Tampilkan postingan dengan label Pitra Yadnya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pitra Yadnya. Tampilkan semua postingan

Minggu, 16 Agustus 2015

Terjemahan dari Lontar Yama Tattwa

Terjemahan dari Lontar Yama Tattwa

ini sastra pitra yadnya yang merupakan Terjemahan dari Lontar Yama Tattwa

1b.
Semoga tidak mendapat rintangan. Tutur Yama Tatwa, yang memuat tentang pelaksanaan upacara kematian, dan bangunannya (bade) yang dipakai untuk orang mati. Mantra yang dipakai untuk pamlaspas bade (penyucian tempat pengusungan mayat): “Ya Tuhan dalam manifestasiMu sebagai Sang Hyang Ibu Pretiwi, Sang Hyang Yamadipati, Sang Hyang Rekatanah, Bagawan Sastra Walikilya, Bhagawan Wiswakarma, hamba mohon restu, ada hambaMu yang mengetahui bacaan mengenai berbagai bangunan, sebagai anugrah dari Sang Hyang Rekatanah, Bagawan Sastra Walikilya, Bagawan Wiswakarma. Ih Sang Hyang Taru Agung turunlah ke dunia, dijaga oleh Sang Hyang Ibu Pretiwi, mencari Sang Hyang Akasa, di atas melanjutkan beryoga, ditebang oleh manusiaMu, yang mendapat anugrah dari Sang Hyang Rekatanah, Bagawan

2a.
Sastra Walikilya, Bagawan Wiswakarma. Ya Tuhan dalam menifestasiMu sebagai Sang Hyang Ibu Pretiwi yang menciptakan berbagai bangunanKu di jagat raya ini, lalu berdiri, berjiwa, yang menjiwai bangunan itu.” Sebagaimana yang disebutkan dalam Saptawara, hari Minggu sebagai kulitnya Sang Hyang Wewangunan, Senin sebagai dasarnya Sang Hyang Wewangunan, Selasa sebagai ruangannya Sang Hyang Wewangunan, Kamis sebagai mantranya Sang Hyang Wewangunan, Jumat sebagai buahnya Sang Hyang Wewangunan, Sabtu sebagai rantingnya Sang Hyang Wewangunan. Ada lagi yang disebut dalam Sadwara, di antaranya Tungleh sebagai warnanya Sang Hyang Wewangunan, Aryang sebagai pangpang-nya Sang Hyang Wewangunan, Wurukung sebagai uratnya Sang Hyang Wewangunan, Paniron sebagai bulunya Sang Hyang Wewangunan, Was sebagai tangannya Sang Hyang Wewangunan, Maulu sebagai badannya Sang Hyang Wewanguanan.
2b.
Ada lagi yang disebutkan dalam Pancawara, Umanis sebagai pakaian Sang Hyang Wewangunan, Paing sebagai ikat pinggangnya Sang Hyang Wewangunan, Pon sebagai ikat kepalanya Sang Hyang Wewangunan, Wage sebagai selendangnya Sang Hyang Wewangunan, Kliwon sebagai ujung dari Tutur Sang Hyang Wewangunan, ke gunung besi beliau Sang Hyang Wewangunan mempunyai istri yang sangat cantik rupanya. Mantra: ”Ya Tuhan dalam menifestasi sebagai Sang Hyang Ibu Pretiwi, Dewa Sang Hyang Yamadipati, Sang Hyang Rekatanah, Bagawan Sastra Walikilya, dan Bagawan Wiswakarma, hamba berterima kasih atas restu yang diberikan, dan sekarang hamba menghaturkan pembersihan (pamrastita) untuk mengupacarai bangunan tersebut, sedikit pembersihan bangunan tersebut
3a.
besar kebajikannya, kalau laki-laki Sang Hyang Tetangunan muda tanpa Sang Hyang Tetangunan, bersemayam (kalingganing) Sang Hyang Siwa-Boda; OM MAM UM, AH, AM.” Sarana: air bersih, beras kuning, samsam kemoning (diusapi dengan daun kemoning), asaban cendana (air yang berisi cendana yang digosok), periuk baru, lalu dipuja, setelah itu air suci tersebut dipercikan pada bangunan bade sebanyak sebelas kali, kemudian dikelilingi sebanyak tiga kali, dan percikan tabuhan (campuran arak dan brem). Kemudian haturkan pamlaspas, pamugbug, tegak agung, diolah dan ditempatkan sesuai dengan urip, lengkap sakapenek aderek, berisi nasi tumpeng lima warna, lengkap dengan pelaksanaannya, dan pagonen serta durmanggala. Ini tatebasan durmanggala, semoga Dewata senang menerima dan jangan menghalangi yang menyelenggarakan upacara. Ya Dewata, engkau yang membencanai, memberikan keselamatan, dan yang diupacarai untuk dibersihkan, semoga mendapat jalan yang baik, dan yang menyelenggarakan upacara kematian (ngaben) dan memukur tersebut semoga panjang umur. Ini daksina sebagai tempat pesaksian Dewata, berisi suci yang dilengkapi dengan sesayut pangambean, pras panyeneng, dan bayuhan, yang dilengkapi guling pabangkit. Kalau telah menerima upah, pulanglah kamu, janganlah kamu membuat celaka, kematian dan kesengsaraan
3b.
yang menyelenggarakan upacara. Makanlah itu, mereka memberikan suguhan berupa durmanggala kepadamu. ”Om twasti-twasti ta den abener becik, Sang Buta-buti, setelah selesai makan dan minum, pulanglah kamu ke tempatmu masing-masing, ini nikmatilah dahulu.” Mantra durmanggala: “Pukulun Sang Hyang Detya Parwaraja, Sang Jatasamak, Sang Buta Tambekraja, Sang Buta Ngulang-aling, ini makan hidanganmu, berupa tatebasan durmanggala, arak satu sujang, ikan jahe, uang 225, inilah upah yang dapat kamu nikmati, sebagai bekalmu pulang, uang 225, benang segulung, tujulah Pasar Agung, berhentilah di bawah pohon beringin, uang itu sebagai pembeli warna, ajaklah seluruh rakyatmu, poma-poma-poma.”
4a.
Lalu menghaturkan pasucyan, lis selepan, pabwat selepan, tepung tawar sesarik, taburkan pada bade, percikan dengan ujung alang-alang dan daun sudamala, air suci dari lis itu dan air bungkak pada bade, lalu lukat bade itu dengan air suci panglukatan yang ditunjukan untuk orang mati yang dimuat dalam surat kertas. Lagi menghaturkan pabwat busung dengan mantra: “Pukulun Ibu Pretiwi, Dewa Sang Yamadipati, dan Sang Hyang Rekatanah, Bagawan Tastra Walikilyan, Sang Hyang Swakarma, dan para pengikut dan Sang Buta Pancabuta, yang berwujud Dewa Kala, dan para pengikutnya, Dewa Buta yang harus diberikan pamrastista, hamba menghaturkan buta-buti, tapakan tehenan, uang 225, benang satukel, dan sesarik, OM Jaya Sudamam Swaha.”
4b.
Lagi mantra yang dilapalkan untuk menghaturkan lis, mantranya: “Om Sang Janur Kuning, ngadeg Siwa-Brahma, lis papa klesa, dasamala, tri mala, papa klesa Sang Janur Kuning, ngadeg Siwa-Brahma, wenang angeseng lara pataka.” Lagi yang dihaturkan seperti di depan, mantranya: Hamba menghaturkan I Angga rareka, Anggaringgit, sebagai seruan Sang Prabuta, amreta nama swaha”. Menghaturkan dupa, gelar dupa dan kemenyan, mantranya: “OM Brahmadipa Sri prayojanam, OM lingga purusa prayojanam.” Menghaturkan kukurah, wawajikan (untuk berkumur da,n mencuci tangan), lalu menghaturkan sesajen, dihaturkan untuk saudara yang disebutkan di depan, mantra suci: “Pakulun paduka Bhatara, puniki pamrestistane wewangunan suci katur ring paduka Bhatara, sesapuh katur ring Hyang Dewa Buta”. Lalu menghaturkan tirta harum, berisi bunga wangi yang bernama air kumkuman, mantra: “Om Nama Siwaya, dihaturkan panca tirta, tirta sweta tirtan Bhatara Iswara, tirta rakta
5a.
tirtan Bhatara Brahma, tirta pita tirtan Bhatara Mahadewa, tirta nilatirtan BhataraWisnu, tirtan pancatirtan Bhatara Siwa, OM Namu Namah Swaha.” Sasonteng Suci: “Om pinung suci suksma swaha, Om iyat-iyat padaksinam, tatayag nyaiting bretah,yag nyapatni padaksinam.” Sasonteng Sesayut pangambeyan, mantranya: “Om tampola saupacara, sapurna nama swaha, Om Guru paduka Byoh Namah Swaha. Idep sesayut pangambeyan, pras penyeneng, bayuhan, katur ring pramanca paduka Bhatara, sasorohan guling bebangkit, katur ring panca Brahma, beliau yang berwujud Dewa Hyang Kala,
5b.
linggih maka bukti, bala iringan gelar sanga punika maka bukti sang buta pada anggeling, yang kirangan luput geng sinampuranen,kinasihan dening jagat, ika sregepan dening kawidarman. Om twasti-twastita den abecik, Dewa Bhuta Baktyam, sarwa bukti nama swaha. Om Sa Ba Ta A I Na Ma Si Wa Yam.” Sasonteng gelar sangga, caru kabukti dening Bhatara: “Om ekawara Dwiwara, Triwara, Caturwara, Pancawara, Brahma, Wisnu, Iswara, Purwa prasadya pukulun.” Sasonteng Guling bebangkit, mantranya: “Pukulun Sang Puseh, Sang Wil, Sang Dengen, Sang Kala Karung, Sang Kala panjagalan, Sang Kala Ulusinga, Sang Dewa Yoni Pisaca. Mantra”Pukulun Sang Kala Enjer-enjer. Sang Kala Ngumik, Sang Kala Gumi, Sang Kala Kalika, tumuruna kita kabeh, iki tadah sajinira, penek sawakul, jangan sakawali,
6a.
sinumpukana antiganing sang anyar, sajeng sakerecit, iwaknya bawi sakarangan, iki laba buktinira, ri wus sira amangan anginum, mantuk ta kita maring pasenetanta, iki maka bekelnira mantuka, jinah syusatus salawe, lawesatukel, poma.” Berisi uang selengkapnya, kalau naik ke ancaksaji, berisi uang besarnya 10.000, dan lagi kalau memakai bade sebagai dasarnya berisi uang 4025, dan kalau atapnya bertingkat (memakai tumpang) sesarinya 60066. Ini namanya Pulutuk ring Majapahit, seluk beluk sesajen upacara kematian berdasarkan nista madya utama (sederhana, menengah, utama). Kalau utama memakai sesajen pabuwahan, uang, beras, benang, samsama 151, sebagai tebusan sang penguasa, sebagai pembebas menguasai negara, diantaranya tatukon, adegan Kaki Patuk, Nini Sepret, panjanggilang, matah rateng, nasi angkep,
6b.
bubuh pirata, kumaligi, alas-alasan, cikrabala, nasi sauduh, ati sauduh, darah sauduh, kelapa separo, gula merah satu buah, telur sembilan ditempatkan pada piring, semuanya itu ditempatkan dalam niru, cegceg beralaskan kuskusan, sebagai pembelian tanah, uang seribu ditempatkan pada tapis, gabah dalam tapis, bakul daun enau berisi kawisan, gelagar berisi tuak, kunir, lengkuas, berisi guling bebangkit, tumpeng pamugbug banyaknya 54 biji, ditempatkan pada niru, memakai tumpeng daderek banyaknya 66 ditempatkan pada tamas, memakai ikan sate galungan, mapenek sembilan warna, banyaknya sembilan biji, memakai ikan jeroan babi, sesuai dengan bagian-bagiannya, kepala utuh, kaki bagian depan yang dikiri, kalung, memakai tumpeng agung, berisi sesayut pangambeyan, pras penyeneng, babayuhan. Itu caru yang dipakai
7a.
di bawah jenazah. Adalagi suci lengkap sesuai kelengkapan suci, palinggih abale. Ada lagi sesantun beras a catu, benang 4 tukel (gulung), telur 4 biji, kemiri 4 biji, keluwek 4 biji, gula merah 4 biji, benang 4, pinang sebagian, sirih satu gabung, uang banyaknya 4500, semua itu diletakkan di bawah jenazah. Begitu juga sesajen yang dimuat di sanggar tutuan, yang naik suci laksana dua bagian, canang rayunan dua pasang, pras berisi ikan ayam satu tangkep, gelar sanga, nasi di tempatkan dalam wakul, kuali berisi daun kelor, telur mentah 9 biji, kawisan akawis,kakarangan sate, lembat asem matang separo sama-sama 9 tusuk, dan tuak akrecit, uang 1000. Begitu juga sesajen persembahyangan (pebaktian) sang mati, agar memakai
7b.
tempat dan berisi guling bebangkit, marerancang bambu, memakai sesajen persembahyangan satu bagian, diantaranya memakai tumpeng banyaknya 21 biji, dibungkus dengan janur, beralaskan dulang, dilengkapi sesayut pangambyan, pras penyeneng, itulah bakti sang mati, sebagai kesaksian tanda baktinya kehadapan Sang Hyang Brahma Mrajapati, dan yang kehadapan Sang Hyang Rajapati, sebagai perwujudan Sang Hyang Siwa Raditya, yang di lepitan, suci asoroh, darpana mentah dan matang, dihaturkan kepada Sang Hyang Tiga, Dewanya yang meninggal. Yang di samping jenazah, darpana 3 soroh, mentah dan matang, itu sebagai persembahan Sang Pitara, Pitarodewa asoroh, Pitaroganem asoroh, pitara sang meninggal asoroh, juga mentah dan matang. Apabila nawa utama, dilengkapi dengan pabajangan,
8a.
yang berhak Brahmana, Kesatrya, Wesya, Prabali, Prabekel, Pamangku. Akan tetapi yang berasal dari beliau Mpu yang berasal dari Majapahit, yang berhak begitu beliau Mpu Witadarma, beliau Mpu Kuturan, beliau Mpu Lumbang, beliau Mpu pradah; itu yang berhak memakai dasar bade, yang tidak berhak memakai dasar bade orang Bali, Bali Age, Kayu Selem, Celagi Ayung, mereka semua keturunan orang Bali mula, hanya berhak memakai wadah lalimasan, badodagan, itu tidak berhak mapabajangan. Adalagi yang berhak, Kesatrya, Wesya, Prabekel, Pamangku, yang berasal dari beliau Mpu Witadarma, Mpu Lumbang, Mpu Pradah, beliau semua berhak memakai pabajangan.
8b.
Mengenai sesajen pamerasan, guling bebangkit satu bagian lengkap, sabikas kelengkapannya, memargi jukung-jukungan, meras cucu, tata, uang 1000, pakaian yang sama selengkapnya (saperadeg), bungkung, keris, itu yang dipakai untuk meras cucunya, orang yang meninggal tadi (kabusan), desa sang pitara tergantung pada petung gulung, begitulah diceritakan di dalam Dewasastra. Ini anugrah untuk melaksanakan setiap upacara dan pembersihan berbagai macam pembersihan, bahannya samsam kuning, beras kuning, mantranya: “Pukulun Sang Hyang Guru Reka, Sang Hyang Kawiswara, Sang Hyang Saraswati ginalih ingsun, nugraha, pra jaha sasolah ulun awenang, lampah tan wigna lara, paripurna nam swaha, Om Am Om Mam, Siwa Sadasiwa Paramasiwa, sogi sampurnanamah swaha.” Lalu dipercikan tiga kali, minum tiga kali, usapkan pada badan.
9a.
Selain itu mengenai Trilingga dengan mantranya: “Pukulun Bhatara Durga ring bongkol lidah hulun, Bhatari Guru ring madyaning, Brahma ring pucuking lidah, adnya hening hulun angacep Paramasiwa, tan pateleteh, Ang,Ong, Mang, Ang, Ah.” Begitu juga mengenai Siwa lingga, mantranya: “Om, Ang Ung Mang, Siwa, Sadasiwa, Paramasiwa, Siwa ring tangan kiri, Sadasiwa ring tangan kanan, Paramasiwa ring idep, Om Siwa suksma namah swaha.” Lalu penyucian itu dipuja sendiri dengan mantranya: “Om okir-okir, sato okir-okir komahmah isana, ida widi iki wedan banten,tatewaca tat pramada nama swaha, Ang Ah.” Periuk baru, kuskusan baru, sibuh papek, duri tujuh macam,
9b.
beras kuning, samsam kemoning, sehet mingmang, karawista, don sudamala, madu kambangan, padma solas swahan. Lapal yang di ucapkan pada pedupaan, mantra: “Om swaha dipa prayojanam, lingga purusa prayojanam, pakulun sang hyang tigasiwa, panca dewata, ulun aneda nugraha ring pada nira pakulun, ulun panuntu paduka bhatara, tumedun paduka bhatara saking tan hana, anuhut kukus menyan majagawu, les cendana gading, kukuse menengen, pinaka pangundang dewa, tumedun saking tan hana, alingga saking awing-awang, anicayang gangga maha mreta, maka panglukatan dasamala, trimala, papaklesa upataning dewa, luputakena lara wisya.“
Mantra yang diucapkan dalam hati ketika memegang bunga kalpika, mantranya: “Ong Yang Mang, Siwamurti Prayojanam, tastradipa muktiam, wedam tumadyam, Bhur Bwah Swah mahawidyam, atma mandiratma,
10a.
atma sukma atma, suda (diucapkan 3 kali), malaning winangkaran ning masasira kabeh. Om SA, BA, TA, A ,I, NA, MA, SI, WA, YA, Om ka pur mam, Om prabuta ngadang-adang, dalan Sang Ritara, ring dalan-dalan puniki, mangkin baktin ipun akidik, maka pangupakaran ipun, agung sinampura den Paduka Bhatara, sinunganing olih dalan rahayu, suksma swaha.”
Lalu menghaturkan pasucyan dengan mantranya: “Pakulun Sang Hyang Siwa Raditya, mwah pengawa iringaning Dewa, mwah Sang Hyang Tiga Sang Pejah, ulun angaturaken pasuciyan ring paduka Bhatara, Om suci nirmala nama swaha. Mwang Sang Butha ulun aweh pasucyan, Om butha suci nirmala nama swaha.”
Pasucyan Sang Pitara, mantranya: “Sucyantu pitarodewo, sucyantu pitaro ganam, sucyantu pitaro nama swada, dyustangtu  pitaro dewa , dyustangtu pitaro ganam, dyustangtu pitaro nama swaha,
10b.
sahyastu pitaro dewa, sahyastu pitaro ganam, sahyastu pitaro nama swada, lapyantu pitaro dewa, lapyanto pitaro gandam, toyantu pitaro nama swada, puspantu pitaro dewa, puspantu pitaro gandam, puspantu pitaro nama swada, basmantu pitari gandam, basmantu pitaro nama swada, jagrantu pitaro dewa, jagrantu pitaro gandam, jagrantu pitaro nama swada.”
Ada lagi permuhonan ke tutuan, haturkan baktinya orang yang meninggal mantra pabuwat, mantranya: “Om awing-awang tutur akasa, tutub pratiwi, ketutuban alawisya, pukulan bhatari sang hyang brahma prajapati, sang hyang wisnu prajapati paraga, sang hyang raditya, ulun angaturaken bukta-bukti,
11a.
tapakan tehenan brasakula, lawe satukel, Om, Dem.”
Mantra Lis: “Ih sang janur kuning turunan siwa brahma, lis papa klesa sang dasamala, trimala, papa klesa sang janu kuning, turunan siwa brahma, kageseng den sang hyang siwa raditya, miwah dewata nama sanga, dewan sang pejah, ulun angaturaken, tangwu menek tangga tuwun, pinaka sesapuh, tur katur ring paduka pitara.”
Lalu menghaturkan air suci prayoga, prajaha, mantra: “Om pranamya Baskara Dewi, sarwa klesa wina sanan, pranamya raditya sarwa ganam mukti bukti pranam, om bhur bwah swag, ong rang ring sah dasaksara nama siwaya.”
Setelah itu lalu dipercikan air suci itu sebanyak tiga kali.
11b.
Menghaturkan tetabuhan, kakurah, wajik, pada saat menghaturkan sesajen, mantranya: “Pakulun puja Bhatara kumeleng ikang pinuji Bhatara Dharma, nguni weh jagat saklesa, akasa lawan pratiwi, Raditya kalawan ulan, Sang Hyang Tunggal amuja sarining rat, astute denam duka. Om Yang pranamyasarining rat, suci nirmala nama swaha. Om sama sampurna nama swaha. Om yat yat padaksinam, yabut patining padasinam, ung guhang ngaturaken sari, Hyang ngaturakeng sari, Hyang amukti sari pawitran. Om Praste Parameswara, suda tan nama swaha. Om tapola sapacara sampurna nama swaha. Om guru paduka byonamah swaha.” Anggaplah tawur itu telah dinikmati oleh dewata. “Om twastiden abecik dewa butha bukti nama swaha. Om Ang Ung Mang, Brahma, Wisnu nama swaha. Om Hyang Pramestiguru, angayab sari-sari luputakena tulak, sari-sari nama swaha.”
12a.
Mengaturkan tatabuhan, arak, tuwak, pawajikan, mantranya: “Pekulun Sang Hyang Siwa Raditya, sampun katur padaksinanin wong pejah, ring paduka bhatara suci katuring paduka bhatara, sang ngabani dewa, sesayut pengambeyan, pras, panyeneng, sasoroh pebantenin wong pejah, sampun katur kabukti, dening panca pengawak, petik.”
Lalu baktyang banten guling bebangkit, mantra: “Pakulun Sang Puseh, Sang Dengen, Sang Pati, Sang Wil, Sang Kala Karung, Sang Kala Pajagaran, Sang Kala Ulu Singa, Sang
12b.
Dewa Yoni Sakti, sun tinglin baktining wong pejah, wus amukti sarrane ring raga sarira kawalunan ipun, sing kirangan luput, geng sinampuranan, sinasihan dening jagat, kasregepan dening kawidarman, Om Sang Bang Tang Ang Ing Nang Mang Sang Wang Yang.”
Mantra gelar sanga: “Pakulun Sang Kala Enjer, Sang Kaliaka, Sang Kala Sagumi, Sang Kala Pajagalan, Samg Kala Panca Kala, iki tadah saji nira, sega sawakul,
13a.
sinumpaning antiganing anyar, jangan sakawali, iwaknya bawi karangan, sajeng sakericik, jinah syu, lawa satukel, puniki laba bukti nira, hyang sira sampun polih bukti, ajesira migraha, poma, poma, poma.”
Setelah kamu selesai makan dan minum, pulanglah ke tempatmu masing-masing, ini sangu untuk pulang, uang dan benang, tujulah pasar agung, berhentilah di bawah  pohon beringin, uang itu untuk membeli warna, ajak semuanya, semoga berhasil. Mantra dihaturkan kepada para butha di bawah jenazah, mantranya:
13b.
Ih Bragala-bragali, satori si kawigraha, miwah sang butha ngadang-adang, sahananing butha, wenang amukti soring sawa, puniki maka bukti nira sasoroan banten, degdegan pada ngelingin maka bukti nira, Om swasti swasti den abecik, butha buktyam sarwa bukti, poma(3).”
Lalu haturkan kepada pitara, mantranya: “Buktiantu pitaro dewa tigangtu pitaro gandam, tugangtu pitaro nama swada, sadanantu pitaro dewa , sadanantu pitaro gandam , sadantu pitaro namo swada, matabuh arak nira.”
Mantra segehan: “Ih Anggapati, Merajapati,Banaspati, Banaspatiraja, metu kita saking arep, saking uri,
14a.
saking tengah, yen sira lunga, aja amarah-marah desa, usil silih gawe, iki padah saji nira, segeh, banyu, mahamreta, poma. Ri iwus sira amukti, maluaran kita kabeh. Muktyang sang pitara katutuan, sua nira kebeh.”
Mantra sembahyang: “Om Ang Ung Mang Pradwwa Nama Swaha, Pakulun  Bhatara Siwa Raditya, sanantira sang pejah, anastas dalanya suksma ring dewa. Om awignamastu tastastu astu, subham astu dirgarastu tatastu astu”.
Kwangen mantranya: “Om Sang Bang Tang Ang Ing Nang Mang Sing Wang Yang, pradewa namu nama swaha.” “Pakulun Sang Hyang Siwa Raditya, manusa santan nira sang upakara, ngaturang bhakti panga wangi pukulun. Om ayuwredi, asu wredi, mahastute amrte nama swaha, Ang Ung Mang. Om Paduka Bhatara Siwa Raditya, Sang Pitara andang rahayu, samalih sang kantu, lana yusanira.”
Mengunyahkan bubur pirata untuk leluhur, mantranya: “Om moksa pitara suksma swaha”.
14b.
Mameras cucu yang pertama sesajen pameras di haturkan kehadapan Sang Hyang Tida Dewa dari sang mati, dan kehadapan Sang Hyang Siwa Raditya. Sesajen pada waktu pakiriman, saksikan kehadapan Sang Hyang Ibu Pertiwi dan kehadapan Sang Yama Dipati, Sang Kala Pati, Sang Aweci, sanhananing Dewa Butha, di kuburan utama, sesajen di Mrajepati, diantaranya; suci asoroh, dilengkapi sesayut pengabeyan, pras, penyeneng, katipat kelanan, dampulan, belaying, sor, kawisan arong, mentah lateng, yang pada Ibu Pretiwi, katutuhan  adandanan, anggen tatungap di bancingah, sang adruwe karyaning marep ka segara, sesajen tatungapel anggen, tekane uli ngirim, agar dilaksanakan
15a.
di tempat keluar rumah, kena sampun ngipik sampai ke tetangga, tetapi hyang triwangsa yang memakai. Ini yang disebut Tutur Atma Tattwaning Atma, ucapan Sang Yama Dipati, tentang upacara mengupacarai atma. Di desa dibuatkan perwujudan dari cendana, dengan panjangnya sahasta samusti, lebarnya empat jari, bertuliskan atma purwatmaja bertuliskan huruf dasaksara, pancaksara, triaksara, rwa bineda. Setelah selesai ditulis, dipercikan air suci pembersihan, haturkan sesarinya, lalu sesajen ke Pura Dalem, pangulapan ke Kuburan Agung mohonkan penebusan, tidak senang Sang atma bertahan di sana, di perwujudannya. Ini sesajen panebusan itu, yang dihaturkan kehadapan Bhatari Dalem diantaranya: suci berisi daging itik berbulu putih, disertai sesayut pangambeyan, pras penyeneng, dan babayuhan, nasi gabungan berisi daging babi karangan, sesari selengkapnya, besarnya 8500, ditambah gula merah empat wiji, kemiri empat wiji, wagi empat wiji, telur empat wiji, sirih satu gabung, pinang satu tangkai, setelah selesai permintaannya
15b.
pada Bhatari Dalem dilanjutkan dengan sesajen yang dihaturkan di kuburan, dihaturkan kehadapan Bhatari Ibu Pertiwi, dan kehadapan Sang Yama Dipati dan Sang Aweci, dan kehadapan Kaki Kala Pati, kehadapan seluruh Dewata serta Sang Catur Sanak yang menguasai jasat di kuburan agung, itu yang harus dimintai, perlu ditebus jasadnya untuk mengupacarai atma itu. Persembahan untuk penebusann jasad itu sendiri dari suci asoroh genep, gibungan, umbah gile. Begitu pula untuk menukar isi liang lahat di kuburan, berisi anak pisang kayu. Jenasah itu di kuburan diberikan persembahan berupa, kalungan kasturi. Perwujudan cendana itu
16a.
di rumah diupacarai seperti dulu, bersihkan, mandikan, diberikan wangi wangian waja meka momo mirah kemkem mirah, lalu dipercikan air suci pamanahanbrahmana siwa boda, lalu dibungkus. Berbagai sesajen di belakang mayat diantaranya, yang sederhana, menengah, utama, dan sangat sederhana (nista, madya, utama, utama nista), dibuatkan sesajen yang dihaturkan kepada sang Buta-buti yang boleh diletakkan di bawah mayat, di antaranya tatukon, panjang ilang, mentah lateng, nasi angkeb, bubuh pirate, pangangkat –angkat, cegceg sok abune berisi kawisan gelagah sembung putih kayah, baluluk, nangka, pusuh, gedang mawadah tatempeh ati sawuduh mawadah piring, getih mawadah nyuh asibak, ne asibak
16b.
misi gula abungkul, taluh abungkul, mawadah pinggan matatakan niu , umaligi angkut payuk lima bungkul, misi yeh masampyan busung makatih-katihan, misi lilit linting, gamet matatakan tatempeh, wirnya aapan guling bebangkite tumpeng pamugbug 55 bungkul, matadah bebangkit, matumpang manca warna, maderek 64. Masoroan, sesayut pangambeyan, den agenep saruntutanya, inggih abale dan lagi sesari selengkapnya, matulang sekar ura. Untuk Jro Mangku Dalem, sesari sebesar 1100. Isi dari tetukon antara lain, beras kuning, maraup cendana, maasab patang prabatang, raris reka.
Atma Tattwa Eka Catur, sebaiknya berisi uang yang diletakkan mengarah ke sembilan penjuru mataangin. Yang di sebelah Timur sebagai kepala berisi uang 55 kepeng, yang di Tenggara beris 88 kepeng, yang di Selatan berisi 99 kepeng, yang di Barat Daya berisi 33 kepeng,
17a.
yang di Barat 88 kepeng berisi daun kayu pancalaywa  empat helai, penerus desa, kwangen 1, kelapa yang dikerik dibungkus, bertuliskan padma diikat dengan benang tiga warna (tridatu; merah, putih, hitam), anak pisang kayu berisi uang, jarum di tusukkan pada batang pisang itu sebanyak sembilan biji. Lalu diikat dengan benang tiga warna, diberikan alas kulit jarungga , makeles, diikat lagi dengan benang tiga warna, ditambah utu satu wiji, diberikan alas padma lengkap dengan benang bumbung bambu kuning, dikelilingi dengan uang banyaknya 22, panjangnya acelek, tetu-temu selengkapnya semua sama-sama lima iris, ditempatkan pada tangkih, kacang komang, koro, undis, ditempatkan pada tangkih, beras merah, beras ketan, beras hitam ditempatkan pada kebek-kebelan, memakai tali benang menurut banyaknya beras. Lalu jahe dua wiji, ditempatkan pada tangkih, bawang
17b.
merah-bawang putih, cekuh, ketela, saberang, jagung, pisang-agung, singkong, sikapa, salak selengkapnya, bungkuskan ragi yang utuh dua biji, kemiri dua biji, pangi dua biji, telur dua biji, gula merah satu biji yang utuh, dodol dua, sumping dua, kelaudan dua, bubur sumsum dibungkus pakai kertas satu, bantal tangan dan kaki delapan biji, bantal jari 20 biji dijadikan empat ikat, dan wewangian selengkapnya. Ditambah dengan kencu, atal, prada, kawat, gaguntingan mas, selaka, podi mirah sembilan, bulu-bulu apasang, prabot undagi diletakan pada keropak yang dibuat dari pohon dapdap-tis, kalau laki dari pohon medori putih. Begitu juga berisi pisang-bunga, pisang-kayu, pisang-lumut, pisang-tembaga, pisang-gedangsaba, dan sepuluh biji pisang-ketip. Dan lagi kulit mentimun, papare satu biji, sirsak, kalimoko, bila, bun tan-pawit, sungsung guyu, deng deng ai,
18a.
menuh, tuwung bola, daun intaran, sentul apenekan, ditempatkan pada piring, ayam betutu ditempatkan pada piring gelagar, cambeng, cekel, sujang, kelakat, sudamala satu pasang, upa berisi puspa ijo, beras sakulak, berisi uang 254, kawangen satu, daun kayu pan calaluwa satu, sama seperti isi tatukon akan tetapi sama-sama satu, padagingan panjang ilang, juga berisi temu-temu dan wangi-wangian, sama-sama satu, bulu-bulu, yang mentah berisi serba mentah, seperti ketupat mentah, sate mentah, tulang iga mentah, padi, sente bang, sujang, cambeng, kelakat sudamala, daun lateng, begitulah tata caranya, berisi nasi maguling dari cabang dapdap, memakai telur yang diguling, memakai linting, ada juga yang boleh memakai kaki patuk, ada yang berhak memakai Nini Sepret,
18b.
ada juga yang boleh tidak memakai tatebusan, boleh Makaki Patuk, kalau sudah dibenarkan mengupacarai orang mati dan mengupacarai atmanya.
Panugrahan mantranya: “Pakulun Sang Guru Reka, Sang Hyang Kawiswara, Sang Hyang Saraswati, giliha ingsun nugraha, sasolahan ulun awenang, lampah tan migna lara, paripurna nama swaha, Ang Ung Mang, Siwa, Sadasiwa, Paramasiwa, nama swaha.”
Jangan membuang tatukon, ini panugrahannya, mantranya: “Pakulun Bhatari Ibu Pretiwi dan Sang Hyang Yama Dipati, ulun amawiti lugraha ring denira pukulun, ulun angedegang tetangunan, pangawak wong pwjah kabinasmi, tatukon panjang ilang, puspo-ijo, paragon pitara, tatukon paragon sanak
19a.
acatur, panjang ilang pangawak bregala-bregali, satp resi kalawan, greha, ganjaran pangawak Jelahir, Mukahir, Mikahir, Selair, ica Bhatara Ibu Pretiwi, dan Sang Hyang Yama Dipati.”
Yang masuk pada perwujudan orang mati, mantranya: “Ang, Ong, Mang, Siwa, Sadasiwa, Paramasiwa, sawa nowaran wanasana. Ong Ang Sah Parama Siwa, sawa nohara winasna. Ong Yang Mang Siwamurti prayojanam, katastradipa muktyam, wedam tunya, bubur swahanya, atma maniratma, atma suksma atma, suda-suda malaning wilara, ling masarira kabeh. Om Sa Ba Ta A I Na Ma Si Wa Ya. Om kapur Mang, Om prajasunia, cuntaka papa winasanam, wibuh winasa ya. Om wisnumurti Kumara ya namah.”
Ini upacaranya yang dilakukan untuk orang meninggal, setelah selesai
19b.
diupacarakan, dibakar di kuburan, kalau di-sekah kangseng, diupacarakan di balene. Nyekah Kangseng namanya, upacara dilakukan di hadapan sanggah (pamerajan) suci asoroh, saji lekahan, darpana, macatur sasah, berisi ikan itik pada tampaking telur, di halaman rumah dibuatkan sanggar tutuan beruangan satu diisi banten suci, duang soroh, saji lekahan, macatur muka, rantasan paperadeg, putih kuning, barak selem, begitulah diantaranya. Kalau mengupacarakan di balene dinamakan Sekah Kakangseng, di halaman rumah di hadapan tempat ke luar dari tempat suci keluarga (sanggah) dilaksanakan upacara Nyekah Kurung namanya, pengambilan pekerjaan dimulai dengan menancapkan sanggar tutuan, masoroh, macatur, madewa-dewi, matetebasan dewi, mapanyemek, munggah rantasan saparadeg putih kuning, barak selem, sesantun, maberas
20a.
prapatan, uang banyaknya 55.500, kelapa satu buah, telur sepuluh, pangi sepuluh, gula merah sepuluh, kemiri sepuluh, sirih satu gabung, pinang satu tangkai, yang diyunan sanggar tawange benang satu gulung, uang besarnya 225, neduang sekahe, suci, saji, cambeg, catur sasah, madarpana, peji, yang diulu, pisang lalung, maganjaran, madamar kurung, di sanggar sekahe, dikerjakan selanjutnya dibakar.
Nyekah dengan tingkatan menengah, kalau menancapkan panggungan, yang berhak melaksanakan upacara pada tingkat menengah, kalau yang utama memakai sanggar tawang beruangan tiga (marong tiga), diisi (munggah) suci tiba ro, pandiri masaji, maguru agung,  matebasan gana, masiwa bawu, mapapadan suci, maulur, rantasan agung selengkapnya, beras 50 perapatan, benang sepuluh tukel, kelapa sepuluh, kemiri sepuluh, babungkilan, bawang merah-bawang putih, basa-basa selengkapnya, mapunya
20b.
berisi beras aprapatan, ayam saplaken, saji tarpana, mentah ranteng, maadegan, mapajangan, yenia mamadia boleh dipakai bersama.
Kalau membangun sekah pitara sange, suci asoroh, darpana asorpoh, guling bebangkit asoroh, maulu utuh, mapabugbug, mapala kiwa, selengkapnya dilengkapi dengan membaca putru, membaca parwa, pendeta wajib menyelesaikan upacara tersebut hingga habis.
Kalau nantinya mengambil pekerjaan tersebut tidak memakai sanggar tawang, sesajen seperti di depan, mantra yang di depan agar dibangun sanggar agung satu ruangan (rong tunggal), dilengkapi padudusan kumba, carat, kakelentingan, padangdangan, bertuliskan senjata padma, cakra, gada, bajra, trisula, angkus, moksala, tomara, konta, lugora, tuwek.
21a.
Selain itu tata cara membakar mayat di kuburan, kalau utama bisa mapabasmian, dan beralaskan api, memakai bale lunjukan dan mabale selunglung, itu berhak melaksanakan nyekah kurung, dan nyekah mamadya, sekah itu boleh dibakar diatas, ikuti di kuburan.
Begitulah tata cara upacara nyekah, wajib matirta empul yang berasal dari Tampak Siring, perintah mohon tirta empul dan ketan pulaga, injin pulaga, beras pulaga, bebek pulaga, taluh pulaga, nyalian pulaga. Selain itu juga memakai tirta sindung di Besakih.
21b
Begitulah tata urutan pelaksanaan manyekah kurung dan manyekah madya, perlu dibuatkan bukur atau jempana yang memakai undag tiga. Diisi nama yang dibuatkan upacara, ditulis pada kayu cendana, dijadikan perwujudan jasad tersebut, caranya sama. Ini roh laki-laki yangdibuatkan upacara.Penjelasan bade yang sederhana, menengah, utama. Yang utama memakai tumpang tiga dan berisi pepalihan, pada dasarnya memakai bacem, setelah bacem memakai palih tujuh, setelah batu memakai palih taman, lalu parih sari, setelah itu memakai badadara.
22a.
Inilah yang disebut palih bade. Kalau dasar bade, kalau memakai gunung, gunung tajak, kalau naik tumpang. Kalau yang naik itu, inilah yangdisebut bade, sama pepalihannya, tiga dasar bade, dan naik gunung, dan naik tumpang, yang bertumpang itulah yang namanya bade. Kalau bade itu berpepalihan kalih tumpal, yang di dasar naik bacem, setelah bacem memakai palih taman, setelah palih taman memakai palih taman sari, setelah itu memakai badadara, kalau begitu Batur Sari namanya. Ada lagi kalau palih sari, kedua umpal itu dinaiki gunung, ini disebut Gunung Gapel, ini yang dipakai oleh kelompok Pasek Kayu Selem, ini keutaman Baline, yang tidak boleh di “entas” oleh Sang Prewita,
22b.
itu nyamuka namanya karena nyamuka pekerjaannya, tidak ada puja mantra panglukatan, pamarisuda berbagai pembiayaan bertamu semua, kalau keinginan keturunan Majapahit makan, kena kutukan yang tidak baik dari leluhurnya, kutukannya ubah kebangsawanannya, sering susah, hilang wibawanya, menjadi orang tani, begitulah halangannya bagi keturunan Majapahit.
Ada lagi penjelasan mengenai bade lalimasan, mapepalihan aumpal, ririg kacang, pada lamba kutis hiasannya matuwun dan mapapegat.
23a.
Ini namanya wadah dasar I, yang namanya Bebaturan, beginilah carannya mengupacarai atma, pitara, boleh manyekah kurung dengan memakai catur. Selain itu pada pengirimannya, membuat jempana untuk sekah yang berundag telu mererancangan sebaiknya.
Beginilah rancangan dasar bade yang disebut wadah lalimasan, hiasannya matuwun dan mapapegat, yang boleh ukur busung.
23b.
Begitulah rangkaian mapepalihan, pahe pada lambe kutis, wadahnya boleh dan tidak boleh I, ini yang disebutkan wadah babodagan, rangkaiannya matuwun dan mapapegat, memakai hiasan jelati kalung ukur bulung. Begitu juga penjelasan wadah lalimasan, ririg kacang pahe, pada lambakutis, hiasannya matuwun dan mapegat.
24a.
Ini tulisan Walantaga, kelompok Satrya Wangsa, Satrya Wacana, Satrya Byuh Berana, Satrya Sojanma; kalau yang utama sesarinya 16.000. Selain itu kalau menengah sesarinya 8.000. Kalau yang sederhana sesarinya 4.000, semuanya berisi lebih, kalau yang utama 500, yang menengah 250, yang sederhana 125, begitulah pelapalan tirta suci itu. Ini tulisan wulantaga-nya (gambar no. 12). Ini pangentas madya, memakai lempengan emas setengah jinar, bertulisan U-kara, mapodi mirah banyaknya 35, padang lepas banyaknya 108, alang-alang 108, wijania banyaknya 108, samsam kemoning, mapakelem sebagai bekal orang yang mati namanya. Di hadapan walatantaga.
24b.
Ini Yama Purwa Tattwa Atma, kata Sang Yama Dipati mengenai yang harus dilakukan oleh orang Majapahit, kalau ada orang yang mati dikubur, setelah setahun wajib diupacarai, kalau tidak diupacarai boleh adeg samaya, boleh dibuatkan banten adeg samaya, diantaranya; panjang ilang, lebeng marah, bubur pirata akelakat, nasi angkeb dilengkapi dengan sesayut pengambeyan, pras panyeneng serta bayuhan, katipat kelanan, dampulan, belaying, pesor, rayunan, mlenge wangi, burat wangi, sekul gibungan, iwak bawi karangan, berisi sate lembat asem masing-masing delapan, semuanya magagecok yang disebut urab putih urab barak, mage, mabang, mapapenyon, malawa, makomoh, jukut don balimbing, ares, tabehan, urutan sembuk, tum, balung pindang, balung panggang, balung gagorengan, marubah gile, maseseb mentah, mawadah limas panyolasan, lembat asem, lembat calon, semuanya sama-sama sebelas tanding, mapasegeh, matatabuhan arak tuak, semuanya seperti di depan.
25a.
Kalau orang mati tidak wajar (salah pati), yang seharusnya tidak mati, setelah tiga tahun baru bisa diupacarai, kalau tidak diupacarai, agar dibuatkan adeg samaya; kalau bunuh diri lima tahun baru boleh diupacarai. Kalau mati tidur, mati bersimpuh, mati berdiri, diseruduk sapi, tujuh tahun lamanya baru bisa diupacarai. Selain itu kalau ada orang bersuami dua, setelah meninggal baru boleh diupacarai setelah 33 tahun, Pendeta boleh malukat, Siwa-Buda boleh mangentas, kalau tidak begitu neraka atma itu kesasar. Selain itu kalau mati karena menderita penyakit Lepra, harus ditanam di pinggir pantai, sebelas tahun baru bisa diupacarai, harus dibuatkan adeg semaya.
25b.
Kalau berkeinginan untuk mengupacarai jenazah dan atma, buatkan perwujudan cendana, panjangnya sahasta samusti, salinjong lumbangnia samusti empat jari, bertuliskan atma tatwatma i ya, berisi huruf Pancaksara, Triaksara, Dasaksara, Rwa Bhineda, itu yang harus dilakukan pada badan kasar orang yang mati, setelah selesai ditulis, percikan panglukatan dan pambersihan, lalu diberi urat alang-alang, kulitin kain yang tipis, kalo diupacarai di kuburan, tutup dada mayat itu, sawa karesyan namanya.
Kalau akan dilakukan di desa, cendana itu yang diupacarai seperti dulu, di antaranya dilakukan panebusan kepada Ida Bhatara Durga selaku penghulu kuburan. Selain itu di kuburan juga dimohonkan atma dan mayatnya dari Ibu Pretiwi, dimasukkan ke dalam perwujudan candana, dengan menghaturkan sesajen seperti tersebut di depan, lalu ratakan kuburannya, dipercikan air suci, lalu pulang. Sesampainya di perempatan, ulapin dan papagin, dengan sesajen seperti tersebut di depan. Sesampainya di rumah dilakukan pembersihan seperti cuci muka (raupin), sikat gigi (sigsigin), dikeramaskan (ambuhin), mandikan (siramang), diparemkan (blonyohin), disiram dengan air kumkuman, lalu diberikan pakaian lengkap berupa kamen, saput, sabuk, lalu diberikan wangi-wangian, bebekin, buku-buku panyolasan, gelarang kewangen serambut, kewangen jariji, kewangen yang di dada, porosan. Lagi kewangen kecil, enam belas, lalu dibeli
26a.
waja meka, daun intaran, kuncup bunga menuh, gabah dan malem, minyak kapur, permata mirah, setelah demikian lalu bersihkan dan perciki tirta pamanahan dan pabresihan. Setelah demikian lalu tutup mukanya, tutup mayat, setelah itu sembar daun terong, tutup badannya,  sekape-nya dijalankan, lalu gulung, digelindingi telur. Setelah demikian istri dan anak masulub (menyuruk) di bawahnya, yang laki-laki tidak boleh menyuruk. Setelah demikian naik balai-balai (tumpang salu), maplengkungan, pambau, diisi tutup daun plawa, pelepah pisang kayu, ditekan sutra putih, ditutupi diisi uang sembilan, tutup kasa dan kajang, ukur lakukan mereka seperti di atas, bunga aura, tutup sinom, lagi pula kasa, gringsing, dipakai alas bokor, yang berwarna (amumowarna) kain sutra tulis dengan ulon-ulon di bagian atas/hulu mayat itu, dirikan di hulu mayat, lagi boneka (deling) kotak, pemanahan toya, lagi di balai lapitane, sanggala lapitan, seluruh pelaksanaan upacara.
demikian sastra pitra yadnya tentang Terjemahan dari Lontar Yama Tattwa, semoga bermanfaat.