Tampilkan postingan dengan label Dewa Siwa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dewa Siwa. Tampilkan semua postingan

Rabu, 29 Juli 2015

Siwa Lingga dalam Siwa Sidhanta

Siwa Lingga dalam Siwa Sidhanta

Membuat Siwa Lingga sebenarnya merupakan penerapan sekte Pasupata, yang kemudian melebur menjadi satu dalam konsep Siwa Sidhanta atau Saiva siddhanta. Dalam susastra Hindu di Bali banyak dijumpai ajaran Siwa Sidhanta. 
peninggalan Lingga Yoni
Ajaran Saiwa Siddhanta di Bali merupakan kelanjutan dari ajaran Sekte Saiva Gama yang masuk ke Indonesia sekitar abad ke 4. Namun dengan perpaduan antara konsep-konsep Saiva, Tantra, Buddha Mahayana, Trimurthi dan juga paham Waisnawa maka lahirlah konsep Saiva Siddhanta Indonesia. Adapun konsep ajaran Saiva Siddhanta Indonesia lebih banyak berpedoman pada konsep ajaran lokal serta ajaran yang telah berkembang sebelumnya seperti konsep Saiva, konsep Waisnawa, konsep Tantra, konsep Tri Murthi, bahkan konsep Buddha Mahayana yang kesemuanya dipadukan sehingga menghasilkan konsep-konsep yang dituangkan ke dalam lontar-lontar yang kemudian menjadi dasar konsep Saiva Siddhanta Indonesia, konsep-konsep yang dimaksud adalah Bhuwana kosa, Wrhaspati tattwa, Tattwa Jnana, Ganapati tattwa, bhuwana Sang Ksepa, Siwa Tattwa Purana, Sang Hyang Maha Jnana, dan sebagainya. Dari sekian banyak  susastra Hindu di Bali, sesuai dengan sumbernya; maka sangat kaya dengan nilai-nilai filsafat Hindu, terlebih lagi dengan ajaran Saiva Siddhanta.


Siwa Sidhanta menempatkan Dewa Siwa sebagai realitas tertinggi, jiva atau roh pribadi adalah intisari yang sama dengan SIWA, walaupun tidak identik. Juga ada Pati (Tuhan), pacea (pengikat), serta beberapa ajaran yang tersurat dalam tattwa sebagai prinsip dalam kesemestaan yang realita.

Salah satu sekte yang termasuk dalam sekte Saiva yang sangat dekat dengan pemujaan dengan media lingga adalah sekte Pasupata yang juga menempatkan Siva sebagai realitas tertinggi. Sekte ini memiliki perbedaan dengan Saiva Siddhanta, tetapi ia merupakan bagian dari Saiva Siddhanta itu sendiri karena Saiva Siddhanta itu merupakan gabungan atau peluruhan dari semua sekte yang ada di Bali. Bedanya dengan Saiva Siddhanta adalah dalam cara pemujaannya. Cara pemujaan sekte Pasupata adalah dengan menggunakan lingga sebagai simbol tempat turunnya/bersthananya Dewa Siva.

Jadi, penyembahan lingga sebagai lambang Siva adalah merupakan ciri khas sekte Pasupata  yang merupakan sekte pemuja Siva dengan menggunakan lingga sebagai sarana dalam pemujaan kepada Sang Hyang Siva.

Makna Siwa Lingga

Lingga berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti tanda, ciri, isyarat, sifat khas, bukti, keterangan, petunjuk, lambang kemaluan laki-laki, terutama lingga Siwa dalam bentuk tiang batu, Patung Dewa, titik tuju pemujaan, titik pusat, pusat, poros, sumbu .

Sedangkan pengertian yang umum ditemukan dalam Bahasa Bali, bahwa lingga diidentikkan dengan: linggih, yang artinya tempat duduk, pengertian ini tidak jauh menyimpang dari pandangan umat beragama Hindu di Bali, dikatakan bahwa lingga sebagai linggih Dewa Siwa.

Petunjuk tertua mengenai lingga terdapat pada ajaran tentang Rudra Siwa telah terdapat di hampir semua kitab suci agama Hindu, malah dalam berbagai penelitian umat oleh arkeolog dunia diketahui bahwa konsep tentang Siwa telah terdapat dalam peradaban Harappa yang merupakan peradaban pra-weda dengan ditemuinya suatu prototif tri mukha yogiswara pasupati Urdhalingga Siwa pada peradaban Harappa. Kemudian pada peradaban lembah Hindus bahwa menurut paham Hindu, lingga merupakan lambang kesuburan. Perkembangan selanjutnya pemujaan terhadap lingga sebagai simbol Dewa Siwa terdapat di pusat candi di Chennittalai pada sebuah desa di Travancore, menurut anggapan orang Hindu di India pada umumnya pemujaan kepada lingga dilanjutkan kepada Dewa Siwa dan saktinya.

Dalam Lingga Purana, lingga merupäkan yang erat kaitannya dengan konsep wujud alam semesta yang tak terhingga dan kemaha-kuasaan Tuhan. Lingga pada Lingga Purana adalah simbol Dewa Siwa (Siwa lingga). Semua wujud diresapi oleh Dewa Siwa dan setiap wujud adalah lingga dan Dewa Siwa.

Kitab Lingga Purana dan Siwaratri Kalpa karya Mpu Tanakung semakin memperkuat kenyataan bahwa pada mulanya pemujaan terhadap lingga pada hakekatnya merupakan pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam wujudnya sebagai Siwa.

Kitab-kitab Purana banyak memberikan gambaran tentang cerita maupun keutamaan yang diperoleh dari Sivalingga, Oleh karenanya Sivalingga dijadikan sarana sebagai objek pemujaan.
Bagian dan jenis Lingga

Bagian dan Jenis Siwa Lingga

Lingga mempunyai bagian-bagian yang sangat jelas. Pembagian lingga berdasarkan bentuknya terdiri atas: dasar lingga paling bawah yang pada umumnya berbentuk segi empat yang pada salah satu sisinya terdapat carat atau saluran air bagian ini disebut yoni. Di atas yoni yang merupakan bagian lingga paling bawah berbentuk segi empat disebut dengan Brahma Bhaga, bagian tengah berbentuk segi delapan disebut Wisnu Bhaga, sedangkan bagian atas berbentuk bulatan yang disebut Siwa Bhaga.

Jadi bentuk lingga menggunakan konsep Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) ketiga bagian lingga tersebut kiranya dapat disamakan dengan konsepsi Bhur Bwah Swah. Lingga pada umumnya diletakkan di atas lapik yang disebut pindika atau pitha. Bentuk lapik ini biasanya segi empat sama sisi, segi empat panjang, segi enam, segi delapan, segi dua belas, bulat, bulat telur, setengah bulatan, persegi enam belas dan yang lainnya. Yang paling sering dijumpai adalah Lapik yang berbentuk segi empat. Mengenai bentuk-bentuk dan puncak lingga ada banyak ragam antara lain : berbentuk payung (chhatrakara), berbentuk telur (kukkutandakara), berbentuk buah mentimun (tripusha kara), berbentuk bulan setengah lingkaran (arddhacandrakara), berbentuk balon (budbudhasadrisa).
Dalam Jnana Siddhanta disebutkan:
Pranalo Brahma visnus ca Lingotpadah Siwarcayet”.
Terjemahan:
Salurannya ialah Brahma dan Visnu dan penampakan lingga dapat dianggap sebagai sumber Siwa.
Dalam bahasa Sansekerta pranala berarti saluran air, pranala dipandang sebagai kaki atau dasar lingga yang dilengkapi sebuah saluran air. Dengan istilah lingga pranala lalu di maksudkan seluruh konstruksi yang meliputi kaki dan lingga, jadi lingga dan yoni. Kemudian lingga yoni, berkaitan dengan tri purusa yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa, di mana Siwa dinamakan lingga, sedangkan Brahma dan Wisnu bersama-sama dinamakan pranala sebagai dasar yaitu yoni.

Berdasarkan jenisnya Lingga dapat dikelompokkan atas dua bagian antara lain: Chalalingga dan Achalalingga.

Chalalingga
Chalalingga adalah lingga-lingga yang dapat bergerak, artinya lingga itu dapat dipindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa mengurangi suatu arti yang terkandung. Adapun yang termasuk dalam kelompok lingga ini adalah:
  1. Mrinmaya Lingga, merupakan suatu lingga yang dibuat dari tanah liat, yang prosesnya dengan cara dibakar. Dalam kitab Kamikagama dijelaskan bahwa pembuatan lingga ini berasal dari tanah liat putih dan tempat yang bersih. Proses pengolahannya adalah tanah dicampur susu, tepung, gandum, serbuk cendana, menjadi adonan setelah beberapa lama disimpan lalu dibentuk sesuai dengan ketentuan, lalu dibakar.
  2. Lohaja Lingga, yaitu suatu lingga yang terbuat dari jenis logam, seperti : emas, perak, tembaga, logam besi, timah dan kuningan.
  3. Ratmaja Lingga, yaitu lingga yang terbuat dan jenis batu-batuan yang berharga seperti, permata, mutiara, kristal, jamrud, waidurya, kwarsa, blue stone dan lain-lain.
  4. Daruja Lingga, yaitu lingga yang terbuat dari bahan kayu seperti kayu sami, tinduka, karnikara, madhuka, arjuna, pippala dan udumbara. Dalam kitab Kamikagama disebutkan juga jenis kayu yang digunakan yaitu khadira, chandana, sala, bilva, badara, dan dewadara.
  5. Kshanika Lingga, yaitu lingga yang dibuat untuk sementara jenis-jenis lingga ini dibuat dari saikatam, beras, nasi, tanah pekat, rumput kurcha, janggery dan tepung, bunga dan rudrasha.
Bahan dan pembuatan lingga erat kaitannya dengan tujuan dilakukannya pemujaan. Lingga yang terbuat dari emas bertujuan untuk mendapatkan kekayaan. Lingga yang terbuat dari nasi umumnya digunakan bila pemujanya mengharapkan makanan, terutama nasi. Adapun lingga tanah liat ditujukan untuk mendapatkan kekayaan, sedangkan lingga dari kotoran sapi digunakan untuk menghilangkan penyakit. Lingga dengan bahn dasar mentega umumnya memberikan suasana gembira. Pemuja lingga yang ingin mendapatkan umur panjang maka mengadakan pemujaan dengan menggunakan lingga yang terbuat dari bunga-bungaan. Untuk mendapatkan kebahagiaan lingga yang dipuja umumnya terbuat darisadlewood. (Gunawan, 2012; 81-82).
Achala Lingga

Achala Lingga merupakan lingga yang tidak dapat dipindah-pindahkan seperti gunung sebagai linggih Dewa-Dewi dan Bhatara-Bhatari. Di samping itu pula lingga ini biasanya berbentuk batu besar dan berat yang sulit untuk dipindahkan. I Gusti Agung Gde Putra dalam bukunya berjudul : “Cudamani, kumpulan kuliah-kuliah agama jilid I”, menjelaskan bagian lingga atas bahan yang digunakan. Beliau mengatakan lingga yang dibuat dari barang-barang mulia seperti permata tersebut spathika lingga, lingga yang dibuat dari emas disebut kanaka lingga dan bahkan ada pula dibuat dari tahi sapi dengan susu disebut homaya lingga, lingga yang dibuat dari bahan banten disebut Dewa-Dewi, lingga yang biasa kita jumpai di Indonesia dari di Bali khususnya adalah linggapala yaitu lingga terbuat dari batu. 

Mengenai keadaan masing-masing jenis lingga T.A. Gopinatha Rao dalam bukunya berjudul “Elements of Hindu Iconografi Vol. II part I” dapat dijelaskan, sebagai berikut:
  1. Svayambhuva lingga. Dalam mitologi, lingga dengan sendirinya tanpa diketahui keadaannya di bumi, sehingga oleh masyarakat lingga yang paling suci dan lingga yang paling utama (uttamottama). Atau dapat dikatakan “terjadi dengan sendirinya”.
  2. Ganapatya lingga. Lingga ini berhubungan dengan Ganesa, Ganapatya lingga yaitu lingga yang berhubungan dengan kepercayaan dibuat oleh Gana (padukan Dewa Siwa) yang menyerupai bentuk mentimun, sitrun atau apel hutan.
  3. Arsha lingga. Lingga yang dibuat dan dipergunakan oleh para Resi. Bentuknya bundar dengan bagian puncaknya bundar seperti buah kelapa yang sudah dikupas.
  4. Daivika lingga. Lin/gga yang memiliki kesamaan dengan Ganapatya lingga dan arsha lingga hanya saja tidak memiliki brahma sutra (selempang tali atau benang suci, dipakai oleh brahman).
  5. Manusa lingga. Lingga yang paling umum ditemukan pada bangunan suci, karena langsung dibuat oleh tangan manusia, sehingga mempunyai bentuk yang bervariasi. Lingga ini umumnya mencerminkan konsep tri bhaga yang Brahma bhaga (dasar), Wisnu bhaga (badan) dan Rudra bhaga (puncak). Mengenai ukuran panjang maupun lebar menyamai pintu masuk tempat pemujaan utama
Manusalingga terbagi atas 3 bagian, yaitu : Rudrabhaga (lingga bagian atas) berpenampang garis lengkung, Visnubhaga (lingga bagian tengah) mempunyai bentuk segi-8 (octagonal), dan Brahmabhaga (lingga bagian bawah) mempunyai bentuk persegi.

Senin, 27 Juli 2015

Sekte Siwa Sidhanta pemuja Siwa

Sekte Siwa Sidhanta

Agama Hindu di India maupun agama Hindu di lain tempat misalnya di Jawa maupun di Bali tidak mempunyai perbedaan dalam inti keagamaannya yang berbeda hanyalah pada kulit luarnya saja yaitu tentang pelaksanaan upacaranya,sedangkan isinya dan intinya tetap sama. Ajaran Wedanya tetap abadi,intinya tidak berubah hanya bagian luarnya yang bervariasi, menyesuaikan dengan budaya setempat di mana agama itu berkembang. Ajaran ini berkembang di India Selatan dan  Indonesia terutama pada abab VII. Ajaran Siwa Sidhanta ini menekankan pada pemujaan Lingga dengan tokoh Tri Murti (Brahma,Wisnu dan Siwa) dan Tri Purusa (Prama Siwa,Sada Siwa dan Siwa).

Ajaran Siwa Sidhanta tentang konsepsi Tri Purusa atau Lingga ini diwujudkan juga dengan bangunan Padmasana di Bali. Perlu diketahui bahwa pengertian Tri Purusa dengan Tri Murti adalah berbeda. Karena Tri Purusa adalah lukisan Tuhan dalam arti posisi vertical (atas ke bawah) dimana Tuhan dilambangkan sebagai penguasa alam atas,alam tengah dan alam bawah (Prama Siwa, Sada Siwa dan Siwa). Sedangkan Tri Murti adalah lukisan Tuhan dalam posisi horizontal (mendatar) atau sebagai penguasa arah, yaitu arah laut ialah Brahma, arah gunung ialah Wisnu dan di tengah-tengah ialah Siwa.


Jadi dalam konsepsi kepercayaan Hindu Lingga adalah merupakan lambang kekuatan Tuhan dalam mencipta, memelihara dan melebur dunia ini atau Tuhan sebagai penguasa alam ini.  Ajaran Siwa Sidhanta mempunyai ciri-ciri khas yang berbeda dengan sekta Siwa yang lain. Sidhanta artinya kesimpulan sehingga Siwa Sidanta artinya kesimpulan dari Siwaisme. Pemantapan paham Siwa Sidhanta di Bali dilakukan oleh dua tokoh terkemuka yaitu Mpu Kuturan dan Mpu/Danghyang Nirartha.

Dalam realisasinya, tata pelaksanaan kehidupan umat beragama di Bali juga menampakkan perpaduan dari unsur - unsur kepercayaan nenek moyang. Wariga, Rerainan (hari raya) dan Upakara sebagian besarnya merupakan warisan nenek moyang. Warisan ini telah demikian berpadu serasi dengan ajaran Agama Hindu sehingga merupakan sebuah satu kesatuan yang bulat dan utuh. Dengan demikian, Agama Hindu di Bali mempunyai sifat yang khas sesuai dengan kebutuhan rohani orang Bali dari jaman dahulu hingga sekarang. Di masa sekarang ini, warisan Agama yang adhi-luhung tersebut perlu kita jaga, rawat dan menyempurnakan pemahaman kita sehingga tetap bisa memenuhi kebutuhan jiwa keagamaan umatnya.

Sekte Siwa memiliki cabang yang banyak. Antara lain Pasupata, Kalamukha, Bhairawa, Linggayat, dan Siwa Sidhanta yang paling besar pengikutnya. Kata Sidhanta berarti inti atau kesimpulan. Jadi Siwa Sidhanta berarti kesimpulan atau inti dari ajaran Siwaisme. Siwa Sidhanta ini megutamakan pemujaan ke hadapan Tri Purusha, yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa. Brahma, Wisnu dan dewa-dewa lainnya tetap dipuja sesuai dengan tempat dan fungsinya, karena semua dewa-dewa itu tidak lain dari manifestasi Siwa sesuai fungsinya yang berbeda-beda. Siwa Sidhanta mula-mula berkembang di India Tengah (Madyapradesh), yang kemudian disebarkan ke India Selatan dipimpin oleh Maharesi Agastya. Pengertian Tri Purusa yaitu lukisan Tuhan sebagai penguasa alam atas,alam tengah dan alam bawah yang dilukiskan sebagai:
  1. Parama Siwa disebut juga Cetana atau Purusa yang dalam istilah umumnya kita sebut Tuhan. Keadaannya tanpa aktivitas ,kekal abadi,tiada berawal-tiada berakhir,ada dimana-mana,maha tahu dan di beri gelar Nirguna Brahman.
  2. Sada Siwa (tengah) adalah Brahman yang sudah berkrida,Brahman yang sudah kena imbas dari Prakerti atau Acetana (sumber materi) sehingga mempunyai sifat, fungsi dan aktivitas dan diberi gelar Sada Siwa atau Saguna Brahma. Pengaruh dari Acetana ini belumlah besar, sehingga bersifat setengah aktif, dipuja sebagai Tuhan yang sudah menunjukkan kemahakuasaan-Nya. Kesaktian-Nya dilukiskan dalam Cadu Sakti Asta Aiswarya yang dipersonifikasikan dengan nama Dewa-Dewa. Jadi semua Dewa-Dewa adalah bentuk-bentuk dari personifikasi kesaktian dari Sada Siwa.
  3. Siwa (bawah) atau Siwatma adalah Parama Siwa juga, tetapi dalam keadaan yang telah banyak terpengaruhi oleh Prakerti, sehingga sifat kemahakuasan-Nya berkurang dan pengaruh lupa bertambah. Siwatma inilah yang memberikan hidup (jiwa) kepada semua mahluk hidup. (Cudamami, 1990 : 59)

Sedangkan Tuhan sebagai penguasa arah laut (klod),tengah dan kaja (gunung) disebut Tri Murti,yaitu Brahma arah laut, tengah Siwa dan gunung Wisnu. Jika diperhatikan realitas kehidupan agam Hindu di Bali, lebih menitik beratkan kepercayaannya kepada Tri Murti sebagaimenifestasi Tuhan Yang Maha Esa yang disebut Sang Hyang Widhi. Ketiga Dewa Tri Murti tersebut pada hakikatnya adalah lambing dari ketiga proses dunia, yaitu Sristhi (ciptaan) yang disebut Brahma, Sthiti (perlindungan) yang disebut Wisnu dan Pralaya (pengembalian pada unsur semula) yang disebut Siwa.
Ketiga tersebut disimboliskan dengan Aksara Suci “OM” yang terdiri dari Ang berarti Brahma, Ung berarti Wisnu dan Mang berarti Ciwa, jadi Ang+Ung+Mang sama dengan “OM”.
Hal tersebut sering terlihat pada setiap permulaan mantra dan “pemabah” (permulaan) tulisan lontar-lontar di Bali yang dimulai dengan ucapan “Om Awignam Astu” yang artinya semoga atas nama Hyang Widhi dengan ketiga manifestasi-Nya terhindar dari mara bahaya. (Sara Sastra,1994 : 56-57)

BRAHMA DAN WISNU ADALAH SIWA

Sudah merupakan hukum alam,bahwa yang lahir itu harus mati. Segala yang diciptakan pada waktunya nanti harus dipisahkan dan dihancurkan. Hukum ini tidak dapat dilanggar. Daya dibali keterpisahan dan penghancuran ini adalah Siwa. Sebagai Dewata perwujudan Tuhan yang terakhir dalam Tri Murti, Siwa bertanggung jawab terhadap penyerapan alam semesta. Siwa merupakan perwujudan dari sifat Tamas,kecenderungan menuju pembubaran dan pelenyapan.

Pelenyapan atau penghancuran akan berakhir pada pengurangan tertingi berupa kekosongan alam semesta tanpa batas. Kekosongan dari segala keberadaan ini memunculkan alam semesta secara berulang-ulang,juga tanpa batas. Dan disinilah peranan Siwa. Karena itu dikatakan bahwa Siwa bukan saja bertanggung jawab atas penghancuran, tetapi terhadap penciptaan dan pemeliharaan keberadaan. Dalam hal ini maka Brahma dan Wisnu adalah juga Siwa.

Seperti telah diuraikan sebelumnya dalam "Sejarah Sekte di Bali", sebelum pemerintahan suami istri Dharma Udayana/Gunapria Dharmapatni (sejak awal abad ke 10), di Bali telah berkembang berbagai sekte. Pada mulanya sekte-sekte tersebut hidup berdampingan secara damai. Lama-kelamaan justru sering terjadi persaingan. Bahkan tak jarang terjadi bentrok secara fisik. Hal ini dengan sendirinya sangat menganggu ketentraman Pulau Bali. Sehubungan dengan hal tersebut, raja lalu menugaskan kepada Senapati Kuturan untuk mengatasi kekacauan itu. Atas dasar tugas tersebut, Mpu Kuturan mengundang semua pimpinan sekte dalam suatu pertemuan yang dilakukan di Bataanyar (Samuan Tiga). Pertemuan ini mencapai kata sepakat dengan keputusan Tri Sadaka dan Kahyangan Tiga.

Ajaran Siwa Sidhanta mempunyai ciri-ciri khas yang berbeda dengan sekta Siwa yang lain. Sidhanta artinya kesimpulan sehingga Siwa Sidanta artinya kesimpulan dari Siwaisme. Kenapa dibuat kesimpulan ajaran Siwa? karena Maha Rsi Agastya merasa sangat sulit menyampaikan pemahaman kepada para pengikutnya tentang ajaran Siwa yang mencakup bidang sangat luas.
Ajaran Siwa Siddhanta di Bali terdiri dari tiga kerangka utama yaitu Tattwa, Susila dan Upacara keagamaan. 
Tatwa atau filosofi yang mendasarinya adalah ajaran Siwa Tattwa. Di dalan Siwa Tattwa, Sang Hyang Widhi adalah Ida Bhatara Siwa. Dalam lontar Jnana Siddhanta dinyatakan bahwa Ida Bhatara Siwa adalah Esa yang bermanifestasi beraneka menjadi Bhatara - Bhatari.
Sa eko bhagavan sarvah,
Siwa karana karanam,
Aneko viditah sarwah,
Catur vidhasya karanam,
Ekatwanekatwa swalaksana bhatara ekatwa ngaranya,
Kahidup makalaksana siwatattwa,
Tunggal tan rwatiga kahidep nira,
Mangekalaksana siwa karana juga tan paphrabeda,
Aneka ngaranya kahidup Bhataramakalaksana caturdha,
Caturdha ngaranya laksananiram stuhla suksma sunya. 
Artinya :
Sifat Bhatara eka dan aneka. Eka artinya ia dibayangkan bersifat Siwa Tattwa, ia hanya esa tidak dibayangkan dua atau tiga. ia bersifat Esa saja sebagai Siwakarana (Siwa sebagai pencipta), tiada perbedaan. Aneka artinya Bhatara bersifat Caturdha. Caturdha adalah sifatnya, sthula, suksma dan sunia.

Sumber - sumber lain yang menyatakan Dia yang Eka dalam Beraneka juga kita temukan dalam banyak mantra - mantra, diantaranya adalah :
Om namah Sivaya sarvaya,
Dewa-devaya vai namah,
Rudraya Bhuvanesaya,
Siwa rupaya vai namah.
Artinya :
Sembah bhakti dan hormat kepada Siwa, kepada Sarwa
Sembah bhakti dan hormat kepada dewa dewanya
Kepada Rudra raja alam semesta
Sembah hormat kepada dia yang rupanya manis

Twam Sivah twam Mahadewa,
Isvara Paramesvara,
Brahma Visnu'ca Rudras'ca,
Purusah Prakhrtis tatha.
Artinya :
Engkau adalah Siwa Mahadewa
Iswara, Parameswara
Brahma, Wisnu dan Rudra
Dan juga sebagai Purusa dan Prakerti


Tvam kalas tvam yamomrtyur, 
varunas tvam kverakah, 
Indrah Suryah Sasangkasca, 
Graha naksatra tarakah.
Artinya :
Engkau adalah Kala, Yama dan Mrtyu
Engkau adalah Varuna, Kubera
Indra, Surya dan Bulan
Planet, naksatra dan bintang – bintang

Prthivi salilam tvam hi,
Tvam Agnir vayur eva ca,
Akasam tvam palam sunyam,
Sakhalam niskalam tatha.
Artinya :
Engkau adalah Bumu, Air dan juga Api
Angkasa dan alam sunia tertinggi
Juga yang berwujud dan tak berwujud
Dengan contoh - contoh tersebut menunjukkan bahwa semua Bhatara - Bhatari itu adalah Bhatara Siwa sendiri. Bhatara - Bhatari itulah yang dipuja sebagai Ista Dewata. Banyaknya Ista Dewata yang dipuja akan berkaitan dengan banyaknya Pura dan Pelinggih, Pengastawa, Rerainan dan Banten. 
Ista Dewata adalah Bhatara Siwa yang aktif sebagai Sada Siwa, sedangkan Bhatara Siwa sebagai Parama Siwa bersifat tidak aktif atau sering disebut Sunia.

Dalam manifestasi beliau sebagai Dewa Brahma, Wisnu dan Iswara yang paling mendominasi pemujaan yang ada di Bali. Konsep penciptaan, pemeliharaan dan pemrelina menunjukkan Bhatara Siwa sebagai apa yang sering disebut Sang Hyang Sangkan paraning Numadi, yaitu asal dan kembalinya semua yang ada dan tidak ada di jagat raya ini. Salah satu yang menarik dari keberadaan Bhatara Siwa, ialah Beliau berada dimana - mana, di seluruh penjuru mata angin dan di pengider - ider.

Selain ajaran ke-Tuhanan, ajaran Siwa Siddhanta juga memuat beberapa ajaran diantaranya ajaran tentang Atma yang sesungguhnya berasal dari Bhatara Siwa dan akan kembali kepada-Nya juga, ajaran Karma Phala yang berkaitan dengan Punarbawa atau siklus reinkarnasi, ajaran pelepasan yang berkaitan tentang Yoga dan Samadhi. Terdapat pula ajaran tata susila yang erat hubungannya dengan ajaran Karma Phala. Tumpuan dari ajaran tata susila itu adalah Tri Kaya Parisuddha yaitu Kayika Parisuddha (berbuat yang benar), Wacika Parisuddha (berbicara yang benar) dan Manacika Parisuddha (berfikir yang benar).

Bagi penganut Siwa Sidhanta kitab suci Weda-pun dipelajari yang pokok-pokok / intinya Lontar yang sangat populer bagi penganut Siwa Sidhanta di Bali antara lain Wrhaspati saja; resume Weda itu dinamakan Weda Sirah (sirah artinya kepala atau pokok-pokok). 

Pemantapan paham Siwa Sidhanta di Bali dilakukan oleh dua tokoh terkemuka yaitu Mpu Kuturan dan Mpu/Danghyang Nirartha. Di India wahyu Hyang Widhi diterima oleh Sapta Rsi dan dituangkan dalam susunan sistematis oleh Bhagawan Abyasa dalam bentuk Catur Weda.

Weda menjadikan pemikiran-pemikiran cemerlang bagi orang-orang suci di Bali sekitar abad ke delapan sampai ke-empat belas yaitu:

DANGHYANG MARKANDEYA
Pada abad ke-8 beliau mendapat pencerahan di Gunung Di Hyang (sekarang Dieng, Jawa Timur) bahwa bangunan palinggih di Tolangkir (sekarang Besakih) harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah. Menetap di Taro, Tegal lalang – Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siwa Sidhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual: Surya sewana, Bebali (Banten), dan Pecaruan.

Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali maka ketika itu agama ini dinamakan Agama Bali. Daerah tempat tinggal beliau dinamakan Bali. Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa Sidanta menurut petunjuk-petunjuk Danghyang Markandeya yang menggunakan bebali atau banten.

Selain Besakih, beliau juga membangun pura-pura Sad Kahyangan lainnya yaitu : Batur, Sukawana, Batukaru, Andakasa, dan Lempuyang. Beliau juga mendapat pencerahan ketika Hyang Widhi berwujud sebagai sinar terang gemerlap yang menyerupai sinar matahari dan bulan. Oleh karena itu beliau menetapkan bahwa warna merah sebagai simbol matahari dan warna putih sebagai simbol bulan digunakan dalam hiasan di Pura antara lain berupa ider-ider, lelontek, dll.

Selain itu beliau mengenalkan hari Tumpek Kandang untuk mohon keselamatan pada Hyang Widhi, digelari Rare Angon yang menciptakan darah, dan hari Tumpek Pengatag untuk menghormati Hyang Widhi, digelari Sanghyang Tumuwuh yang menciptakan getah.

MPU SANGKUL PUTIH
Setelah Danghyang Markandeya moksah, Mpu Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur tetumbuhan lainnya seperti daun sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan: pisang, kelapa, dan biji-bijian: beras, injin, kacang komak. Bentuk banten yang diciptakan antara lain canang sari, canang tubugan, canang raka, daksina, peras, panyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita, durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap ngambe, dll. Banten dibuat menarik dan indah untuk menggugah rasa bhakti kepada Hyang Widhi agar timbul getaran-getaran spiritual.

Di samping itu beliau mendidik para pengikutnya menjadi sulinggih dengan gelar Dukuh, Prawayah, dan Kabayan. Beliau juga pelopor pembuatan arca/pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan batu, kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang  Widhi. Tak kurang pentingnya, beliau mengenalkan tata cara pelaksanan peringatan hari Piodalan di Pura Besakih dan pura-pura lainnya, ritual hari-hari raya : Galungan, Kuningan, Pagerwesi, Nyepi, dll. Jabatan resmi beliau adalah Sulinggih yang bertanggung jawab di Pura Besakih dan pura-pura lainnya yang telah didirikan oleh Danghyang Markandeya.

MPU KUTURAN
Pada abad ke-10an datanglah ke Bali seorang Brahmana dari Majapahit yang berperan sangat besar pada kemajuan Agama Hindu di Bali. Seperti disebutkan oleb R. Goris pada masa Bali Kuna berkembang suatu kehidupan keagamaan yang bersifat sektarian. Ada sembilan sekte yang pernah berkembang pada masa Bali Kuna antara lain sekte Pasupata, Bhairawa, Siwa Shidanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Diantara sekte-sekte tersebut Çiwa Sidhanta merupakan sekte yang sangat dominan.

Masing-masing sekte memuja Dewa-Dewa tertentu sebagai istadewatanya atau sebagai Dewa Utamanya dengan Nyasa (simbol) tertentu serta berkeyakinan bahwa istadewatalah yang paling utama sedangkan yang lainnya dianggap lebih rendah. Perbedaan-perbedaan itu akhirnya menimbulkan pertentangan antara satu sekte dengan sekte yang lainnya yang menyebabkan timbulnya ketegangan dan sengketa didalam tubuh masyarakat Bali Aga.

Inilah yang merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban di masyarakat yang membawa dampak negative pada hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Akibat yang bersifat negative ini bukan saja menimpa desa bersangkutan, tetapi meluas sampai pada pemerintahan kerajaan sehingga roda pemerintahan menjadi kurang lancar dan terganggu.

Dalam kondisi seperti itu, Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa perlu mendatangkan rohaniawan dari Jawa Timur yang oleh Gunaprya Dharmapatni sudah dikenal sejak dahulu semasih beliau ada di Jawa Timur. Oleh karena itu Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa bersekepatan untuk mendatangkan 4 orang Brahmana bersaudara yaitu:
  1. Mpu Semeru, dari sekte Siwa tiba di Bali pada hari jumat Kliwon, wuku Pujut, bertepatan dengan hari Purnamaning Kawolu, candra sengkala jadma siratmaya muka yaitu tahun caka 921 (999M) lalu berparhyangan di Besakih.
  2. Mpu Ghana, penganut aliran Gnanapatya tiba di Bali pada hari Senin Kliwon, wuku Kuningan tanggal 7 tahun caka 922 (1000M), lalu berparhyangan di Gelgel
  3. Mpu Kuturan, pemeluk agama Budha dari aliran Mahayana tiba di Bali pada hari Rabu Kliwon wuku pahang, maduraksa (tanggal ping 6), candra sengkala agni suku babahan atau tahun caka 923 (1001M), selanjutnya berparhyangan di Silayukti (Padang)
  4. Mpu Gnijaya, pemeluk Brahmaisme tiba di Bali pada hari Kamis Umanis, wuku Dungulan, bertepatan sasih kadasa, prati padha sukla (tanggal 1), candra sengkala mukaa dikwitangcu (tahun caka 928 atau 1006M) lalu berparhyangan di bukit Blibis (Lempuyang)
Sebenarnya keempat orang Brahmana ini di Jawa Timur bersaudara 5 orang yaitu adiknya yang bungsu bernama Mpu Bharadah ditinggalkan di Jawa Timur dengan berparhyangan di Lemahtulis, Pajarakan. Kelima orang Brahmana ini lazim disebut Panca Pandita atau “Panca Tirtha” karena beliau telah melaksanakan upacara “wijati” yaitu menjalankan dharma “Kabrahmanan”.

Dalam suatu rapat majelis yang diadakan di Bata Anyar (desa bedahulu pejeng) yang dihadiri oleh unsur tiga kekuatan pada saat itu, yaitu :
  • Dari pihak Budha Mahayana diwakili oleh Mpu Kuturan yang juga sebagai ketua sidang
  • Dari pihak Ciwa diwakili oleh Mpu Semeru
  • Dari pihak 6 sekte yang pemukanya adalah orang Bali Aga
Dalam rapat majelis tersebut Mpu Kuturan membahas bagaimana menyederhanakan keagamaan di Bali, yg terdiri dari berbagai aliran. Tatkala itu semua hadirin setuju untuk menegakkan paham Tri Murti (Brahma,Wisnu,Ciwa) untuk menjadi inti keagamaan di Bali dan yang layak dianggap sebagai perwujudan atau manifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa. Konsesus yang tercapai pada waktu itu menjadi keputusan pemerintah kerajaan, dimana ditetapkan bahwa semua aliran di Bali ditampung dalam satu wadah yang disebut “Siwa-Budha” sebagai persenyawaan Siwa dan Budha.
Semenjak itu penganut Siwa Budha harus mendirikan tiga buah bangunan suci (pura) untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya yang masing-masing bernama:
  1. Pura Desa Bale Agung untuk memuja kemuliaan Brahma sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan)
  2. Pura Puseh untuk memuja kemulian Wisnu sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa
  3. Pura Dalem untuk memuja kemuliaan Bhatari Durga yaitu caktinya Bhatara Siwa sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa
Ketiga pura tersebut disebut Pura “Kahyangan Tiga” yang menjadi lambang persatuan umat Siwa Budha di Bali. Dalam Samuan Tiga juga dilahirkan suatu organisasi “Desa Pakraman” yang lebih dikenal sebagai “Desa Adat”. Dan sejak saat itu berbagai perubahan diciptakan oleh Mpu Kuturan, baik dalam bidang politik, social, dan spiritual. Jika sebelum keempat Brahmana tersebut semua prasasti ditulis dengan menggunakan huruf Bali Kuna, maka sesudah itu mulai ditulis dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi). Akhirnya di bekas tempat rapat itu dibangun sebuah pura yang diberi nama Pura Samuan Tiga.

Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud simbol palinggih Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan Pembangunan Pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta Padma Tiga, di Besakih. Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal (pangider-ider).

MPU MANIK ANGKERAN
Setelah Mpu Sangkulputih moksah, tugas-tugas beliau diganti oleh Mpu Manik Angkeran. Beliau adalah Brahmana dari Majapahit putra Danghyang Siddimantra. Dengan maksud agar putranya ini tidak kembali ke Jawa dan untuk melindungi Bali dari pengaruh luar, maka tanah genting yang menghubungkan Jawa dan Bali diputus dengan memakai kekuatan bathin Danghyang Siddimantra. Tanah genting yang putus itu disebut segara rupek.

MPU JIWAYA
Beliau menyebarkan Agama Budha Mahayana aliran Tantri terutama kepada kaum bangsawan di zaman Dinasti Warmadewa (abad ke-9). Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalam bentuk kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan dengan keangkeran (tenget) dan pemasupati untuk kesaktian senjata-senjata alat perang, topeng, barong, dll.

DANGHYANG DWIJENDRA
Datang di Bali pada abad ke-14 ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Atas wahyu Hyang Widhi di Purancak, Jembrana, Beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Bentuk bangunan pemujaannya adalah Padmasari atau Padmasana.

Jika konsep Trimurti dari Mpu Kuturan adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan horizontal, maka konsep Tripurusa adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan vertikal. Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur, hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat pekraman dibuat, organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan ditingkatkan.

Selain itu beliau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau kekawin. Karya sastra beliau yang terkenal antara lain : Sebun bangkung, Sara kusuma, Legarang, Mahisa langit, Dharma pitutur, Wilet Demung Sawit, Gagutuk menur, Brati Sesana, Siwa Sesana, Aji Pangukiran, dll. Beliau juga aktif mengunjungi rakyat di berbagai pedesaan untuk memberikan Dharma wacana.

Saksi sejarah kegiatan ini adalah didirikannya Pura-Pura untuk memuja beliau di tempat mana beliau pernah bermukim membimbing umat misalnya : Purancak, Rambut siwi, Pakendungan, Hulu watu, Bukit Gong, Bukit Payung, Sakenan, Air Jeruk, Tugu, Tengkulak, Gowa Lawah, Ponjok Batu, Suranadi (Lombok), Pangajengan, Masceti, Peti Tenget, Amertasari, Melanting, Pulaki, Bukcabe, Dalem Gandamayu, Pucak Tedung, dll.

Ke-enam tokoh suci tersebut telah memberi ciri yang khas pada kehidupan beragama Hindu di Bali sehingga terwujudlah tattwa dan ritual yang khusus yang membedakan Hindu-Bali dengan Hindu di luar Bali. Di bidang tattwa misalnya, ciri khas yang paling menonjol adalah penyembahan Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Trimurti dan Tripurusa dalam bentuk palinggih Kemulan Rong Tiga dan Padmasana yang dikembangkan masing-masing oleh Mpu Kuturan dan Mpu/Danghyang Nirartha. Di bidang ritual ciri khas Hindu-Bali yang terpenting adalah adanya bebali atau banten yang dikembangkan oleh Danghyang Markandeya dan Mpu Sangkulputih.
Sejarah kemudian membuktikan bahwa walaupun di Nusantara telah berkembang Agama lain seperti Islam dan Kristen, Bali tetap dapat bertahan pada Hindu karena agama Hindu telah membudaya mewujudkan jati diri orang-orang Bali yang mengagumkan dunia. Zaman sudah globalisasi, dunia yang tanpa batas, pengaruh budaya luar terus menerus menghantam ketahanan orang-orang Hindu. Bermula dari perubahan nama Agama di era Orde Baru, di mana Agama Hindu-Bali dirubah menjadi Agama Hindu Dharma. Ini merupakan tonggak bagi sebagian kecil penduduk dari suku-suku: Batak Karo, Dayak, Banten, Jawa, dll. mendapat pengakuan pada keyakinan spiritualnya di luar Agama yang sudah ada, menjadi tertampung dalam Hindu Dharma.

Dengan demikian Hindu Dharma akan mampu memberikan acuan yang lengkap mengenai Tattwa, Susila dan Upacara kepada saudara-saudara se-dharma di luar Bali, karena sudah ratusan generasi meninggalkan Hindu atau tidak bersentuhan dengan Hinduan seperti yang berkembang di Bali Hindu Dharma harus mempertahankan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh ke enam tokoh suci yang disebutkan di atas. Karena Bali saat ini banyak sekali aliran-aliran bermunculan dan saling bertentangan seperti abad ke 10 sebelum kedatangan Mpu Kuturan di Bali.

Dalam perkembangan globalisasi saat ini Hindu Dharma sudah melakukan reformasi kelembagaan yaitu:
  • Parisadha Hindu Dharma secara khusus sebagai lembaga umat yang menangani masalah-masalah agama sehingga Tattwa , Susila dan Upacara menjadi sesuatu yang utuh sebagai manifestasi hubungan vertical (hubungan religius)
  • Lembaga Adat (Majelis Desa Pekraman untuk di Bali) secara khusus menangani masalah-masalah Adat sebagai manifestasi hubungan Horisontal.(hubungan social)


SUMBER-SUMBER AJARAN SIWA SIDHANTA
Walaupun sumber - sumber ajaran Agama Hindu di Bali berasal dari kitab - kitab berbahasa Sansekerta, namun sumber - sumber tua yang kita warisi kebanyakan ditulis dalam dua bahasa yaitu Bahasa sansekerta dan Bahasa Jawa Kuno. Kitab yang di tulis dalam bahasa Sansekerta umumnya adalah kitab Puja, namun bahasa Sansekerta yang digunakan adalah bahasa Sansekerta kepulauan khas Indonesia yang sedikit berbeda denga bahasa Sansekerta versi India. Sedangkan kitab - kitab yang ditulis dalam bahasa jawa kuno antara lain Bhuwanakosa, Jnana Siddhanta, Tattwa Jnana, Wrhaspati tatwa dan Sarasamuscaya. Kitab Bhuwanakosa, Jnana Siddhanta, Tattwa Jnana dan Wrhaspati Tattwa adalah kitab - kitab yang Tattwa yang mengajarkan Siwa Tattwa yang mana juga kitab - kitab ini menjadi unsur dari isi Puja. Sedangkan Sarasamuscaya adalah kitab yang mengajarkan susila, etika dan tingkah laku.

Disamping itu juga terdapat banyak lontar - lontar indik yang menjadi rujukan pelaksanaan kehidupan umat beragama dan bermasyarakat di Bali seperti lontar Wariga, lontar tentang pertanian, pertukangan, organisasi sosial dan yang lainnya. Disamping itu juga terdapat kitab - kitab Itihasa dan gubahan - gubahan yang berasal dari purana, seperti Parwa ( kisah Maha Bharata), Kanda (Ramayana) dan juga kekawin - kekawin yang menjadi alat pendidikan dan pedoman dalam bertingkah laku bagi masyarakat. Itihasa dan juga purana juga menjadi sumber dalam kehidupan berkesenian di Bali terutama kesenian yang masuk kategori Wali atau sakral, seperti wayang, topeng, calonarang dan yang lainnya, yang mana pementasan kesenian tersebut umumnya mengangakat tema cerita yang berasala dari Itihasa, purana atau kekawin. Tidak semua pelaksanaan kehidupan beragama di Bali yang dapat dirujuk kedalam sumber - sumber ajaran sastra agama, yang dikarenakan Agama Hindu di Bali begitu menyatu dengan Budaya, adat, seni dan segala aspek kehidupan orang Bali, sehingga banyak warisan budaya para leluhur orang Bali yang tetap diwariskan turun - temurun dan menjadi satu keatuan denga Agama Hindu di Bali.

SIVA SIDHANTA DALAM PELAKSANAAN KEHIDUPAN BERAGAMA DI BALI
Ada relasi antara manusia dengan Tuhan. Relasi ini diwujudkan dalam bentuk bakti sebagai wujud Prawrtti Marga. Tuhan dipuja sebagai saksi agung akan semua perbuatan manusia di dunia. Tuhan yang memberikan berkah dan hukuman kepada semua mahluk. Di Bali, bhakti kepada Tuhan direalisasikan dalam berbagai bentuk. Untuk orang kebanyakan, bhakti diwujudkan dengan sembahyang yang diiringi dengan upakara. Upakara artinya pelayanan dengan ramah diwujudkan dengan banten. Upakara termasuk Yajna atau persembahan suci. Baik sembahyang maupun persembahan Yajna memerlukan tempat pemujaan. Pemangku, Balian Sonteng dan Sulinggih mengantarkan persembahan umat kepada Tuhan dengan,mantra dan puja. Padewasan dan rerainan memengang peranan penting, yang mana pada semua ini ajaran sradha kepada Tuhan akan selalu tampak terwujud.

Demikian juga misalnya saat Bhatara Siwa sebagai Dewata Nawa Sanga diwujudkan dalam banten caru, belia disimbulkan pada banten Bagia Pula Kerti, beliau dipuja pada puja Asta Mahabhaya, Nawa Ratna dan pada kidung beliau dipuja pada kidung Aji Kembang. Bhatara Siwa sebagai Panca Dewata dipuja dalam berbagai Puja, Mantra ditulis dalam aksara pada rerajahan dan juga disimbulkan pada alat upacara serta aspek kehidupan beragama lainnya. Tempat - tempat pemujaan menunjukkan tempat memuja Bhatara Siwa dalam manifestasi beliau.

Beliau dipuja sebagai Siwa Raditya di Padmasana, dipuja sebagai Tri Murti di sanggah, paibon, Kahyanga Desa dan kahyangan jagat. Pemujaan Tuhan pada berbagai tempat sebagai Ista Dewata sesuai dengan ajaran Tuhan berada dimana - mana. Demikinalah orang Bali menyembah Tuhan disemua tempat, di Pura Dalem, Pura Desa, Pura Puseh, Bale Agung, Pempatan Agung, Peteula, Setra, Segara, Gunung, Sawah, Dapur dan sebagainya. Disamping itu diberbagai tempat Tuhan dipuja sebagai Dewa yang "Ngiyangin" atau yang memberkati daerah pada berbagai aspek kehidupan, seperti Dewa Pasar, Peternakan, Kekayaan, Kesehatan, Kesenian, Ilmu Pengetahuan dan sebagainya.

Dengan demikian hampir tidak ada aspek kehidupan orang Bali yang lepas dari Agama Hindu. Dalam pemujaan ini Tuhan dipuja sebagai Ista Dewata, Dewa yang dimohon kehadirannya pada pemujaannya, sehingga yang dipuja bukanlah Tuhan yang absolut sebagai Brahman dalam Upanisad atau Bhatara Siwa sebagai Parama Siwa, namun Tuhan yang bersifat pribadi yang menjadi junjungan yang disembah oleh penyembahnya. Ista Dewata ini dipandang sebagai tamu yang dimohon kehadirannya oleh hambanya pada waktu dipuja untuk menyaksikan sembah bakti umatnya. Oleh karena itu Tuhan dipuja sebagai "Hyang" dari aspek - aspek kehidupan yang rasa kehadiran-Nya sangat dihayati oleh hambanya sama seperti penghayatan umat terhadapap aspek kehidupan tersebut.

Pemujaan dilakukan dalam suasana, tempat cara dan bahan yang paling tepat dan paling dihayati oleh para pemuja-Nya. Terdapat persembahan Banten, pakaian, hiasan yang semuanya dipersembahkan dengan begitu serasi dengan penghayatan, perasaan dan cita rasa dari penyembah-Nya sehingga penghayatan menyusup kedalam lubuk hati yang terdalam. Apapun yang dipersembahkan, maka itu adalah sesuatu yang terbaik menurut para penyembah-Nya. Akibat dari semua itu adalah adanya variasai dan pelaksanaan hidup beragama di Bali. Namun inti dari prinsip ajaran agama Hindu adalah sama, yaitu Tuhan yang ada dimana - mana sama dengan Tuhan Yang Maha Esa yang menampakkan diri dalam berbagai wujud dan pandangan penyembah-Nya, yang abstrak dihayati melalui bentuk.

Pura Luhur Uluwatu ini berada di Desa Pecatu Kecamatan Kuta Kabupaten Badung. Pura Luhur Uluwatu dalam pangeder-ider Hindu Siwa Sidhanta di Bali berada di arah barat daya sebagai pura untuk memuja Tuhan sebagai Batara Rudra. Kedudukan Pura Luhur Uluwatu tersebut berhadap-hadapan dengan Pura Andakasa, Pura Batur dan Pura Besakih. Karena di Pura Luhur Uluwatu itu terfokus daya wisesa atau kekuatan spiritual dan tiga Dewa yaitu Dewa Brahma memancar dari Pura Andakasa, Dewa Wisnu dari Pura Batur dan Dewa Siwa dari Pura Besakih. Tiga daya wisesa yang disebut Tri Kona itulah yang dibutuhkan dalam hidup ini. Dinamika hidup akan mencapai sukses apabila adanya keseimbangan Utpati, Stithi dan Pralina secara benar, tepat dan seimbang. Menurut Lontar Kusuma Dewa, pura ini didirikan atas anjuran Mpu Kuturan sekitar abad kesebelas. Pura ini salah satu dari enam Pura Sad Kahyangan yang disebutkan dalam Lontar Kusuma Dewa. Pura yang disebut Pura Sad Kahyangan ada enam yaitu Pura Besakih, Pura Lempuhyang Luhur, Pura Goa Lawah, Pura Luhur Uluwatu, Pura Luhur Batukaru dan Pura Pusering Jagat.

Berhubung banyak lontar yang menyebutkan Sad Kahyangan, maka tahun 1979-1980 Institute Hindu Dharma (sekarang Unhi) atas penugasan Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat mengadakan penelitian secara mendalam. Akhirnya disimpulkan bahwa Pura Sad Kahyangan menurut Lontar Kusuma Dewa itulah yang ditetapkan sebagai Pura Sad Kahyangan, karena saat Bali belum pecah menjadi sembilan kerajaan. Lontar tersebut dibuat tahun 1005 Masehi atau tahun Saka 927. Hal ini didasarkan pada adanya pintu masuk di Pura Luhur Uluwatu menggunakan Candi Paduraksa yang bersayap.
 Candi tersebut sama dengan candi masuk di Pura Sakenan di Pulau Serangan Kabupaten Badung. Di Candi Pura Sakenan tersebut terdapat Candra Sangkala dalam bentuk Resi Apit Lawang yaitu dua orang pandita berada di sebelah menyebelah pintu masuk. Hal ini menunjukkan angka tahun yaitu 927 Saka, ternyata tahun yang disebutkan dalam Lontar Kusuma Dewa sangat tepat. Dalam Lontar Padma Bhuwana disebutkan juga tentang pendirian Pura Luhur Uluwatu sebagai Pura Padma Bhuwana oleh Mpu Kuturan pada abad kesebelas. Candi bersayap seperti di Pura Luhur Uluwatu terdapat juga di Lamongan, Jatim.

PURA LUHUR ULUWATU  SEBAGAI TEMPAT PEMUJAAN DEWA SIWA RUDRA
Pura Luhur Uluwatu berfungsi sebagai tempat pemujaan Dewa Siwa Rudra dan terletak di barat daya Pulau Bali. Pura Luhur Uluwatu didirikan berdasarkan konsepsi Sad Winayaka dan Padma Bhuwana. Sebagai pura yang didirikan dengan konsepsi Sad Winayaka Pura Luhur Uluwatu sebagai salah satu dari Pura Sad Kahyangan untuk melestarikan Sad Kertih (Atma Kerti, Samudra Kerti, Danu Kerti, Wana Kerti, Jagat Kerti dan Jana Kerti). Sementara sebagai pura yang didirikan berdasarkan konsepsi Padma Bhuwana Pura Luhur Uluwatu didirikan sebagai aspek Tuhan yang menguasai arah barat daya. Pemujaan Dewa Siwa Rudra adalah pemujaan Tuhan dalam memberi energi kepada ciptaannya. Ida Pedanda Punyatmaja Pidada saat masih walaka pernah beberapa kali menjabat ketua Parisada Hindu Dharma Pusat menyatakan bahwa di Pura Luhur Uluwatu memancar energi spiritual tiga dewa. Kekuatan suci ketiga Dewa Tri Murti (Brahma, Wisnu dan Siwa) menyatu di Pura Luhur Uluwatu.

Karena itu, umat yang membutuhkan dorongan spiritual untuk menciptakan, memelihara dan meniadakan sesuatu yang patut diadakan, dipelihara dan dihilangkan sering sangat khusyuk memuja Dewa Siwa Rudra di Pura Luhur Uluwatu. Salah satu ciri hidup yang ideal menurut pandangan Hindu adalah menciptakan segala sesuatu yang patut diciptakan. Memelihara sesuatu yang patut dipelihara dan menghilangkan sesuatu yang sepatutnya dihilangkan. Menciptakan, memelihara dan menghilangkan sesuatu yang patut itu tidaklah mudah. Berbagai hambatan akan selalu menghadang.

Dalam menghadapi berbagai kesukaran itulah umat sangat membutuhkan kekuatan moral dan daya tahan mental yang tangguh. Untuk mendapatkan keluhuran moral dan ketahanan mental, salah satu caranya dengan jalan memuja Tuhan dengan tiga manifestasinya. Untuk menumbuhkan daya cipta yang kreatif pujalah Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Brahma. Untuk memiliki ketetapan hati memelihara sesuatu yang patut dipelihara pujalah Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Wisnu. Untuk mendapatkan kekuatan menghilangkan sesuatu yang patut dihilangkan pujalah Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Siwa.

Energi spiritual ketiga manifestasi Tuhan itu menyatu dalam Dewa Siwa Rudra yang dipuja di Pura Luhur Uluwatu. Pura Luhur Uluwatu ini tergolong Pura Kahyangan Jagat. Karena Pura Sad Kahyangan dan Pura Padma Bhuwana itu adalah tergolong Pura Kahyangan Jagat. Di Pura Luhur Uluwatu ini Batara Rudra dipuja di Meru Tumpang Tiga. Di sebelah kanan dari jaba Pura Luhur Uluwatu ada Pura Dalem Jurit sebagai pengembangan Pura Luhur Uluwatu pada zaman kedatangan Danghyang Dwijendra pada abad ke-16 Masehi. Di Pura Dalem Jurit ini terdapat tiga patung yaitu Patung Brahma, Patung Ratu Bagus Dalem Jurit dan Patung Wisnu. Ratu Bagus Dalem Jurit itulah sesungguhnya Dewa Siwa Rudra dalam wujud Murti Puja. Pemujaan energi Tri Murti dengan sarana patung ini merupakan peninggalan sistem pemujaan Tuhan dengan sarana patung dikembangkan dengan sistem pelinggih. Karena saat beliau datang ke Pura Dalem Jurit itu sistem pemujaan di Pura Luhur Uluwatu masih sangat sederhana karena kebutuhan umat memang juga masih sederhana saat itu.

Pura Luhur Uluwatu juga memiliki beberapa Pura Prasanak atau Jajar Kemini. Pura Prasanak tersebut antara lain Pura Parerepan di Desa Pecatu, Pura Dalem Kulat, Pura Karang Boma, Pura Dalem Selonding, Pura Pangeleburan, Pura Batu Metandal dan Pura Goa Tengah. Semua Pura Prasanak tersebut berada di sekitar wilayah Pura Luhur Uluwatu di Desa Pecatu. Umumnya Pura Kahyangan Jagat memiliki Pura Prasanak. Pura Prasanak ini merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Pura Luhur Uluwatu. Pura Prasanak tersebut berada dalam radius sekitar lima kilometer Pura Luhur Uluwatu. Karena itu dalam radius lima kilometer tersebut hendaknya jangan ada bangunan atau fasilitas yang tidak ada hubungannya dengan keberadaan Pura Luhur Uluwatu beserta dengan Pura Prasanak -nya. Dapat saja beberapa hal diadakan dalam radius kesucian pura tersebut sepanjang keberadaan bangunan tersebut dalam rangka memperkuat eksistensi nilai-nilai luhur yang terkandung dalam filosofi Pura Luhur Uluwatu.

PADMA TIGA DI BESAKIH SEBAGAI KONSEP TUHAN SIWA
Siwa Tattwa ngaranya sukha tanpa wali duhkha. Sadasiwa Tattwa ngaranya tanpa wwit tanpa tungtung ikang sukha. Paramasiwa Tattwa ngaranya niskala tan wenang winastwan ikang sukha. (Dikutip Dari Wrehaspati Tattwa.50)
Maksudnya:
Hakikat memuja Tuhan Siwa untuk mencapai kebahagiaan yang tidak berbalik pada kedukaan. Memuja Tuhan sebagai Sadasiwa akan mencapai kebahagiaan yang tidak ada awal dan tidak akhirnya. Memuja Tuhan sebagai Paramasiwa mencapai kebahagiaan niskala yang tidak dapat dilukiskan kebahagiaan itu.
Pelinggih Padma Tiga di Pura Besakih sebagai sarana untuk memuja Tuhan sebagai Sang Hyang Tri Purusa yaitu jiwa agung alam semesta. Purusa artinya jiwa atau hidup. Tuhan sebagai jiwa dari Bhur Loka disebut Siwa, sebagai jiwa Bhuwah Loka disebut Sadha Siwa dan sebagai jiwa dari Swah Loka disebut Parama Siwa. Pelinggih Padma Tiga sebagai media pemujaan Sang Hyang Tri Purusa yaitu Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa. Hal ini dinyatakan dalam Piagam Besakih dan juga dalam beberapa sumber lainnya seperti dalam Pustaka Pura Besakih yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan Propinsi Bali tahun 1988. Busana hitam di samping busana warna putih dan merah dari Padma Tiga bukan simbol dari Wisnu, tetapi simbol dari Parama Siwa.
Dalam Mantra Rgveda ada dinyatakan bahwa keberadan Tuhan Yang Maha Esa yang memenuhi alam semesta ini hanya seperempat bagian saja. Selebihnya ada di luar alam semesta. Keberadaan di luar alam semesta ini amat gelap karena tidak dijangkau oleh sinar matahari. Tuhan juga maha-ada di luar alam semesta yang gelap itu. Tuhan sebagai jiwa agung yang hadir di luar alam semesta itulah yang disebut Parama Siwa dalam pustaka Wrehaspati Tattwa itu.

Busana hitam Padma Tiga yang berada di kanan atau yang mengarah ke Pura Batu Madeg itu bukan lambang pemujaan Wisnu. Tetapi pemujaan untuk Parama Siwa yang berada di luar alam semesta. Parama Siwa adalah Tuhan dalam keadaan Nirguna Brahman artinya tanpa sifat atau manusia tidak mungkin melukiskan sifat-sifat Tuhan Yang Mahakuasa itu. Sedangkan Padma Tiga yang di tengah busananya putih kuning sebagai simbol dalam Tuhan keadaan Saguna Brahman. Artinya Tuhan sudah menunjukkan ciri-ciri niskala untuk mencipta kehidupan yang suci dan sejahtera. Putih lambang kesucian dan kuning lambang kesejahteraan.

Sedangkan busana warna merah pada Padma Tiga yang di kiri atau yang mengarah pada Pura Kiduling Kreteg bukanlah sebagai lambang Dewa Brahma. Warna merah dalam Pelinggih Padma Tiga yang di bagian kiri memang arahnya ke Pura Kiduling Kreteg. Padma Tiga yang berwarna merah itu sebagai simbol yang melukiskan keberadaan Tuhan sudah dalam keadaan krida untuk Utpati, Stithi dan Pralina. Dalam hal inilah Tuhan Siwa bermanifestasi menjadi Tri Murti. Untuk di kompleks Pura Besakih sebagai Batara Brahma dipuja di Pura Kiduling Kreteg. Sebagai Batara Wisnu di Pura Batu Madeg dan sebagai Batara Iswara di Pura Gelap. Di tingkat Pura Padma Bhuwana sebagai Batara Wisnu dipuja di Pura Batur simbol Tuhan Mahakuasa di arah utara. Dipuja sebagai Bhatara Iswara di Pura Lempuhyang Luhur di arah timur dan sebagai Batara Brahma dipuja di Pura Andakasa simbol Tuhan Mahakuasa di arah selatan.

Sementara untuk di tingkat desa pakraman, Batara Tri Murti itu dipuja di Kahyangan Tiga. Mengapa ajaran agama Hindu demikian serius mengajarkan umatnya untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa itu dalam manifestasinya sebagai Dewa Tri Murti. Salah satu ciri hidup manusia melakukan dinamika hidup. Memuja Tuhan sebagai Tri Murti untuk menuntun umat manusia agar dalam hidupnya ini selalu berdinamika yang mampu memberikan kontribusi pada kemajuan hidup menuju hidup yang semakin baik, benar dan tepat. Pemujaan pada Dewa Tri Murti itu agar dinamika hidup manusia itu berada di koridor Utpati, Stithi dan Pralina. Maksudnya menciptakan sesuatu yang patut diciptakan disebut Utpati, memelihara serta melindungi sesuatu yang sepatutnya dipelihara dan dilindungi disebut Stithi, serta meniadakan sesuatu yang sudah usang yang memang sudah sepatutnya dihilangkan yang disebut Pralina.

Demikianlah keberadaan Pelinggih Padma Tiga yang berada di Mandala kedua dari Pura Penataran Agung Besakih. Di Mandala kedua ini sebagai simbol bertemunya antara bhakti dan sweca. Bhakti adalah upaya umat manusia atau para bhakta untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Sedangkan sweca dalam bahasa Bali maksudnya suatu anugerah Tuhan kepada para bhakta-nya. Sweca itu akan diterima oleh manusia atau para bhakta sesuai dengan tingkatan bhakti-nya pada Tuhan. Bentuk bhakti pada Tuhan di samping secara langsung juga seyogianya dilakukan dalam wujud asih dan punia. Asih adalah bentuk bhakti pada Tuhan dengan menjaga kelestarian alam lingkungan dengan penuh kasih sayang, karena alam semesta ini adalah badan nyata dari Tuhan. Sedangkan punia adalah bentuk bhakti pada Tuhan dalam wujud pengabdian pada sesama umat manusia sesuai dengan swadharma kita masing-masing. Tuhan telah menciptakan Rta sebagai pedoman atau norma untuk memelihara dan melindungi alam ini dengan konsep asih.

Tuhan juga menciptakan dharma sebagai pedoman untuk melakukan pengabdian pada sesama manusia. Dengan konsep asih, punia dan bhakti itulah umat manusia meraih sweca-nya Tuhan yang dilambangkan di Pura Besakih di Mandala kedua ini. Di Mandala kektiga ini tepatnya di sebelah kanan Padma Tiga itu ada bangunan suci yang disebut Bale Kembang Sirang. Di Bale Kembang Sirang inilah upacara padanaan dilangsungkan saat ada upacara besar di Besakih seperti saat ada upacara Bhatara Turun Kabeh, upacara Ngusaba Kapat maupun upacara Manca Walikrama, apalagi upacara Eka Dasa Ludra.Upacara padanaan yang dipusatkan di Bale Kembang Sirang inilah sebagai simbol bahwa antara bhakti umat dan sweca-nya Hyang Widhi bertemu. Di Pura Penataran Agung Besakih sebagai simbol Sapta Loka tergolong Pura Luhuring Ambal-ambal. Ini dilukiskan bagaimana umat seyogianya melakukan bhakti kepada Tuhan dan bagaimana Tuhan menurunkan sweca kepada umat yang dapat melakukan bhakti dengan baik dan benar. Semuanya dilukiskan dengan sangat menarik di Pura Penataran Agung Besakih dan amat sesuai dengan konsep Weda kitab suci agama Hindu.
Pura Pesimpangan berada kurang lebih 2 km di sebelah barat Pura Penataran Agung Besakih. Bangunan suci atau Pelinggih yang utama di Pura Pesimpangan ini adalah bangunan suci yang disebut Gedong Limas Catu. Di samping itu ada satu bangunan yang disebut pepelik untuk menempatkan sesajen sebagai sarana persembahan umat. Ada juga bangunan yang disebut bebaturan dan balai yang disebut piyasan tempat menempatkan sesajen persembahan yang lebih besar. Di samping itu, ada juga beberapa peninggalan batu yang sulit dinyatakan bentuknya karena sudah rusak. Batu itu mungkin bentuk-bentuk sarana pemujaan pada zaman megalitikum atau peninggalan sarana pemujaan saat Sekte Siwa Pasupata yang lebih eksis sebelum muncul dan semakin kuatnya Sekte Siwa Sidanta. Meskipun sekte Siwa Pasupata tidak eksis lagi tetapi para penganut Siwa Sidanta tidak menghilangkan sarana peninggalan Siwa Pasupata, justru tetap dibuatkan tempat seperti yang kita jumpai di beberapa bebaturan di berbagai kompleks Pura Besakih.

Meskipun sarana pemujaan Sekte atau Sampradaya Siwa Pasupata tidak menjadi unsur utama dalam sistem pemujaan Siwa Sidanta, tetapi hal itu tetap dihormati tidak dimusnahkan atau tidak diperlakukan semena-mena saja. Gedong Limas Catu sebagai pelinggih utama di Pura Pesimpangan berfungsi sebagai ''pesimpangan'' atau stana sementara Ida Batara di Besakih. Mengapa ada stana sementara? Dalam kegiatan ritual keagamaan yang bersifat rutin di Pura Besakih ada kegiatan yang disebut Melasti. Upacara Melasti simbol perjalanan para dewa manifestasi Tuhan Yang Maha Esa itu dilakukan di Besakih umumnya ke Pura Batu Klotok di pantai selatan Kabupaten Klungkung, ke Tegal Suci dan ke Toya Sah. Ketiga tempat inilah setiap tahun dilakukan upacara Melasti. Saat iring-iringan Melasti itu kembali ke Pura Besakih atau ke Penataran Agung Besakih tidak langsung menuju Pura Besakih. Iring-iringan Melasti itu berhenti untuk beberapa jam lamanya di Pura Pesimpangan ini. Saat berhenti itulah Pelinggih Gedong Limas Catu di Pura Pesimpangan itu disimbolkan sebagai stana sementara Ida Batara di Besakih. Kata ''simpang'' berasal dari bahasa Bali yang artinya singgah.

Jadi, Pura Pesimpangan itu sebagai tempat singgah sementara dari Ida Batara simbol Tuhan Yang Maha Esa yang dipuja di Pura Penataran Agung Besakih. Iring-iringan Melasti itu saat kembali ke pelinggih semula umumnya dipersembahkan beberapa sesaji. Besar kecilnya sesaji itu tergantung tingkatan upacaranya. Kalau upacaranya besar maka sesaji untuk kembali berstana di pelinggih asal lebih besar lagi. Untuk mempersiapkan sesaji itu membutuhkan waktu yang lama. Karena itulah iring-iringan Melasti yang kembali itu membutuhkan singgah untuk berhenti sejenak di Pura Pesimpangan.

Zaman dahulu belum ada alat-alat komunikasi dan transportasi yang canggih seperti sekarang. Sehingga sulit untuk mengetahui siap dan tidaknya penyambutan iring-iringan Melasti itu di Pura Besakih. Yang menjadi tanda bahwa iring-iringan itu sudah dekat dengan Pura Penataran Agung Besakih adalah suara gong atau gamelan. Konon iring-iringan Melasti itu kalau sudah sampai di Pura Pesimpangan suara gongnya sudah kedengaran dengan jelas dari Penataran Agung. Kalau suara gong sudah terdengar maka segala sesuatu menyangkut ritual sakral penyambutan kedatangan iring-iringan Melasti itu sudah dapat mulai dipersiapkan. Setelah berhenti beberapa jam lamanya di Pura Penataran barulah iring-iringan Melasti itu berangkat lagi menuju Penataran Agung Besakih. Begitu iring-iringan itu sampai di Penataran Agung segala sarana upacara penyambutan sudah siap dilangsungkan.

Yang sangat menarik di Pura Pesimpangan ini adalah bentuk Pelinggih Limas Catu ini. Di setiap Merajan Gede yang disebut di Gedong Pertiwi tempat pemujaan leluhur umat Hindu di seluruh Bali umumnya pada Pelinggih Limas Catu yang dibangun di sebelah kanan Gedong Pertiwi. Limas Catu itu pun juga sebagai pesimpangan Batara Gunung Agung di Besakih. Sedangkan sebelah kirinya ada Gedong Limas Mujung sebagai pesimpangan Ida Batara di Gunung Batur. Limas Catu dan Limas Mujung wujud umumnya sama tetapi yang berbeda tutup atapnya di puncak dari bangunan tersebut. Kalau Limas Catu puncaknya berbentuk kerucut semakin ke atas semakin mengecil yang dibuat dari ijuk. Sedangkan Limas Mujung puncak atapnya ditutup dengan topi yang dibuat dari tanah liat beserta hiasannya yang ada ukirannya.

Pura Besakih dan Pura Batur adalah Pura Kahyangan Jagat yang tergolong Pura Rwa Bhineda. Fungsi Pura Rwa Bhineda sebagai media memuja Tuhan untuk memohon keseimbangan hidup lahir dan batin. Pura Besakih memohon kebahagiaan hidup rohaniah, sedangkan Pura Batur untuk memohon kesejahteraan hidup lahiriah. Jadinya tujuan pemujaan leluhur di Merajan Gedong Pertiwi adalah untuk memuja memohon kepada leluhur agar ikut serta memperkuat pemujaan umat pada Tuhan untuk membangun kehidupan yang sejahtera lahir batin. Karena itulah ada Pelinggih Pesimpangan Besakih dan Batur dalam wujud Limas Catu dan Limas Mujung. Memperhatikan konsep pemujaan pada Ida Batara di Besakih dapat dibuat dalam wujud besar, megah dan luas. Pemujaan seperti itu kedudukannya sebagai pemujaan jagat masyarakat umat Hindu umumnya tetapi untuk memuja Ida Batara di Besakih dalam keluarga yang lebih kecil dapat dilakukan dengan cara yang amat sederhana. Di Merajan Gede di sebelah kanan Gedong Pertiwi umumnya ada Pelinggih Limas Catu namanya. Pelinggih inilah sebagai Pelinggih Pesimpangan Ida Batara di Besakih sebagai Tuhan dalam manifestasi sebagai Batara Siwa. Sarana pemujaan Tuhan yang ada di mana-mana itu dapat dilakukan dengan berbagai bentuk seperti dinyatakan dalam petikan Kekawin Dharma Sunia di atas.

PURA GOA GAJAH SEBAGAI TEMPAT PEMUJAAN DEWA SIWA
Tri Purusa di Goa Gajah
Siwa Tattwa ngaranya sukha tanpa wali duhka.
Sadasiwa Tattwa ngaranya tan pawwit tanpa tungtung.
Paramasiwa Tattwa ngaranya niskala tan tan wenang
winastwan ikang sukha, salah linaksanan. (Wrehaspati Tattwa.50).
Maksudnya:
Tujuan Siwa Tattwa mencapai kebahagiaan yang tidak berbalik pada kedukaan. Paramasiwa Tattwa adalah kebahagiaan yang bersifat niskala, tidak dapat dibayangkan dalam wujud nyata dan tidak benar bila diberi ciri-ciri.
Di Pura Goa Gajah terdapat ceruk di mana di dalam salah satu ceruknya di arah timur goa terdapat tiga buah Lingga berjejer dalam satu lapik. Masing-masing Lingga di kelilingi oleh depalan Lingga kecil-kecil. Dalam tradisi Hindu Lingga itu adalah bangunan suci simbol pemujaan pada Dewa Siwa sebagai salah satu manifestasi Tuhan. Tiga Lingga ini mungkin sebagai salah satu peninggalan Hindu dari sekte Siwa Pasupata. Tiga Lingga itu sebagai simbol sakral sebagai sarana pemujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Purusa. Tuhan dipuja sebagai Sang Hyang Tri Purusa itu dalam fungsinya sebagai jiwa agung alam semesta. Siwa sebagai jiwa Bhur Loka. Sada Siwa sebagai jiwa agung Bhuwah Loka dan Parama Siwa sebagai jiwa Swah Loka. Tujuan pemujaan Tuhan sebagai Siwa jiwa agung Bhur Loka adalah untuk mencapai suka tanpa wali duhkha. Sebagai Sada Siwa untuk mencapai kebahagiaan yang tiada berpangkal dan tiada berujung. Sebagai Parama Siwa untuk mencapai kebahagiaan yang bersifat niskala yang tidak dapat dibayangkan dalam wujud nyata dan tidak mungkin diberikan ciri-cirinya. Demikian dinyatakan dalam pustaka suci Wrehaspati Tattwa.

Masing-masing Lingga dikelilingi oleh delapan Lingga kecil-kecil itu sebagai simbol delapan dewa di delapan penjuru dari masing-masing bhuwana tersebut. Delapan dewa itu disebut Astadipalaka, artinya delapan kemahakuasaan Tuhan sebagai pelindung seluruh penjuru alam. Memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Purusa bertujuan untuk menguatkan jiwa untuk mencapai kesuksesan hidup di Tri Bhuwana. Delapan dewa di masing-masing bhuwana itu adalah sebagai dewa manifestasi dari Siwa. Dalam buku ”Penuntun ke Objek-objek Purbakala” oleh Prof. Drs. I Gst. Gde Ardana dinyatakan tiga Lingga di Pura Goa Gajah itu ada yang menduga sebagai simbol pemujaan Tri Murti. Dugaan itu sepertinya kurang nyambung dengan konsep pantheon Hindu.

Pura Goa Gajah itu terletak di Desa Bedaulu Kecamatan Blahbatuh, Gianyar. Pura ini memiliki banyak peninggalan purbakala. Karena itu pura ini banyak dikunjungi oleh para wisatawan asing maupun domestik. Pura ini dapat dibagi menjadi tiga bagian. Ada bangunan-bangunan suci Hindu yang amat tua sekitar abad ke-10 Masehi. Ada bangunan suci Hindu berupa pelinggih-pelinggih yang dibangun setelah abad tersebut. Sedangkan yang ketiga ada bangunan peninggalan agama Buddha yang diperkirakan oleh para ahli sudah ada sekitar abad ke-8 Masehi sezaman dengan Candi Borobudur di Jawa Tengah. Di ceruk bagian timur goa terdapat tiga Lingga besar berjejer di atas satu lapik, sedangkan di bagian baratnya terdapat arca Ganesa di goa berbentuk T. Jadinya di bagian hulu atau keluwan goa ada tiga Lingga simbol Siwa atau Sang Hyang Tri Purusa. Sedangkan di bagian teben adalah arca Ganesa yaitu putra Siwa dalam sistem pantheon Hindu. Karena adanya arca Ganesa inilah menurut Miguel Covarrubias goa ini bernama Goa Gajah.

Fungsi Dewa Ganesa dalam sistem pemujaan Hindu adalah sebagai Wighna-ghna Dewa dan sebagai Dewa Winayaka. Wighna artinya halangan atau tantangan. Pemujaan Tuhan sebagai Dewa Ganesa adalah pemujaan untuk mendapatkan tuntunan spiritual agar memiliki ketahanan diri dalam menghadapi berbagai halangan atau tantangan hidup. Ganesa dipuja sebagai Dewa Winayaka adalah untuk mendapatkan tuntunan Tuhan dalam mengembangkan hidup yang bijaksana. Kemampuan menghadapi tantangan dan mengembangkan kebijaksanaan ini sebagai langkah awal untuk meraih hidup yang damai dan sejahtera di bumi ini. Di depan goa terdapat arca Pancuran dalam sebuah kolam permandian sakral yang karena zaman tertimbun tanah. Saat Kriygsman menjabat kepala kantor Prbakala di Bali, maka tahun 1954 permandian itu digali. Di permandian itu terdapat arca Widyadara dan Widyadhari. Arca pancuran ini ada enam buah. Tiga berjejer di bagian utara dan tiga di bagian selatan. Arca bidadari ini diletakkan di atas lapik teratai atau padma.

Padma adalah simbol alam semesta stana Hyang Widhi. Di tengahnya ada arca laki simbol Widyadhara. Enam arca Widyadhari ini mengalirkan air dari pusat arca dan ada yang dari susu arca. Air yang mengalir di kolam itu sebagai simbol kesuburan. Tujuan pemujaan Tuhan dengan simbol Lingga sebagai media untuk memotivasi munculnya kesuburan. Lingga itu dibagi menjadi dua bagian yaitu alasnya disebut Yoni simbol Predana dan yang berdiri tegak di atas yoni itu disebut Lingga. Bagian bawah lingga berbentuk segi empat simbol Brahma Bhaga, di atasnya berbentuk segi delapan simbol Wisnu Bhaga.
Di atas segi delapan berbentuk bulat panjang. Inilah puncaknya sebagai Siwa Bhaga. Dalam upacara pemujaan Lingga ini disiram air atau dengan susu. Air atau susu itu ditampung melalui saluran yoni. Air itulah yang dipercikan ke sawah ladang memohon kesuburan pertanian dan perkebunan. Arca pancuran itu lambang air mengalir untuk membangun kesuburan pertanian dalam arti luas. Dalam Canakya Nitisastra, air itu dinyatakan salah satu dari tiga Ratna Permata Bumi. Tumbuh-tumbuhan bahan makanan dan obat-obatan serta kata-kata bijak sebagai dua Ratna Permata lainnya. Bangunan suci Hindu di Pura Goa Gajah di samping ada bangunan peninggalan Hindu pada zaman eksisnya Hindu Siwa Pasupata pada zaman berikutnya ada pura sebagai pemujaan Hindu pada zaman Hindu Siwa Siddhanta telah berkembang.
 Karena itu di sebelah timur agak ke selatan Goa Gajah itu ada beberapa pelinggih. Ada Pelinggih Limas Catu dan Limas Mujung sebagai Pelinggih Pesimpangan Batara di Gunung Agung dan Gunung Batur. Ada Pelinggih Gedong sebagai pelinggih leluhur para gusti di Bedaulu. Ada pelinggih Ratu Taman sebagai pemujaan Batara Wisnu sebagai dewanya air. Sebagaimana pura pada umumnya terdapat juga beberapa bangunan pelengkap. Seperti pelinggih Pengaruman sebagai tempat sesaji untuk persembahan saat ada upacara, baik upacara piodalan maupun karena ada hari raya Hindu lainnya. Peninggalan yang lebih kuno dari peninggalan Hindu di Pura Goa Gajah adalah adanya peninggalan agama Buddha. Di luar goa di sebelah baratnya ada arca Buddhis yaitu Dewi Hariti di Bali disebut arca Men Brayut. Arca ini dilukiskan sebagai seorang wanita yang memangku banyak anak.

Dalam mitologi agama Buddha, Hariti ini pada mulanya seorang wanita pemakan daging manusia terutama daging anak-anak. Setelah Hariti ini mempelajari ajaran Sang Budsha, Hariti akhirnya menjadi seorang yang sangat religius dan penyayang anak-anak. Di sebelah selatan Goa Gajah melalui parit diketemukan arca Buddha dalam sikap Dhyani Buddha Amitaba. Buddha dalam sikap Dhyani Buddha Amitaba ini dalam sistem pantheon Buddha Mahayana sebagai Buddha pelindung arah barat alam semesta. Demikian tiga wajud bangunan keagamaan Hindu dan Buddha di Pura Goa Gajah.

Toleransi Beragama di Pura Goa Gajah Di Pura Goa Gajah ada tiga tipe bangunan keagamaan yang berbeda-beda. Ada bangunan keagamaan Hindu pada saat berkembangnya Hindu Siwa Pasupati. Dengan bukti-bukti adanya Arca Tiga Lingga yang masing-masing Lingga dikelilingi oleh delapan Lingga kecil-kecil. Ada bangunan keagamaan yang bercorak Siwa Siddhanta dengan adanya pelinggih-pelinggih di sebelah timur agak keselatan dari Goa Gajah. Di samping itu ada bangunan keagamaan Buddha yang bercorak Buddha Mahayana. Apa dan bagaimana konsep dan misi pembangunan Pura Goa Gajah tersebut?

Tiga bentuk bangunan keagamaan di Pura Goa Gajah ini sungguh sangat menarik untuk dijadikan bahan renungan di zaman modern dengan teknologi hidup yang serba canggih. Yang patut dikaji adalah sikap toleransi leluhur orang Bali pada zaman lampau itu. Agama Hindu sekte Siwa Pasupati memang ada perbedaannya dengan agama Hindu Siwa Siddhanta. Tetapi substansi keagamaan Hindu tersebut adalah sama bersumber pada Weda. Hakikat sejarah munculnya agama Buddha pun berasal dari proses pengamalan ajaran suci Weda. Ajaran Hindu Siwa Pasupata menekankan pada arah beragama ke dalam diri sendiri. Arah beragama Hindu itu ada dua yaitu Niwrti Marga dan Prawrti Marga. Niwrti Marga adalah arah beragama dengan memprioritaskan penguatan hati nurani, sedangkan Hindu Siwa Siddhanta lebih menekankan pada Prawrti Marga dengan orientasi beragama ke luar diri. Namun bukan berarti tidak menggunakan cara Niwrti. Hanya perbedaan pada penekanannya saja.

Cara Niwrti ditempuh untuk mencapai keadaan yang ”Pasupata”. Pasu artinya hawa nafsu kebinatangan. Sedangkan kata Pata berasal dari kata Pati artinya Raja atau penguasa. Pasupata atau Pasupati artinya proses pemujaan Tuhan untuk dapat menguasai nafsu yang identik dengan sifat-sifat hewan. Barang siapa yang mampu menguasai nafsu yang identik dengan sifat-sifat hewan itu dialah yang akan dapat mencapai Siwa secara bertahap seperti yang dinyatakan dalam Wrehaspati Tattwa 50. Kalau sudah dapat menguasai diri sendiri maka proses hidup selanjutnya akan lebih lancar dalam menempuh cara Prawrti Marga.

Agama Hindu sekte Siwa Siddhanta seperti yang dianut oleh umat Hindu di Bali pada umumnya memiliki tujuan yang sama dengan Hindu Siwa Pasupata itu. Bedanya hanya penekanannya saja. Kata Siwa Siddhanta berarti sukses mencapai Siwa yang terakhir atau tertinggi. Jadinya dalam satu sekte saja agama Hindu memberikan kebebasan pada umatnya untuk memilihnya. Di Pura Goa Gajah, kedua cara itu dapat hidup berkelanjutan dan umat tidak dipaksa harus ikut ini atau itu. Umat dipersilakan secara mandiri untuk memilihnya atau memadukan semua cara tersebut. Ini artinya penganut Siwa Siddhanta tidak menganggap penganut Siwa Pasupata sebagai penganut sesat. Mereka menyadari substansi ajaran agama Hindu yang mereka anut sama yaitu berdasarkan Weda.

Demikian juga sebaliknya yang menganut Siwa Pasupata tidak menganggap penganut Siwa Siddanta sebagai orang lain. Ini artinya umat Hindu pada zaman dahulu itu benar-benar menghormati privasi beragama sebagai sesuatu yang dijunjung tinggi. Sikap keagamaan umat Hindu yang dicerminkan oleh umat Hindu di masa lampau di Pura Goa Gajah dan sesungguhnya pada peninggalan Hindu kuno yang lainnya di Indonesia. Tentunya akan sangat janggal kalau pada zaman sekarang ada misalnya umat yang bersifat negatif pada orang lain yang berbeda sistem penekanan beragamanya. Umat Hindu di masa lampau terutama para pemimpinnya benar-benar sudah memiliki jiwa besar dalam mengelola perbedaan. Karena perbedaan itu merupakan suatu kenyataan yang universal. Artinya, perbedaan itu akan selalu ada sepanjang masa, di mana pun dan kapan pun. Akan menjadi sesuatu yang tidak produktif kalau ada yang memaksakan agar mereka yang berbeda ditekan dengan cara-cara pendekatan kekuasaan. Menyikapi perbedaan seperti itu sangat tidak sesuai dengan ajaran agama Hindu dan nilai-nilai universal yang dianut oleh dunia dewasa ini.
Demikian juga halnya dengan peninggalan keagamaan Buddha Mahayana di Pura Goa Gajah yang jauh lebih awal berada di Bali. Munculnya Sidharta Gautama sebagai Buddha diawali oleh adanya dua aliran Hindu yaitu Tithiyas dan Carwakas. Aliran Tithiyas dan Carwakas sama-sama meyakini bahwa penderitaan itu karena keterikatan manusia pada kehidupan duniawi yang tidak langgeng ini. Mereka berbeda dalam hal cara mengatasi keterikatan nafsu tersebut. Carwakas memandang agar nafsu tidak mengikat maka nafsu itu harus dituangkan bagaikan menuangkan air di gelas. Dengan nafsu itu terus dipenuhi sesuai dengan gejolaknya maka nafsu itu akan habis dan lenyap maka manusia pun akan bebas dari ikatan hawa nafsu. Sebaliknya aliran Tithyas berpendapat bahwa nafsu itu harus dimatikan dengan menghentikan fungsi alat-alatnya. Agar mata tidak ingin melihat yang baik-baik dan indah-indah saja maka mata dibuat buta dengan cara melihat mata hari yang sedang terik. Lidah dibuat sampai tidak berfungsi. Ada yang sampai membakar kemaluannya agar nafsu seksnya hilang.

Kedua aliran itu membuat umat menderita. Dalam keadaan seperti itulah muncul Sidharta Gautama yang telah mencapai alam Buddha memberikan pentunjuk praktis beragama. Ajarannya adalah Sila Prajnya dan Samadhi. Sila berbuat baik sesuai dengan suara hati nurani. Suara hati nurani adalah suara Atman. Atman adalah bagian dari Brahman. Teknis berbuat baik itu didasarkan pada Prajnya artinya ilmu pengetahuan. Dalam berbuat baik hendaknya bersikap konsisten dengan konsentrasi yang prima. Itulah Samadhi. Inilah inti wacana Sidharta Gautama dalam menyelamatan umat dari perbedaan yang dipertentangkan itu. Setelah seratus tahun Sidharta mencapai Nirwana barulah wacana sucinya itu dikumpulkan menjadi tiga keranjang sehingga bernama Tri Pitaka. Jadinya keberadaan agama Buddha di Pura Goa Gajah substansinya tidaklah berbeda apalagi berlawanan dengan ajaran Hindu Siwa Pasupata maupun Siwa Siddhanta. Tiga corak keagamaan yang ada di Pura Goa Gajah itu memang berbeda tetapi perbedaan itu terletak pada cara atau metodenya saja. Substansi ketiga corak keagamaan Hindu dan Buddha yang ada di Pura Goa Gajah itu sama-sama menuntun umat manusia untuk mencapai hidup bahagia dan sejahtera di dunia dan mencapai alam ketuhanan di dunia niskala.

daftar pustaka:
Suhardana,Komang. 2009. Tri Murti Tiga Perwujudan Utama Tuhan. Jakarta:  Paramita
Cudamani. 1990. Pengantar Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi
Sara Sastra, Gede. 1994. Konsepsi Monotheisme Dalam Agama Hindu.Denpasar: Upasada Sastra

Sekte Aghori makan mayat

Sekte Aghori makan mayat

Aghoris percaya bahwa Shiva diinduksi terbaik dan terburuk di dunia dan tidak ada yang profan, semuanya sakral bagi mereka. Oleh karena itu, apa sekte Hindu lainnya menganggap tidak dapat diterima atau tabu, yang Aghoris menerimanya – yang 'kekuatan gelap' atau 'kotoran' - membawa mereka ke tingkat kesadaran yang lebih tinggi. dibali sekte Aghori hampir mirip dengan Sekte Bhairawa hitam, yang didentikan dengan Panca MA-nya. Mari kita melihat sekilas kehidupan di India mengenai Sekte Aghori.
Sekte Aghori Memakan Mayat Dan Menjadikan Tulang Manusia Sebagai Hiasan
kehidupan Sekte Aghori di India
Sepanjang sejarah kehidupan manusia telah ada segudang praktek kultus dan sekte agama yang aneh, membuat teror, unik bahkan menjijikkan. Mereka melakukan ritual aneh, ritual yang mengganggu, atau keyakinan ekstrim, sebagian kelompok ini telah lama melakukan sesuatu yang misterius dan mengancam keselamatan orang di luar kelompoknya. Sebuah kelompok misterius yang yang mempunyai kebiasaan yang menakutkan, menebarkan kebencian, dan horor, adalah suku mistik aneh dan kanibal yang ada di India dan dikenal sebagai sekte Aghori, atau Sadhu Aghori.
Mereka mendandani diri dengan kain kafan dari mayat atau baju yang ditinggalkan oleh keluarga orang mati, mengolesi diri dengan abu mayat sebagai pelindung dari penyakit, merenungkan mayat dan mengkonsumsi segala sesuatu dari manusia atau hewan daging untuk ekskreta, urine, alkohol – semua bagian dari ritual Aghora, yang secara harfiah berarti non-menakutkan, dan Aghoris adalah praktisi.
Para Sadhu Aghori adalah bagian dari sekte pertapa Hindu, khususnya mereka yang beraliran Shaivites,dimana mereka mengabdikan diri untuk Dewa Siwa, Dewa kematian dan kehancuran yang sering digambarkan sebagai Dewa yang paling menakutkan, di dunia barat disebut sebagai "The Destroyer" dan "The Transformer"

salah satu pengikut Sekte Aghori

Jalan Non-dualitas

Para aghoris harus menghilangkan pikiran Dualitas antara murni dan tidak murni, baik dan buruk; menyangkal kesempurnaan sesuatu akan seperti melecehkan kesucian hidup dalam manifestasi penuh.
Robert Svoboda, seorang penulis Amerika dan dokter ayurvedic dalam bukunya – Aghora II: Kundalini, menjelaskan – “Aghori menetapkan untuk mengatasi keterbatasan manusia dengan menghancurkan internal setiap menahan diri, tidak peduli seberapa kuno atau kuat tabu, dan juga dengan membuat tubuh / pikiran yang mampu mengandung emosional, pengalaman sensorik dan lainnya yang akan mengkonsumsi siapa pun yang tidak disiapkan dengan baik.”
Sekte ini diajarkan oleh seorang pertapa yang bernama Kina Ram, yang dianggap sebagai inkarnasi dari Dewa Siwa dan telah hidup selama 150 tahun pada akhir abad ke-18. Sekte Aghori adalah sebuah sekte yang menyimpang dari kepercayaan Hindu tradisional dimana  mereka tidak membuat perbedaan antara kesucian dan najis. Mereka pada dasarnya percaya bahwa alam semesta adalah non-dualistik, yang berarti bahwa semua kehidupan ini murni semuanya sama dan tidak bisa dibedakan antara satu dengan lainnya, dan bahwa semua manusia adalah bagian dari segala sesuatu yang sama. Menurut keyakinan sekte Aghori, tidak ada apapun di alam semesta ini adalah hal  "baik" atau "buruk," melainkan semuanya adalah bentuk manifestasi dari dewa mereka, dengan demikian semua manusia adalah dewa dan sempurna. Mereka percaya semua manusia, termasuk umat Hindu dan sekte Hindu, hidup di dalam dunia yang penuh dengan ilusi.

Penggunaan Tengkorak Manusia dan Tantra


Setelah dimulai, yang Aghori pergi mencari tengkorak manusia atau 'Kepala', yang merupakan tanda nyata dari Aghori, untuk digunakan sebagai mangkuk. Hal ini diyakini bahwa setelah kematian, prana atau kekuatan hidup dari menempel meninggal di atas tengkorak.

Menggunakan mantra dan persembahan tertentu, terutama alkohol, sebuah Sadhna Aghori memanggil roh untuk kembali ke tubuh, dan mendapatkan kendali atas hal itu, memanfaatkan layanannya. Aghori sadhana termasuk praktek tantra, berbagai bentuk Yoga dan meditasi.

Pengikut sekte Aghori berusaha untuk membebaskan diri dari siklus reinkarnasi dengan menyadari tempat mereka sendiri adalah mutlak. Mereka percaya bahwa mereka adalah bagian dari Dewa Siwa, dan akhirnya akan  melampaui dari tubuh mereka sendiri, atau Shava, untuk inkarnasi dari Dewa Siwa itu sendiri. Untuk mewujudkan ini, mereka harus menjadi acuh tak acuh terhadap segala sesuatu. Mereka harus merangkul kematian, hidup dengan cara menjijikan,kuatan tradisional, dan menolak kesenangan fisik seperti seks, serta menolak emosi seperti kebencian, keserakahan, atau malu.

Demikian juga, mereka tidak ingin meninggalkan tanda-tanda fisik pada dunia dan dengan menghindari gagasan memiliki keluarga dan tempat tinggal. Melalui penyangkalan total dari diri sendiri, menghilangkan rasa tabu, dan menganggap semua sama, Pengikut sekte Aghori percaya bahwa dengan menghilangkan keinginan duniawi dan mencapai pencerahan dengan cara memutus siklus reinkarnasi, maka akan membuat mereka  menjadi bagian dari Dewa Siwa. Orang Aghori juga percaya bahwa cara tercepat untuk mendapatkan  cahaya pencerahan adalah melakukan perjalanan ke dalam kegelapan terdalam pertama, yaitu dengan cara mencari kemurnian kematian dan melakukan apa yang paling di anggap jahat dan kotor.

Ini adalah pendekatan yang sangat tidak lazim, serta keinginan non-dualistik mereka yang aneh untuk melakukan semuanya, bahkan perbuatan tabu, kotor, dan kematian, semua itu yang membentuk dasar dari keyakinan mereka yang sangat mengerikan.
Svoboda menjelaskan dalam bukunya, Aghora: Di Tangan Tuhan: “Aghora adalah pendewaan Tantra ... yang dewa tertinggi adalah ibu dewi ... .Tantra sejauh ini telah dilirik di Barat hanya dalam bentuk yang paling vulgar dan direndahkan nya, diumumkan oleh bajingan yang tidak bermoral yang menyamakan seks dengan kesadaran yang super. Seks memang pusat Tantra, serikat seksual kosmik dualitas yang universal. Tujuan dari Tantra adalah Laya, kembali dari para pencari ke keadaan eksistensi terdiferensiasi.
dokumenter 'Hidup dengan orang mati’ menunjukkan kehidupan Aghori Ramnath, yang diprakarsai oleh guru tantra, dan tinggal di lapangan kremasi dan mengikuti jalan Aghora menjadi satu dengan Shiva, video wawasan tentang sekte ini.


Film dokumenter singkat ini berbicara tentang aghoris dan ritual mereka dan kekuatan yang berada di luar imajinasi manusia.

Setiap Aghori berikut praktek-praktek yang berbeda tergantung pada kemampuannya; satu-satunya faktor umum adalah gelar mereka intensitas dan tekad.
Sekte Aghori mengenakan tulang belulang manusia

Sekte Aghori makan daging manusia

Untuk 12 tahun ia bermeditasi dalam nama Dewa Siwa di dasar kremasi, dianggap sebagai tempat yang ideal untuk menyembah Shiva. Mereka makan daging manusia, yang berfungsi sebagai pengingat kepada Aghori bahwa tidak terdapat perbedaan antara baik atau buruk, daging manusia atau hewan. Perbedaan tersebut hanya menyesatkan, dan jarang melayani tujuan apapun dalam pengembangan spiritual dari jiwa manusia. Ini melambangkan transendensi diri nya lebih rendah dan realisasi yang lebih besar.

Aghoris melakukan ritual yang dikenal sebagai Shava (mayat segar) sadhana yang artinya bermeditasi di atas mayat, mantra nyanyian untuk memohon Smashan Tara (dewi alasan kremasi), siapa yang akan memberkati Aghori dengan kekuatan supernatural jika ritual dilakukan dengan cara yang benar. Aghoris tidak takut mati, mereka minum minuman keras seperti alkohol atau ganja, sebelum melakukan ritual yang membantu mereka untuk mengatasi ketakutan mereka dan melampaui tubuh mereka.

Orang Aghori juga tidak memotong rambut dan jenggot mereka, dibiarkan panjang. Rambut kusut dan gimbal adalah karakteristik dari sadhu Aghori.

Dalam upaya untuk benar-benar menyangkal terhadap diri sendiri dan menerobos emosi mereka membuang jauh-jauh rasa takut dan jijik. Orang Aghori dikenal karena kecenderungan mereka untuk makan apa pun yang sangat menjijikkan dalam jumlah cukup banyak. Apa yang mereka makan cukup membuat orang merasa ngeri dan mual. Mereka makan makanan busuk, sampah membusuk, bahkan kotoran manusia dan meminum air kencing. Mereka makan dengan menggunakan mangkuk yang terbuat dari tengkorak manusia, mereka juga menggunakan tulang manusia untuk menyantap hidangan lainnya.

Bagi sebagian besar manusia ritual ini tentu merupakan sesuatu yang sangat mengerikan, namun sekte Aghori percaya bahwa mengkonsumsi barang-barang menjijikkan adalah merupakan upaya untuk membunuh ego dan menentang persepsi manusia tentang keindahan. Selain itu, karena mereka tidak percaya bahwa apa pun bisa menjadi "suci" atau "tidak suci," maka semuanya tidak ada masalah bagi mereka apakah makan makanan kotor atau sesuatu yang lebih baik bagi manusia. Untuk pengikut sekte Aghori, makan sampah adalah sama seperti makan makanan yang umum di makan oleh manusia.

Tema gelap tentang kematian dan penggunaan sisa-sisa manusia memainkan peranan besar dalam ritual dan kehidupan sehari-hari sekte Aghori. Dalam upaya untuk benar-benar menghadapi kematian dan kerusakan, anggota sekte Aghori umumnya tinggal atau berada dekat dengan lokasi pemakaman atau tempat kremasi jenazah, yang dianggap sebagai tempat suci, di mana di tempat tersebut diyakini sebagai tempat tinggal Dewa Siwa dan mewakili tempat tinggal akhir bagi semua manusia.

Para pengikut sekte Aghori juga mengumpulkan abu pembakaran mayat  untuk melumuri tubuh mereka. Mereka juga sering tidak mengenakan pakaian dan mlumuri tubuhnya dengan abu sisa pembakaran manusia dan hanya mengenakan sobekan kain untuk menutupi bagian pribadi mereka. Mereka juga kadang-kadang mengenakan perhiasan dari pernak-pernik yang terbuat dari potongan tulang manusia, dan beberapa diantara  menggunakan tongkat yang terbuat dari tulang paha manusia. Juga tidak jarang terlihat pengikut sekte Aghori menggunakan mangkuk mengerikan yang dibuat dari tengkorak manusia, yang disebut sebagai  Kapala, mereka menggunakannya  sebagai wadah minum untuk minuman keras, tempat makanan, atau sebagai mangkuk untuk mengemis.

Sekte Aghori dengan ritual Tantra Agni Hotra
Penggunaan organ tubuh mati tidak tidak hanya digunakan sebagai pernak-pernik dan mangkuk, sekte Aghori juga menggunakan mayat sebagai semacam altar yang digunakan sebagai tempat berdoa atau bermeditasi, praktek tersebut dikenal sebagai Shava samskara, mereka percaya bahwa mayat adalah simbol tubuh mereka sendiri. Lebih mengerikan lagi mereka juga melakukan kanibalisme terhadap jasad orang yang telah meninggal. Tindakan kanibalisme tersebut adalah bagian dari ritual mereka dengan tujuan pengobatan dan menunda penuaan, bukan hanya itu juga bertujuan untuk menghadapi dualitas kehidupan dan kematian dan mendapatkan transendensi dari diri sendiri kepada posisi lebih rendah ke dalam kesadaran universal. Daging manusia yang dimakan diambil dari mayat dan kemudian dimakan mentah-mentah, kadang dimasak selayaknya sate, bahkan kadang daging yang mereka makan adalah daging manusia yang sudah membusuk.

Sangat mengerikan dan menjijikkan karena semuanya dilakukan di tempat terbuka,  Mayat-mayat yang mereka makan diambil dari mayat yang hanyut atau mengambang di Sungai suci umat Hindu India yaitu sungai  Gangga. Di India, tidak semua mayat dikremasi, ada sebagian mayat yang tidak dikremasi. Mayat yang tidak dikremasi adalah anak-anak, orang suci, wanita hamil, perempuan yang belum menikah, dan mereka yang telah meninggal karena kusta, bunuh diri, atau digigit ular, maka mereka akan dihanyutkan di  Sungai Gangga, mereka percaya dengan membuang mereka ke sungai gangga maka tubuhnya akan disucikan dari dosa. Dari jasad-jasad yang dibuang ke sungai Gangga itulah sekte Aghori makan.

Tubuh yang dikremasi kadang juga tidak sepenuhnya terbakar dan masih menyisakan bagian tubuh yang utuh, saat sisa tubuh tersebut dibuang ke sungai Gangga dan hanyut terbawa oleh air maka mereka juga mengambilnya. Para pengikut sekte Aghori tersebut kemudian melakukan ritual doa untuk jasad yang diambil,  sebelum menggunakan mayat sebagai altar, memanfaatkan tulang untuk berbagai keperluannya, atau memakan daging mereka.
Mentor penulis Svoboda, Aghori Vimalananda, yang praktek spiritual terbangun Kundalini dan Svoboda ini Aghora trilogi didasarkan pada dirinya, mengatakan "mikroba Extraterrestrial mungkin sedekat planet-planet di tata surya kita sendiri, “Daging, Ikan, anggur, gandum kering dan seks yang semua yang memabukkan, dan tujuan yang memabukkan adalah untuk merangsang saraf Anda untuk dapat menahan kekuatan Kundalini Shakti. Anda dapat menggunakan alkohol dan sisanya untuk membuat kemajuan spiritual cepat hanya jika Anda tahu bagaimana menggunakannya dengan benar, jika tidak, anda hanya mengikat diri Anda lebih erat dengan roda eksistensi.
Sejarah Aghoris –
Benares adalah tempat rumah dan kelahiran Aghoris. Sekte ini merupakan cabang dari terkenal Kapaliks Kashmir Saivism yang membawa tengkorak manusia sebagai simbol sekte. Dalam bentuknya yang sekarang asal-usul sekte dapat ditelusuri ke Baba Kinaram, seorang pertapa Aghori yang tinggal untuk 150 tahun, dan diyakini sebagai inkarnasi Tuhan Shiva. Ada sebuah kuil Kinaram di Varanasi, di mana ia dimakamkan, yang merupakan paling suci untuk Aghoris. Dattatreya yang diyakini sebagai inisiator Aghor tradisi.
Aghoris adalah kelompok yang kuat antara Sadhus di India, hari segelintir tetap yang memimpin kehidupan biasa ini. Motif utama untuk Aghori adalah untuk mencari pembebasan dari siklus tak berujung ini reinkarnasi dan mencapai keselamatan.

Disamping ritual mengerikan yang berhubungan dengan sekte Aghori, mereka juga dikenal mempunyai sihir ampuh untuk penyembuhan. Dukun Aghori yang konon mampu mentransfer penyakit dari pasien  ke dalam tubuh mereka, setelah itu mereka akan mengusir melalui kekuatan magis yang dimiikinya. Menurut ajaran mereka dikatakan bahwa tindakan penyembuhan disukai oleh Dewa Siwa, yang kemudian Dewa Siwa memberikan kekuatan kepada pengikut sekte Aghori penyihir yang bahkan kekuasaannya lebih besar atas alam. Bahkan Dukun Aghori mengklaim bahwa mereka telah berhasil membuat obat ampuh dari minyak yang diambil dari mayat yang mereka kumpulkan, yang konon mampu menyembuhkan segala macam penyakit, bahkan penyakit yang paling menakutkan seperti kanker dan AIDS.
Aghori Baba
Pengikut sekte Aghori banyak ditemukan di India terutama di India bagian utara sepanjang aliran Sungai Gangga, terutama di tempat yang disebut Varanasi, di mana kuil paling suci mereka dibangun. Kuil tersebut dianggap sebagai kuil paling suci dan digunakan untuk menyimpan peninggalan Kina Ram, yang diyakini merupakan inkarnasi asli Dewa Siwa yang mengajarkan sekte Aghori modern