Tampilkan postingan dengan label Catur Asrama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Catur Asrama. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 22 Agustus 2015

Wanaprasta dan Sanyasin (bhiksuka) - Catur Asrama

Wanaprasta dan Sanyasin (bhiksuka) - Catur Asrama

Dalam masa kehidupan Wanaprstha dan Sanyasa (Bhiksuka) yang merupakan tahap akhir dari Catur Asrama, tujuan utama dari kehidupan seseorang adalah untuk mencapai kebebasan rohani yang disebut Moksha.

Kehidupan Wanaprstha merupakan persiapan awal untuk menuju moksha yaitu dengan mewariskan nilai-nilai yang positif untuk grhastin-grhastin penerus, disamping itu mempersiapkan hal-hal yang mendasar untuk menghadapi masa akhir dari hidup ini dengan harapan mendapatkan moksha.

Tahapan Wanaprastha adalah masa menjauhkan diri dari kehidupan duniawi. Sedangkan masa Sanyasa sudah berusaha melepaskan diri sama sekali dari kehidupan duniawi.


Pada tahapan Wanaprstha, usaha hidup yang paling utama adalah melepaskan diri secara bertahap dari nafsu duniawi, sedangkan pada tahap Sanyasa disamping melepaskan diri dari ikatan badan, karena fungsi badan perlahan-lahan akan semakin berkurang dan bagaimanapun kita harus ikhlaskan untuk melepaskan. Oleh karena itu pada masa Sanyasa asrama orang tidak akan dapat memperoleh kesenangan hidup melalui alat-alat tubuhnya. Oleh karena fungsi alat-alat tubuh sudah sangat jauh dari yang diharapkan maka, harapan untuk mendapatkan kenikmatan hidup duniawi sudah tidak mungkin. Kenyataan inilah yang mengharuskan masa Sanyasa Asrama melepaskan masalah Artha dan Kama. Harapan satu-satunya hanya bisa ditunjukkan pada dunia spiritual. Pada masa Sanyasa Asrama inilah puncak keikhlasan harus diberikan prioritas utama. Sat-saat mengakhiri hidup di dunia ini, setiap orang harus sudah mantap dalam keiklhasan untuk melepaskan diri dari segala ikatan-ikatan dunia. Kalau hal itu belum terwujud, daapt dipastikan orang akan digeluti oleh rasa takut dan gelisah untuk melepaskan dunia ini.

Dalam Agyastya Parwa dijelaskan tentang Wanaprastha dan Bhiksuka sebagai berikut:
"......wanaprastha ta sira, mur saking grama mwang, mungwing suci desa, makadi wukir. Magawe patapan, sthananira gumawayaken panca karma mwang malwangi wisaya mwang mangdesanaken dharma, huwus pwa sira wanaprastha, bhiksuka ta sira, mur saking patapan ira, nisparigraha, tan pangaku patapan, tan pangaku sisya, tan pangaku panhruh padaya tiningglaken ira...
Artinya:
Wanaprastha-lah beliau, pergi dari desa dan menetap ditempat yang bersih suci terutama di gunung, mendirikan pertapaan sebagai tempatnya melakukan Panca Karma dan mengurangi nafsu kedunia-wian serta mengajarkan ajaran kerohanian. Setalah beliau melakukan Wanaprastha, Bhiksuka-lah beliau, pergi dari pertapaannya, tidak terikat, tidak mengaku memiliki pertapaan, tidak merasa punya murid, tidak merasa berpengetahuan, semua itu ditinggalkan oleh beliau. 


Tingakatan atau jenjang kehidupan yang terakhir adalah Bhiksuka atau Samnyasa. Tingkatan kehidupan ini dengan tingkatan kehidupan Wanaprastha sesungguhnya tidak banyak bedanya. Hanya saja dalam tingkatan yang terakhir ini mereka sudah matang dengan kegiatan tapa, bratha, yoga dan Samadhi. Pikirannyapun sama sekali sudah tidak terikat dengan dunia kenikmatan, tidak terikat dengan keduniawian. Mereka sudah tidak mempunyai keinginan lagi untuk mencapai Artha dan Kama. Pikirannya hanya satu yakni manunggalnya Atman dengan Brahman atau Moksa sebagai Catur Purusartha yang keempat. Kegitaanya sehari-hari hanya Tapa, brata, yoga dan Samadhi sambil merenungkan kekuasaan Tuhan, memuja dan memuji kebesaran Tuhan. Disamping itu mereka juga sering kali melakukan Tirthayatra atau mengadakan kunjungan suci kepura-pura atau tempat-tempat suci lainnya

Grahasta Asrama - Catur Asrama

Grahasta Asrama - Catur Asrama

Grahasta merupakan tahapan kedua dari catur asrama artinya hidup berumah tangga, bersuami istri. 
Pada masa kehidupan Grhasta tujuan hidup diprioritaskan untuk mendapatkan Artha dan memenuhi Kama, oleh karena itu, suatu rumah tangga belum dapat dilaksanakan kalau belum siap dengan sumber Artha berupa pekerjaan yang tetap yang memberi hasil yang memadai untuk menjalankan rumah tangga. Demikian pula dengan Kama yang menyangkut dorongan hidup seperti nafsu haus, lapar dan seks. Dorongan hidup itu harus dipenuhi dengan berlandaskan Dharma. 

Kama adalah salah satu media untuk mendapatkan kebahagiaan dan jangan samapai Kama itu memperalat manusia (sang diri). Sang diri harus mampu membatasi Kama. Manusia tanpa Kama tidak dapat menikmati kebahagiaan sejati dari hidup didunia ini. Akan tetapi Kama tanpa batas dan kendali, maka keindahan dunia ini akan berbalik menjadi sumber kehancuran. 
Demikianlah "hidup dalam Grhasta Asrama, harus berlandaskan Dharma".
Grhasta tanpa berlandaskan Dharma akan mengakibatkan Artha dan Kama yang merupakan prioritas utama dalam Grhasta menjadi sumber kehancuran Grhasta itu sendiri. 

Didalam Agstya Parwa dijelaskan tentang Grhasta Asrama sebagai berikut: 
".....grhasta ta sira mastri pwa sira, mana-madrewya hulun, ityewawadi, mangunaken kayekadharma yathasakti....
Artinya:
Grhasta-lah beliau, beristilah beliau, mempunyai anak, memiliki abdi, memupuk kebajikan yang berhubungan dengan pembinaan diri pribadi (kayikadharma) dengan kekuatan yang ada padanya (yathasakti).

Grahasta Asrama diawali dengan perkawinan. Perkawinan yang baik adalah perkawinan yang sesuai dengan ajaran hindu, sehingga perlu diketahui tentang Perkawinan menurut pandangan hindu itu sendiri.

setelah seseorang dinyatakan melewati Brahmacari, maka akan dilanjutkan dan meningkatkan jenjang kehidupannya ke Grhasta. Setelah masuk kegerbang Grhasta barulah Artha dan Kama menjadi penting. Walaupun demikian untuk mendapatkan Artha dan Kama mereka selalu harus berpegang kepada ajaran Dharma. Dalam masa Grhasta mereka masuk dalam kancah rumah tangga, sudah berkeluarga, sudah beristri dan mungkin juga sudah punya keturuanan. Karena itu sebagai anggota masyarakat, mereka tentu mempunyai bermacam ragam kewajiban, baik kewajiban keagamaan maupun kewajiban kekeluargaan. Dilihat dari segi ini jenjang kehidupan Grhasta merupakan tahapan yang sangat berat tetapi merupakan tugas yang sangat mulia.

Seorang kepala rumah tangga atau Grhasta yang baik tentunya memiliki perencanaan dalam memimpin rumahtangganya. Itu wajib ia lakukan dengan penuh keyakinan dan kesungguhan. Kewajiban Grhasta merupakan ikatan suci (dharma). Kalau ia dapat berhasil melaksnakan kewajibannya iti, ia dapat berhasil mendapatkan rasa bebas dari ikatan. Misalnya kewajiban untuk menyekolahkan putra-putrinya. Ini adalah suatu ikatan namun suci nilainya. Kalau ia taat dan berhasil menyekolahkan putra-putrinya itu, seorang Grhastapun akan mendapatkan suatu rasa bebas dari ikatan. Demikianlah moksa atau kebebasan dari ikatan merupakan kenyataan hidup yang harus diperjuangkan secara bertahap, pasti dan penuh keyakinan. Kalau ikatan demi ikatan dalam hidup ini dapat dilepaskan satu demi satu secara bertahap, maka kebebasan yang paling ideal berupa moksa akan dapat dicapai. Yang perlu diingat disini adalah kebebasanhanya akan dapat dicapai melalui keterikatan.

Setelah hidup berumah tangga sebagai warga Grhasta, mereka lalu memasuki tahapan hidup yang ketiga yaitu Wanaprasta. Dalam hal ini mereka mengasingkan diri dari keramaian hidup bermasyarakan untuk bisa menjauhkan diridari keterikatan kehidupan duniawi. Mereka hidup menyendiri karena itu manfaan dari Artha dan Kama lalu menjadi semakin berkurang. Mereka bahkan sudah berani melepaskan diri dari ikan Artha dan Kama. Dalam masa Wanaprastha ini kegiatan yang banyak dilakukan adalah memusatkan pikirannya hanya kepada Tuhan. Mereka juga sudah melaksanakan tapa, bratha, yoga, dan semadhi.

Kamis, 13 Agustus 2015

Kewajiban Suami - Grahasta Asrama

Kewajiban Suami - Grahasta Asrama

salah satu bagian dari Catur Asramaadalah masa Grahasta, yang sering disebut dengan masa berkeluarga. langkah awal dalam membangun keluarga adalah kawin (baca: "Pernikahan menurut Pandangan Hindu"). Selain sebagai ikatan/jalinan pengabdian yang tulus ikhlas antara seorang ayah kepada ibu dan anak, dalam keluarga juga terdapat kewajiban atau swadarma untuk melakukan panca yadna (Weda Smrti III 67.71), itu lima pengabdian yang ikhlas, suci, nirmala antara lain:
  1. Kepada Hyang Widhi beserta manifestasi-Nya (dewa yadnya)
  2. Kepada orang suci (Rsi Yadnya)
  3. Kepada orang tua, leluhur/guru rupaka (Pitra Yadna).
  4. Kepada sesama manusia (Manusa Yadnya).
  5. Kepada Alam semesta (Bhuta yadnya).
Selain kewajiban panca yadnya tersebut diatas, setiap unsur dalam keluarga Hindu memiliki kewajiban masing-masing antara lain:


Kewajiban Suami.

Mameyam astu posyaa, mahyam tvaadaad brhaspatih, mayaa patyaa prajaavati, sam jiiva saradah satam (Atharvaveda XIV.1.52)
“Engkau istriku, yang dianugrahkan Hyang Widhi kepadaku, aku akan mendukung dan melindungimu. Semoga engkau hidup berbahagia bersamaku dan anak keturunan kita sepanjang masa”.
Suami hendaknya berusaha tanpa henti untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi keluarganya, menafkahi istri secara lahir dan batin, merencanakan jumlah keluarga, menjadi pelindung keluarga dan figur yang dihormati dan ditauladani oleh istri dan anak-anaknya.

“Wahai mempelai laki-laki, lakukanlah yadnya(pengorbanan suci) yang akan mengantarkan keluargamu mencapai kebahagiaan dan perkawinan yang penuh rahmat. Senantiasa berbaktilah kepada Hyang Widhi, berikannlah kegembiraan kepada semua makhluk.” (Yajur Weda VIII,4)
Dalam Kitab Sarasamuccaya 242 disebutkan kewajiban suami antara lain:
  1. Sarirakrt artinya, mengupayakan kesehatan jasmani anak-anaknya.
  2. Prana data, membangun jiwa anak-anaknya.
  3. Anna data, artinya: memberikan makan.
Dalam Grhya Sutha, seorang suami mempunyai 2 (dua) kewajiban antara lain:
  1. Memberikan perlindungan pada istri dan anak (patti).
  2. Bhastri, artinya seorang suami berkewajiban menjamin kesejahteraan istri dan anak-anaknya.
Dalam Nitisastra VIII sloka 3 ada 5 (lima) kewajiban seorang suami yang disebut panca vida, antara lain:
  1. Matuluning urip rikalaning baya artinya: menyelamatkan keluarga pada saat bahaya.
  2. Nitya maweh bhinoajana artinya: selalu mengusahakan makanan yang sehat.
  3. Mangupadyaya artinya: memberikan ilmu pengetahuan kepada anak-anaknya.
  4. Sira sang angaskara kita artinya: yang menyucikan diri kita
  5. Sang ametwaken artinya: suami sebagai penyebab kelahiran bagi anak-anaknya.
Didalam Weda Smrti IX.3 disebutkan:
Pitaraksati kaumare, bharta raksati yauwane, raksanti sthavire putra na, srti swatantryam arhati
Selagi masih kecil seorang ayahlah yang melindungi, dan setelah dewasa suaminyalah yang melindunginya dan setelah ia tua putranyalah yang melindungi, wanita tidak pernah layak bebas (harus selalu dilindungi).

Kewajiban suami dalam Weda Smrti IX: 2,3,9,11 dapat diuraikan sebagai berikut:
  1. Wajib melindungi istri dan anak-anaknya serta memperlakukan istri dengan wajar dan hormat. Wajib memelihara kesucian hubungannya dengan saling mempercayai sehingga terjamin kerukunan dan keharmonisan rumah tangga.
  2. Suami hendaknya menyerahkan harta kekayaan dan menugaskan istrinya untuk mengurus artha rumah tangga, urusan dapur, yadnya serta ekonomi keluarga.
  3. Bila harus dinas keluar daerah suami suami berusaha menjamin istrinya untuk memberikan nafkah.
  4. Suami wajib menggauli istrinya dan mengusahakan agar antara mereka sama-sama menjamin kesucian keturunannya serta menjauhkan diri dari hal-hal yang mengakibatkan perceraian.
  5. Suami hendaknya selalu merasa puas dan bahagia bersama istrinya karena akan terpelihara kelangsungannya.
  6. Suami wajib menjalankan dharma grhastin, dharma keluarga (kula dharma), dhama dalam bermasyarakat (vansa dharma).
  7. Suami berkewajiban melaksanakan sraddha, pitrapuja (pemujaan kepada luluhur) memelihara cucunya serta melaksanakan panca yadnya.

Kewajiban Suami menurut Manawa Dharmasastra 

Aninditaih Stri Wiwahair
Anindya Bhawati Praja
Ninditairnindita Nrrnam
Tasmannindyan Wiwarjayet (Manawa Dharmasastra III.42)
Dari perkawinan terpuji akan lahirlah putra-putri yang terpuji; dan dari perkawinan tercela lahir keturunan tercela; karena itu hendaklah dihindari bentuk-bentuk perkawinan tercela.

Rtu Kalabhigamisyat
Swadaraniratah Sada
Parwawarjam Wrajeccainam
Tad Wrato Rati Kamyaya (Manawa Dharmasastra III.45)
Hendaknya suami menggauli istrinya dalam waktu-waktu tertentu dan selalu merasa puas dengan istrinya seorang, ia juga boleh dengan maksud menyenangkan hati istrinya mendekatinya untuk mengadakan hubungan kelamin pada hari apa saja kecuali hari Parwani.


Pitrbhir Bhratrbhis
Caitah Patibhir Dewaraistatha
Pujya Bhusayita Wyasca
Bahu Kalyanmipsubhih  (Manawa Dharmasastra III.55)
Wanita harus dihormati dan disayangi oleh ayah-ibu dan mertuanya, kakak-kaknya, adik-adiknya, suami dan ipar-iparnya yang menghendaki kesejahteraan sendiri.

Yatra Naryastu Pujyante
Ramante Tatra Dewatah
Yatraitastu Na Pujyante
Sarwastatraphalah Kriyah (Manawa Dharmasastra III.56)
Di mana wanita dihormati disanalah para Dewa-Dewa merasa senang, tetapi dimana mereka tidak dihormati tidak ada upacara suci apapun yang akan berpahala.


Socanti Jamayo Yatra
Winasyatyacu Tatkulam
Na Socanti Tu Yatraita
Wardhate Taddhi Sarwada (Manawa Dharmasastra III.57)
Di mana warga wanitanya hidup dalam kesedihan, keluarga itu cepat akan hancur, tetapi dimana wanita itu tidak menderita, keluarga itu akan selalu bahagia.


Jamayo Yani Gehani
Capantya Patri Pujitah
Tani Krtyahatanewa
Winasyanti Samantatah (Manawa Dharmasastra III.58)
Rumah di mana wanitanya tidak dihormati sewajarnya mengucapkan kata-kata kutukan, keluarga itu akan hancur seluruhnya seolah-olah dihancurkan oleh kekuatan gaib.

Tasmadetah Sada Pujya
Bhusanaccha Dana Sanaih
Bhuti Kamairnarair Nityam
Satkaresutsa Wesu Ca (Manawa Dharmasastra III.59)
Oleh karena itu orang yang ingin sejahtera harus selalu menghormati wanita pada hari-hari raya dengan memberi hadiah perhiasan, pakaian dan makanan.

Samtusto Bharyaya Bharta
Bhartra Tathaiwa Ca
Yasminnewa Kule Nityam
Kalyanam Tatra Wai Dhruwam (Manawa Dharmasastra III.60)
Pada keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri terhadap suaminya, kebahagiaan pasti akan kekal.
Sang alaki rabi sane saling asih kawiyaktian nyane sampun ngemanggihin kerahayuan
Yadi Hi Stri Na Roceta
Pumamsam Na Pramodayet
Apramodat Punah Pumsah
Prajanam Na Prawartate (Manawa Dharmasastra III.61)
Kalau istri tidak mempunyai wajah berseri, ia tidak akan menarik suaminya, tetapi jika sang istri tidak tertarik pada suaminya tidak akan ada anak yang lahir.
Yening stri tan setata nyemita, tan kengin sang meraga lanang sih asih ring stri, taler yening stri sekadi inucap, punika sane ngawinang sang alaki rabi tan presida ngawentenang sentana

Striya Tu Rocamanayam
Sarwam Tadrocate Kulam
Tasyam Twarocamanayam
Sarwamewa Na Rocate (Manawa Dharmasastra III.62)
Jika sang istri selalu berwajah berseri-seri seluruh rumah akan kelihatan bercahaya, tetapi jika ia tidak berwajah demikian semuanya akan kelihatan suram.

Kuwiwahaih Kriya Lopair
Wedanadhyayanena Ca
Kulanya Kulam Tamyanti
Brahmanati Kramena Ca (Manawa Dharmasastra III.63)
Dengan perkawinan secara rendah yaitu dengan mengabaikan upacara pemujaan, dengan mengabaikan pelajaran Weda dan dengan tingkah laku yang tidak hormat kepada Sulinggih, keluarga-keluarga besarpun akan berantakan.

Mantratastu Samrddhani
Kulanyalpa Dhananyapi
Kulasamkhyam Ca Gachanti
Karsanti Ca Mahadyacah (Manawa Dharmasastra III.66)
Tetapi keluarga-keluarga yang kaya dalam pengetahuan Weda walaupun mempunyai kekayaan sedikit mereka dapat dimasukkan dalam golongan keluarga yang mulia serta mendapatkan kemakmuran.

Swadhyaye Nityayuktah
Syaddaiwe Caiweha Karmani
Daiwakarmani Yukto Hi
Bibhartimdam Caracaram (Manawa Dharmasastra III.75)
Hendaknya setiap orang yang menjadi kepala rumah tangga setiap harinya menghaturkan mantra-mantra suci Weda (Puja Trisandya) dan juga melakukan upacara pada para Dewa karena ia yang rajin dalam melakukan upacara yadnya pada hakekatnya membantu kehidupan ciptaan Hyang Widhi yang bergerak (mahluk hidup) maupun yang tidak bergerak (alam semesta).

Demikian sekilas tentang Kewajiban Suami - Grahasta Asrama, semoga bermanfaat.