Tampilkan postingan dengan label Sekte Hindu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sekte Hindu. Tampilkan semua postingan

Kamis, 16 Juli 2015

Lahirnya Sampradaya

Lahirnya Sampradaya

Sumber ajaran Agama Hindu adalah kitab suci catur veda. Syair-Syair kitab suci Weda Sruti disebut Mantra. Sedangkan syair-syair kitab Sastra weda disebut Sloka. Kitab suci Catur Weda itu terdiri dari 20389 Mantra. Empat kitab suci weda itu dipelajari oleh 1180 Sakha atau kelompok spiritual. 
  • Rg Weda dengan jumlah Mantra sebanyak 10552 dipelajari oleh 21 Sakha. 
  • Sama Weda dengan jumlah Mantra 1.875 dipelajari oleh 1000 Sakha.
  • Yajur Weda dengan jumlah Mantra 1975 Mantra dipelajari oleh 109 Sakha ,dan 
  • Atharwa Weda dengan jumlah Mantra 5.967 dipelajari oleh 50 Sakha.

Sampradaya lahir dari Upanisad

Setiap Sakha dibahas atas bimbingan Resi yang benar-benar menghayati Weda baik teori maupun praktek. Resi itu disebut Sadaka karena telah mampu melakukan Sadana atau mewujudkan ajaran suci Weda dalam kehidupannya sehari-hari. Orang yang mampu melakukan Sadana itulah yang disebut Sadaka. Sakha itu ibarat sekolah. Sedangkan kitab suci Weda itu ibarat “kurikulum” yang harus diterapkan oleh sekolah tersebut. Meskipun kurikulum yang diterapkan oleh setiap sekolah itu sama, pasti setiap sekolah itu memiliki ciri khas tersendiri yang membedakan satu sekolah dengan sekolah yang lainnya. Demikian jugalah halnya dengan proses mendalami kitab suci Weda sumber ajaran Hindu. Disamping itu Weda adalah kitab suci yang sangat memberikan kemerdekaan pada setiap orang yang meyakininya menyerap ajaran Weda sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing umat.
Dari system Sakha itulah melahirkan kitab-kitab Upanisad. 
Pandangan setiap Upanisad tentunya memiliki penekanan yang berbeda-beda. Perbedaan itu adalah perbedaan aspek yang ditekankan. Perbedaan tersebut bukan merupakan pertentangan dalam Hindu. Perbedaan itu semua mengacu pada batas yang diberikan oleh Weda.

Karena itu Upanisad adalah sari-sari dari pada kitab suci Weda. Dari Sakha itulah berkembang Sampradaya atau garis perguruan.Tiap-tiap garis perguruan tentunya mempertahankan ciri-ciri khas mereka atau mencapai apa yang disebut Parampara.

Parampara artinya berkesinambungan atau tidak putus-putusnya. Tiap-tiap Sampradaya tentunya berlomba secara sehat untuk mengimplementasikan ajaran Weda dalam meningkatkan kwalitas hidup. Perbedaan cirri khas inilah yang sering disebut SEKTA (sekte) oleh para ilmuwan social.

Di Indonesia sedikit saja ada perbedaan dengan tradisi cara penampilan orang beragama Hindu sudah dituduh sekta bahkan sering dituduh aliran sesat. Sialnya lagi tanpa meneliti konsep dasar dan aplikasi dari onsep tersebut dalam kegiatan hidup sehari-hari. Di Bali khususnya dan di Indonesia umumnya Agama Hindu yang dianut oleh umat Hindu terdiri dari berbagai sekta. Sekta yang paling mendominasi sekta lainnya adalah sekta siwa sidhanta. Namun kembali saya nyatakan istilah sekte itu kuranglah tepat. tetapi karena istilah itu sudah kadung popular agak sulit juga mengembalikan pada istilah yang benar yaitu Sampradaya.

Dari keanekaragaman Sampradaya itulah muncul keaneka ragaman budaya rohani dan budaya duniawi yang memberikan kegairahan hidup untuk menghapus kejenuhan rutinitas yang berkepanjangan. Sekte-sekte tersebut memberikan warna warni pada kehidupan beragama Hindu. Warna-warni itu memotivasi setiap orang atau kelompok untuk terus berkreasi mengembangkan tradisi Weda. Memang hidup tanpa tradisi menjadi risi. Namun tradisi tanpa kreasi menjadi basi. Kreasi dalam tradisi harus tetap membawa visi dan misi Weda.

Mahatma Gandhi mengatakan berenang dilautan tradisi adalah suatu keindahan. Namun kalau sampai menyelam dilautan tradisi adalah suatu ketololan. Kehidupan beragama yang sering diintervensi oleh penguasa menyebabkan tersendatnya kreasi untuk menanamkan esensi weda kedalam lubuk hati sanubari umat penganutnya. Penguasa umumnya sangat takut pada perubahan kalau bukan perubahan itu atas kehendaknya. karena itulah kreasi untuk menanamkan nilai-nilai weda pada umat itu menjadi agak tersendat-sendat. Karena setiap kreasi dituduh sekretarian. Yang dipentingkan dalam kehidupan beragama adalah outputnya berupa kwalitas hidup yang semakin meningkat baik moral maupun mental.

Sakha-sakha yang mendalami Mantra Weda tersebut bagaikan sekolah yang mendalami kesucian Weda. Dari sinilah munculnya kelompok-kelompok yang kemudian oleh para ilmuwan tertentu disebut sekte bahkan ada yang menyebut aliran. Munculnya hal itu setelah jaman purana. Setelah purana kelompok belajar mendalami Weda yang pada mulanya disebut sakha itu semakin berkembang. Ada kelompok yang memuja Tuhan dengan menonjolkan nama Tuhan tertentu. Misalnya ada yang lebih menekankan pemujaan pada parama siwa, ada yang menekankan pada Maha Wisnu, ada yang menekankan pada Param Brahma ada yang menekankan pada pemujaan Sri Krisna sebagai Tuhan Yang Maha Esa,demikian seterusnya. Bagi yang benar-benar memahami Agama Hindu perbedaan penekanan Nama Tuhan yang disebut Ista Dewata itupun tidak akan menjadi persoalan. Mengapa demikian karena dalam kitab Rg Weda I.164.46 disebutkan sebagai berikut: Ekam Satvipraa bahudha vadanti artinya Tuhan itu ESA adanya pada Vipra (orang bijaksana) menyebutkan dengan banyak nama. Kalau dalam purana nama Tuhan itu disebutkan dengan berbagai nama hal itu syah saja menurut kitab suci Weda.

Yang penting jangan saling menyalahkan. Jangan ada yang memuja Tuhan sebagai Sri Krisna merendahkan orang yang memuja Tuhan dengan nama Siwa. Demikian juga sebaliknya. Pemuja Tuhan dengan Nama Siwa jangan menganggap salah kalau ada umat Tuhan dengan Nama Sri Krisna. Nama-nama Tuhan tersebut sama-sama ada dalam kitab purana. Purana itu adalah tergolong kitab Sastra Weda. Bukan Weda Sruti. Umumnya dikenal adanya 18 purana. Dari 18 purana itu dapat dibagi menjadi tiga kelompok;
  1. Satvika Purana dengan menekankan pada pemujaan Wisnu sebagai Nama Tuhan Yang Mahaesa.
  2. Rajasika Purana dengan menekankan Brahma sebagai Nama Tuhan Yang Mahaesa.
  3. Thamasika Purana dengan menekankan Siwa sebagai Nama Tuhan Yang Mahaesa.
Brahma, Wisnu, Siwa adalah tergolong Guna Awatara yaitu tiga fungsi Tuhan yang turun menjelma kedunia sebagai pengendali Tri Guna. Wisnu adalah Tuhan sebagai pemelihara sifat-sifat Sattwam, Brahma sebagai pengendali sifat Rajas agar selalu menimbulkan aspek positifnya. Demikian juga Siwa adalah Tuhan sebagai pengendali sfat-sifat Thamas agar sifat Thamas dapat mengekspresikan aspek positifnya. 

Brahma,Wisnu dan Siwa ini disebut juga Dewa Tri Murti dengan tiga fungsi yaitu sebagai pencipta, sebagai pemelihara dan sebagai pemralina. Dalam perkembangan selanjutnya sekte-sekte atau sampradaya itupun terus berkembang. Misalnya sekte siwa. Ada sekte Siwa Pasupata ada sekta Siwa Sidhanta, Sekte Waisnawa juga berkembang ada yang menekankan Maha Wisnu sebagai Nama Tuhan yang Mahaesa. Ada juga sekta Bhagawata yang menekankan Sri Bhagawan Krisna sebagai Nama Tuhan Yang Mahaesa. Adanya berbagai kelompok-kelompok tersebut adalah suatu keindahan dalam Agama Hindu. 

Swami Siwananda menyatakan: Hinduisme menampung segala tipe manusia dan memberikan hidangan spiritual bagi setiap orang sesuai dengan kemampuan dan pertumbuhannya masing-masing. Hal ini merupakan keindahan dari Agama Hindu yang menarik hati ini itulah kemuliaan Hinduisme. Oleh karena itu tidak ada pertentangan dalam perbedaan Hinduisme.

Sarwa Sadaka di Bali

Sarwa Sadaka di Bali

Meskipun ada umat yang menganggap Dewa–Dewi merupakan Tuhan tersendiri, namun umat Hindu memandangnya sebagai cara pemujaan yang salah. Dalam kitab suci mereka, kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda: 
ye ‘py anya-devatā-bhaktā yajante śraddhayānvitāḥ, te ‘pi mām eva kaunteya yajanty avidhi-pūrvakam(Bhagawadgita, IX:23) 
Arti: 
Orang-orang yang menyembah Dewa-Dewa dengan penuh keyakinannya, sesungguhnya hanya menyembah-Ku, tetapi mereka melakukannya dengan cara yang keliru, wahai putera Kunti (Arjuna)
Dalam agama Hindu, Sampradaya (IAST: sampradāya) dapat diterjemahkan sebagai "tradisi" atau "sistem religius". Sampradaya berhubungan dengan pelayanan berturut-turut yang disiplin sebagai jalan spiritual dan mengandung jaringan hubungan yang rumit yang membuat stabilitas identitas religius menjadi jelas saat jaringan tersebut menjadi tidak stabil. Perbedaan utamanya adalah sebuah garis keturunan guru tertentu disebut parampara. Maka dari itu konsep sampradaya terkait erat dengan realitas yang konkrit dari guru-parampara - garis keturunan guru spiritual sebagai pembawa dan pemancar tradisi. Diksa (pelantikan) adalah sarana untuk dapat menjadi anggota suatu sampradaya, itu merupakan prosedur ritual.

Penganut Hindu di India sejak berabad-abad telah berkelompok-kelompok menjadi ratusan sekta antara lain: Siwa Sidanta, Pasupata, Linggayat Bhagawata, Waisnawa, Indra, Saura, dll.

Maharesi Agastya seorang pemimpin sekta Siwa Sidanta menyebarkan pahamnya ke Indonesia pada abad ke-8, selanjutnya masuk ke Bali pada abad ke-10 kemudian disempurnakan oleh Mpu Kuturan pada abad ke-11 dan Danghyang Nirarta pada abad ke-14.

Sekta Siwa Sidanta menekankan pemujaan Lingga dengan tokoh Trimurti (Brahma, Wisnu, Siwa) dan Tripurusa (Siwa, Sadasiwa, Paramasiwa) sebagai inti.

Kitab suci Weda yang digunakan disebut Weda Sirah (pokok-pokok Weda). Setelah kedatangan Mpu Kuturan dan Danghyang Nirarta, mayoritas penduduk Bali adalah Sekta Siwa Sidanta.

Dr. I Made Titib dalam bukunya: Ketuhanan dalam Weda, Pustaka Manik Geni, 1994 di halaman 78 menyatakan bahwa sampradaya adalah sekta. Cuplikan kalimatnya sebagai berikut:
… Kitab-kitab seni sastra dalam bentuk puisi Sanskerta semakin banyak lagi setelah berkembangnya gerakan Bhakti melalui Sampradaya-sampradaya atau sekta-sekta yang berkembang pada masa sesudahnya …

Dictionary of American English, Longman, 95 Church Street, White Plains, NY 10601, 1983 menyatakan arti kata sekta sebagai berikut: Sect, agroup of people, sometimes within a larger group, having a special set of (esp. religious) beliefs.

Sampradaya-sampradaya yang ada di Bali dewasa ini dapat dikatakan suatu sekta baru (baca: lain dari Sekta Siwa Sidanta) jika mempunyai “special set of religious beliefs” yang berbeda dengan Sekta Siwa Sidanta, terutama yang menyangkut Tattwa, Susila, dan Upacara.

SARWA SADAKA VERSUS TRISADAKA


Sejak 1999 di Bali muncul istilah Sarwa Sadaka sebagai cetusan keinginan kelompok-kelompok warga mendudukkan Sulinggih mereka sejajar dengan Pedanda (yang lebih populer sebagai Pendeta sejak zaman Dalem Waturenggong di abad ke-15). Kelompok ini menggunakan istilah Sarwa Sadaka sebagai counter Trisadaka.

Istilah Trisadaka sejak berabad-abad telah ditafsirkan keliru, jika mengacu pada Lontar Eka Pratama yang menyatakan bahwa tiga kelompok Sadaka adalah: Sadaka yang berpaham Siwa, Sadaka yang berpaham Bauddha (Boddha), dan Sadaka yang berpaham Mahabrahmana (Bujangga).

Kekeliruan tafsir itu terjadi karena Sadaka yang berpaham Siwa dan Bauddha terlanjur diterjemahkan sebagai Pedanda Siwa-Boddha. Keterlanjuran itu membuat gerah para sisia Pandita Mpu, Rsi, Bhagawan, Dukuh, dll. yang juga disyahkan sebagai Sulinggih yang berpaham Siwa. Yang dimaksud dengan berpaham Siwa adalah penganut Sekta Siwa Sidanta.

Penggunaan istilah Sarwa Sadaka sebagai counter Trisadaka dalam upaya menunjukkan eksistensi Pandita Mpu, Rsi, Bhagawan, Dukuh, dll.

Sebenarnya kurang tepat, karena pengertian Sarwa Sadaka dapat dirumuskan sebagai Semua Pendeta dari berbagai Sekta, kecuali kalau memang ada terkandung maksud di kemudian hari bila Sampradaya eksis sebagai Sekta, maka para Pendetanya mempunyai legitimasi yang sama dengan Sulinggih/ Sadaka yang ada sekarang.

Jika tidak demikian, istilah Sarwa Sadaka sebaiknya tidak digunakan, cukup dengan penegasan PHDI dalam bentuk bisama, bahwa yang dimaksud dengan Trisadaka adalah Sulinggih/ Sadaka yang berpaham Siwa, Boda, dan Bujangga.