Tampilkan postingan dengan label Filsafat Hindu Bali. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Filsafat Hindu Bali. Tampilkan semua postingan

Senin, 31 Agustus 2015

Filsafat advaita dari sanskara acarya

Filsafat advaita dari sanskara acarya

Sutra-sutra atau aphorisme dari Wyasa merupakan dasar dari filsafat Wedanta dan telah di jelaskan oleh berbagai pengulas yang berbeda-beda. Dari penafsiran-penafsiran ini muncul beberapa aliran filsafat yaitu, Kewala Adwaita, dari sanskaracarya, filsafat monisme terbatas atau wisistadwaita dari sri ramanuja, filsafat Dwaita dari Sri Madhwarcarya, Filsafat BhedaBheda dari Sri Nimbarkacarya, Filsafat Acintya Bhedabheda dari Sri Caitanya dan filsafat Siddhanta dari Sri Meykandar.

Tiap-tiap sistem filsafat tersebut membicarakan tentang 3 masalah pokok yaitu tentang Tuhan, alam dan roh. Beberapa aliran filsafat hanya berbeda dalam mengusahakan penemuan kebenarannya. Acarya-Acarya yang berbeda, dari aliran filsafat yang berbeda secara nyata, menjadi pendiri dari sekte-sekte dan sistem-sistem yag terkenal. Para pengikut dari aliran-aliran filsafat ini mencoba untuk membuktikannya dengan menafsirkan Wedanta Sutra sesuai dengan pendapat mereka sendiri; menunjukkan pendapat yang di dasarkan atas, dan secara teratur di kembangkan, dari tradisi kuno.

Nimbarkacarya mendamaikan semua perbedaan pandangan mengenai Tuhan yang di pakai oleh Sankara, Ramanuja, Madhawa dan yang lain-lainnya serta membuktikan bahwa pandangan-pandangan mereka semuanya benar, dengan petunjuk pada aspek tertentu dari Brahman, yang berhubungan dengannya, masing-masing dengan caranya sendiri. Sankara telah menerima realitas pada aspek transendentalnya, sedang ramanuja menerimanya pada aspek Imanent-nya, secara prinsip; tetapi Nimbarka telah menyelesaikan perbedaan pandangan yang di terima.

Sri Sankaracarya, Sri Ramanuja, Sri Madhwacarya, Sri Wallabacarya dan Sri Nimbarkacarya semuanya adalah para jnani agung. Kita tidakdapat mengatakan bahwa Sri Sankara lebih agung dari pada Sri Ramanuja atau Sri Wallabha lebih agung dari pada Sri Nimbarka. Semuanya adalah Awatara Purusa, yang masing-masing menjelmakan diri di bumi ini untuk melengkapi suatu misi yang terbatas, untuk mengajarkan dan menyebarkan ajaran-ajaran tertentu, yang tumbuh subur pada masa tertentu, yang ada pada tahapan evolusi tertentu. Semua aliran filsafat di perlukan,yang masing-masing di anggap paling sesuai bagi type manusia tertentu. Perbedaan konsepsi tentang Brahman tiada lain hanya merupakan perbedaan cara pendekatan terhadap realitas sangatlah sulit hampir-hampir tak mungkin bagi roh terbatas untuk memperolehnya sekaligus konsepsi tentang yang Tak Terbatas atau memperolehnya sekaligus konsepsi tentang Yang Tak Terbatas atau Roh Tak Terbatas. Ini secara jelas, lenih-lebih lagi untuk menyatakan dengan istilah yang memadai. Semuanya tak dapat menjamah ketinggian dari filsafat Kewala Adwaita dari Sri Sankara sekaligus. Pikiran harus didisiplinkan seperlunya sebelum ia di pakai sebagai sebuah alat yang pantas untuk memahami pendapat dari Adwaita-nya Sri Sankara.

Orang pertama yang secara sistematis menguraikan filsafat Advaita adalah Gaudapada, yang merupakan Parama Guru (Gurunya guru) dari Sri Sankara. Govinda, guru dari Sri Sankara adalah murid dari Gaudapada.

Gaudapada dalam Mandukya karika-nya yang terkenal itu telah menguraikan ajaran inti dari adwaitaVedanta, tetapi Sri Sankaralah yang melahirkan bentuk akhir yang indah dari filsafat adwaita ini dan memberinya sentuhan akhir dan kesempurnaan. Kalau kita secara hati-hati menyimak ulasan-ulasan dari Sri sankara meegenai upanisad-upanisad utama, Brahman sutra dan Bhagavad Gita, secara jelas kita akan memahami filsafat adwaita tersebut. Ulasan mengenai Brahma Sutra oleh Sankara di kenal sebagai Sariraka Bhasya.
Ajaran-ajaran dari Sankara dapat di simpulkan dalam separoh sloka yaitu: “Brahman Satyam Jagan Mithiya, Jiwo Brahmaiwa Na Aparah”. Brahman yang mutlak sajalah yang nyata: Dunia ini tidak nyata dan jiwa atau roh pribadi tidak berbeda dengan Brahman. Hal ini merupakan sari pati dari filsafatnya.
Advaita yang di ajarkan oleh Sri Sankara merupakan filsafat yang keras dan mutlak. Menurut Sri Sankara, apapun juga adalah Brahman. Brahman itu sendiri adalah keserbasamaan mutlak. Semua perbedaan dan kejamakan merupakan khayalan.

Brahma yang Esa tiada duanya

Atman adalah sang diri yag nyata (Swatah Siddha) yang tak di tetapkan oleh bukti-bukti yang tak ada hubungannya. Tak mungkin mengingkari adanya atman,karena ia merupakan inti sari dari seseorang yang mengingkari-Nya. Atman merupakan dasar dari segala jenis pengetahuan, prasangkaan dan pembuktian. Sang diri ada di dalam, di luar, di muka, di belakang, di kanan, di kiri, di atas dan di bawah.

Brahman bukanlah suatu objek, karena ia Adrsta, mengatasi pencapaian mata. Karena itu kitab Upanisad menyatakan: Neti-neti bukan ini bukan itu, ini bukan berarti bahwa Brahman merupakan suatu konsep negative atau abstraksi methapysika atau sesuatu yang tidak sungguh-sungguh ada, atau ketiadaan. Ia bukanlah yang lain. Ia memenuhi segalanya, tak terbatas , tak berubah, ada dengan sendirinya, kesenangan itu sendiri, pengetahuan dan kebahagiaan itu sendiri. Ia merupakan inti sari dari yang mengetahui dan swarupa. Ia adalah si pengamat (drstha), transenden (turiya) dan saksi bisu (saksi).

Brahman tertinggi-nya Sankara tak berpribadi, Nirguna (tanpa guna dan atribut), Nirakara (tanpa wujud), Nirwisesa (tanpa cirri-ciri tertentu), tak berubah, abadi dan akarta (bukan wakil). Ia mengatasi semua keperluan dan keinginan. Ia selamanya merupakan subjek penyaksi, dan tak pernah dapat menjadi objek, karena ia mengatasi pencapaian indriya-indriya. Brahma tiada duanya, Esa tanpa yang kedua. Ia tak memiliki yang lain disisiNya. Ia tak memiliki pembendaan, baik yang bersifat luar maupun dalam. Brahman tak dapat di gambarkan, karena uraian menyatakan perbedaan-perbedaan. Brahman tak dapat dibedakan dari sesuatu yang lain dari padanya. Pada Brahman tak ada perbedaan substansidan atribut. Sat Cit Ananda, menyusun inti sari atau swarupa dari Brahman dan bukan hanya atribut-Nya.

Nirguna Brahman danSankara adalah tanpa pribadi. Ia menjadi tuhan yang berpribadi atau Saguna Brahman hanya melalui penyatuan_Nya dengan maya.
Saguna Brahman dn Nirguna Brahman bukanlah dua Brahman. Nirguna Brahman tidak bertentangan atau berlawanan dengan saguna Brahman. Nirguna Brahman yang sama tampak sebagai saguna Brahman bagi pemujaan yang saleh dari para pemujaan. Ia adalah kebenaran yang sama dari dua titik pandang yang berbeda. Nirguna Brahman merupakan Brahman yang lebih tinggi di pandang dari sudut transcendental (Paramarthika). Saguna Brahman merupakan Brahman yang lebih rendah di pandang dari sudut pandaang rellatif (wuawaharika).

Alam relaitas yang relative

Alam bukanlah suatu khayalan, menurut Sankara, dan merupakan kenyataan yang relative (wyawaharika satta), sedangkan Brahman merupakan kenyataan mutlak (Paramarthika Satta). Alam merupakan hasil dari maya atau Awidy. Brahman yang tak berubah tampak sebagai alam yang melalui maya. Maya adalah dya misterius yang tak dapat di gambarkan, dari Tuhan yang menyembunyikan yang nyata dan mewujudkan dirinya sebagai tidak nyata.
Maya tidak nyata, karena ia lenyap apabila kamu mencapai pengetahuan dari yang abadi. Ia juga tidak nyata karena ia ada sampai pengetahuan turunpada dirimu. Tumpang tindih dari alam pada Brahman di sebebkan oleh awidya dan kebodohan.

Sifat dari jiwa dan cara menuju Moksa

Bagi Sankara, jiwa atau roh pribadi hanyalah kenyataan relative. Kepribadiannya berakhir hanya selama ia merupakan subjek terhadap Upadhi yang tidak nyata atau kondisi terbatas yang di sebabkan oleh Awidya. Jiwa mempersamakan dirinya dengan badan, pikiran dan indriya, bila ia di khayalkan oleh awidya atau kegelapan. Ia berfikir, ia berbuat dan ia menikmati, di sebabkan oleh Awidya. Sesungguhnya ia tak berbeda dengan Brahman atau yang Mutlak. Upanisad secara tegas menyatakan : “tat twam asi” Dia adalah engkau. Segala gelembung-gelembung yang menjadi satu dengan lautan, bila ia pecah; seperti ether dalam periuk yang menjadi satu dengan ether universal, bila periuknya di pecahkan, demikian pula dengan jiwa atau diri empiris menjadi satu dengan Brahman, bila ia memperoleh pengetahuan Brahman. Bila pengetahuan turun padanya melalui penghilangan awidya, ia terbebas dari kepribadian dan keterbatasan dan mewujudkan sifat inti saccidananda. Ia menggabungkan dirinya dalam lautan kebahagiaan. Sungai kehidupan bergabung dengan lautan keberadaan. Inilah kebenaran.

Kelepasan dari samsara menurut sankara, artinya penggabungan mutlak dari roh pribadi dalam Brahman, di sebabkan pembebasan dari dugaan salah bahwa roh berbeda dengan Brahman. Menurut Sankara, karma dan Bhakti adalah cara menuju Jnana yang merupakan Moksa.

Wiwarta wada atau Pelapisan

Sankara menyatakan bahwa ala mini hanyalah kenyataan relative (Wyawaharika Satta), ia menganjurkan wiwarta wada atau teori penampakan atau pelapisan adhyasa). Seperti ular yang di bayangkan pada seutas tali, pada senja hari, alam dan badan ini di tumpangkan pada Brahman atau diri tertinggi.Bila kamu memeperoleh pengetahuan tentang tali, khayalan tentang ular pada tali akan lenyap. Demikian pula bila kamu memperoleh pengetahuan tetag Brahman atau yang tidak dapat hancur, khayalan tentang badan dan alam akan lenyap. Dalam wiwarta wada, penyebab menghasilkan akibat, tanpa mengalami suatu perubahan pada dirinya. Ular hanya penampakan pada tali. Tali tidak akan mengalami perubahan dirimenjadi seekor ular. Brahman tetap abadi dan kekal. Oleh karena itu ia tidak dapat merubah dirinya menjadi alam. Brahman menjadi penyebab alam melalui maya yang merupakan daya sakti nisterius yang tak dapat dimengerti.

Bila kamu smpai mengetahui bahwa ia hanya seutas tali, ketakutanmu akan lenyap, kamu tidak lari menjuhinya. Demikian pula apabila kamu mewujudkan Brahman yang abadi, kamu tidak di pengaruhi oleh gejala-gejala atau nama dan bentuk dari alam. Pengetahuan tentang yang abadi, bila mithya jnana atau pengetahuan palsu di lepaskan dengan pengetahuan yang sebenarnya tentang yang tak terhancurkan atau realitas kehidupan, kamu bersinar dalam kecermerlangan dan kemuliaan Tuhan yang sebenarnya dan murni.
Adwaita, Suatu Filsafat Tanpa Bandingan

Filsafat adwaita dari Sri SankaraCarya sangat luhur, agung dan has. Ia merupakan sistem filsafat yang tegas dan halus logikanya. Ia sangat menarik, mengilhami dan mengangkat spiritualitas. Tak ada filsafat lain yang dapat di sejajarkan dalam ketegasan, kedalam dan kehalusan berfikirnya. Filsafat dari Sankara bersifat menyeluruh dan sempurna.

Sri Sankara, yang di anggap sebagai Avatara dari Siva, merupakan seseorang yang jenius yang hebat dan mengagumkan, serta menguasai logika. Ia adalah seorang yang bijak tentang realisasi tertinggi, dimana filsafatnya telah member hiburan, kedamaian dan pencerahan pada orang-orang yang tak terhitung jumlahnya, baik dari timur maupun dari barat. Para pemikir barat menundukkan kepalanya pada kaki padma Sri Sankara. Filsafatnya telah menyejukkan kesedihan dan kesusahan dari orang-orang yang sangat sedih dan memberinya harapan, kegembiraan, kebijaksanaan, kesempurnaan, kemerdekaan dan ketenangan pada banyak orang dan sistem filsafatnya membuat kagum seluruh dunia.

Beliau memiliki 4orang murid, yaitu: Padma-pada, Hastamalaka, Suresvara atau Mandana dan Trotaka dan seorang muridnya yang lain, yang bernama Ananda-Giri menulis sejarah kegigihanya membantah, yang di sebut Sankara-Vijaya, yang secara tradisi membuatnya sebagai pendiri sekte Saiva yang utama, yaitu Dasa-Nami-Dandins atau Sepuluh orang peminta-minta. Disamping ulasan-ulasan beliau terhadap kitab-kitab upanisad, Brahma Sutra, Vedanta Sutra, Bhagavad Gita dan Mahabarata, beliau juga menulis beberapa buah buku antara lain: Atma-Bodha, Ananda-Lahari, Jnana Bodhini, Mani-ratna-mala.

Dari pemaparan materi di atas dapat di simpulkan bahwa Ajaran Filsafat Adwaita Sri Sankaracarya merupakan suatu ajaran yang sangat fleksibel dalam pembahasannya mengenai Brahman atau Tuhan itu nyata, dan Sri Sankaracaraya juga menyatakan bahwa kalau dunia ini hanyalah semu, dan Atman atau roh pribadi tidak berbeda dengan Brahman. Sri Sankaracaraya juga menyatakan bahwa Brahman itu sendiri adalah keserbasamaan nyata.

Jumat, 14 Agustus 2015

Tri Kaya Parisudha

Tri Kaya Parisudha sebagai landasan pendidikan

Tri Kaya Parisudha berasal dari kata:
  • “Tri” yang berarti tiga, 
  • “Kaya” berarti perilaku atau perbuatan, dan 
  • “Parisudha” yang berarti baik, bersih, suci atau disucikan. 
Tri Kaya Parisudha artinya tiga perilaku manusia berupa pikiran, perkataan, dan perbuatan yang harus disucikan. Pikiran, perkataan, dan perbuatan yang disucikan dimaksudkan perilaku manusia yang baik atau perilaku manusia itu tidak boleh dikotori dengan perilaku yang tidak baik. Ketiga perilaku yaitu berpikir, berkata, dan berbuat yang baik harus selalu dijadikan pedoman khususnya bagi umat Hindu dan bagi umat manusia pada umumnya dalam menjalani kehidupan sehari-hari, sehingga tercipta hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungannya, manusia dengan sesamanya, dan munusia dengan maha pencipta.


Tri Kaya Parisudha dapat juga diartikan sebagai tiga dasar prilaku manusia yang harus disucikan, yaitu manacika, wacika, dan kayika. Manacika berarti pikiran baik, wacika berarti perkataan baik, dan kayika berarti perbuatan yang baik. Adanya pikiran yang baik akan mendasari perkataan yang baik, sehingga terwujudlah perbuatan yang baik pula ( Sukartha dalam Suhardana, 2007: 26). Jadi pada dasarnya perkataan dan perbuatan bersumber atau berawal dari pikiran. Pikiran yang baik akan menuntun manusia berkata atau berbuat yang baik pula. Dari prinsip itu, maka yang paling awal harus dikendalikan manusia adalah pikirannya. Hal-hal yang mempengaruhi pikiran harus selalu terjaga, seperti kestabilan jiwa atau emosi, kebutuhan akan kesehatan jiwa dan raga, termasuk kebutuhan akan estetika. Dengan jiwa yang tenang orang dapat mengendalikan pikirannya sehingga dapat berpikir dengan jernih yang akhirnya akan dicetuskan dalam bentuk perkataan yang baik dan perbuatan yang baik.

Kitab Suci Weda mengajarkan agar umat manusia menjauhkan diri dari kejahatan dan perbuatan dosa serta menyingkirkan kedengkian. Umat manusia agar selalu berbuat dharma, dengan ucapan yang manis hendaknya dan selalu berbuat kebaikan. Manusia semestinya juga selalu menyucikan pikiran dan budhinya (Suhardana, 2007: 107). Pernyataan tersebut sama seperti yang diajarkan dalam Tri Kaya Parisudha yaitu berpikir baik, berkata baik dan berbuat baik. Berpikir baik, berkata baik dan berbuat baik menjadi dasar dan pedoman hidup bagi umat Hindu dan bagi umat manusia  pada umumnya, sehingga kerukunan, ketentraman dan kedamaian dalam kehidupan masyarakat dapat tercipta sesuai dengan tujuan agama Hindu dan tujuan pendidikan pada umumnya.

Faktor-Faktor yang Menghambat dan Mendukung dalam Menanamkan Nilai-Nilai Tri Kaya Parisudha sebagai Landasan Pendidikan dalam Membangun Akhlak Mulia Peserta Didik di Sekolah

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki kelebihan dibandingkan dengan makhluk lainnya. Manusia memiliki kelebihan berupa manas atau manah. Manas atau manah itu berarti pikiran. Pikiran adalah inti dari segalanya. Dari ketiga unsur Tri Kaya Parisudha, pikiran adalah paling pokok, yang dapat menimbulkan adanya perkataan maupun perbuatan. Karena itu pikiran adalah paling penting untuk dikendalikan. Jadi pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang aktif berpikir. Dari kenyataan itu, manusia memiliki dua karakter atau sifat pikiran yaitu pikiran baik dan pikiran buruk. Pikiran yang baik menjadi pedoman untuk berkata dan berbuat yang baik, sebaliknya pikiran yang buruk akan menggiring seseorang untuk berkata dan berbuat yang tidak baik.

Tri Kaya Parisudha yaitu berpikir baik, berkata baik, dan berbuat baik, hendaknya dapat dilakukan dengan sebaik mungkin.  Secara empiris kenyataan hidup manusia, sering kita jumpai dua sifat manusia yaitu manusia yang berperilaku baik dan manusia yang berperilaku buruk. Hal ini juga sering dijumpai di sekolah, yaitu peserta didik yang berperilaku baik dan peserta didik yang berperilaku tidak baik atau kurang baik. Perilaku peserta didik yang baik maupun tidak baik sama-sama berpeluang dapat berubah. Perilaku baik bisa lebih baik lagi atau bisa menjadi tidak baik, sebaliknya perilaku yang tidak baik dapat berubah menjadi baik atau menjadi lebih buruk lagi. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang dapat mendukung dan menghambat dalam penanaman nilai-nilai etika yang terkandung dalam Tri Kaya Parisudha.
Faktor-faktor yang dapat menghambat dan mendukung dalam penanaman nilai-nilai etika yang terkandung dalam Tri Kaya Parisudha, antara lain:
  1. Faktor sosial budaya. Sosial budaya merupakan prilaku atau kebiasaan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Prilaku atau kebiasaan-kebiasaan hidup manusia akan berpengaruh terhadap proses pembelajaran, termasuk dalam penanaman nilai-nilai etika yang terkandung dalam Tri Kaya Parisudha. Anak yang tumbuh di lingkungan masyarakat yang memiliki tata krama bermasyarakat yang baik, memiliki sopan santun dan memiliki sikap saling menghargai, tentu anak tersebut juga akan terbiasa melihat dan melakukan perilaku-perilaku yang baik. Demikian juga, anak yang dibesarkan di lingkungan keluarga yang tidak harmonis, tentu juga akan berpengaruh terhadap masalah perkembangan psikologis si anak yang cenderung mengarah ke hal-hal negatif.
  2. Faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang dimaksud berpengaruh terhadap proses penanaman nilai-nilai etika yang terkandung dalam Tri Kaya Parisudha adalah faktor lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Pada faktor sosial budaya telah disinggung tentang kebiasaan masyarakat dan orang tua yang dapat  mempengaruhi perkembangan pendidikan anak. Contoh perilaku lain yang akan berdampak pada prilaku si anak, misalnya: anak yang tumbuh di lingkungan masyarakat suka minum minuman keras (mabuk-mabukan), anak yang tumbuh di lingkungan keluarga yang merokok dan anak yang tumbuh di lingkungan keluarga yang gemar berjudi. Kebiasaan-kebiasaan seperti inilah yang dapat menghambat dalam penanaman nilai-nilai etika kepada peserta didik. Sebaliknya, anak yang dibesarkan di lingkungan keluarga baik-baik akan sangat mendukung dan memudahkan di dalam menanamkan nilai-nilai etika. Bagaimana dengan lingkungan sekolah? Sekolah merupakan tempat untuk menyelenggarakan pendidikan formal. Lingkungan sekolah yang mendukung proses pembelajaran adalah memiliki lingkungan belajar yang kondusif, sehingga memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan baik, termasuk dalam penanaman nilai-nilai etika untuk mengembangkan akhlak mulia peserta didik.
  3. Faktor perkembangan teknologi. Pengaruh global sangat memungkinkan peserta didik mudah terkontaminasi oleh hal-hal yang dapat merusak prilaku mereka, seperti pengaruh teknologi berupa HP, Laptop dan media internet yang memudahkan dalam mentransformasi suatu pesan dalam bentuk gambar maupun video atau film. Di satu sisi, hasil-hasil teknologi sangat diperlukan untuk memudahkan dan mempercepat aktivitas-aktivitas manusia termasuk aktivitas dalam belajar, sedangkan di sisi lain hasil-hasil teknologi dapat menjerumuskan penggunanya ke hal-hal negatif. Sebagai contoh hasil teknologi berupa HP yang merupakan alat komunikasi yang memiliki fasilitas-fasilitas canggih, seperti musik, gambar, film, kamera dan fasilitas internet. Dengan HP, manusia dapat melakukan komunikasi  dengan cepat walaupun rekan komunikasi berada ditempat yang jauh atau di negara lain. Tetapi apabila si pengguna alat tersebut, tidak dilandasi oleh akhlak mulia yang memadai tentu akan mudah terjerumus melakukan hal-hal yang aneh atau negatif dengan fasilitas yang ada pada HP.
Untuk menghindari dan merubah penyimpangan-penyimpangan perilaku, maka diperlukan usaha bagi kalangan pendidik di sekolah dalam mengembangkan potensi akhlak mulia peserta didik, yaitu dengan penanaman nilai-nilai etika seperti nilai-nilai etika yang terkandung dalam Tri Kaya Parisudha. Tri Kaya Parisudha dewasa ini masih cukup berperan baik dalam menumbuhkan akhlak mulia kepada peserta didik seperti yang diamanatkan dalam tujuan pendidikan nasional, yaitu untuk  mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri  dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Hal ini dapat dilihat kenyataan peserta didik di sekolah-sekolah yang ada di Bali penyimpangannya relatif kecil kalau dibandingkan dengan peserta didik yang ada di sekolah-sekolah di luar Bali, misalnya di Jawa Timur siswa putri membentuk Geng Nero dengan perilaku-perilaku yang tidak baik seperti yang dilansir oleh media televisi.

Upaya yang dapat Dilakukan dalam Menanamkan Nilai-Nilai Tri Kaya Parisudha sebagai Landasan Pendidikan dalam Membangun Akhlak Mulia Peserta Didik di Sekolah

Seperti telah disebutkan di atas, bahwa Tri Kaya Parisudha terdiri dari tiga bagian, yaitu:
  1. Manacika atau berpikir yang baik,
  2. Wacika atau berkata yang baik, dan 
  3. kayika atau berbuat yang baik. 
Sebagai umat manusia yang merupakan mahluk termulia, hendaknya kita menjalankan tiga aktivitas suci tersebut sehingga kemuliaan kita sebagai manusia tetap terjaga. Selain itu, dengan melakukan tiga aktivitas tersebut diharapkan sikap saling menghargai antar sesama, perdamaian, kerukunan, kebahagiaan, dan segala hal yang baik akan segera terwujud.

MANACIKA

yang berarti pikiran yang baik atau suci. Berfikir baik tanpa kekotoran, dan tanpa ada rasa kebencian atau kemarahan. Hindarkanlah pikiran mengecilkan dan mencurigai orang lain, akibat rasa sombong dan merasa lebih tinggi. Karena pikiran itu, ibarat menanam benih celaka. Upaya kongkritnya adalah dengan selalu berpikir positif dalam setiap kondisi, seperti:
  1. Biasakanlah berpikir dan bersikap welas asih atau kasih sayang terhadap sesama mahkluk dan memupuknya secara terus menerus.
  2. Belajarlah mengendalikan diri, agar rasa iri dan dengki dapat ditiadakan dan tidak timbul lagi dalam pikiran.
  3. Sibukkanlah diri dengan rajin bekerja, sehingga tidak ada kesempatan bagi pikiran untuk ngelamun atau memikirkan yang bukan-bukan. Sibuk dengan pekerjaan sendiri, tentunya tidak akan ada peluang untuk memikirkan hal yang aneh-aneh.
  4. Tanamkan terus pikiran dan sikap pengendalian diri yang baik, sehingga kita mudah memberi maaf kepada orang lain dan tidak cepat marah maupun putus asa.
  5. Selalulah berpikir yang baik dan benar, sehingga nafsu atau keinginan buruk yang timbul karena pengaruh lingkungan dan panca indriya, dapat ditiadakan.
  6. Biasakanlah berpikir, berkata dan berbuat yang baik, sehingga kita dapat menjadi manusia yang berbudi luhur dan beriman teguh antara lain dengan melaksanakan tapa, brata, yoga, dan Samadhi.

WACIKA

yang berarti perkataan yang baik/suci. Upaya kongkritnya adalah dengan berkata sopan terhadap sesama tanpa memandang statusnya. Status yang dimaksud termasuk umur, jabatan, posisi dan sebagainya. Berawal dari pikiran, akan timbul perkataan. Perkataan adalah sabda pemikiran yang akan berlanjut menjadi tindakan. Tutur kata yang santun, enak, sedap dan tidak keras. Maksud yang diutarakan jelas dan disusun secara teratur. Untaian kata mengundang keakraban dan mudah untuk diterima. Kata-kata dipilih yang santun dan tak berkepanjangan. Sikap dan gaya bicara, cukup seperlunya tidak perlu dilebih-lebihkan, yang penting, apa yang diuraikan membuat senang siapapun yang mendengarkannya.

KAYIKA

yang berarti perbuatan yang baik/suci. Upaya kongkrit dari kayika adalah dengan melakukan kegiatan membantu sesama manusia baik berupa phisik maupun non-phisik. Perilaku atau perbuatan harus dilaksanakan dengan baik dan benar. Setiap perbuatan, apakah perbuatan baik ataukah perbuatan buruk akan dapat menimbulkan apa yang dinamakan buah karma. Perbuatan yang baik akan menimbulkan buah karma yang baik. Sebaliknya perbuatan yang buruk akan menimbulkan karma buruk. Buah karma itu adalah pahala atau hasil dari perbuatan kita. Semua manusia tentu tidak ingin memetik buah karma buruk. Semua orang ingin mendapatkan buah karma baik. Karena itu janganlah berbuat yang tidak baik yang dapat menciptakan buah karma buruk.
Menurut orang bijak, waspadalah terhadap pikiran anda, karena ia akan menjadi kata-kata anda. Waspadalah terhadap kata-kata anda, karena ia akan menjadi tindakan anda. Waspadalah terhadap tindakan anda, karena ia akan menjadi sikap anda.

Bagaimana mengimplikasikan nilai-nilai Tri Kaya Parisudha kepada peserta didik di sekolah?
Di atas telah dijelaskan langkah konkrit dari berpikir, berkata dan berbuat yang baik. Penanaman nilai-nilai tersebut tidak serta merta hanya dilingkungan sekolah saja, melainkan harus dimulai dari keluarga peserta didik termasuk juga lingkungan masyarakat. Peserta didik yang tumbuh di lingkungan keluarga yang baik, tentu akan lebih mudah dalam menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam Tri Kaya Parisudha. Menanamkan nilai-nilai etika Tri Kaya Parisudha tidak dapat dilakukan hanya sekedar dengan tutur kata saja, namun seorang guru harus menjadi tauladan dalam mengimplikasikan nilai-nilai etika Tri Kaya Parisudha. Dalam melakukan kegiatan pembelajaran seorang guru harus mengantarkan materi pelajaran dengan tutur kata yang santun dan perilaku yang sopan, sehingga peserta didik terbiasa mendengar dan melihat langkah konkrit dari pelaksanaan nilai-nilai etika yang terkandung dalam Tri Kaya Parisudha. Dengan tauladan para guru akan dapat mempengaruhi perilaku-perilaku peserta didik.

Manfaat Penanaman Nilai-Nilai Tri Kaya Parisudha sebagai Landasan Pendidikan dalam Membangun Akhlak Mulia Peserta Didik di Sekolah

Tri Kaya Parisudha atau berpikir yang baik, berkata baik dan berbuat baik tentu mempunyai tujuan yang sangat baik bagi peserta didik dalam kehidupan masyarakat, khususnya umat Hindu. Secara umum Tri Kaya Parisudha dapat dikatakan mempunyai tujuan seperti dibawah ini :
  1. Untuk mengembangkan sifat dan sikap jujur dan setia dalam berpikir, berkata maupun berbuat bagi bagi peserta didik dan masyarakat pada umumnya.
  2. Untuk menumbuh kembangkan sikap mental yang bertanggung jawab tanpa diawasi oleh orang lain.
  3. Untuk menumbuhkan kesadaran guna berbuat baik dan mengenal berbagai akibat yang dapat timbul dari pikiran, perkataan dan perbuatan yang dilakukan.
  4. Untuk memberi petunjuk yang baik dan perlu dimiliki serta disadari dalam bergaul, sehingga dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan.
  5. Untuk mengajarkan agar manusia selalu waspada dan hati-hati terhadap pikiran, perkataan dan perbuatan, karena baik pikiran, perkataan maupun perbuatan itu dapat menyebabkan orang lain tidak senang, sedih atau marah, sehingga pada gilirannya dapat menimbulkan kesusahan pada diri sendiri.
Penanaman nilai-nilai Tri Kaya Parisudha di lingkungan pendidikan sangat bermanfaat dalam pengembangan potensi peserta didik menjadi manusia yang berakhlak mulia. Manfaat-manfaat yang dimaksud adalah sebagai berikut:
  1. Bagi peserta didik yang memiliki karakter atau sifat baik akan menjadi manusia lebih potensial dan untuk memperkokoh iman agar tidak mudah kena pengaruh yang buruk.
  2. Bagi peserta didik yang memiliki karakter atau sifat tidak baik, melalui penanaman nilai-nilai Tri Kaya Parisudha akan menjadi harapan berubah menjadi manusia yang lebih baik, sehingga tidak terjerumus ke hal-hal yang lebih buruk lagi.
  3. Peserta didik yang patuh dengan nilai-nilai Tri Kaya Parisudha sehingga menjadi manusia berakhlak mulia akan lebih mudah dalam mengembangkan potensi-potensi lainnya, seperti kecerdasan, kreatiftas, tanggung jawab, dan sebagainya.
  4. Peserta didik yang patuh dengan nilai-nilai Tri Kaya Parisudha akan selalu hidup rukun, tentram dan damai dalam lingkungan masyarakat.
demikian sekilas tentang  Tri Kaya Parisudha, semoga bermanaat.

Sabtu, 25 Juli 2015

Hindu Bali

Hindu Bali

Hindu Bali disebut pula Agama Hindu Dharma atau Gama Tirtha (agama Air Suci) adalah suatu praktik agama Hindu yang umumnya diamalkan oleh mayoritas suku Bali di Indonesia.

Hindu Bali merupakan sinkretisme atau penggabungan sekte - kepercayaan Hindu atau dimasa sekarang lebih dikenal dengan sebutan Sampradaya, baik aliran Siwa Sidhanta, Brahmana, Resi, Sora, Pasupata, Ganapatya, Bhairawa, Waisnawa, dan Sogatha dengan kepercayaan asli (local genius) suku Bali.
akibat dari penggabungan (sinkretisme) sekte tersebuat, banyak ritual-ritual dibali terlihat berbeda dengan ritual agama hindu diluar bali, baik di indonesia maupun dengan India (asal agama hindu). Pada dasarnya, Ritual Hindu Bali tidaklah berubah 100% dari aslinya, melainkan penyesuaian kesepahaman agar semua unsur pemujaan dari kesemua sekte yang telah digabungkan tercermin dalam setiap ritual upacara yadnya dibali. 

Untuk tetap menjaga kondisi tersebut, para pemuka agama (sadaka/sulinggih) maupun para pujangga pada jaman itu dan selanjutnya atas perintah Raja Udayana diwajibkan membuat lontar-lontar Sastra yang dijadikan acuan dalam menjalankan ritual upacara yadnya.  sehingga lontar-lontar dan karya sastra yang berkaitan dengan spiritual dibali selalu mengacu pada perintah raja udayana, yang hingga kini diwariskan oleh masyarakat Bali.
jadi,
"bila ada Ritual dibali selalu dilakukan dan dilaksanakan sesuai petunjuk lontar bali, dan apabila sebuah ritual tanpa ada dasar sastra lontar bali, maka ritual itu dianggap keliru".
dasar pemikiran diatas, kemudian terus berkembang, sehingga apabila ada umat yang menanyakan ritual hindu bali, memang akan sulit memilah-milahnya, karena kesemua ritual yang diyakini oleh sekte yang pernah tingal dibali sudah terlebur menjadi ritual hindu bali, salah satunya Banten.

bila sebuah ritual, khususnya Banten ditarik dasar sastranya langsung ke ajaran weda, maka akan sangat sulit ditemukan, karena dasar pembuatan banten adalah renungan para pemuka agama dibali, hasil meditasi, serta penyamaan pemahaman spiritual sekte-sekte yang sudah tentu awalnya berdasarkan weda khususnya purana-purana yang mereka pegang sebelumnya.

Sejarah Hindu Bali

Sesuai dengan sifat Sejarah, bahwa pengetahuan mengenai kedatangan Hinduisme di Bali didasarkan atas fakta yang dapat dikumpulkan. Menurut hasil penelitian para ahli sejarah, bahwa Hinduisme yang datang di Bali, ada yang datang dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera dan ada juga datang dari Thailand.
Kapan mulai masuknya Hinduisme di Bali ? 
menurut bukti-bukti dalam Stupika Buddha yang terdapat di Pura Penataran Sasih di Pejeng, bahwa dalam abad ke 8 di Bali telah terdapat Hinduisme dalam wujud agama Buddha Mahayana dan agama Siwa. Juga prasasti tembaga yang tersimpan di desa Sukawana­Kintamani tahun 882 Masehi sudah menyebutkan nama-nama Bhiksu Siwa Nirmala, Bhiksu Siwa Praja dan Bhiksu Siwa Kangsita. lni berarti keberadaan agama Siwa dan agama Buddha di Bali adalah pada kurun waktu yang bersamaan.

Dari data-data sejarah Bali Kuna, diperoleh keterangan, bahwa raja-raja Bali Kuna sebelum kedatangan Gajah Mada ke Bali tahun 1343 Masehi, adalah memeluk agama Buddha Mahayana. Agama Buddha Mahayana di Bali dianut oleh raja-raja dan para pejabat tinggi pemerintahan Bali Kuna dahulu, sedangkan agama Siwa dianut oleh masyarakat.

Perluluhan agama Siwa dengan Buddha secara intensif di Bali, dimulai sejak akhir abad ke 10, ditandai dengan perkawinan Dharma Udayana raja Bali Kuna yang beragama Buddha Mahayana dengan Mahendradatta putri raja Jawa Timur yang beragama Siwa. Sejak itu agama Siwa berkembang secara meluas di Bali dan agama Buddha tidak mengembangkan dirinya, melainkan lu1uh ke dalam agama Siwa (baca : Hindu).

Pada masa pemerintahan raja Anak Wungsu di Bali (abad ke 11), datanglah Empu Kuturan dari Jawa Timur ke Bali. Be1iau berkedudukan di Silayukti Padangbai sekarang. Empu Kuturan datang ke Bali, mengajarkan konsepsi pemujaan Tri Murti dan diterapkan pada masing-masing desa pakraman. Beliau juga mengajarkan tentang Upaeara Ngaben Swasta, tentang upacara Manusa-Yajna (Dharmakahuripan), tentang cara membuat meru di Besakih, tentang pedagingan pa1inggih dan mendirikan Sad Kahyangan Jagat Bali serta beberapa Kahyangan lainnya lagi dan lain-lainnya. Disamping itu beliau juga menyempumakan kehidupan agama Hindu di Bali dari sebelumnya serta menghimpun beberapa sekte agama Hindu yang telah ada di Bali seperti : sekte Kala, sekte Sambhu, sekte lndra, sekte Brahma, sekte Waisnawa dan sekte Saiwa.
  1. Kala paksa (Wanakrtih): mengajarkan tentang upacara untuk tanam-tanaman (pertanian).
  2. Sambhu paksa (Jagatkrtih): mengajarkan tentang mengupacarai jagat (bhuwana), mengadakan tawur dan caru kepada Panca maha bhuta.
  3. Indra paksa (Samudrakrtih): mengajarkan tentang mengupacarai laut, gunung, merebu bumi ngenteg linggih (Dewahara).
  4. Agni paksa (Atmakrtih): mengajarkan tentang mengupacarai atma atau rokh manusia serta sekalian mahluk (sarwa prani).
  5. Waisnawa paksa (Danukrtih): mengajarkan tentang mengupacarai danau, sawah, ladang dan segala pembersihan lahir bathin.
  6. Saiwa paksa (Janakrtih): mengajarkan tentang mengupacarai manusia dalam bentuk upacara-upacara Janmaprawerti dan Dharmakahuripan.

Ajaran tersebut diatas disebut Sad-Kertih yang menjadi dasar dari bentuk-bentuk upacara agama Hindu di Bali yang akhimya disempumakan dan dicakup ke dalam Panca Yadnya, disertai paham Tantrayana.

Pada masa pemerintahan Dalem Baturenggong di Gelgel (1460-1550 Masehi), datanglah Dang Hyang Nirartha dari Kediri Jawa Timur Ke Bali. Kedatangan beliau ke Bali bertujuan ganda yaitu :
  1. Mempertahankan Bali dari desakan paham baru (baca : Islam) yang telah meruntuhkan Majapahit.
  2. Meningkatkan dan menyempurnakan cara-cara hidup beragama Hindu di Bali menuju kepada kemurniannya.
Beliau mengajarkan tentang Tripurusa dalam konsepsi Siwa Sidhanta yaitu : Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa yang diidentikkan dengan Tri Murti. Beliau juga mengajarkan membuat palinggih Padmasalla sebagai linggih Hyang Widhi. Beliau melakukan Karya Ekadasarudra di Besakih, guna memohon kesentosaan rakyat Bali. Selain itu beliau juga mengajarkan tentang Panca Yadnya yang disempurnakan di Bali dan juga menyusun Weda yang dipakai pegangan oleh para Pedanda sekarang di Bali. Beliau adalah sastrawan besar dan berbagai karya sastra beliau diwariskan di Bali sekarang seperti : Dharmasunya, Nitisastra, Ekapratama, Usana Bali, Ampik, Sebun Bangkung dan sebagainya. Perjalanan beliau sebagai dharmayatra di Bali banyak diabadikan dalam Pura, seperti : Purancak, Rambut Siwi, Tanah Lot, Peti Tenget, Uluwatu, Sakenan, Air Jeruk, Ponjok Batu dan sebagainya. Beliau berdharmayatra sampai ke Lombok dan Sumbawa dan akhimya moksa di Uluwatu.

Dalam periode ini pula datanglah Dang Hyang Astapaka dari Jawa Timur ke Bali. Beliau adalah seorang pendeta Buddha dari keturunan Dang Hyang Angsoka yang beraliran Wajrayana dengan pemujaan yang terutama kepada Wairocana yaitu Dhyani Buddha yang di tengah dalam susunan Panca Tatagatha Buddha. Keturunan beliau sekarang terdapat di desa Budha Keling Karangasem, di desa Batuan-Gianyar dan juga tempat lain.

Pemerintahan Sri Kresna Kepakisan di Bali yang berasal dari Majapahit menerapkan tradisi yang berlaku di Majapahit seperti dalam upacara-upacara agama yang besar dipimpin oleh pendeta Siwa dan Buddha, sebagaimana diuraikan didalam Negarakertagama yang kita warisi sekarang ini di pulau Bali dan berkembang menurut desa, kala dan patra.

Dalam perkembangan lebih lanjut, bahwa sejarah mencatat terjadinya perubahan sistem kenegaraan di Indonesia. Dengan dijajahnya Indonesia oleh Belanda, maka mulailah diterapkan pendidikan klasikal di Indonesia, dengan sistem pendidikan baru. lni mengakibatkan berkembangnya pemikiran intelektual di masyarakat termasuk dikalangan umat Hindu. Dengan demikian maka ajaran-ajaran agama Hindu mulai dikaji secara mendalam dengan menggunakan pendekatan ilmiah dan analisis-analisis rasional. Hal yang demikian itu dipelopori oleh orang-orang Hindolog yang berhasil menyelesaikan pendidikannya di India. Mereka mulai memperkenalkan Kitab Bhagawadgita dan Kitab-kitab Upanisad yang sebelumnya kurang dikenal di Indonesian. Pandangan-pandangan rasional bermunculan dan secara perlahan-Iahan menggugah hati nurani Umat Hindu untuk memperdalam pengetahuan serta keyakinannya terhadap agama Hindu. Ini adalah proses awal terbentuknya Parisada.

Sekarang Umat Hindu telah tersebar di seluruh propinsi di Indonesia, lebih-Iebih lagi di Jawa Tengah dan di Jawa Timur. Berkembangnya kembali Umat Hindu di Indonesia yang pemah mengalami masa kejayaan di Indonesia jaman Majapahit, bukanlah berarti menyebarkan agama baru, melainkan mereka sendiri dengan penuh keyakinan untuk kembali menganut agama Hindu yang dianut oleh nenek moyangnya dahulu.

Tantrayana di Bali

Tantrayana berpangkal pada Konsepsi-Dewi (Mother Gooddes) yang bukti-buktinya terdapat di Lembah Sidhu. Dari Konsepsi-Dewi itu muncullah Saktiisme yaitu suatu ajaran yang mengkhususkan pemujaannya kepada Sakti, yaitu kekuatan dari Dewa, terutama sekali pemujaan terhadap Dewi Durga. Golongan pemuja Sakti disebut SAKTA. Perkembangan lebih lanjut dari Saktiisme itu munculan Tantrisme. Golongan itu memuja Sakti secara Ekstrim dan mereka disebut Tantrayana.
Tantra berasal dari kata "Tan" artinya memaparkan (memaparkan kekuatan dari Sakti itu). 
Dari Tantrisme ini muncullah suatu pada Bhairawa yang artinya Iwhat. Paham Bhairawa itu secara khusus memuja kehebatan daripada Sakti itu, dengan cara­cara yang spesifik. Mereka melaksanakan barata lima MA, yaitu: mamsa, matsya, madhya, maituna dan mudra yang disebut Panca Tattwa. Praktek ajarannya pada waktu malam diatas kuburan serta ditempat yang angker dan mereka menggunakan masker. Kegunaan dari pada ini adalah untuk mendapatkan kharisma yang tinggi yang diperlukan dalam suatu pengendalian pemerintahan. Maka dari itu aliran ini hanya diikuti oleh Raja dan Staf Pejabat Tinggi saja jaman dahulu. Bhairawa ada tiga macam yaitu : Bhairawa Heruka, Bhairawa Kalacakra dan Bhairawa Bhima. Aliran ini mempunyai tendensi politik dalam suatu pemerintahan dalam menghadapi musuh.

Di Bali, perkembangan dari Konsepsi-Dewi itu nyata sekali yaitu pemujaan Dewi/Bhatari lebih menonjol dari pada pemujaan Dewa/Bhatara, misalnya pemujaan terhadap Dewi Saraswati, Dewi Durga, Dewi Sri, Ibu Pertiwi dan sebagainya. Di dalam sistem kekeluargaan di Bali, banyak sekali dijumpai Pura Ibu.

Perkembangan Saktiisme di Bali, menjurus kepada dua aliran (Leak Bali) yaitu: Pangiwa dan Penengen. Kelompok Pangiwa memunculkan : Leyak, Desti, Teluh Taranjana dan Wegig. Kelompok Panengen memunculkan Kawisesan dan Pragolan. Pangiwa berasal dari sistem Niwerti dalam Bhairawa, sedangkan Panengen berasal dari sistem Prawerti dalam Bhairawa.

Cakupan Substansi Hindu Bali

pertama, Alam pikiran (baca : Bali) adalah bersifat fleksibel dan elastis yaitu mau menerima unsur-unsur pengaruh luar secara selektif untuk memperkaya pemikiran di Bali dan memberikan wama tersendiri serta mengembangkannya menurut alam pikiran Bali, sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan sifat-sifat dan kepribadian masyarakat Bali. Pandangan yang luwes itu melandasi pertumbuhan dan perkembangan kehidupan sosial, budaya dan agama Hindu di Bali, sehingga mampu beradaptasi dengan produk-produk pemikiran dari luar, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip kepribadian masyarakat Bali.

Sebelum kedatangan agama Hindu di Bali, Bali (baca : Indonesia) telah memiliki unsur-unsur kebudayaan yang bemilai tinggi yang di dalam bahasa populernya disebut local genious, disamping juga memiliki alam pikiran kerohanian dalam wujud religi yang bemilai tinggi. Alam pikiran inilah yang disebut alam pikiran lokal yang telah ada sebelum datangnya pengaruh Hindu di Bali.

Setelah datangnya pengaruh Hindu di Bali dalam wujud sosial, budaya dan agama, maka terjadilah akulturasi kebudayaan dan sinkritisme kepercayaan anatara alam pikiran lokal di Bali dengan pengaruh Hindu yang selanjutnya berproses sedemikian rupa dan muncullah tatanan kehidupan sosial, budaya dan agama Hindu di Bali. Oleh karena kualitas alam pikiran Hindu lebih tinggi daripada alam pikiran lokal di Bali, maka dalam proses akulturasi dan sinkritisme itu alam pikiran lokal menjadi dasamya dan pengembangannya diwamai oleh alam pikiran Hindu. Dengan lain perkataan, bahwa tatanan kehidupan sosial, budaya dan agama Hindu di Bali sekarang adalah agama Hindu yang dilandasi oleh alam pikiran lokal di Bali.

Terjadinya hubungan harmonis antara alam pikiran lokal dengan alam pikiran Hindu di Bali disebabkan oleh dua hal yaitu :
  1. Alam pikiran lokal mau menerima alam pikiran Hindu secara selektif dan menyesuaikannya dengan alam pikiran lokal yang hidup di Bali.
  2. Alam pikiran Hindu yang masuk ke Bali tidak bersifat kaku, melainkan menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi alam pikiran lokal di Bali. Hal itu disebabkan karena adanya konsep : desa, kala, patra dan kallistlta, madya, utama dalam alam pikiran Hindu. Inilah menyebabkan mengapa agama Hindu dapat hidup sepanjang zaman sehingga selalu up to date.
Beranjak dari analisis ini, maka tidak semua pengaruh Hindu diserap secara utuh di Bali, melainkan diambil dan dipilih yang sesuai dengan alam pikiran lokal di Bali (baca : Indonesia), Catur Weda, Manawadharmasastra, Nawadarsana, Ajaran Sekte, Tata Kemasyarakatan, Seni-Budaya, upacara dan lain-lainnya. Dari sini dapat diketahui bahwa dalam banyak hal kehidupan agama Hindu di India berbeda dengan agama Hindu di Bali, kecuali sumbernya yang sama yaitu Weda.

kedua adalah Sinkritisme Substansi Sekte, lebih lanjut silahkan baca "Sejarah Sekte di Bali"

ketiga, Agama harus dihayati, dicamkan, direnungkan dan diwujudkan dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Agama bukan hanya diomongkan, melainkan dilaksanakan dengan penuh keyakinan yang bermuara pada logika dan rasa batin (atmanastuti). Ada dua komponen yang terpadu dalam agama yaitu: rasa dan rasio. Didalam perpaduan ini, rasa (baca : rasa batin) mendominasi, karena Sang Hyang Widhi tidak membedakan orang yang pintar dengan orang yang bodoh, melainkan membedakan orang yang batinnya suci dengan orang yang batinnya kotor. Dalam hal ini ada dua istilah yang dapat diangkat, yaitu: ahli agama dan agamawan. Ahli agama belum tentu agamawan, tetapi agamawan sudah tentu tahu agama walaupun sangat minim. Karena itu agamawan lebih tinggi nilainya dari pada akhli agama.

Metoda yang baik untuk mewujudkan adalam dalam kehidupan adalah melaksanakan Catur-Marga (bhakti-marga, karma-marga, jnana-marga dan yoga-marga) secara utuh, karena hal itu merupakan suatu kesatuan. Tidaklah dibenarkan apabila Catur-Marga itu dilaksanakan secara terpisah-pisah, karena kualitas sumber daya manusia umat tidak sama kuatnya, maka adanya penonjolan salah satu marga itu dapat dipahami, namun harus tetap dalam konteks kesatuan Catur-Marga itu secara utuh.

Kita memahami, bahwa agama Hindu memiliki tattwa, susila, upacara dan acara. Inipun harus diwujudkan secara nyata didalam kehidupan sehari-sehari, karena semuanya itu merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan. Apabila menonjolkan tattwa (baca: filsafat) saja tanpa diwujudkan dengan susila, ini akan dapat memunculkan kemunafikan. Apabila menonjolkan susila saja tanpa melaksanakan upacara (dalam arti luas), ini sulit menamakan apakah mereka beragama atau tidak. Apabila upacara saja tanpa disadari tattwa dan susila, ini dikatakan dogmatis. Demikian pula apabila melaksanakan acara (tradisi) saja tanpa didasari tattwa dan susila, ini dikatakan buta.

Maka dari itu kewajiban kita umat Hindu haruslah melaksanakan agama secara utuh, mencakup tattwa, susila, upacara dan acara, sehingga suatu kesempurnaan akan dapat dicapai didalam kehidupan ini. caranya adalah : tattwa harus dicamkan, susila harus dijadikan pedoman dan arahan berperilaku, upacara harus dilakukan atas dasar Catur-Marga, dan acara harus dihormati sebagai nilai luhur warisan budaya bangsa. Dengan demikian kesejahteraan batin dan kemantapan rohani serta kestabilan jiwa akan dapat dicapai dalam kehidupan.

KOMPARASI KEHINDUAN DI INDIA DENGAN BALI

Sosial, Budaya dan Agama Hindu di India

Masyarakat Hindu di India terdiri dari beberapa ethnis dan tribes seperti: Dravida, Arya, Naga, Sikh dan lain-lain (Agama Sikh adalah campuran Hindu dengan Islam) yang masing-masing menampakkan kharakternya sendiri-sendiri. Di sana ada perkampungan-­perkampungan seperti desa di Bali yang disebut Grama. Grama yang besar atau kumpulan beberapa Grama disebut Pura yang berarti kota semacam Kota Kecamatan di Bali. Kehidupananya sangat kumuh dan kotor berbaur dengan ternak sapi yang diperliharanya dan banyak sekali sapi liar yang berkeliaran di jalan-jalan.

Keadaan perkonomian masyarakatnya sangat lemah dan mundur serta banyak pengemis yang berkeliaran di jalan-jalan. Pada umumnya tanah-tanah dikuasai oleh tuan-tuan tanah dan banyak rakyat kecil yang tidak mempunyai tanah. Hal ini mungkin disebabkan penduduk India sangat padat ± 900 juta jiwa, disamping juga karena dampak politik swadesi dan satyagraha yang diajarkan oleh Mahatma Gandhi yang menyebabkan ketertutupan India dari pengaruh  dunia luar.

Suatu hal yang menarik perhatian dan merupakan suatu ironis adalah murahnya harga kain sutra dan woll. Demikian pula buku-buku yang bagus berstandar internasional sangat banyak dan murah harganya bila dihitung dengan rupiah Indonesia. Makanan pokok sehari-­hari adalah susu dan tepung beras dan gandum yang diramas sedemikian rupa dicampur gula dan bumbu-bumbuan yang pedas. Jenis makanan yang paling umum di India adalah capati (seperti jajan kering) dan tali (semacam jajan dicampur kentang dan sayur-sayuran). Orang India sebagian besar vegetarian, lebih-lebih lagi di daerah Resikesh dan Haridwar di India Utara yang menerapkan kehidupan full vegetarian dan juga didalam kehidupan Ashram-Ashram.

Pada umumnya orang India pandai bersilat lidah, kikir dan sulit dapat menepati janji. Mereka sangat berorientasi kepada nilai-nilai spiritual dan agaknya menyampingkan nilai-nilai kehidupan duniawi, sehingga tampaknya kurang seimbangnya antara kehidupan skala dan niskala.

Produk budaya dalam wujud ilmu pengetahuan, teknologi, kesusastraan dan filsafat, sangat maju di India. Demikian pula arsitektur bangunan suci seperti Mandir, misalnya memakai style Gotic dan iconografi style Hellen memancarkan wujud yang anggun dan megah.

Di India terdapat penganut agama Hindu (?) yang mayoritas, dan penganut agama Sikh serta penganut agama Islam yang sedikit jumlahnya. Situasi kehidupan antar umat beragama di India, menampakkan suasana yang tidak rukun dan sangat mudah munculnya bentrokan antara yang satu dengan yang lain.

Setelah memperhatikan buku-buku yang dikeluarkan oleh Sekte Saiwa, sekte Waisnawa, sekte Tantrayana dan Budhis serta buku-buku dari berbagai aliran dan paham di India, serta menyaksikan foto maupun siaran TV tentang beberapa Ashram di India, dikesimpulan bahwa di India tidak ada yang disebut agama Hindu sebagai suatu kesatuan di India. Di India tidak ada satu lembaga umat yang mengkoordinasikan dan membina masyarakat Hindu seperti parisada di Indonesia. Di India ada Parisad (baca : Parisada), namun lembaga itu bukanlah lembaga atau majelis umat, melainkan merupakan suatu parlemen yang bersifat lembaga politik dalam  negara sekuler.

Untuk memperoleh gambaran mengenai kehidupan agama di India, disini diangkat hal-hal yang menonjol di India seperti berikut ini:
  1. Keagamaan di India bersifat Sektarian. Sekte yang menonjol ada tiga, yaitu : Saiwa, Waisnawa dan Tantrayana, disamping juga adanya banyak sekte yang lain. Pemujaan terhadap Brahma juga ada, namun keadaannya tidak seperti pemujaan terhadap Siwa, Wisnu dan Durga. Pemujaan Tri Murti disana dilakukan horizontal dan masing-masing Dewa dipuja terpisah secara tersendiri oleh pemujanya masing-masing. Disamping itu disana ada banyak Ashram yang mengajarkan sistem pendidikan kerohanian sendiri-­sendiri dengan pola orientasi dan arahan sendiri pula.
  2. Theisme atau Konsepsi Ke-Tuhanan di India agaknya kabur antara pemujaan terhadap Dewa dan Dewi dengan pemujaan terhadap individu yang suci seperti terhadap : Rama, Krishna, Hanoman dan lain-lain. Juga terjadi kekaburan antara personel dengan impersonal dalam imaginasi perwujudan Dewa dan Dewi. Demikian pula pentokohan terhadap seorang Guru Suci adalah sangat penting di hati para pengikutnya. Guru Suci inilah yang berperan sangat besar dalam kehidupan kerohanian di India seperti Swami Wiwekananda misalnya. Peran pemerintah di bidang keagamaan tidak begitu besar, karena India merupakan suatu Negara Sekuler
  3. Aktivitas keagamaan menonjolkan doa-doa dan pujian-pujian dalam bentuk Hymne daripada upacara ritual yang ceremonial.
  4. Prasarana keagamaan terlihat dalam wujud Mandir dan Arca-Arca, sedangkan sarana pemujaan yang digunakan hanyalah: bunga, air dan api. Penggunaan bunga dan air dalam pemujaan adalah berasal dari kebudayaan bangsa Arya, sedangkan penggunaan api adalah berasal dari kebudayaan bangsa Dravida. Suatu hal yang menarik perhatian adalah pada setiap tempat suci terdapat Arca (image) yang menjadi fokus konsentrasi pemujaan. Secara konseptual rupa-rupanya personifikasi Tuhan yang abstrak atau impersonal itu sangat dominan didalam imaginasinya.
  5. Kehidupan yang tidak seimbang. Orang-orang di India lebih menitikberatkan orientasi kehidupannya kepada sunyata dan mengesampingkan nilai-nilai sekala atau duniawi. Mereka dalam kesehariannya sebagian besar waktunya disita untuk merenung dan berdoa serta memuji-muji tokoh kerohanian yang dipujanya. Oleh karena itu tampaknya mereka kurang bersemangat meningkatkan kualitas kehidupan duniawinya. Disana sulit membedakan antara orang Sanyasin dengan orang peminta-minta yang sangat banyak berada disekitar tempat-tempat suci. Selain itu sifat mengkultuskan sapi sangat berlebihan di India.

Sosial, Budaya dan Agama di Bali

Kita patut bersyukur, bahwa kita diwarisi suatu tatanan kehidupan sosial, budaya dan agama Hindu yang telah mantap dan konseptual. Aktivitas agama Hindu di Bali cukup semarak dan meriah serta konseptual, karena ditopang oleh adat yang kukuh dan elastis, seni budaya yang kreatip serta bernilai tinggi. Agama Hindu menyinari kehidupan sosial budaya yang memberikan orientasi dan arahan di dalam kehidupan, sedangkan sosial budaya menopang dan mewujudkan ajaran agama dalam kehidupan masyarakat, sehingga menciptakan suatu tatanan kehidupan masyarakat socio-religius yang mantap dan etis-moralis serta dharmais.

Konsep kehidupan sosial, budaya dan agama Hindu di Bali adalah untuk mewujudkan kesejahteraan bersama (Jagadhita) melalui keseimbangan antara kesejahteraan pisik (sekala) dengan kesejahteraan rohani (niskala), sesuai dengan hakikat daripada Rwabhnieda yang mencanakangkan suatu konsep monodualis.

Kita mengakui, bahwa memang benar agama Hindu di Bali berasal dari India dalam arti konsepsi, pokok-pokok ajaran dan sumber kerohanian namun sosialisasi dan penerapannya di masyarakat Bali adalah berbeda dengan di India. Hal ini disebabkan karena nilai-nilai kehidupan sosial, budaya dan agama Hindu di Bali, telah memiliki akar yang kuat dalam kepribadian bangsa Indonesia khususnya Bali, sehingga menampilkan identitasnya tersendiri. Maka dari itu adalah tidak pas, apabila konsep-konsep pemikiran India di terapkan secara utuh di Bali, tanpa terlebih dahulu mengkajinya secara mendalam dan menerapkannya tanpa penyesuaian dengan alam pikiran dan kultur masyarakat Bali yang telah mantap secara turun-temurun.

Apabila keadaan ekonomi memungkinkan, akan sangat baik apabila kita datang ke India untuk menyaksikan kehidupan sosial, budaya dan agama di India serta rnerasakan getaran kesucian kerohaniannya. Setelah berada di India, maka lihatlah Bali milik kita sendiri. Kita  akan memperoleh kesan, bahwa sesungguhnya kehidupan sosial, budaya dan agama Hindu serta getaran kesucian kerohaniannya di Bali adalah jauh lebih baik daripada di India. Hal ini telah diakui oleh beberapa orang India sendiri yang telah berkunjung ke Bali.

Demikianlah tentang Kehinduan di Bali kemudian sering disebut HINDU BALI, yang diungkapkan secara garis besarnya saja, mengingat keterbatasan penulis akan banyaknya kitab yang harus dibaca dan keterbatasan lainnya. Dengan memahami ini, diharapkan dapat memberikan suatu gambaran bagaimana eksistensi dan identifikasi Agama Hindu di Bali. rujukan tulisan ini dari berbagai sumber. semoga bermanfaat.