Tampilkan postingan dengan label Agama Hindu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Agama Hindu. Tampilkan semua postingan

Rabu, 19 Agustus 2015

Sekilas Sloka tentang Ketuhanan, Filsafat, Etika dan Upacara

Sekilas Sloka tentang Ketuhanan, Filsafat, Etika dan Upacara

KETUHANAN

Dalam Sarasamuscaya, 35. Menyebutkan sbb :
Ekam yadi bhavecchastram sreyo nissamcayam bhavet’ bahutvadiha sastranam guham creyah pravesitam. (Sarasamuscaya, 35).
Artinya :
Yan tunggala keta Sang Hyang Agama, tan sangcaya ngwang irikang sinanggah hayu, swargapawargaphala, akweh mara sira, kapwa dudu paksanira sowing-sowang-hetuning wulangun, tan anggah ring anggehakena, hana ring guhagahwara, sira sang hyang hayu.
Terjemahan :
Sesungguhnya hanya satu tujuan agama, mestinya tidak sangsi orang yang disebut kebenaran, yang dapat membawa ke surga atau moksa, semua menuju kepadanya, akan tetapi masing-masing berbeda caranya, disebabkan oleh kebingungan, sehingga yang tidak benar dibenarkan; ada yang menyangka,bahwa di dalam gua yang besarolah tempatnya kebenaran itu.

Sarasamuscaya, 171. Juga menyebutkan sbb :
na danadduskaratam trisu lokesu vidyate,  arse hi mahati trsna sa ca krcchrena labhyate” (Sarasamuscaya, 171).
Artinya :
Sebab di tiga dunia ini tidak ada yang lebih sulit dilakukan dari pada berdana punia (bersedekah), umumnya sangat besar terlekatnya hati kepada harta benda, karena dari usaha bersakit-sakitlah harta benda itu diperoleh.

dhanani jivitam caica pararthe prajna ut srajet, sannimittam varam tyago vinace niyate sati
Artinya :
Maka tindakan orang yang tinggi pengetahuanya, tidak sayang merelakan kekayaan, nyawanya sekalipun, jika untuk kesejahteraan umum; tahulah beliau akan maut pasti datang dan tidak adanya sesuatu yang kekal; oleh karena itu adalah lebih baik berkorban ( rela mati ) demi untuk kesejahteraan umum.

yasya pradanavandhyani dhananyayanti yanti ca, sa lohakarabhastreva cvannapi na jivati” (Sarasamuscaya, 179).
Artinya :
Kekayaan seseorang datang dan pergi (mengalami pasang surut), bila tidak dipergunakan untuk berdana punia, maka mati namanya, hanya karena bernafas bedanya, seperti halnya puputan pandai besi.

Sarasamuscaya, 261. Dalam terjemahan menyatakan bahwa :
Carilah uang itu berdasarkan Dharma.
Selanjutnya gunakanlah perolehan itu untuk mewujudkan tiga tujuan hidup.


Sarasamuscaya, 21. Menyatakan sbb :
Kunang ikang wwang gumawayikang subhakarma, janmanyan sangke rig swarga delaha, litu hayu maguna, sujanma, sugih, amwiirya, phalaning subhakarmawasana tinemuya. (Sarasamuscaya, 21).
Artinya :
Maka orang yang melakukan perbuatan baik kelahirannya dari sorga kelak akan menjadi orang yang rupawan,gunawan,muliawan, hartawan, dan berkekuasaan; buah hasil perbuatan yang baik didapat olehnya.

Indram mitram varunam agnim ahur Atho divyah sa suparno garutman Ekam sadvipra bahudavadhanty Agnim yamam matarisvanam ahuh (Reg Veda I.164.46).
Artinya :
Mereka yang menyebut-Nya dengan Indra, Mitra, Varuna, dan Agni, Ia yang bersayap keemasan Garuda, Ia adalah Esa, para maharsi (viprah) memberinya banyak nama, mereka menyebut Indra, Yama, Matarisvan.

Bhagavadgita XI.40. menyebutkan sbb :
Namah puras tas artha prstha taste Mamostu te sarvata eva sarva Ananta vi rya mitavikramastvam Sarvam samapnosi sarvah. (Bhagavadgita, XI.40).
Artinya :
Hormat pada-Mu pada semua sisi, O Tuhan. Engkau adalah semua yang ada, tak terbatas dalam kekuatan, tak terbatas dalam keperkasaan. Karena itu engkau adalah semua itu.

Svestasvara Upanisad II.17. Mengatakan ssb :
Yo devo’gnayu yo’psu, yo visvam bhuvanama visesa, Yo asadishu yo vanaspatisu, tasmai devaya namo namah. (Svestasvara Upanisad II.17).
Artinya :
Sujud pada Tuhan yang berada dalam api, yang ada dalam air yang meresapi seluruh alam semesta yang ada dalam tumbuh-tumbuhan yang ada dalam pohon-pohon kayu.
Kitab Maha Nirvana Tantra dan Brahma Sutra, I.1.2. Sehubungan dengan itu kitab suci Bhagavadgita, XI.55 dan XVIII.65 dalam terjemahan menyatakan sbb :
“Yang bekerja bagi-Ku, menjadikan Aku sebagai tujuan tertinggi,
berbakti kepada-Ku tanpa kepentingan pribadi, tiada bermusuhan terhadap segala insani, dialah yang datang kepada-Ku, oh Pandawa“
”Pusatkan pikiranmu pada-Ku, berbakti pada-Ku, bersujud pada-Ku, sembahlah Aku engkau akan tiba pada-Ku, Aku berjanji  setulusnya padamu sebab engkau Ku-kasihi“
Kitab suci Yajur Veda IX.22,23, Atharva Veda XII.1.2 serta Veda Smrti VII.13,14 dan 18 yang dalam terjemahannya berbunyi sebagai berikut :

” Kami menghormati Ibu Pertiwi. ( Yajur Veda, IX.22 )

“Semoga kami waspada menjaga dan melindungi bangsa dan negara kami” ( Yajur Veda, IX.23 )

“Semoga kami dapat berkorban untuk kemuliaan bangsa dan negara kami”  ( Athrva Veda, XII.1.2 )

”Karena itu hendaknya jangan seorangpun melanggar undang – undang yang dikeluarkan oleh pimpinan negara, baik karena menguntungkan seseorang maupun yang merugikan pihak yang tidak menghendakinya “  ( Veda Smrti, VII.13 )

”Demi untuk itu, Tuhan telah menciptakan Dharma, pelindung semua makhluk, penjelmaannya dalam wujud undang – undang merupakan bentuk kejayaan Brahman Yang Esa” ( Veda Smrti, VII.14 )


Kitab suci Isa Upanisad, 6. Menyatakan sbb  :
Yas tu sarvani bhutani atmanyevanupa yati sarva bhutesu catmanam tato na vijugupsate” (Isa Upanisad, 6)
Artinya:
Dia yang melihat semua mahluk pada dirinya (Atman) dan dirinya (Atman) sendiri pada semua mahluk, Dia tidak lagi melihat adanya sesuatu perbedaaan dengan yang lain.

FILSAFAT / TATTWA

Orang yang kebingungan akan menyangka bahwa kebenaran itu dianggap bukan kebenaran. Seperti juga ada yang menganggap kebenaran terdapat di dalam gua. Dengan mengetahui tujuan agama, maka kebingungan seperti itu tidak terjadi lagi.
Brahmaghna ca sarape ca core bhagnavrate sate, niskrtivihita sabdih jrtahgne nasty niskrtih (Sarasamuscaya, 322).
Brahmagnha ngaraning mamati brahmana, humilangaken sang hyang brahma mantra kunang, tan yatna ri sira, surapa ngaraning manginum madya, an pakabrata tan panginum madya, cora kunang, bhgnabrata ngaraning manglebur brata, atyanta gongning ngaraning manglebur brata, atyanta gongning papanika kabeh, tathapin mangkana hana pamrayascitta irika, kunang papaning krtaghna, tan patambanika, tan kawenang pinrayacitta.
Artinya :
Brhmaghna artinya membunuh brahmana dan menghilangkan brahma mantra, tidak mengindahkan Beliau. surapa artinya meminum minuman keras; orang yang menjalankan brata tidak dibenarkan meminum minuman keras; tidak boleh mencuri; bhgnabrata namanya jika melebur (membatalkan) brata; kelewat besar dosanya; namun dmikian masih ada penebusanya; akan tetapi dosa krtaghna (tak tahu berterima kasih ) tak ada obatnya, tak ditebus.

Jadi dosa besar jika manusia membatalkan bratanya dan meneguk minuman keras. Brata itu menghantarkan manusia sebenarnya kepada surga yang akan diraihnya nanti. Seperti juga yang terdapat pada sloka ini :
Samklistakarmanamatipramadam bhuyo nrtam cadr dabhaktikam ca, vicitaragam bahumayinam na ca naitan niseveta naradhaman sat. (Sarasamuscaya, 325).
Nihan lwirning tan sangsargan, wwang mangulahaken pisakit, parapida duracara, wwang gong pramada, wwang mithyawada, wwang tan apangeh kabhatinya, wwang gong raga, wwang sakta ring madya, nahan tang nem kanistanin wwang, tan yogya siwin.
Artinya :
Inilah misalnya orang yang tidak patut dijadikan kawan bergaul, orang yang mengusahakan penyakit dan kesedihan kepada orang lain, serta buruk laku, orang yang sangat alpa, orang yang kata-katanya bohong dusta, orang yang terikat hatinya kepada minuman keras, keenam orang yang sangat keji itulah, yang patut dihindarkan.

Selain mabuk minum-minuman keras, disebutkan juga tidak baik menjadi orang yang mabuk kebangsawanan, mabuk kerupawanan, dan mabuk kepintaran. Sesungguhnya itu menimbulkan ketidaktenangan hati di dunia. Seperti pada sloka berikut :
Vidyamado dhanamadasttrtiyo’ bhijanairmadah, mada hyete valiptanameta eva satam damah. (Sarasamuscaya, 337).
Nihan sangskepaning mangdadyaken mada ring durjana widya, dhana, abhijana, widya ngaran sang hyang aji, widyamada ngaraning wero kapuhara denira, dhana ngaraning masmanik, salwirning wibhawa, dhanamada ngaranikang mada kawangun denya, abhijana ngaraning kawwangan abhijanamada ngaraningkang wero kapuhara denya, nahan tawakning mangddyaken mada ring durjana, kunang ri sangn sajjana, mangddyaken kopasaman ika.
Artinya:
Inilah secara singkat hal-hal yang menimbulkan kesombongan pada si durjana; widya, dhana, abhijana, widya artinya ilmu pengetahuan, widyamada artinya rasa bangga yang diakibatkan ilmu pengetahuan; dhana adalah kekayaan emas dan permata, segala rupa kekayaan; dhanamada disebut kesombongan yang ditimbulkan oleh kekayaan itu; abhijana artinya keturunan yang mulia; abhijanama artinya mabuk akan bangsawan; itulah bentuk-bentuk yang menimbulkan rasa angkuh pada si durjana; sebaliknya sang sajan bentuk-bentuk itu menyebabkan timbulnya ketenangan hati.

ETIKA / SUSILA

Susila atau etika merupakan upaya (karma) manusia mempergunakan keterampilan fisiknya (angga/raga)dan cerdas rohani  (suksma sarira) manusia terdiri atas pikiran (manas), kecerdasan (buddhi) .dan kesadaran murni (atman) yang dapat berfungsi sebagai saranauntuk memecahkan berbagai masalah tentang bagaimana manusia hidup  dan berbbuat baik (saputra). Kitap sarasamuscaya menyebutkan sebagai berikut :
manusah sarvabhutesu varttate vaiu saubhasuhe,asubhasue  samasvitam subhesveva vakyaret. Ri sakiwang srwa bhuta,ikingjanma wwang juga wenang gumayana kening subha –subhakarma  iking janma, kuneng  akena ring subhakarna juga ikang asubha karma phalaning dadi wwang. (Sarasamuscaya, 2).
Artinya :
Dari sedemikian banyaknya semua mahkluk yang hidup , yang di lahirkan sebagai manusia itu saja yang dapat berbuat perbuatan yang baik-buruk itu adapun untuk peleburan perbuatan buruk ke dalam perbuatan yang baik juga manfaatnya menjadi manusia.

Demikianlah manfaat hidup menjadi manusia sebagai di sebutkan dalam kitab suci Weda. manusia hendaknya selalu mengupayakan prilaku yang baik dengan sesamanya memperlakukan orang dengan baik sesungguhnaya adalah sama dengan memperlakukan diri sendiri dengan baik juga (tatwam asi), prilaku seperti itu patut di upayakan harus di lestarikan dalam setiap tindakan kita sebagai manusia, setiap induvidu hendaknya berfikir dan bersifat professional menurut guna dan karma. Di antara makhluk hidup, manusia merupakan makhluk paling istimewa, makhluk yang paling sempurna karena memiliki Tri Pramana (bayu, sabda, idep). Dengan idep manusia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk serta mampu melebur perbuatan buruk ke dalam perbuatan baik. Menyadari hal tersebut maka janganlah sia-siakan kesempatan lahir sebagai manusia untuk berbuat baik (susila), agar tujuan kita lahir ke dunia bisa tercapai.
Dalam kitab Sarasamuscaya, sloka 160 disebutkan sebagai berikut :
Silam pradhanam puruse tadyaseha pranasyati, na tasya jivitenartho duh silam kinprayojanam, Sila ktikang pradhana ring dadi wwang, hana prawrtti ning dadi wwang dussila, aparan ta prayojananika ring hurip, ring wibha, ring kaprajinan, apan wyartha ika kabeh, yan tan hana silayukti”. (Sarasamuscaya, 160).
Artinya :
Susila itu adalah yang paling utama, pada titisan sebagai manusia. Jika ada perilaku titisan sebagai manusia itu tidak susila, apakah maksud orang itu dengan hidupnya, dengan kekuasaan, dengan kebijaksanaan, sebab sia-sia itu semuanya jika tidak ada kesusilaan. Ajaran susila hendaknya terapkan di dalam kehidupan kita di dunia ini, karena di dunia inilah tempat kita berkarma.

UPACARA

Atharwa Weda  XXI.1.1  menyebutkan : 
Satyambrihadh rtam ugram diksa tapo
Brahma yajna prithivim dharayanti (Atharwa Weda  XXI.1.1).
Artinya :
Kebenaran, hukum abadi yang agung dan penyucian diri pengendalian diri, doa dan ritus (Yajna) inilah yang menegakkan bumi.

Saha yajnahprajah srstva purovacaprajapatih
‘anenaprasavisadhauam esa vo stu ista-kama dhuk
Artinya:
Sesungguhnya sejak dulu dikatakan, Tuhan setelah menciptakan manusia melalui yajna (Bhagawadgita  III.10), berkata : dengan (cara) ini engkau akan berkembang, sebagaimana sapi merah yang memenuhi keinginanmu (sendiri).

Satyam brhadrtamugram diksa,
Tapo brahma yadnya Prthiwimdharayanti  (Atharwa Weda)
Artinya :
Sesungguhnya  satya, rta, diksa, tapa, brahma dan yadnya  yang menyangga dunia.

Yajna ngaraning manghanaken homa (Wrhaspati Tattwa)
Artinya :
 Yajna artinya mengadakan homa   

Yajna ngaranya “Agnihotradi” kapujan Sang Hyang Siwagni pinakadinya (Agastya Parwa)
Artinya:
Yajna artinya “Agnihotra”  yang utama yaitu pemujaan atau persembahan kepada Sang Hyang Siva Agni.

Bhagavadgita, III.9 menyebutkan :
Setiap melakukan  pekerjaan hendaknya dilakukan sebagai
Yajna dan untuk yajna.

Bhagavadgita, III.12 menyebutkan :
Para deva akan memelihara manusia dengan memberikan kebahagiaan. Karena itu manusia yang mendapatkan kebahagiaan bila tidak membalas pemberian itu dengan yajna pada hakikatnya adalah pencuri. Kemudian sloka selanjutnya menyebutkan bahwa orang yang terlepas dari dosa adalah orang yang makan sisa persembahan atau yajna. Maka sebelum menikmati  makanan, kita harus mempersembahkan makanan itu pada Tuhan. Kita makan prasadam (lungsuran = bahasa Bali) artinya makan anugrah Tuhan.

Bhagavadgita, VII.16 menyebutkan :
Chaturvidha bhayante mam Janah sukrtino ,rjuna Arto jijnasur artharthi  Jnani ca bharatasabha” (Bhagavadgita, VII.16)
Artinya :
Ada empat macam orang yang baik hati memuja padaku, wahai Bharatasabha, mereka yang sengsara, yang mengejar ilmu, yang mengejar artha dan yang berbudi Arjuna.
Dalam kitab Sarasamuscaya, 81. Disebutkan dalam terjemahannya sbb :
Demikianlah hakikatnya pikiran tidak menentu jalannya, banyak yang dicita-citakan terkadang berkeinginan, terkadang penuh keragu-raguan, demikianlah kenyataanya, jika ada orang yang dapat  mengendalikan pikiran  pasti orang itu memperoleh kebahagiaan baik sekarang maupun didunia lain.
 
Kitab Bhagavadgita VII.8  memberi petunjuk sbb :
Raso ‘ham apsu kaunteya,   prabha ‘smi  sasisuryayoh, Pranavah sarvavedeshu,  sabdah  khe paurusham nrisu” (Bhagavadgita VII.8)
Artinya :
Aku adalah rasa dalam air,  Kunti putra, Aku adalah cahaya pada bulan dan matahari. Aku adalah huruf aum  dalam kitab suci Weda, Aku adalah suara diether dan kemanusiaan pada manusia.

Kitab Sarasamuscaya, I.4. Menyebutkan :
Iyam hi yonih prathma yonih prapya jagadipe Atmanam sakyate tratum karmabhih sublalaksanaih Apan ikang dadi wwang uttama juga ya, nimittaning mangkana,  wenang ya Tinulung  awaknyasangkeng sangsara, makasadanang  subhakarma  Hinganina  kotamamaningdadi wwang ika. (Sarasamuscaya, I.4).
Artinya :
Sebab menjadi manusia sungguh utama juga, karena itu, ia dapat  menolong dirinya dari keadaan sengsara dengan jalan karma  yang baik, demikianlah keistimewaan menjadi manusia.

Kitab Bhagavadgita IV.28 sbb :
Dravya-Yajnas tapa-yajna, yoga-yajnas tathapare,Svadhyaya, jnana yajnas ca yatayah samstia vratah. (Bhagavadgita, IV.28).
Artinya :
Ada  yang  mempersembahkan harta, ada tapa, ada yoga, dan yang lain pula pikirkan yang terpusat dan sumpah berat, mempersembahkan ilmu dan pendidikan budi.

Sloka Bhagavadgita menjelaskan hal ini sbb :
ye yatha mam prapadyante, tams tathai ‘va bhayamy aham Mam vartma .nuvartante, manushyah partha sarvasah
Artinya :
Dengan jalan manapun (beryajna) ditempuh manusia kearah-Ku, semuanya Ku-terima  dari mana-mana semua mereka menuju jalan-Ku oh  Partha.
demikianlah Sekilas Sloka tentang Ketuhanan, Filsafat, Etika dan Upacara, semoga bermanfaat.

Minggu, 26 Juli 2015

Hindu Indonesia

Hindu Indonesia

Agama Hindu bersumber pada wahyu Tuhan Yang Maha Esa / Hyang Widhi yang  turun di India sekitar 2500 tahun BC. Wahyu-wahyu itu merupakan pengetahuan suci yang diterima  oleh orang-orang suci atau Rsi-Rsi dalam keadaan semadhi, kemudian dihimpun oleh  beberapa Maharsi antara lain Maharsi Wyasa yang mengumpulkannya menjadi Catur Weda berasal dari akar kata wid yang artinya tahu. Dari akar kata wid ini menjadi kata Weda  yang berarti pengetahuan suci. Juga dari akar kata wid menjadi kata Widhi artinya yang  memberi/sumber pengetahuan suci itu. Dari akar kata wid ini juga, menjadi kata widya yang  artinya kesadaran atau ilmu pengetahuan dan kebalikan dari widya adalah awidya yang artinya ketidaksadaran/kegelapan (ignorance).

Dengan turunnya Weda di India, maka timbullah suatu periode sejarah yang disebut zaman Weda. Pada zaman ini berkembanglah suatu corak kebudayaan baru di India yang mengambil sumber pada Weda dan meliputi beberapa aspek kehidupan yang disebut dengan  suatu istilah Hinduisme sebagaimana disebutkan di dalam Arya Warta.


Dalam perkembangan lebih lanjut pada Zaman Upanisad dimana bermunculan filsafat-filsafat di India, maka muncullah aliran-aliran yang disebut paksa atau sekte dalam agama Hindu, anatara lain sekte Saiwa, sekte Waisnawa, sekte Brahma, sekte Tantrayana dan lain-lain. Sekte Saiwa memuja Dewa Siwa sebagai suatu tokoh yang paling utama, sekta Waisnawa memuja Dewa Wisnu sebagai satu-satunya Tokoh yang paling utama, sekta Brahma mentokohkan Dewa Brahma dalam pemujaannya dan sekte Tantrayana memusatkan pemujaannya kepada Dewi Durga. Tiga dewa : Brahma, Wisnu dan Siwa dipuja secara horizontal, sebagai Dewa Tri Murti manifestasi dari Hyang Widhi.

Disamping agama Hindu, bahwa di India pada abad ke 5 BC muncullah agama Buddha yang menekankan ajarannya kepada masalah etika dan hukum karma. Agama Buddha juga mengajarkan berbagai aturan hidup masyarakat dan menimbulkan suatu paham yang disebut Buddhisme. Agama Buddha dibagi menjadi dua kelompok besar yang disebut Mahayana dan Hinayana. Dari masing-masing kelompok ini terbagi lagi menjadi beberapa mazab (aliran).

Pengertian Hinduisme di India, tidaklah mencakup Buddhisme dan kedua isme itu berdiri sendiri menempuh jalan sendiri dalam proses perkembangannya masing-masing. Tetapi pengertian Hinduisme di Indonesia mencakup pula Buddhisme Mahayana atau dengan kata lain Hinduisme di Indonesia mencakup semua paham yang berasal dari India yang masuk ke Indonesia pada abad permulaan tarikh Masehi yang didukung oleh budaya lokal di Indonesia.

Proses Perkembangan Hindu di Indonesia

Pengaruh Hindu datang di Indonesia diperkirakan pada permulaan tarikh Masehi. Proses kedatangannya berlangsung secara damai dan bertahap-tahap. Kontak pendahuluan melalui media perdagangan yang dilakukan oleh pedagang India dengan para pedagang Indonesia (ada beberapa teori mengenai ini). Bukti-bukti ke Hinduan yang tertua di Indonesia diberikan persaksian oleh batu bertulis (Yupa) yang terdapat di Kutai Kalimantan Timur, memakai huruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta. Berdasarkan huruf Pallawa yang dipakai dalam Yupa tersebut, ditarik kesimpulan bahwa pengaruh Hindu yang masuk ke Indonesia, diperkirakan pada abad ke 4 Masehi, berasal dari daerah Koromandel di India Selatan. Dari segi keagamaan, keterangan yang tertulis pada Yupa itu menunjukkan corak Siwais, dinyatakan dalam kata Vaprakesvara yang berarti suatu tempat suci yang berhubungan dengan pemujaan terhadap Iswara yaitu nama lain dari Dewa Siwa. Diperkirakan sekitar 5 Masehi, muncullah ke Hinduan di Jawa Barat, ditandai dengan ditemukan 7 buah prasasti batu. dari segi keagamaan terdapat berbagai spekulasi mengenai agama yang dianut oleh kerajaan Tarumanegara. Ada bukti kuat yang menduga bahwa raja Pumawarman memuja Dewa Wisnu. Ada pula pendapat lain yang mengatakan raja Pumawarman memuja Siwa dan ada juga yang berpendapat bahwa ia menganut paham Brahmanical Religion.

Bukti-bukti masuknya agama Hindu di Jawa Tengah diberikan persaksian oleh prasasti batu Tuk Mas di desa Dakawu yang menyebutkan pujian terhadap kesucian sungai Gangga disertai gambar-gambar atribut Dewa Tri Murti, yaitu : Kendi (amrta-Brahma), Gadha (Wisnu) dan Trisula (Siwa) yang diperkirakan dibuat pada tahun 650 Masehi.

Pada zaman yang berikutnya, prasasti Canggal di gunung Wukir Jawa Tengah yang berangka tahun 654 S = 732 Masehi, menyebutkan pemujaan terhadap Dewa Siwa, Wisnu dan Brahma dalam suatu susunan yang vertikal, dengan mentokohkan Dewa Siwa sebagai yang paling dominan. Ini berarti secara konkrit pada 732 Masehi agama Hindu dalam arti pemujaan Tri Murti telah muncul di Jawa Tengah.

Munculnya agama Hindu di Jawa Timur ditandai oleh prasasti Dinoyo pada 760 Masehi. Di dalam prasasti ini terdapat kata putikeswara yang berarti api suci dari Dewa Siwa. Perkembangannya kemudian merupakan kelanjutan dari Jawa Tengah dengan berbagai corak.

Pengertian Tri Murti di Indonesia adalah pemujaan terhadap tiga dewa yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa secara vertikal dengan pemujaan terhadap Dewa Siwa paling menonjol. Karena itu paham Tri Murti di Indonesia sering disebut Siwaisme atau sebaliknya Siwaisme atau agama Siwa adalah cakupan Waisnawa dan Brahmaisme. Inilah yang secara nyata kita anut di Indonesia sekarang. Mengenai siapa yang menyebarkan agama Siwa (baea : Hindu) di Indonesia, para ahli menunjukkan kepada seorang tokoh yaitu : Maharsi Agastya yang banyak namanya diabadikan pada prasasti-prasasti dalam Kesusastraan Jawa Kuno.

Disamping agama Hindu, maka agama Buddha juga masuk ke Indonesia. Menurut penelitian para ahli, bahwa agama Buddha Hinayana masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad ke 3 Masehi. Hal ini diberikan persaksian oleh arca perunggu berbentuk Buddha Dipangkara yang terdapat di Sempaga-Sulawesi Tengah yang memakai gaya amarawati. Di Jawa Tengah agama Buddha Hinayana telah ada tahun 664 Masehi, dimana seorang pendeta Buddha Cina bernama Hwining menterjemahkan kitab Mulasarwastiwadanikaya, yaitu salah satu kitab suci Buddha Hinayana, bersama pendeta Indonesia (Holing) yang bernama Jnanabhadra.

Pada abad ke 7 Buddha Mahayana masuk dan berkembang di Sumatera Selatan bersama dengan pertumbuhan kerajaan Sriwijaya, yang diberikan persaksian oleh prasasti batu Kedukan Bukit tahun 683 Masehi dan prasasti batu Talang Tuwo tahun 684 Masehi. Dalam prasasti Talang Tuwo itu terdapat kata Wajrasarira yang artinya berbadan Wajra. Ini memberikan data, bahwa agama Buddha Mahayana yang masuk ke Sriwijaya adalah mazab Wajrayana atau juga disebut Buddha Tantra. Selain mazab Wajrayana, maka mazab Yogacara dari Buddha Mahayana juga masuk ke Indonesia.

Agama Buddha Mahayana ini juga masuk ke Jawa Tengah pada abad ke 8 Masehi, periode awal Sailendrawangsa di Jawa Tengah diberi persaksian oleh prasasti Kalasan tahun 754 M. Masuknya Buddha Mahayana ke Jawa Tengah yang diduga perkembangan dari Sriwijaya, mendesak Buddha Hinayana di daerah itu, sehingga Buddha Hinayana tidak lagi disebut-sebut dalam sejarah Agama di Indonesia.

Dari abad ke 8 sampai abad ke 9 agama Siwa dan agama Buddha Mahayana hidup berdampingan secara damai di Jawa Tengah (peaceful coexistence) di bawah dinasti Sanjaya dan dinasti Sailendra. hal ini dibuktikan dengan adanya Candi Borobudur sebagai lambang kemegahan agama Buddha Mahayana pada abad ke 9 (824-842 Masehi) dan Candi Prambanan pada abad ke 9 juga (± 856 Masehi) sebagai lambang kemegahan agama Siwa di Jawa Tengah.

Dalam perkembangan selanjutnya, sejarah mencatat terjadinya perluluhan antara beberapa unsur agama Siwa dan agama Buddha Mahayana dan dalam proses perluluhan ini, agama Siwa lebih dominan. Titik permulaan luluhnya antara kedua agama di mulai di Jawa Tengah sejak abad ke 9, kemudian berkembang di Jawa Timur sejak abad ke 10. Secara intensif perluluhan itu memuncak pada periode Singosari di Jawa Timur dan Kertanegara sendiri bergelar Prabu Siwa Buddha. Dalam zaman Majapahit perluluhan itu lebih luas lagi meliputi bidang filsafat, upacara agama, seni bangunan, kesusastraan dan tata pemerintahan. Pada periode inilah muncul kakawin Sutasoma dan cerita Bhukbhuksah Gagangaking yang bertenden Siwa-Buddha.