telah kewalahan membuka maksimal itu karena Fadillah ingin memaksa Aida meminum pejuhnya.
Sementara itu pak Sobri telah memusatkan perhatiannya ke vagina Aida yang dijilat dan dikecupnya tak henti-henti, menyebabkan Aida bagaikan cacing kepanasan yang menggeliat sejadi-jadinya. Pak Sobri tak peduli kegelisahan wanita alim shalihah itu : lidahnya bergantian menyentuh lubang kencing dan klitoris Aida. Daging yang semula kecil bersembunyi di lipatan bibir kemaluan itu semakin lama semakin terlihat menonjol keluar berwarna kemerahan. Permukaannya yang dipenuhi jutaan ujung syaraf peka diserang bertubi-tubi oleh sapuan lidah, gigitan kecil dan juga ujung kumis pak Sobri yang kaku bagaikan sapu ijuk.
Semua siksaan itu tak sanggup lagi ditahan oleh tubuh si wanita alim. Tubuh Aida melengkung bagaikan sekarat, menegang kaku seolah terkena aliran listrik, tangannya yang terikat di sudut ranjang membuat kepalan tinju kecil.
Fadillah memegang sekuat tenaga secara sangat sadis kepala Aida dan ditekannya rudalnya sehingga menekan di kerongkongan, disaat mana air maninya menyembur keluar berbarengan dengan orgasme Aida akibat rangsangan dari pak Sobri.
Pak Sobri pun tak kalah licik dan sadis ingin menikmati orgasme istri Ustadz ini : dimasukkannya jari telunjuk dan jari tengahnya ke liang vagina Aida untuk merasakan bagaimana jepitan denyut-denyutan ritmis otot memek yang sedang orgasme! Sementara jempolnya yang kasar mengusap permukaan klitoris Aida demi meneruskan dan memperpanjang orgasme yang melanda korbannya. Dilihatnya pula kedutan dan kontraksi otot-otot lingkar pelindung anus Aida - dan ini membuatnya tersenyum lebar.
“Pertama lubang di atas akan kunikmati sepuasnya sebelum lubang satunya kuperawani!” begitu dia bertekad.
Tentu saja Aida tak menyadari rencana licik pak Sobri, ia sedang dilanda tsunami orgasme sekaligus juga mati-matian harus melawan rasa ingin muntah karena terpaksa menelan pejuh Fadillah.
"Oooh.. uuuhh.. duh, enak tenan eeuy.. nyemprot ser-seran gini, di mulut istri orang yang cantik kayak neng. Nih datang lagi.. iya, sedot semua.. minum sampai habis!" tak henti-hentinya Fadillah memuji tegukan demi tegukan yang terpaksa dilakukan oleh Aida demi usahanya memperoleh nafas agar tak tercekik oleh luapan air mani lelaki asing yang kini dibencinya itu.
Jika ia mengira bahwa penyiksaannya telah berakhir, maka Aida salah besar : ternyata meskipun telah menyumbangkan air pejuhnya, namun penis Fadillah tetap saja tegak mengacung, mungkin akibat ramuan kuat yang juga dijual di warung, selain juga resep dari dukun kampung di situ.
Beberapa menit kemudian kedua lelaki durjana itu melepaskan Aida dari ikatan nadi di ujung kepala ranjang, tubuh putih mulus sintal telanjang bulat itu terlihat bergetar akibat tangisan sesenggukan. Semuanya itu sama sekali tak menimbulkan rasa kasihan pada kedua lelaki pejantan : permainan mereka justru baru memasuki babak pertama, kini mereka telah siap melanjutkan ke babak kedua!
Fadillah diberikan tanda oleh pak Sobri agar merebahkan dirinya, sedangkan tubuh Aida yang masih tergetar akibat tangisan tersedu-sedu itu diangkat oleh pak Sobri dan diletakkan diantara kaki Fadillah.
Dengan mata sembab penuh linangan air mata, Aida kini dipaksa untuk berlutut dengan wajahnya kembali menghadapi kejantanan Fadillah yang masih tegak mengacung bagaikan tugu Monas. Aida yang masih sangat lemas berusaha menolak dan ingin berdiri, namun pak Sobri yang berada di belakangnya segera menekan belakang lehernya dan memaksa wajah ayu penuh air mata itu mendekati kepala penis Fadillah yang masih mengkilat oleh air mani.
"Ayolah, neng, manjakan lagi nih si ujang. Bantuin pijit dan peres-peres nih biji pelir, masih banyak jus segar yang ntar bisa dipakai buat obat awet muda si neng. Tadi si neng udah ngicipin pejuh. Dan si neng emang jagoan, enggak muntah sama sekali, padahal kebanyakan cewek pada muntah tuh. Makin sering nyembur si ujang ini, maka akan manis air sarinya, neng!" demikian Fadillah dengan penuh dusta berbicara mengenai air pejuhnya.
Aida hanya menggeleng-gelengkan kepala, namun Fadillah telah menggantikan pak Sobri dan kini ia menarik kepala Aida dan dipaksanya untuk menciumi senjata kesayangannya kembali. Masih tetap istri ustadz itu menolak membuka bibirnya, apalagi ketika dirasakannya pak Sobri yang berlutut di belakang punggungnya kini telah menyentuh belahan pantatnya.
Aida berusaha berdiri namun pak Sobri telah siap dan dengan tenaga begitu kuatnya, pundak Aida lagi-lagi ditekan ke bawah sehingga posisi tubuhnya semakin menungging. Aida masih berusaha melawan dengan mencoba mencakar tangan pak Sobri yang menekannya ke bawah, tapi apalah artinya cakaran kuku wanita kalau sang pejantan telah kemasukan tenaga iblis?
Pak Sobri memijit kedua pundak Aida dengan cukup keras sehingga umamah ini menjerit kesakitan, kesempatan sekali lagi bagi Fadillah yang langsung menekan wajah Aida ke bawah dan mulut ternganga itu segera disumpal oleh tombak daging yang kali ini bahkan langsung masuk ke dalam kerongkongan!
"Eeghh.. ueeghkk.. eegghk.. aauhh.. uueeghh.." berkali-kali Aida merasa lambungnya bagai terpelintir, namun untunglah perutnya sudah lama kosong tak terisi sehingga ia tak jadi muntah.
Fadillah rupanya agak kasihan juga melihat korbannya penuh aliran air mata dan kelabakan megap-megap berusaha bernafas. Diurut-urutnya belakang kepala Aida seolah ingin melemaskan kerongkongannya agar dapat menerima seluruh batang kemaluan yang menjejal tajam.
"Iya, pelan-pelan aja. Yah begitu, diurut dan dikocok neng, supaya lebih mantap dan sip. Terus..  duh, makin pinter nyepongnya.. dasar emang istri ustadz pelacur!" ejekan sang pemilik warung membuat pipi Aida memerah panas dan merasa malu serta turun harga dirinya.
Sementara itu pak Sobri telah memegang penisnya yang hitam besar penuh urat melingkar, dan diarahkannya ke celah yang masih licin dengan cairan pelumas wanita dewasa serta air liurnya sendiri. Dengan satu tangan pak Sobri menekan pinggang Aida ke bawah sehingga tunggingan pantat nan bulat bahenol itu semakin merangsangnya, dan juga terlihat celah vagina yang agak merekah merah milik Aida. Perlahan dan dengan penuh kepuasan pak Sobri memajukan pinggulnya sendiri sehingga akhirnya kepala penisnya menyentuh dan mulai membelah celah memek Aida. Mula-mula meleset ke samping beberapa kali, namun akhirnya ujung pentungan daging berbentuk topi baja itu terjepit diantara bibir vagina nan sempit legit.
"Eemmhhh.. weleh-weleh, sempit amat nih memek neng! Sering latihan kegel ya, neng, atau barang suaminya memang kecil? Duh, enak tenan.. licin, anget, sempit lagi.. ayo mulai goyang-goyang dong pantatnya, neng, seperti tempo hari." pak Sobri merem-melek merasakan senjatanya menerobos lubang hangat idamannya.
Berbeda dengan pak Sobri yang amat bergairah menikmati persetubuhan, maka Aida kembali merasa sangat perih dan ngilu karena vaginanya yang kecil dan sempit itu dipaksa membuka lebar untuk menerima sodokan penis besar.
"Wuih, enggak nyangka nih lobang kalo ditembus nungging jadi makin dalem.. tapi jangan kuatir, neng, alat pacul bapak cukup panjang buat ngeluku sampe bisa mentok! Oh nikmatnya.. ngimpi berbulan-bulan akhirnya kesampean juga, mmmhh.. sssshh.." lanjut pak Sobri.
Setelah maju-mundur tarik-dorong beberapa kali, akhirnya berhasil juga ujung kepala penis pak Sobri yang telanjang disunat itu menyentuh mulut rahim Aida. Setelah itu pak Sobri tak memperdulikan lagi perbedaan ukuran kemaluannya dengan lubang mungil Aida, gerakannya kini telah dikuasai oleh keinginannya mendengar keluhan, rengekan, desahan dan bahkan isakan tangis istri Ustadz Mamat akibat menahan rasa ngilu dan perih yang dideritanya.
Dan memang itulah yang didengarnya saat ini, namun pak Sobri yakin bahwa istri ustadz yang kekeringan nafkah batin ini akan segera berubah menjadi budak seks-nya. Rintihan sakit yang terdengar disaat rahim Aidadihentak dijedug kasar oleh senjata ampuh penakluknya, akan perlahan-lahan berubah menjadi desahan wanita dewasa yang meminta. Ya, desahan seorang wanita yang akan kehilangan semua rasa malu, akan melupakan pelecehan yang dialami, rintihan itu akan berubah menjadi ratapan dan permohonan agar perkosaan berlanjut!
Dan dugaan pak Sobri memang benar : semua hormon kewanitaan di tubuh sehat Aida mengkhianati, semua daya upaya pertahanannya berdasarkan rasa malu dan harga diri sebagai istri ustadz alim shalihah akhirnya dapat terkalahkan oleh keahlian kedua lelaki durjana yang menggagahinya.
Bunyi kecipak jilatan Aida menyepong Fadillah terselang-seling dengan dengusannya, bersilih ganti dengan ritme plak-plok-plak-plok pantatnya yang bersentuhan dengan paha pak Sobri. Kepalanya terasa pusing terbawa arus gelombang yang muncul dari genjotan tak kenal ampun di rahimnya.
Semakin lama semakin memuncak nafsu pak Sobri yang meskipun mulai putih beruban namun dalam persoalan menggarap wanita dapat dibandingkan anak usia belasan yang masih ingusan. Dirasakannya kemaluannya yang semakin memelar dan memanjang itu diremas dipijit oleh otot di dalam memek wanita yang tengah digagahinya, remasan dan pijitan yang mana mengundang lahar panasnya mulai mendidih dan mendesak mengalir menunggu ledakan dari saluran di sepanjang penisnya.
Bagaikan orang kesetanan, pak Sobri meningkatkan gerakan maju-mundurnya. Peluhnya mulai menetes di dahi. Matanya semakin melotot dan dengusannya semakin menguasai ruangan, hingga akhirnya... disertai teriakan menyeramkan, pak Sobri melepaskan arus syahwatnya.
"Aaaah.. bapak tak tahan lagi, mau banjir nih! Oooh.. neng geulis, lagi subur enggak? Siapa tahu jadi anak nih, oooh.. angetnya nih lobang! Iya, pijit dan remes-remes, Neng.. aje gile, neng bahenol! Enak enggak, neng, sakit-sakit nikmat ya?"
Pak Sobri menyemprot rahim Aida dengan air maninya yang menyembur bagaikan tak akan berhenti. Disaat mana juga Aida tak dapat menahan lagi gejolak mendidihnya hormon kewanitaan di seluruh ujung syarafnya. Wajahnya mendadak terlepas dari genggaman Fadillah dan menengadah ke atas dengan bibir merah merekah, hidung bangirnya mancung kembang-kempis , tarikan nafas panjang berubah menjadi histeris, dan...
"Aauw.. iyaah, ngilu! Aauuww.. pak, ngilu! Oouuh.. aaih.. iyah terus! Ooohh.. nikmat, oooh.. terus, pak!!" jeritan suara Aida melengking menandingi dengusan berat pak Sobri. Kembali tubuhnya kejang dan melengkung ketika gelombang orgasme kedua melandanya dan menghempaskannya kembali.
Pak Sobri menggeram bagaikan singa terluka karena menyadari bahwa kesanggupannya masih ada dan lebih dari cukup untuk meneruskan senggama dengan wanita cantik idamannya ini. Lembing pusakanya masih tegang ketika ditariknya keluar dari vagina Aida, dan dengan penuh kebanggaan pak Sobri melihat penisnya mengangguk-angguk tak sabaran menunggu tugas berikutnya.
Senyum iblis menghiasi wajah pak Sobri ketika direkahnya kedua bongkahan pantat Aida yang bahenol tanpa tandingan ketika perempuan itu bergoyang. Dilihatnya lubang kecil tersembunyi di tengah belahan pantat itu, lubang yang masih berkedut menciut ke arah dalam akibat kontraksi otot-ototpelindungnya.
Pak Sobri meludahi lubang kecil yang seolah menantang di hadapan matanya, ia menarik nafas amat dalam dan dipusatkan konsentrasinya agar penisnya menegang semaksimal mungkin. Diletakkannya kepala penisnya yang masih licin oleh lendir kewanitaan dan ditekannya perlahan-lahan ke tengah anus Aida. Dirasakannya otot-otot lingkar pertahanan anus Aida mencegah penetrasi lebih lanjut,  namun dengan penuh keyakinan akan segera menang, pak Sobri menekan sekuatnya.
"Aduuh! Auuw.. jangan, pak! Oouuhh.. aauuuw.. sakit! Kasihani saya, pak! A-ampuun.. jangan masuk di situ, haram! Auuuw.." Aida menggelepar-gelepar menahan rasa sakit tak terkira di anusnya.
Air matanya kembali mengalir sangat deras turun di pipinya karena menahan penderitaan lubang tubuhnya yang terkecil sedang dijarah. Terasa panas bagaikan dicolok oleh kayu menyala, dan setiap kali pak Sobri menekan menambah masuk, maka perihnya bagaikan terkena sayatan pisau. Mungkin karena penis pak Sobri terlalu besar, maka walaupun telah dilicinkan dan dilumasi dengan air lendir cintanya sendiri, ditambah ludah pak Sobri, namun semuanya tidak menolong banyak. Apalagi otot-otot lingkar pertahanan anus Aida rupanya masih tak rela dilebarkan secara paksa oleh benda sebesar kemaluan pak Sobri, sehingga melawan dan berusaha menolak benda asing itu - semua hanya menambah rasa sakit dan perih.
Berbeda dengan penderitaan Aida yang menggeliat menggelepar menahan rasa sakit tak terkira, maka pak Sobri justru merasa betapa nikmatnya memasuki lubang intim Aida yang telah lama diincar dan dibayangkannya. Namun pak Sobri masih ingin menambah lagi rasa ego kebanggaan sebagai lelaki pertama yang berhasil masuk ke anus Aida : ya, pak Sobri ingin mendengar pengakuan itu langsung dari mulut Aida, bukan hanya dengan dugaannya semata-mata. Selain itu muncul kembali iblis yang menganjurkannya untuk menyaksikan bagaimana ekspresi wajah si wanita cantik idaman saat disiksa rasa sakit di anusnya.
"Lihatlah bagaimana wajah istri ustadz saat disodomi, hehehe.." demikianlah bisikan iblis, dan pak Sobri telah sepenuhnya dikuasai oleh bujukan itu.
Oleh karena itu pak Sobri menarik sementara penisnya yang menancap di anus Aida, menyebabkan Aida menarik nafas lega karena sakitnya berkurang dan dikiranya bahwa deritanya telah berakhir. Namun dugaannya itu sama sekali meleset karena pak Sobri hanya ingin mengubah posisi : badan Aida yang sedemikian putih mulus sintal bahenol dan lemas lunglai itu kembali dibaliknya hingga telentang. Kemudian kedua paha Aida kembali dikuakkan lebar-lebar dan dikaitkan lagi di pundaknya sehingga selangkangan Aida dengan memek dan anusnya terekspos penuh di hadapannya.
Seringa mesum menghiasi wajah pak Sobri melihat anus Aida berdenyut kembang kempis menutup membuka, dan disaat agak membuka itu tampak kemerahan di bagian dalam karena baru saja mengalami pelebaran secara paksa. Aida hanya sanggup menangis tersedu sedan tak mampu melawan lagi, tapi ia ‘bersyukur bahwa bagian intimnya sementara dibebaskan dari penyiksaan yang menyakitkan.
"Ayo, Dil, bantu pegangin lagi nih cewek kalo dia ampe ngelawan. Ntar loe boleh mandiin dia ama pejuh loe sepuasnya. Sekarang dia harus ditaklukkan betul-betul dan jadi budak seks kita di masa depan," kata-kata pak Sobri mendengung di telinga Aida dan ia menyadari bahwa nasib malangnya belumlah tamat.
"Jangan ngelawan ya, neng, tahan dikit lagi. Ini kita udah mau masuk babak terakhir," ujar Fadillah sambil cengengesan dan kembali memegangi kedua nadi Aida di atas kepala.
Sementara itu tangan-tangan pak Sobri menekan kedua paha Aida ke samping sehingga vagina maupun anus Aida agak terkuak kembali. Sambil mengusap kelentit Aida yang mengintip keluar akibat ulah ibu jarinya, pak Sobri dengan penuh kebanggaan meletakkan lagi ujung kepala kemaluannya di anus mangsanya. Diperhatikannya denyutan kontraksi otot-otot Aida yang seolah menyedotnya masuk. Sambil menarik nafas panjang seperti beberapa menit lalu, pak Sobri menekan, mendorong, menekan, dan...
"Aauww.. udah, jangan masukin lagi disitu, pak! S-sakit.. toloong.. a-ampun!!" Aida kembali menjerit bagaikan hewan disembelih, sama sekali tak diduga deritanya berlanjut.
"Uuuh.. sempit amat nih lobang! Sakit-sakit enak ya, neng, sakit tapi nikmat kan? Enggak  usah malu-malu lah, neng , pasti udah sering pantat si neng dijebol begini sama suami kan?" tanya pak Sobri pura-pura untuk memancing pengakuan dari mulut Aida sendiri, sesuai bujukan sang iblis.
"Aduh, pak, udahan dong! Saya enggak tahan, sakit! Haram ini, pak, enggak mau!!" Aida hanya sanggup menangis kesakitan sambil menggelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan.
"Aah.. si neng jangan bohong! Pasti udah sering dijarah bo'olnya sama suami.. ngaku lah, neng! Kalo enggak, ntar saya terusin nih sampe semalaman. Mau enggak?" pak Sobri melanjutkan ‘interogasinya’ sambil bergerak maju-mundur, masuk keluar di anus Aida tanpa peduli korbannya kesakitan.
"Enggak pernah, pak, sungguh mati! Aauuw.. udah, stop dong.. saya enggak tahan lagi sakitnya, pak! Aduh.. auuw.. ampun, pak! Ya Allah, ampun sakitnya.." akhirnya tanpa sadar Aida mengakui bahwa memang pak Sobri-lah lelaki pertama yang menyodominya.
Saat itu tak dapat dilukiskan oleh kata-kata rasa kebanggan pak Sobri karena memang benar dialah lelaki pertama yang merenggut keperawanan anus istri alim shalihah ini. Kini tinggal selangkah lagi yang harus dilakukannya untuk menaklukkan Aida dan menjadikannya budak seks pribadi yang selalu menurut dan patuh atas semua kemauannya.
Pak Sobri meneruskan mengusap dan menyentil-nyentil biji klitoris Aida yang semakin memerah dan luar biasa peka itu, sementara ia meningkatkan gerakan dorong-tarik di lubang Aida yang sedemikian sempit. Dengan memberikan kombinasi antara sakit nikmat ini maka pak Sobri akan memaksakan Aida untuk mengaku bersedia menjadi budak seks-nya.
"Hehehe, kelihatannya udah lemes amat, neng.. ini belon apa-apa lho! Gimana, Dil, kita terusin semaleman sanggup enggak?" pak Sobri melirik Fadillah dengan kedipan mata penuh kelicikan.
"Lha, ya pasti sanggup, pak. Mesti diapain lagi ya nih cewek?" balas Fadillah penuh pengertian.
"Sekarang tergantung si neng dah, diterusin apa enggak? Kalo neng enggak mau, sekarang neng harus ngaku sekaligus janji ama kita," pak Sobri merasakan kemenangan mutlak hampir tercapai.
"Ampun, pak, saya enggak... sanggup lagi.. auuw..  ngelayanin.. auuw.. saya enggak tahan lagi..aauuw.. jangan diperkosa lagi, pak.. auw, auw, auw.. tolong hentikan, pak.. aauuw.. aauuw.. aduh, sakit! Saya janji tak akan lapor kemana-mana, juga pada siapapun.. tolong, pak," suara Aida semakin melemah.
"Gimana, Dil, kelihatannya hampir kelenger nih istri pak Ustadz? Iya deh, kita berhenti dulu, neng. Tapi sekarang neng mesti janji dan ulangi apa yang bapak ucapkan, dan juga selalu siap melakukan di masa depan apa yang bapak inginkan. Setuju enggak?" pak Sobri mendesak terus sambil menambah genjotan dan tusukan penisnya di anus Aida, sementara kelentitnya ia pelintir dan pilin-pilin kuat.
"Ooohh.. sakit, pak! Geli, jangan dipelintir begitu! Aauw.. jangan dipilin lagi.. aauw.. udah, oooh.. aauuw.. ngilu, sakit, pak.. iya, saya nyerah! A-ampun, pak, saya pasrah.. aaaahh.." jeritan Aida yang disertai kejangan orgasme ketiga memberikan tanda mutlak kemenangan kedua lelaki itu - terutama pak Sobri.
Disertai raungan dan geraman terakhir, pak Sobri akhirnya menyemburkan lahar panasnya ke dalam anus Aida yang ternyata telah jatuh pingsan.
Di malam itu - disertai dengan linangan air mata, Aida harus berulang kali melayani nafsu pak Sobri yang dibantu tenaga iblis agaknya tak pernah kekurangan stamina. Menjelang pagi hari Aida telah berubah menjadi wanita dewasa jalang yang membutuhkan kepuasan seks. Ia telah kehilangan semua rasa malu dan jengah – suaminya, ustadz Mamat, hanya terikat pernikahan secara agama di atas kertas - sedangkan kepuasan batin dan badaniahnya hanya dapat dipenuhi oleh pak Sobri.