Tampilkan postingan dengan label Rahasia Yoga. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rahasia Yoga. Tampilkan semua postingan

Rabu, 19 Agustus 2015

Ajaran Tintiyasana Yoga

Ajaran Tintiyasana Yoga

Tintiyasana adalah manifestasi jati diri yang agung, yang juga disebut Acintya yang berarti tak terbayangkan namun dia ada, dilihat dari sudut sifatnya. Dia ada  dimana-mana Wyapi-wyapaka. Di dalam serat Dewa Ruci atau Bima Ruci- Bima Suci di uraikan Bima manunggal dengan jati dirinya yang agung sehingga ia sadar dan memahami akan jati dirinya dan ilmu sejati. Di dalam upacara dan upakara serta bangunan-bangunan suci di Bali, khususnya di Ulon Padmasana pasti kita saksikan symbol Tintiyasana ini / ulap-ulap yang berarti keberadaan Sang Hyang Widhi di tempat itu, sehingga upacara dan bangunan suci tersebut akan selamat dan sentosa. Sana berasal dari kata sesana atau ajaran yang sering di rangkai dengan kata asana sikap duduk untuk melakukan upacara pemujaan kepada Sang Hyang Widhi Wasa/ Leluhur.

Di dalam Tintiyasana kita mengambil sikap terlentang tengadah dengan lutut kanan ditekuk/setinggi lutut kiri. Dengan sikap tengadah dan menekuk lutut relaksasi  lebih mudah dapat dicapai sehingga memudahkan kita dan mempercepat menyatu dengan-Nya Brahman. Dalam keadaan tidur nyenyak kita terlepas dari keadaan dan hanya diliputi kebahagiaan Tuhan, mempersatukan diri dengan Tuhan. Itulah Brahman Rupata, keadaan itu dapat dicapai lebih-lebih lagi oleh orang yang dibebaskan. Setelah penyegaran barulah dimulai pengaturan dan pengendalian nafas/Pranayama.


Setiap sula pada ajaran Tintiya adalah ajaran/cara mengeluarkan nafas. Setelah 3 x 37 pernafasan akan dialami dan dirasakan keadaan relaksasi yang sempurna yang bagi masing-masing sadhaka pengalaman atau mengalami hal yang tidak sama. Melatih dan melatihnya terus sampai pada akhirnya tercapai atau merasa berada diawang-awang, badan terasa ringan seperti kapas, indrawi seolah-olah mati rasa, kita tidak berfungsi lagi hanya getaran perutlah yang terasa yang menghasilkan gelombang energy yang luar biasa. Inilah jalan kahyangan atau meditasi yakni Pranayama pikiran perhatian secara terus menerus pada suatu objek yang nantinya sampai kepada puncaknya langsung masuk didalam semedhi  atau penyatuan dengan yang Maha Esa.

Cakra-cakra dalam Tubuh Manusia

Sebagaimana di maklumi pula bahwa di dalam tubuh manusia terdapat pusat-pusat energy / prana yang disebut Cakra yang terdiri dari:
  1. Cakra Kundalini, terletak di tulang punggung terbawah berwarna merah, penggerak kreativitas dan seksual.
  2. Cakra Seks, terletak didaerah kemaluan. Tugasnya mengendalikan dan memberikan energy kepada organ seks dan kandung kencing.
  3. Cakra pusar, terletak di pusar dan tugasnya mengendalikan dan memberi energy kepada usus kecil, usus besar dan usus buntu.
  4. Cakra Meng mein, berada di bokong Cakra pusat, berhubungan dengan aliran prana dari Cakra Kundalini. Ia berfungsi sebagai gardu pompa di dalam tulang punggung yang bertanggung jawab untuk aliran energy prana yang halus yang berasal dari cakra dasar ke atas.
  5. Cakra Limpa, bertempat di tulang rusuk kiri depan paling bawah yang berkaitan dengan solaris pleksus.
  6. Cakra Solar Pleksus, terletak di lekuk antara kedua rusuk depan dan bagian belakangnya terletak di antara kedua rusuk belakang, berwarna kuning sebagai sumber-sumber pemahaman dan pengetahuan, pusat keseimbangan emosi dan psikis,
  7. Cakra Jantung, terletak di daerah jantung, berwarna hijau ungu keemasn sebagai pusat emosi halus , kedamaian, kegembiraan, kesabaran, kepekaan, kasih saying dan lain-lain.
  8. Cakra Kerongkongan terletak di tengah-tengah kerongkongan berwarna biru, sebagai pusat pemurnian pendengaran, pusat kemampuan mendengar atau berbicara secara fisik kepada diri sendiri, roh, atau orang lain serta pusat untuk kegiatan yang memerlukan perhatian khusus,
  9. Cakra Adnyana, terletak di antara alis mata, berwarna ungu sebagai pusat kemampuan mental yang lebih halus dapat merekam, mendapatkan gambar dan menyaring daya piker abstrak, pusat kemauan, pusat penglihatan dalam dan luar, berhubungan dengan kelenjar plinitari yang menghasilkan lendir, mengatur fungsi hormon dan endokrin sserta mampu mempengaruhi suasana hati dan perrilaku melalui pengaruh hormonal pada kegiatan otak.
  10. Cakra Dahi, sebagai pengendali sistem saraf, pusat kesadran budhi atau kesadaran kosmik.
  11. Cakra Mahkota, terletak di ubun-ubun berwarna putih atau bening, sebagai pusat permohonan keTuhanan, pusat pengendalian otak, pusat kemampuan budhi atau kesadaran kosmik yang lebihh tinggi.
  12. Cakra jiwa, terletak 3cm di atas kepala, sebagai perekaman beraneka ragam kesan hidup, juga kesan hidup pada kehidupan sebelumnya, kesan hidup semasih bayk, kesan hidup masa kini, maupun kesan masa yang akan datang, kaya informasi tentang karma, menyembuhkan penderitaan terhadap emosional dan fisik, kronis.
  13. Cakra Rohani, terletak sekitar 40cm di atas kepala, sebagai pusat pengetahuan Inkarnasi, leluhur kejiwaa, maksud tugas hidup dan takdir.
  14. Cakra Murni terleetak sekitar 3cm di bawah tubuh, mengandung energy kehidupan sehari-hari, pembersihan energy kejiwaan tubuh, sebagai pembimbing informasi masa lalu, masa kini dan masa mendatang.
  15. Cakra Kaki di telapak kaki dan tangan sebagai pengisap dan pentransfer energy, dapat mengalihkan mental untuk berfikir, menanggapi dan menjawab.
  16. Cakra Semesta, terletak di luar tubuh manusia dan berfungsi mengalirkan energy semesta kedalam tubuh.
Selain cakra-cakra tersebut, diketahui ada enam buah cakra dalam tubuh manusia yaitu Muladhara, Svadhisthana, Manipura, Anahata, Visudha, dan Ajna-cakra. Diatas semuanya itu terdapat padma berdaun bunga seribu (sahasrara-padma). Berikut ini diuraikan satu persatu dalam "7 Chakra Mayor".


Tutur Kelepasan Perspektif Tintiyasana


Pelaksanaan Tintiyasana Yoga ini tidak jauh berbeda dengan cara-cara yoga lainnya, yakni melalui meditasi yang juga disebut dengan dhyana yaitu pemusatan perhatian yang terus menerus terhadap suatu objek yang telah ditentukan dan disukai, sehingga sampailah kita pada suatu renungan yang mendalam. Adapun istilah Samadhi berasal dari kata sama berarti persamaan atau imbuhan dan dhi berarti ide-ide atau budhi yang adhi atau luhur. Dalam hubungan ini Samadhi berarti pemusatan pikiran kepada objek spiritual yang luhur yakni Sang Hyang Maha Tunggal. Jadi menuju kemanunggalan dengan Hyang Maha Tunggal/Moksa untuk mencapai tujuan yang mulia ini diperlukan kemauan, tekad, kedisiplinan dan kesabaran.

Di dalam Tintiyasana kita mengambil sikap terlentang tengadah dengan lutut kanan ditekuk/setinggi lutut kiri. Dengan sikap tengadah dan menekuk lutut relaksasi lebih mudah dapat dicapai sehingga memudahkan kita dan mempercepat menyatu dengan-Nya Brahman. Dalam keadaan tidur nyenyak kita terlepas dari keadaan dan hanya diliputi kebahagiaan Tuhan, mempersatukan diri dengan Tuhan. Itulah Brahman Rupata, keadaan itu dapat dicapai lebih-lebih lagi oleh orang yang dibebaskan.

Menurut Sri Empu Nabe Pamuteran bahwa : Tintiya adalah manifestasi Sang Hyang Widhi didalam sifatnya yang tidak terjangkau atau Acintya. Proses pengolahan nafas/pranayama menurut ajaran tintiyasana berarti pengolahan dasaksara, kemudian penunggalan dasaksara guna menghidupkan kundalini. Setelah Kundalini hidup/aktif prosesnya dilanjutkan memanunggalkan dasaksara menjadi Ong atau Om. Maka akan tercapailah keadaan kebahagiaan ananda/kebahagiaan tertinggi/abadi-moksah-suka tanpa wali duka karena Tintiya sendiri adalah Om itu sendiri. Jadi istilah Tintiyasana dalam hal ini di maksdukan adalah ajaran / sikap sebagai Tintiya untuk mencapai “Kamoksan/Kelepasan”.

Dalam Lontar Kamoksan dijelaskan bahwa moksa dapat dicapai melalui suatu tahapan spiritual, yang dimulai dengan memahami nama dewa, besarnya, warnanya dan tempat bersemayam dewa tersebut. Sebagaimana disebutkan menurut Aji Sang Hyang Dharma bahwa untuk dapat mencapai kelepasan, seorang pelaku meditasi harus mengenal dan mengetahui nama, rupa, dan tempat beberapa dewa dalam tubuh melalui kekuatan batinnya. Ketika pelaku meditasi atau rohaniawan mencapai tataran “berada dalam diam” itulah dinamakan bersatu dengan Sanghyang Kelepasan (nora liwat po saking rika, sanghyang kalepasan aranira) (Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, 2001 : 6).