Tampilkan postingan dengan label Perkawinan Adat Bali. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Perkawinan Adat Bali. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 22 Agustus 2015

Grahasta Asrama - Catur Asrama

Grahasta Asrama - Catur Asrama

Grahasta merupakan tahapan kedua dari catur asrama artinya hidup berumah tangga, bersuami istri. 
Pada masa kehidupan Grhasta tujuan hidup diprioritaskan untuk mendapatkan Artha dan memenuhi Kama, oleh karena itu, suatu rumah tangga belum dapat dilaksanakan kalau belum siap dengan sumber Artha berupa pekerjaan yang tetap yang memberi hasil yang memadai untuk menjalankan rumah tangga. Demikian pula dengan Kama yang menyangkut dorongan hidup seperti nafsu haus, lapar dan seks. Dorongan hidup itu harus dipenuhi dengan berlandaskan Dharma. 

Kama adalah salah satu media untuk mendapatkan kebahagiaan dan jangan samapai Kama itu memperalat manusia (sang diri). Sang diri harus mampu membatasi Kama. Manusia tanpa Kama tidak dapat menikmati kebahagiaan sejati dari hidup didunia ini. Akan tetapi Kama tanpa batas dan kendali, maka keindahan dunia ini akan berbalik menjadi sumber kehancuran. 
Demikianlah "hidup dalam Grhasta Asrama, harus berlandaskan Dharma".
Grhasta tanpa berlandaskan Dharma akan mengakibatkan Artha dan Kama yang merupakan prioritas utama dalam Grhasta menjadi sumber kehancuran Grhasta itu sendiri. 

Didalam Agstya Parwa dijelaskan tentang Grhasta Asrama sebagai berikut: 
".....grhasta ta sira mastri pwa sira, mana-madrewya hulun, ityewawadi, mangunaken kayekadharma yathasakti....
Artinya:
Grhasta-lah beliau, beristilah beliau, mempunyai anak, memiliki abdi, memupuk kebajikan yang berhubungan dengan pembinaan diri pribadi (kayikadharma) dengan kekuatan yang ada padanya (yathasakti).

Grahasta Asrama diawali dengan perkawinan. Perkawinan yang baik adalah perkawinan yang sesuai dengan ajaran hindu, sehingga perlu diketahui tentang Perkawinan menurut pandangan hindu itu sendiri.

setelah seseorang dinyatakan melewati Brahmacari, maka akan dilanjutkan dan meningkatkan jenjang kehidupannya ke Grhasta. Setelah masuk kegerbang Grhasta barulah Artha dan Kama menjadi penting. Walaupun demikian untuk mendapatkan Artha dan Kama mereka selalu harus berpegang kepada ajaran Dharma. Dalam masa Grhasta mereka masuk dalam kancah rumah tangga, sudah berkeluarga, sudah beristri dan mungkin juga sudah punya keturuanan. Karena itu sebagai anggota masyarakat, mereka tentu mempunyai bermacam ragam kewajiban, baik kewajiban keagamaan maupun kewajiban kekeluargaan. Dilihat dari segi ini jenjang kehidupan Grhasta merupakan tahapan yang sangat berat tetapi merupakan tugas yang sangat mulia.

Seorang kepala rumah tangga atau Grhasta yang baik tentunya memiliki perencanaan dalam memimpin rumahtangganya. Itu wajib ia lakukan dengan penuh keyakinan dan kesungguhan. Kewajiban Grhasta merupakan ikatan suci (dharma). Kalau ia dapat berhasil melaksnakan kewajibannya iti, ia dapat berhasil mendapatkan rasa bebas dari ikatan. Misalnya kewajiban untuk menyekolahkan putra-putrinya. Ini adalah suatu ikatan namun suci nilainya. Kalau ia taat dan berhasil menyekolahkan putra-putrinya itu, seorang Grhastapun akan mendapatkan suatu rasa bebas dari ikatan. Demikianlah moksa atau kebebasan dari ikatan merupakan kenyataan hidup yang harus diperjuangkan secara bertahap, pasti dan penuh keyakinan. Kalau ikatan demi ikatan dalam hidup ini dapat dilepaskan satu demi satu secara bertahap, maka kebebasan yang paling ideal berupa moksa akan dapat dicapai. Yang perlu diingat disini adalah kebebasanhanya akan dapat dicapai melalui keterikatan.

Setelah hidup berumah tangga sebagai warga Grhasta, mereka lalu memasuki tahapan hidup yang ketiga yaitu Wanaprasta. Dalam hal ini mereka mengasingkan diri dari keramaian hidup bermasyarakan untuk bisa menjauhkan diridari keterikatan kehidupan duniawi. Mereka hidup menyendiri karena itu manfaan dari Artha dan Kama lalu menjadi semakin berkurang. Mereka bahkan sudah berani melepaskan diri dari ikan Artha dan Kama. Dalam masa Wanaprastha ini kegiatan yang banyak dilakukan adalah memusatkan pikirannya hanya kepada Tuhan. Mereka juga sudah melaksanakan tapa, bratha, yoga, dan semadhi.

Rabu, 19 Agustus 2015

Anak Penyelamat Leluhur dari Siksa Neraka

Anak Penyelamat Leluhur dari Siksa Neraka

Anak atau disebut putra merupakan asset bagi orang tua dan leluhur. Anak bukan hanya bertanggungjawab atas perihal urusan kehidupan di dunia nyata bagi orang tua, tetapi ia juga memiliki tanggung jawab terhadap orang tua maupun leluhurnya. Anak memiliki tanggung jawab untuk menyelamatkan roh orang tua dari api neraka. Oleh karena itu anak disebut putra.

Anak keturunan merupakan kelanjutan dari kehidupan atau eksistensi keluarga. Anak dalam Bahasa Kawi disebut “Putra” asal kata dari “Put” (berarti neraka) dan “Ra” (berarti menyelamatkan). Jadi Putra artinya: “yang menyelamatkan dari neraka” (Bhagawan Dwija, 2010).


Seorang anak/putra yang suputra (anak yang baik/mulia) merupakan cahaya keluarga, seperti dinyatakan di dalam Canakya Nitisastra “Bagaikan bulan menerangi malam dengan cahayanya yang terang dan sejuk, demikianlah seorang anak yang suputra yang memiliki pengetahuan rohani, insyaf akan dirinya dan bijaksana. Anak suputra yang demikian itu member kebahagiaan kepada keluarga dan masyarakat” (Canakya Nitisastra III.16). Sebuah keluarga tanpa anak bagaikan sayur tanpa garam, kehidupan pasangan suami istri menjadi hambar tanpa kehadiran seorang anak.

Anak yang suputra akan menjadi sumber kebahagian bagi orang tuanya tetapi sebaliknya anak yang kuputra (anak yang jahat) akan menjadi sumber penderitaan bagi keluarga. Seperti untaian sloka kitab suci yang menyatakan “Seluruh hutan terbakar hangus hanya karena satu pohon kering yang terbakar. Begitulah seorang anak yang kuputra menghancurkan dan memberikan aib bagi seluruh keluarga” (Canakya Niti Sastra Bab III. 15). Oleh karena anak merupakan asset masa depan bagi keluarga, baik semasih di dunia nyata maupun nanti di dunia rohani, maka peliharalah sang anak sejak baru berada dalam kandungan.

Sebuah keluarga yang tidak memiliki anak, maka kelak keluarga/orang tuanya tersebut tidak akan memperoleh surga. Ada banyak kisah di dalam cerita kuno yang berkaitan dengan hal ini. Di mana dikatakan orang tua yang tidak memiliki keturunan digantung di atas bambu di bawahnya terdapat berbagai binatang yang mengerikan. Seperti diceritakan di dalam Mahabharata bagian Adi Parwa versi Jawa Kuno.

Dalam Adiparwa (Bab. V) diceritakan pertemuan Sang Jaratkaru dengan roh leluhurnya yang hampir jatuh ke neraka. Leluhumya berkata: Nahan ta hetu mami n pegat sangkeng tibeng narakolaka;tattwanikang petung sawilih, hana wangsa mami sakiki, jaratkaru, ngaranya, ndan moksa wih taya, mahyun lupeteng sarwa janmabandhana, ta tan pastry, ya sukla brahmacari.
Artinya :
Beginilah sebabnya mengapa saya putus hubungan dengan dunia roh, kini tergantung pada sebilah bambu, hampir-hampir jatuh ke dalam neraka. Adanya sebilah bambu ini ialah bahwa saya masih mempunyai seorang keturunan yang bernama Jaratkaru, (tetapi) ia berkepentingan untuk mencari moksa melepaskan diri dari ikatan hidup kemanusiaan, la tidak mau kawin, ia menjalankan sukla brahmacari.

Kata-kata leluhurnya ini dijawab, oleh Sang Jaratkaru: Hana n pwa marganta muliheng swarga, tan sangsaya rahadyan sanghulun kabeh, marya nghulun brahmacarya, ametanakbi panaka ni nghulun.
Artinya:
Ada jalan untuk tuan pergi ke sorga. Janganlah tuan ragu dan takut. Hamba akan berhenti menjalankan brahmacari. Hamba akan kawin dan mempunyai anak. Dari penggalan cerita di atas dapat diartikan, bahwa seorang yang tidak memiliki keturunan kelak leluhurnya terancam masuk neraka. Seperti petikan cerita di atas roh leluhur Sang Jarat Karu terancam masuk neraka, karena ia tidak memiliki putra/anak karena Sang jarat Karu melakukan Sukla Brahmacari. Oleh karena roh leluhurnya terancam masuk neraka, maka Sang Jarat Karu memutuskan untuk tidak melakukan Sukla Brahmacari dan bersedia untuk menikah untuk mempunyai anak. Lalu apa yang dimaksud Sukla Brahmacari? Lontar Wrtisasana menjelaskan “Suklabrahmacari ta pa stri sangkan rare, tekang kapatinira… Suklabrahmacari ialah orang yang tidak kawin dari kecil sampai meninggal. (penggalan sebuah sloka Kitab Wrtisasana (Kirtya No. IIb. 76 halaman 3). Sukla Brahmacari dalam ajaran Kristen dikenal dengan selibat.

Sukla Brahmacari/selibat hanya boleh dilakukan apabila terikat oleh sebuah janji dan juga kewajiban. Di dalam kisah Mahabharata salah satu tokoh yang melakukan Sukla Brahmacari adalah Rsi Bhisma atau Bhagawan Bhisma, sehingga beliau bisa hidup lama. Saudara (tiri) Rsi Bhisma adalah Citrānggada dan Wicitrawirya yang melahirkan Pandu, ayah Panca Pandawa dan Drestarastra, ayah Korawa.

Menurut cerita Mahabharata, Sang Pandu (di Indonesia sering disebut Pandu Dewanata) ia pernah bermimpi ditolak masuk surga, karena sang baginda tidak memiliki anak. Hal ini akibat kutukan Rshi Kindama. Diceritakan ketika Sang Pandu sedang berburu, tanpa sengaja membunuh seorang Rsi. Ketika itu Rshi Kindama yang sedang bersenggama bersama istrinya yang menyamar menjadi sepasang kijang dipanah oleh Sang Pandu. Sebelum wafat, Rshi Kindama mengutuk Sang Pandu bahwa apabila ia hendak bersenggama dengan salah satu istrinya, maka ia akan meninggal.

Oleh karena kutukan tersebut, Sang Pandu tidak lagi memerintah Hastina Pura, tampuk pemerintahan diserahkan kepada Sang Drestarastra, kakak sang Pandu. Setelah menyerahkan pemerintahan kepada kakaknya, sang Pandu melakukan yoga semadi untuk pergi ke sorga bersama para Brahmana. Namun sayang ketika di dalam perjalanan menuju ke surga sang Pandu tidak di izinkan ikut serta ke surga.

“Wahai kau anakku, akan kemanakah engkau?” tanya salah seorang Brahmana, Pandu Menjawab “Hamba mau ikut bersama pendeta”, “Kami akan pergi ke surga, engkau tidak boleh ikut pergi bersama kami, karena engkau tidak memiliki putra,” kata sang Brahmana. Setelah mendapat jawaban seperti itu sang Pandu amat sedih hatinya, kemudian sang baginda kembali lagi ke kediamannya.

Setelah sampai di kediamannya sang Pandu dilanda kegalauan mengingat dirinya tidak akan bisa masuk surga, karena tidak memiliki anak. Sang Pandu meminta janji kepada kedua istrinya yang pernah mereka ungkapkan ketika awal pernikahan mereka. Prtha (Dewi Kunti) anak Raja Kuntibhoja berjanji memberi 3 bagian dan dewi Madri adik salya (narasoma) anak seorang raja dari kerajaan Madrapati berjanji meberi 2 bagian kepada suaminya Sang Pandu.

Dalam suasana yang membingungkan, Dewi Kunti teringat akan sebuah anugrah Mantra Sakti yang diberikan oleh Rsi Durwasa, anugrah Mantra Sakti tersebut diberikan kepada Dewi Kunti ketika masih gadis. Fungsi mantra itu untuk mengarad/memanggil para dewa. Digunakanlah mantra sakti itu untuk memanggil Bhatara Dharma, maka dianugrahi seorang anak ahli agama (dharma), diberi nama Yudistira (Dharmawangsa). Kemudian selanjutnya Dewi Kunti memanggil Bhatara Bayu, maka dianugrahi anak yang kuat laksana gunung yang diberi nama Bhima. Kemudian yang terakhir Dewi Kunti memanggil Bhatara Indra maka dianugerahilah anak ahli perang yang diberi nama Arjuna.

Mantra sakti yang dimiliki oleh Dewi Kunti juga diberikan kepada Dewi Madri, kemudian Dewi Madri memanggil Dewa Aswin (dewa kembar) maka dianugerhilah anak yang cerdas dan tampan yang diberi nama Nakula dan Sahadewa.

Meskipun kembar, Nakula dikisahkan memiliki wajah yang lebih tampan daripada Sahadewa, sedangkan Sahadewa lebih pandai daripada kakaknya itu. Terutama dalam hal perbintangan atau astronomi, kepandaian Sahadewa jauh di atas murid-murid Resi Drona lainnya. Selain itu ia juga pandai dalam hal ilmu peternakan sapi. Sebenarnya yang tampan dari kelima putra sang Pandu bukanlah Arjuna melainkan Nakula.

Apa yang pernah dijanjikan oleh kedua istrinya maka telah terpenuhi, sehingga berbahagialah Sang Pandu. Suatu ketika sang Pandu lupa akan kutukan Rshi Kindama kemudian ia memeluk istrinya Dewi Madri oleh karena tidak kuat menahan nafsu asmara yang sedang bergelora, maka seketika itulah sang Pandu mangkat, sedangkan Dewi Madri ikut menceburkan diri ke dalam api pembakaran mayat suaminya sebagai bukti kesetiannya.

Menceburkan diri ke dalam api sang suami dalam tradisi Hindu kuno hal itu disebut Sati (ritual sati). Tradisi ini di Bali dihapuskan oleh Belanda dan di India dihapuskan oleh Inggris pada tahun 1829 karena dianggap bertentangan dengan kemanusiaan.

Berkaca pada Panca Pandawa, untuk memajukan suatu bangsa dan Negara kelima karakter yang dimiliki oleh Panca Pandawa tersebut harus ada dalam sebuah Negara. Dimana harus ada ahli hukum (agama), ahli perang, sumber kekuatan, wibawa pemerintah dan ahli ekonomi. (kebajikan, ketangkasan, kekuatan, wibawa, kecerdasan). Demikianlah mengapa anak dikatakan sebagai anugrah atau kekayaan yang tak ternilai yang akan menyelamatkan orang tua di dunia nyata dan di dunia rohani. Oleh karena demikian berartinya seorang anak, sehingga ada yang beranggapan bahwa banyak anak banyak rezeki.

Demikian tentang Anak Penyelamat Leluhur dari Siksa Neraka yang ditulis oleh mertamupu dalam majalah raditya, semoga bermanfaat.

Minggu, 16 Agustus 2015

Sang Jarat Karu pesan bagi Anda untuk segera menikah

Sang Jarat Karu pesan bagi Anda untuk segera menikah


Epos Mahabharata dibagi menjadi delapan belas parwa, yang dikenal dengan Astadasaparwa. Parwa-parwa tersebut merupakan prosa yang diadaptasi dari bagian epos-epos dalam bahasa Sanskerta dan juga menunjukkan ketergantungannya dengan kutipan-kutipan dari karya asli bahasa Sanskerta tersebut. Delapan belas parwa tersebut secara berurutan mulai dari: Adiparwa, Sabhapawra, Wanaparwa, Wirataparwa, Udyogaparwa, Bhismaparwa, Dronaparwa, Karnaparwa, Salyaparwa, Sauptikaparwa, Striparwa, Santhiparwa, Anusasanaparwa, Aswamedhikaparwa, ramaparwa, Mausalaparwa, Mahaprasthanikaparwa, dan Swargarohanaparwa. Delapan belas parwa tersebut, Adiparwa merupakan parwa pertama, di dalamnya mengandung berbagai cerita, salah satunya Carita Jaratkaru yang seringkali dipakai acuan dalam kehidupan masyarakat Bali.

Carita Jaratkaru ini menjadi menarik, karena selain menjadi acuan dalam kehidupan masyarakat Bali, teks-teks parwa (prosa) semacam ini dibaca melalui sajian phalawakya, sebuah pembacaan teks dengan irama menarik (khusus), serta diikuti oleh terjemahan memakai bahasa Bali kepara (umum). Phalawakya adalah pembacaan teks-teks dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno) yang berbentuk parwa (prosa) disertai dengan terjemahan. Pembacaan teks parwa semacam ini telah diwarisi sejak dahulu terutama dalam aktivitas keagamaan, yaitu untuk mengiringi upacara pitra yadnya yang disebut "mamutru".

Carita Jaratkaru secara gramatikal dapat dipilah ke dalam dua pemaknaan sebagai kata carita dan jaratkaru. Carita dalam konteks kehidupan masyarakat Bali sering juga disebut dongeng (satua), merupakan genre cerita prosa rakyat. Sedangkan Jaratkaru adalah tokoh yang unsur katanya secara etimologi dipilah menjadi:
  • jarat berarti kejatuhan/sengsara, dan 
  • karuna berarti perbuatan luhur, cinta kasih atau belas kasihan. 
Dengan demikian Jaratkaru dapat diberikan arti lebih luas menunjuk kepada orang yang punya keluhuran budi sehingga peduli dan merasa belas kasihan kepada setiap orang yang sedang susah atau mengalami penderitaan.

sekilas cerita Sang Jaratkaru


Tersebutlah seorang pertapa sakti yang baik budinya bernama Sang Jaratkaru. Setiap hari pekerjaannya mengambil biji butir-butir padi yang tersebar dijalan. Biji butir-butir padi itu dikumpulkannya dan dicucinya, kemudian ditanaknya dan dipergunakan untuk korban kepada para Dewa. Demikianlah hal yang ia kerjakan tiap hari. Ia tak memikirkan istri, malahan hanya bertapa dan memuja para Dewa yang ia lakukan. Karena rajin bertapa, ia pun menguasai berbagai macam mantra. Ia diperbolehkan masuk ke segala tempat yang ia kehendaki.

Suatu hari, ia berziarah ke Ayatanasthana, tempat di antara surga dan neraka, dimana leluhurnya menunggu apakah ia akan naik ke surga atau masuk neraka. Ketika berziarah ke Ayatanasthana, Ia melihat leluhurnya tergantung pada sebuah buluh petung, mukanya tertelungkup , kakinya diikat, dibawahnya terdapat sebuah jurang dalam jalan ke neraka. Orang akan tepat masuk kedalamnya, kalau buluh tempat bergantung itu putus. Seekor tikus tinggal di dalam buluh ditepi jurang itu, setiap hari mengerat buku batang.
Sang Jaratkaru, berlinang-linang air matanya melihat hal itu. Maka timbulah belas kasihannya. Sang Jaratkaru pun mendekati leluhurnya yang berpakaian sebagai seorang petapa, berambut tebal, berpakaian kulit kayu dan tiada makan selamanya.


Sang Jaratkaru bertanya kepada leluhur itu,
Apakah sebabnya tuanku sekalian bergantung pada buluh yang hampir putus oleh gigitan tikus, sedang dibawahnya jurang yang tiada terduga dalamnya?


Leluhumya berkata:
Nahan ta hetu mami n pegat sangkeng tibeng narakolaka;tattwanikang petung sawilih, hana wangsa mami sakiki, jaratkaru, ngaranya, ndan moksa wih taya, mahyun lupeteng sarwa janmabandhana, ta tan pastry, ya sukla brahmacari.
Artinya :
Beginilah sebabnya mengapa saya putus hubungan dengan dunia roh, kini tergantung pada sebilah bambu, hampir-hampir jatuh ke dalam neraka. Adanya sebilah bambu ini ialah bahwa saya masih mempunyai seorang keturunan yang bernama Jaratkaru, (tetapi) ia berkepentingan untuk mencari moksa melepaskan diri dari ikatan hidup kemanusiaan, la tidak mau kawin, ia menjalankan sukla brahmacari.

Kata-kata leluhurnya ini dijawab, oleh Sang Jaratkaru:
Hana n pwa marganta muliheng swarga, tan sangsaya rahadyan sanghulun kabeh, marya nghulun brahmacarya, ametanakbi panaka ni nghulun.
Artinya:
Ada jalan untuk tuan pergi ke sorga. Janganlah tuan ragu dan takut. Hamba akan berhenti menjalankan brahmacari. Hamba akan kawin dan mempunyai anak.

Demikianlah kata Sang Jaratkaru, pergilah ia mencari istri yang senama dengannya. Ia pergi ke semua penjuru, tetapi tidak menemukan istri yang senama dengannya. Karena tidak tahu harus berbuat apa lagi, ia pun mencari pertolongan kepada bapaknya supaya dapat menghindarkan dirinya dari sengsara. Masuklah ke hutan sunyi, menangislah ia sambil mengeluh kepada semua Dewata. 
Berkatalah ia pada semua makhluk, “Hai segala makhluk termasuk makhluk yang tidak bergerak, saya ini Jaratkaru seorang brahmana yang ingin beristri. Berilah saya istri yang senama dengan saya, biar saya mempunyai anak, supaya leluhur saya bisa pulang ke sorga.” 

Tangis Sang Jaratkaru itu terdengar oleh para naga. Sang Naga Basuki pun mencari Sang Jaratkaru dan memberikan adiknya Sang Naga. Sang Jaratkaru hanya berkenan memperistri perempuan yang ‘senama’ atau mempunyai kesamaan dengan dirinya, yaitu perempuan yang punya rasa belas kasih dan berbudi luhur sehingga memungkinkan terjadinya keseimbangan dan keselarasan hidup. 

Dari perkawinan inilah Sang Astika lahir menandai keberhasilan perkawinan Sang Jaratkaru dengan Nagini Jaratkaru yang dapat membebaskan kedua pihak leluhurnya. Yayawarabrata (ayahnya Jaratkaru) melayang lepas dari gantungan buluh petung, dan para ular (saudara-saudaranya Nagini Jaratkaru) terbebas dari upacara sarpha yadnya (korban ular). 

Carita Jaratkaru mengungkapkan persoalan dilematis, merujuk pilihan hidup brahmacari dari Sang Jaratkaru. 
  1. Di satu sisi Sang Jaratkaru komitmen ingin melakukan sukla brahmacari sesuai dengan harapan dan cita-citanya dari kecil. Cita-cita brahmacari atau brāhmacarya mempunyai misi suci dan mulia, yaitu membujang dengan pikiran terbebas dari pemikiran tentang seks atau hubungan fisik dengan lawan jenis. Pembebasan diri dari pemikiran tentang seks ini merupakan salah satu pengekangan indria, karena pikiran-pikiran yang membelenggu tentang kenikmatan jasmani menurutnya hanya menyisakan sedikit ruang bagi pikiran-pikiran mulia. 
  2. Di sisi lain brahmacari sebagai pembujangan seumur hidup yang dilakukan Sang Jaratkaru berkonskuensi memutus tali hubungan antara leluhur dengan keturunannya. Ini berarti ia telah membuat kebuntuan proses reinkarnasi tempat (numitis) bagi leluhurnya yang telah disucikan/meninggal. 

Lalu apa yang dimaksud Sukla Brahmacari? 

Lontar Wrtisasana menjelaskan “Suklabrahmacari ta pa stri sangkan rare, tekang kapatinira… Suklabrahmacari ialah orang yang tidak kawin dari kecil sampai meninggal. (penggalan sebuah sloka Kitab Wrtisasana (Kirtya No. IIb. 76 halaman 3).

Inilah yang menjadi inti persoalan Carita Jaratkaru sehingga setiap orang diharapkan berketurunan karena berkaitan dengan pemujaan leluhur. Sebutan anak di Bali sering disebut "putra", dalam bahasa Sanskerta berarti penyelamat.

Dengan demikian mempunyai anak menurut pandangan Hindu selain bertujuan untuk meneruskan keturunan juga menyelamatkan leluhur. Dalam Slokantara bahkan disebutkan "
yan hana wong agawe yadnya satus alah ikang dening anak suputra",
artinya:
lebih utama mempunyai seorang anak yang pandai dan berbudi (suputra) daripada melakukan seratus kali yadnya/korban
Pentingnya berketurunan ini secara implisit disajikan melalui karya cerita yang kemudian dijadikan mitos pengukuhan bagi masyarakat Bali khususnya. Ketiadaan anak niscaya akan memutus lingkaran moral yang indah, bahwa hubungan kehidupan yang seharusnya tidak boleh terputus antara anak dengan leluhurnya. 

Esensi cerita ini sampai kini masih diterima oleh masyarakat Bali terutama berhubungan dengan pemujaan leluhur. Meskipun pemujaan kepada leluhur bukan merupakan pemujaan tertinggi dalam konsep pemujaan Hindu, namun menyembah leluhur akan memperkuat penyembahan kepada Dewa manifestasi Tuhan Yang Mahaesa. 

Pitra puja, yaitu penghormatan/pemujaan leluhur yang telah meninggal, yakni sesuai garis purusa yang distanakan pada tempat-tempat, seperti; sanggah/merajan, pura dadia, panti, paibon yang tergolong pura kawitan (pura leluhur). Pemujaan leluhur ini merupakan kepercayaan dan praktik berhubungan dengan pendewaan orang-orang yang sudah meninggal dalam suatu komunitas, khususnya dalam hubungan kekeluargaan. 

Bentuk teks Carita Jaratkaru disajikan dengan menggunakan bahasa Jawa Kuno, meskipun masih terlihat ketergantungannya dengan teks asli dalam bahasa Sanskerta. Munculnya kutipan bahasa Sanskerta ini dapat memperkuat/mempertegas maksud sekaligus mendapat penjelasan lebih jauh dalam kalimat bahasa Jawa Kuno selanjutnya. Besarnya pengaruh bahasa Sanskerta terhadap bahasa Jawa Kuno banyak dipengaruhi oleh faktor kesamaan budaya antara corak budaya kerajaan di Jawa dengan corak budaya India yang berlatar Hindu. Tema cerita ini mengandung pemahaman tentang ruwatan, yaitu pembebasan seseorang dari penderitaan. Kemudian amanat yang ingin disampaikan oleh cerita ini adalah tuntunan prilaku bagi seorang anak agar senantiasa menjaga keselarasan dengan orang tua (leluhur). 

Selain itu ada suatu pesan yang hendak disampaikan dalam cerita ini mengenai Sukla Brahmacari. Jika seseorang belum siap untuk melakukan pengekangan terhadap indriya, jangan mencoba untuk nyukla brahmacari. Untuk itu tahapan-tahapan dalam Catur Asrama sangat penting untuk diperhatikan dan dilaksanakan. Mengenai Jaratkaru yang menginginkan istri yang senama dengannya jika dianalisis bahwasanya seseorang harus pandai memilih calon pendamping hidup dengan memperhitungkan bibit, bebet dan bobotnya.

Dari penggalan cerita di atas dapat diartikan, bahwa seorang yang tidak memiliki keturunan kelak leluhurnya terancam masuk neraka. Seperti petikan cerita di atas roh leluhur Sang Jarat Karu terancam masuk neraka, karena ia tidak memiliki putra/anak karena Sang jarat Karu melakukan Sukla Brahmacari. Oleh karena roh leluhurnya terancam masuk neraka, maka Sang Jarat Karu memutuskan untuk tidak melakukan Sukla Brahmacari dan bersedia untuk menikah untuk mempunyai anak.

Jumat, 17 Juli 2015

Ngaten Pade Gelahang

Ngaten Pade Gelahang

Pengertian wiwaha atau nganten artinya perkawinan suatu gejala sosial masyarakat yang memasuki Grahasta Asrama dalam Catur Asrama. Perkawinan menurut Hindu adalah perintah agama yang dianggap suatu jalan untuk melepaskan derita leluhurnya/ orang tuanya yang telah meninggal.
Ada beberapa istilah yang dipergunakan untuk menyebut bentuk perkawinan Pada Gelahang seperti, perkawinan negen dua, mapanak bareng, negen dadua mepanak bareng, nadua umah, makaro lemah, magelar warang, ada juga yang menyebutkan lumayan panjang seperti : perkawinan nyentana (nyeburin) dengan perjanjian tanpa upacara mepamit. Apapun istilah yang diperlukan pada dasarnya mengandung makna yang sama. 


Dalam konteks perkawinan yang dilangsungkan umat hindu, istilah-istilah tersebut mengandung makna, perkawinan yang dilangsungkan yang dilangsungkan sesuai ajaran agama hindu dan hukum adat Bali, yang tidak termasuk perkawinan biasa (dikenal pula dengan sebutan “kawin keluar”) dan juga tidak termasuk perkawinan nyentana (dikenal pula dengan sebutan kawin kejeburin atau “kawin kedalam”), melainkan suami dan istri tetap berstatus kapurusa dirumahnya masing-masing, sehingga harus mengemban dua tanggug jawab dan kewajiban (swadarma), yaitu meneruskan tanggugjawab istri dan juga meneruskan tanggug jawab suami, sekala maupun niskala, secara terus menerus atau dalam jangka waktu tertentu, tergantung dari kesepakatan pasangan suami istri beserta keluarganya.

Menurut Ida Bagus Sudarsana, seorang tokoh Agama Hindu Dibali mengemukakan bahwa
"perkawinan dengan sistem makaro lemah atau madua umah ini sangat didasarkan oleh kekerabatan yang sama, karena waris kewaris dikemudian hari. Perkawinan ini terjadi karena dari kedua pihak keluarga sama-sama tidak memiliki keluarga pewaris yang lain yang berhak serta berkewajiban pada masing-masing keluarga tersebut. Pada pewaris nanti diharapakan dari keturunan sang pengantin diberikan hak dan kewajiban masing-masing. Perkawinan ini juga berdasarkan cinta sama cinta, suka sama suka dan mendapat persetujuan dari kedua keluarga".

Walaupun dikenal banyak istilah untuk menyebut bentuk perkawinan ini, dalam uraian selanjutnya akan dipergunakan perkawinan Pada Gelahang, yang berarti duenang sareng atau “memiliki bersama”. Dipilihnya istilah ini disebabkan 2 hal yaitu :
  1. Istilah ini mudah dimengerti karena sudah umum dipergunakan dalam kehidupan bermasyarakat.
  2. Istilah ini juga sejalan dalam salah satu prinsip dasar dalam mewujudkan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat dibali, yaitu duenang sareng atau “memiliki bersama”, yang mengandung makna “saling menghargai”. (Dr.Wayan P. Windia,SH.,M.SI, dkk,2008:23-26)

Faktor Penyebeb Perkawinan Pada Gelahang

Perkawinan Pada Gelahang oleh pasangan calon pengantin beserta keluarganya, disebabkan karena pasangan calon pengantin terlahir sebagai anak tunggal dirumahnya masing-masing, sehingga tidak mungkin melihat bentuk perkawinan biasa atau bentuk perkawinan nyentana. Beberapa pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan Pada Gelahang karena saudara kandungnya diyakini tidak mungkin mengurus dan meneruskan warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya.

Berdasarkan beberapa contoh pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan Pada Gelahang, dapat diketahui bahwa faktor yang membelakangi pasangan pengantin dan keluarga sepakat melangsungkan perkawinan Pada Gelahang adalah :
  1. Adanya kekhwatiran warisan yang ditinggalkan oleh orang tua dan leluhur , baik yang berwujud tanggug jawab atau kewajiban (swadharma) maupun hak (swadikara), tidak ada yang mengurus dan meneruskan.
  2. Adanya kesepakatan di antara calon pengantin beserta keluarganya, untuk melangsungkan perkawinan Pada Gelahang.
Munculnya kekhwatiran bahwa warisan yang ditinggalakan oleh orang tua dan leluhurnya tidak ada yang mengurus dan meneruskan, didasarkan atas dua hal. Pertama, calon pasangan suami istri adalah anak tunggal dirumahnya masing-masing. Kedua. Adanya keyakinan bahwa saudaranya yang lain, tidak mungkin mengurus dan meneruskan warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya, karena sesuatu sebab tertentu seperti : sakit yang tidak mungkin disembuhkan, tidak dikaruniai keturunan atau karena sudah melangsungkan perkawinan biasa (kawin keluar).

Proses Melangsungkan Perkawinan Pada Gelahang

Cara Melangsungkan Perkawinan

Seperti halnya perkawinan umumnya, Nganten Pade Gelahang ada dua cara melangsungkan perkawin yang lazim dilaksanakan berdasarkan hukum adat Bali, yaitu 
  1. Perkawinan dengan cara memadik (meminang), dan
  2. Perkawinan dengan cara ngerorod (lari bersama).
Tata cara melangsungkan pepadikan dalam perkawiana biasa atau perkawinan nyentana, dengan beberapa pembicaraan tambahan berupa kesepakantan tambahan terkait dengan pelaksanaan upacara perkawinan dan keberadaan anak-anak (keturunan) yang dilahirkan di kemudian hari.

Persamaannya antara lain dilaksanakan sesuai tata cara yang sudah lazim berjalan seperti (memadik) sesuai dengan ajaran agama hindu. Pembicaraan dimulai dari kedua calon pengantin, dilanjutkan dengan melibatkan orang tua kedua belah pihak terakhir melibatkan keluarga yang lebih luas serta disaksikan oleh prajuru (perangkat pimpinan) banjar atau desa pakraman masing-masing. Materi pembicaraan tambahan mengenai pelaksanaan upacara perkawinan dan keberadaan anak-anak (keturunan) yang dilahirkan di kemudian hari , dapat dijelaskan sebagai berikut. (Dr.Wayan P.Windia, SH.,M.Si,dkk,2008:51-52)

Upacara perkawinan

Dalam hal melangsungkan perkawinan biasa, keluarga laki-laki relative lebih sibuk dibandingkan dengan keluarga perempuan, karena upacaranya dilangsungkan di tempat kediaman pengantin laki-laki. Sebaliknya dalam melangsungkan perkawinan nyentana, keluarga perempuan relatif lebih sibuk karena berbagai hal yang harus disiapkan dan dilaksanakan terkait dengan pelaksanaan upacara perkawinan di tempat kediaman perempuan, menjadi tanggung jawab keluarga perempuan, sementara keluarga laki-laki hanya bersikap nodia atau mengikuti rangkaian upacara sesuai tata urutan penyelenggaraan upacara perkawinan menurut Agama Hindu dan hukum adat Bali.

Dalam hal melangsungkan perkawinan Pada Gelahang, kesibukan tampak dikedua belah pihak, baik keluarga laki-laki, maupun keluarga perempuan. Hal ini disebabkan karena semua pasangan pengantin yang memilih bentuk perkawinan Pada Gelahang sepakat melangsungkan upacara perkawinannya (upacara byakaonan) di dua tempat. Ditempat kediaman suami dan di tempat kediaman istri, pada hari yang sama. Soal di tempat mana dilaksanakan lebih dulu, lagi-lagi tergantung kesepakatan kedua belah pihak beserta keluarganya. Ada yang melangsungkan melangsungkan upacara di tempat kediaman suami lebih dulu, kemudian dilanjutkan dengan upacara yang sama di tempat kediaman istri, atau sebaliknya, ditempat kediaman istri pada pagi hari, kemudian pada sore hari atau pada hari yang lain, dilanjutkan dengan upacara yang sama ditempat kediaman suami.

Semua pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan Pada Gelahang, tidak melanjutkanya dengan melaksanakan upacara mapejati di tempat pemujaan keluarga (sanggah). Selain itu, semua pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan Pada Gelahang, juga merumuskan kesepakatan keluarga mengenai masa depan kehidupan pasangan suami istri ini, pada waktu dilaksanakannya pembicaraan meminang (memadik) mengenai bentuk dan substansi pokok kesepatan keluarga yang dimaksud, tampak seperti di uraikan di bawah ini.( Dr.Wayan P.Windia, SH.,M.Si,dkk, 2008: 52-53)

Kesepakatan Keluarga

Adanya kesepakantan calon pengantin dan keluarganya bahwa mereka akan melangsukan perkawinan Pada Gelahang, merupakan salah satu unsur penting dapat dilangsungkannya perkawinan yang dimaksud. Rintisan kearah tercapainya kesepakatan biasanya telah dimulai secara informal oleh orang tuan masing-masing, semasa calon pengantin masih berstatus berpacaran (magelanan). Apabila peluang dianggap terbuka, barulah melanjutkan dengan pembicaraan yang lebih formal, pada waktu pembicaraan antara orang tua kedua belah pihak. Kesepakatan yang di dapat pada waktu pembicaraan informal ini diteruskan dalam penentuan formal, yaitu pada waktu melangsungkan Pepandikan (meminang). Disaksikan keluarga yang lebih luas dan perangkat pimpinan (prajuru) banjar atau Desa Pakraman.

Lebih dari itu, kesepakan keluarga mengenai bentuk perkawinan Pada Gelahang yang dipilih, tata cara melangsungkannya, tanggung jawab (swadarma) para pihak dikemudian hari terhadap kelurga dan orang tua masing-masing, serta keberadaan anak-anak (keturunan) yang dilahirkan, pada umumnya disampaikan secara lisan dengan disaksikan oleh prajuru adat dan keluarga besar masing-masing. Hanya beberapa keluarga saja yang membuat kesepakan yang dituangkan dalam bentuk perjanjian atau pernyataan tertulis.( Dr.Wayan P.Windia, SH.,M.Si,dkk,2008:53-54)

Administrasi Perkawinan

Perubahan signifikan dalam hubungan dengan melaksanakan perkawinan dan perceraian diBali, terjadi setelah berlakunya U.U. No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Perubahan terutama tampak pada persyaratan perkawinan dan perceraian serta penyelesaian administrasi atau akte perkawinan dan akte perceraian bagi pasanagan suami istri yang bercerai. Walaupun pada awal berlakunya, ketentuan ini tidak efektif, tetapi sekarang ini tidak ada pasangan suami istri yang telah kawin, tidak memiliki akte perkawinan. Demikian pula halnya dengan akte perceraian bagi pasangan suami istri yang bercerai.

Akte perkawinan bagi pasangan suami istri yang memilih bentuk perkawinan nyentana, juga dibuat sesuai dengan tata cara pembuatan akte perkawianan yang berlaku secara nasional, dengan catatan yang menerangkan bahwa “pihak istri yang berkedudukan sebagai purusa”.

Akte perkawinan untuk bentuk perkawianan Pada Gelahang, sampai sekarang belum ada persamaan persepsi, sehingga belum beragam. Hal itu dapat diketahui dari beberapa akte perkawinan pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan Pada Gelahang, yang dilangsungkan sebelum maupun sesudah berlakunya undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan.

Keanggotaan Didesa Pakraman

Berkaitan dengan domisili sesudah perkawinan dilangsungkan, ditemui adanya variasi domosili. Ada pasangan suami istri yang telah memilih dirumah suaminya, ditempat kediaman yang baru dan ada pula yang menggunakan semacam jadwal. Dalam hal ini yang penting bukan domisilinya, melaikan keanggotaannya didesa pakramannya. Sesuai dengan latar belakang dan faktor penyebab dilangsungkannya perkawianan Pada Gelahang, maka dengan sendirinya pasangan suami istri ini tercatat sebagai anggota (krama desa) didua desa pakraman, kalau pasanagn suami istri ini berasal dari desa pakraman yang berbeda. Tetapi kenyataanya , keanggotaannya (pipil) mereka sering kurang jelas. Kekurang jelasan ini disebabkan oleh dua hal.

Sampai sekarang krama desa memang belum meliliki kartu tanda krama desa (KTKD) bagi semua anggota keluarga ditempat yang bersangkutan tercatat (mipil), sehinggah segala kewajiban (swadharma)terhadap masyarakat dilaksanakan oleh orang tua atau mertuanya. Sesudah anak yang dilahirkan oleh pasangan suami istri Pada Gelahang dianggap dewasa dan orang tuanya bestatus nyada, barulah pipil di Desa Pakraman digantikan oleh salah seorang keturunannya.

Perkawinan Pada Gelahang Dimasa Depan

Keberadaan perkawinan Pada Gelahang dilangsungkan di Bali, satu hal yang patut dicatat adalah bahwa dari tahun ketahun pelaksanaan Pada Gelahang, senantiasa mengalami peningkatan. Tim peneliti menduga, pada tahun mendatang jumlah pasangan suami istri yang melilih bentuk perkawinan ini cendrung akan semakin meningkat. Munculnya kenyataan ini disebabkan oleh beberapa hal.

Kemajuan dalam bidang pendidikan yang mendorong semakin tumbuhnya kesadaran akan hak asasi manusia (HAM) dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia, serta semakin tumbuhnya kesadaran akan kesetaraan. (Dr.Wayan P. Windia,SH.,M.SI,2008:59-69 )

Dari pemaparan diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa 
Perkawinan Pada Gelahang adalah salah satu sistem perkawinan di Bali yang berbeda dari biasanya karena baik suami maupun istri bertindak sebagai Purusa. 
Perkawinan Pada Gelahang tidak bertentangan dengan Adat Bali maupun Ajaran Agama Hindu. 
Adapun dampak secara nyata dari sistem perkawinan ini yaitu: pasutri memiliki beban gandan dalam melaksanakan kewajiban dalam Desa Pakraman seperti ayah-ayahan di pura, banjar, dll. Jika pasutri hanya memiliki satu anak, maka beban anak akan berlipat ganda apalagi anak tersebut akan menikah.

Sumber:
P. Windia,Wayan,dkk. 2008. Perkawinan Pada Gelahang di Bali. Denpasar : Udayana University Press.
Undang-undang Perkawinan no 1 Tahun 1974.

Kamis, 16 Juli 2015

Keluarga Sukinah Dari Perspektif Agama Hindu

Keluarga Sukinah Dari Perspektif Agama Hindu

Prajanartha striyah srstah
Samtanartham ca manawah
Tasmat sadharano dharmah
ςrutau patnya sahaditah (Vedasmrti. IX.96)
artinya:
Untuk menjadi ibu, wanita itu diciptakan dan untuk menjadi ayah , laki-laki itu diciptakan Upacara keagamaan karena itu ditetapkan di dalam Veda untuk dilakukan oleh suami beserta dengan istrinya.
Sejak awal kehidupan manusia, ternyata bersatunya antara seorang wanita dengan seorang laki-laki yang disimbulkan akasa dan pertiwi sebagai cakal bakal sebuah kehidupan baru yang diawali dengan lembaga perkawinan. Hendaknya laki-laki dan perempuan yang telah terikat dalam ikatan perkawinan selalu berusaha agar tidak bercerai dan selalu menyintai dan setia sampai hayat hidupnya, jadikanlah hal ini sebagi hukum yang tertinggi dalam ikatan suami-istri (G.Pudja MA, 2002 :561). 


Keluarga yang dibentuk hanya berlangsung sekali dalam hidup manusia, keluarga atau rumah tangga bukanlah semata-mata tempat berkumpulnya laki dan wanita sebagai pasangan suami istri dalam satu rumah, makan-minum bersama. Namun mengupayakan terbunanya keperibadian dan ketenangan lahir dan bathin, hidup rukun dan damai, tentram, bahagia dalam upaya menurunkan tunas muda yang suputra (Jaman, 195 :3).

Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Bab I

pasal 1:
menyebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuahanan Yang maha Esa.

pasal 2 :
Menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan menurut hokum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Makalah ini disampaikan pada acara Dharma santih Tempek Pondok karya Jakarta Selatan, Oleh : I Gede Jaman, S.Ag.M.Si.

Dengan demikian perkawinan menurut pandangan Hindu bukanlah sekedar legalitas hubungan bilologis semata tetapi merupakan suatu peningkatan nilai berdasarkan hukum Agama, karena Wiwaha samkara adalah merupakan upacara sacral atau skralisasi peristiwa kemanusiaan yang bersifat wajib ( G. Pudja,MA,2002 :80).

Keluarga bahagia yang menjadi tujuan wiwaha samkara dalam terminology Hindu disebut keluarga Sukhinah merupakan unsur yang sangat menentukan terbentuknya masyarakat sehat (sane society).

Tujuan Grehastha

Beranjak dari Veda Smrthi Bab. IX Sloka 45 menegaskan bahwa ia yang merupakan orang sempurna yang terdiri atas tiga orang menjadi satu : istrinya, ia sendiri dan keturunannya .Begitu pula dikatakan tidak ada bedanya sama sekali antara Dewi Sri (Dewi Kemakmuran ) dengan istri dirumah, yang dikawinkan dengan tujuan untuk mempunyai keturunan membawa kebahagiaan dan layak dipuja sebagai pelita rumah tangga (Veda Smrthi. XI.26).
Kata anak dalam bahasa sankerta “Putra” kata putra berarti kecil, yang disayang, kata putra menjadi penting dalam berkeluarga, hal secara tegas seperti sloka berikut :
Pumnamo narakadyas
Mattraya te pitaram sutah,
Tasmat putra iti proktah
Swayamewaswayambhuwa
Artinya:
Oleh karena seorang anak yang akan menyebrangkan orang tuanya dari neraka yang disebut Put (neraka lantaran tidak punya keturuanan), oleh karenanya ia disebut putra.
Sehingga arti dan maksud kata Putra pada hakekatnya adalah ia yang menyelamatkan atau menyebrangkan roh orang tua/leluhurnya dari neraka mencapai sorga.

Apakah semua anak dapat membahagiakan keluarganya, tentu tidak karena kita sering melihat dan mendengar istilah anak durhaka, anak penghacur keluarga. Namun anak yang dimaksudkan dlam tujuan perkawinan Hindu adalah anak yang suputra yang senantiasa membahagiakan keluarganya (PGAHN, 1987:26).

Pentingnya berkeluarag untuk tujuan kebahagiaan dan penyelamatan dari neraka , juga dinyatakan bahwa Jaratkaru yang melihat orang tua yang tergantung di bamboo petung pangkalnya digigit tikur di pinggir jurang. Karena tersentak hatinya barkatalah Jaratkaru :
Ling Sang Jaratkaru:
aparan ta rahadyan sanghulun kabeh, ginatung ri petung sawulih, meh tikela deni panigit ing tikur, ikang jurang ri sornya tan kinawruhan jero nika. Ya tikangde larangeresi manah ninghuluh, moghawelas ahyun tumulunge kita.
(Apakah sebabnya tuanku sekalian bergantung dibuluh yang hampir putus oleh gigitan tikus, seang dibawahnya jurang yang tiada terduga dalamnya ?. Perbuatan itulah yang menyebabkan hamba, kasihan hamba melihat, dan hamba akan menolong )
Menjawablah orang yang tergantung di buluh petung :
kunang tapan pegat wangsa mami. Nahan ta mami n pegat sangkeng pitraloka, magantungan petungan sawulih, kangken tibeng narakaloka; tattwa nikang petung sawulih, hana wangsa mami sasiki, Jaratkaru ngaranya. Ndan moksa wih ta ya, mahyun luputeng sarwajanmabandhana, tatan pastry” (Adiparwa 1938 :35)
Artinya:
Karena keturunan kami terputus. Itulah sebabnya saja pisah dari dunia leluhur, bergantung dibuluh petung ini, seakan-akan sudah masuk neraka. Ada seorang keturunan saya bernama Jaratkaru, ia moksa (pergi ) untuk melepaskan ikatan kesengsaraan orang, ia tiada beristri
Demikianlah pentingnya posisi spiritual dari seorang anak dalam keluarga Hindu, karena kelahiran anak yang suputra akan membahgiakan keluraganya dan membuka sorga setelah kematian leluhurnya. Namun untuk mendapat kan anak yang suputra sebagai sumber kebahagiaan keluarga ( yan ning putra suputra sadhu gunawan mamadangi ri kula wandawa), tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.
Untuk ini diperlukan serangkaian proses yang cukup panjang :
  • Tahap 1. Menentukan Areal Rumah Tangga
  • Tahap 2. menentukan calon pasangan yang baik
  • Tahap 3. menyiapkan perkawinan yang baik
  • Tahap 4. Proses reproduksi yang baik dan terkendali, serta perawatan dan pendidikan yang benar.

Menentukan Areal Rumah Tangga

Setelah seseorang melakukan samskara wiwaha,maka ada tempat tinggal pasangan suami-istri tersebut yang dinamakan rumah tempat tinggal yang lazim kita sebut sebagai Rumah Tangga yang didalamnya lengkap dengan kehidupan suami-istri dalam areal rumah tempat tinggalnya. Massyarakat Hindu selalu berusaha bersikap hidup dalam keseimbangan alam semesta. Keseimbangan tatanan hidup dengan alam semesta berporos pada konsep hulu-teben, sacral-profan, yang akhirnya areal rumah tinggal dibagi menjadi tiga zone, sesuai dengan nilai sacral (utama), nilai sedang (madya), dan nilai profan (kanista) yang disebut Tri Mandala. 
dari konsep Tri Mandala inilahirlah konsep sanga mandala dengan menempat arah airsanya (kaja kangin) yang dinyatakan areal yang paling sacral sebagai pengkejawantahan konsep niskala ke skala konsep Dewata nawa sanga. Kesembilan dewa yang menguasai penjuru mata angin ini sangat berpengaruh terhadap tata letak bangunan berdasarkan fungsinya ( Sulistyawati, 1998 :46). Penempatan tiap-tiap bangunan yang mempunyai fungsi relegi selalu mengikuti arah dewa yang menguasainya. Misalnya letak dapur diletakkan di arah selatan, disesuaikan dengan arah yang dikuasai oleh Dewa Brahma (Dewa panas/api) dalam kosmologi Hindu. Sumur di sebelah utara bersebrangan dengan dapur , disesuaikan dengan arah Dewa Wisnu ( Sulistyawati,1998 :48).

Bila kita akan membangun tempat tinggal hendaknya areal pekarangan di bagi 9 lebih dahulu dan dalam kaitan dengan Tri Mandala, maka arah perpaduan Timur dengan Utara (Airsanya) memiliki nilai yang paling sacral sehingga dipakai tempat yang diposisikan sebagai Utama mandala untuk letak pendirian tempat Ibadah.

Hal ini jelas disuratkan bagi setiap umat Hindu yang telah berkeluarga hendaknya memiliki tempat pemujaan berupa Pemerajan (sanggah) dalam lontar Siwagama disebutkan sebagai berikut :
…… wwang kamulan pamanggalanya sowang...
Artinya :
… dan Kamulan palinggih pada masing-masing pakarangan rumah.
Pemerajan ini berfungsi sebagai tempat pemujaan roha suci leluhur atau atma yang telah Sidha Dewata/Dewa Pitara (I Ketut Wiana, 1992 :22), sesuai dengan lontar Usana dewa menyebutkan sebagai berikut :
Ring kamulan ngaran Ida Sanghyang Atma, ring Kamulan Tengan bapa ngaran sang Paratma, ring Kamulan Kiwa ibu ngaran sang Siwatma, ring kamulan Tengah ngaran raganya, tu Brahma dadi meme bapa maraga Sang Hyang Tuduh.
Artinya:
Pada Kamulan nama Beliau adalah Sang Hyang Atma, di Kamulan sebelah kanan adalah linggih Paratma adalah Bapak, di kamulan ruang sebelah kiri adalah linggih Siwatma adalah Ibu, di Kamulan tengah ada wujudnya Brahma menjadi Ibu Bapak yang berujud Sang Hyang Tuduh.
Keluarga yang memiliki tempat tinggal (rumah), memiliki Tempat Pemujaan (mrajan) minimal pada banguna mraja itu adanya pelinggih Rong Tiga, pelinggih Sedahan Penglurah dan Gedong linggih Taksu (Gde Soeka, BA, 1986 :13).

Lingkungan kedua tempat tadi menuju keseimbangan bhuana Agung dan Bhuana Alit harus selaras untuk mencari kesejahteraan jasmani dan kebahagiaan rohani, keselarasan antara Bhuana Agung dengan kehidupan manusia menjadi tujuan pokok mengikuti tata aturanperumahan seperti ini. Hal ini dilandasi oleh kesadaran bhawa Bhuana Agung/alam semesta adalah kompleksitas unsure-unsur yang satu sama lain terkait dan memebntuk satu sisitim kesemestaan. Sehingga dapat dikatakan bahwa nilai dasar dari kehidupan masyarakat Hindu adalah nilai keseimbangan. Nilai keseimbangan ini tertuang dalam perilaku :
  1. selalu ingin menyesuikan diri dan berusaha menjalin hubungan dengan elemen-elemen alam dan kehidupan yang mengitari.
  2. Ingin menciptakan suasana kedamaian dan ketentraman antara sesama makhluk dan juga terhadap alam dimana manusia hidup sebagai salah satu elemen dari alam semesta raya.
Kedua unsur tersebut oleh masyarakat Hindu dianggap sebagai azas yang harus dipakai pedoman atau tuntunan dalam kehidupan berumah tangga. Karena rumah tangga dianggap sebagai dunia yang hidup dengan konsep Tri Hita Karana. Adanya parahyangan untuk mencapai sasaran Satyam (kebenaran), adanya Palemahan untuk mencapai sasaran Sundaram (kebahagiaan) dan adanya Tempat tinggal/rumah (pawongan ) sasaran untuk mencapai Kebijakan (Siwam). Kesemuanya itu menuju tujuannya Jagadhita (secara sekala/nyata) dan Moksa secara Niskalanya (I Made Suasthawa, 1991:36)

Kehidupan rumah tangga tata letak keluar masuk menuju rumah (pemedal) juga mengikuti asta kosala-kosali dengan tolok ukur yang empunya rumah itu sendiri.
Bila rumah menghadap :
  • Timur : diukur dari arah utara/kadya, lalu dibagi sembilan pintu masuk ambil pada bagian 3 ( wredi guna) dan atau 4 (dana teke). Wredi artinya subur, banyak.
  • Selatan : diukur dari arah Timur ke Barat, lalu dibagi 9 pintu masuk ambil pada hitungan 4 (udan mas), 6 (dana wredi) atau 8 (teka wredi)
  • Barat : diukur dari arah Selatan menuju Utara, lalu dibagi 9 pintu masuk ambil pada hitungan 3 (wredi mas ), 4 (wredi guna) da atau 5 (danawan).
  • Utara : diukur dari Barat ke Timur dibagi 9 pintu masuk ambil pada hitungan 7 (suka agung).
Dengan memperhatikan hitungan-hitungan tersebut diatas sesuai dengan arah banguan kita maka niscaya kehidupan yang sejahtera dapat kita dekati dan penderitaan dapat kita hindari (I Made Suandra, 1991 :22). Disamping tata letak yang kita tentukan seperti diatas memilih areal pekarangan juga harus berhati hati dan hendaknya hindari pekarangan seperti: 
  • Karang karubuhan yaitu areal pekaranga yang berpapasan dengan perempatan jalan, menyebabkan sakit-sakitan yang menempati.
  • Karang Sandanglawe yaitu pekaranga yang memiliki pintu masuk berpapasan dengan tetangga.
  • Karang Kutabanda yaitu pekarangan yang diapit oleh jalan raya..
  • Karang Gerah yaitu pekarangan yang terletak di hulu Pura atau parahyangan.
  • Karang Suduk Angga yaitu pekarangan yang dibatasi oleh pagar hidup, terdapat dua tempat pemujaan dari keluarga yang berbeda..
Pekarangan yang dilarang seperti diatas perlu hendaknya dibuatkan upacara pemahayu karang atau bangunkan palinggih tertentu (Drs. I Nyoman Singgih W, 1999 :15)

Secara kodrati bahwa setiap orang yang dilahirkan berlawanan jenis untuk bersatu dalam kehidupan rumah tangga yang diawali dengan samskara wiwaha yang terwadahi dalam areal /kawasan rumah tangga dengan system keseimbangannya. Mengingat berumah tangga tidak untuk sesaat maka berhati-hatilah dengan mempersiapkan fisik dan spiritual secara matang (K.H.M. RusliAmin, M.A, 2002 :18).

Menentukan Calon Pasangan yang baik

Untuk mendapatkan calon pasangan yang baik harus diamati bibit, bebet dan bobot calon pasangan.

Yang dimaksudkan pengamatan bibit meliputi asal-usul calon pasangan. Hendaknya diusahakan calon pasangan berasal dari keluaga baik-baik artinya bukan dari keluarga yang gemar mabuk-mabukan, penjudi, pemarah/emosional, pembohong, pencuri, gemar memerkosa, gemar memerkosa, gemar memfitnah, penggemar black magic dan lain-lainya yang merupakan perwujudan dari sifat-sifat sadripu dan sadatatayi. 
Bila memungkinkan supaya diusahakan mendapatkan calon yang bisa diajak membangun keluarga Sukhinah dari kelahiran Suwargacyuta yaitu orang-orang yang berbahagia turun lahir dari sorga dengan cirri-ciri : 
  1. tidak sakit-sakitan ( Arogya), 
  2. disayangi oleh sesamanya (Rati), 
  3. bersifat ksatrya( Curatwa), 
  4. berbhakti kepada Ida Sanghyang Widhi (Dewasubhaktih), 
  5. murah rejeki (kanakalabha) 
  6. dikasihi oleh orang besar (Rajapriyatwa), 
  7. Pemberani (Cura), 
  8. bijaksana dalam segala ilmu pengetahuan (Krtawidya), 
  9. peramah (Pryamwada). 
Kesemuanya ini adlah ciri kelahiran sorga dan penjelmaan dari orang melakukan dharma yang suci dahulunya (I Gusti Agung Oka, 1994 :24-25)

Yang dimaksud dengan pengamatan tentang bebet atau penampilan. Hendaknya menghindari orang kelahiran Neraka cyuta dengan cirri-ciri sebagai berikut :
  1. Mandul (Anapatya), 
  2. wandu (Akamarasa), 
  3. mempunyai penyakit asma ( Pitti), 
  4. bisu (kujiwa) 
  5. berbicara tidak jelas (Clesma) dan 
  6. orang berambut kemerah-merahan dan badannya cacat. 
  7. Tetapi yang pantas dinikahi mempunyai nama yang pantas dan badannya tidak cacat, jalannya seperti seekor angsa, giginya kecil-kecil berbadan lembut ( I Gede Pudhja, M.A, 2002 :132-133)
Yang dimaksudkan dengan pengamatan tentang bobot, ini banyak diatur dalam Canakya Nitisastra maupun dalam Weda Smrti III.7 yang menyatakan: Keluarga yang tidak hirau pada upacara suci, tidak mengerti ajaran weda /agama hendaknya dihindari untuk dijadikan calon pasangan. Salah satu susatra Veda menegaskan bahwa :
Akara iringngita irgatya cesta bhasitena ca;
Natrawaktrawikarena jayate ca pariksitah
Maksudnya:
seseorang harus diuji dengan melihat tampilan luarnya berupa caranya berjalan, gerakgeriknya, perbuatannya, tutur katanya ( I Gusti Agung Oka, 1993 :169)
Dalam menejemen modern hendaknya mempertimbangan pengetahuan (knowledge), ketrampilan yang dimiliki (Skill) dan tata laku kesahariannya (Attitude)nya

Kelahiran Neraka cyuta yang dihindari dalam memilih pasangan, juga dilarang adalah:
  1. masih hubungan sepupu dari keluarga Purusha, Arudaka namanya, 
  2. saling ambil (Pasikuh-paha), 
  3. suami istri pernah keponakan (Angemban Ari), 
  4. kawin dengan tumin ngarep (Anglangkahi sanggar), 
  5. mengawini janda beranak bila sudah punya anak laki-laki, Ekajanma namanya (Suwidja,1992 :101).

Menyiapkan Perkawinan yang Baik

Meyiapkan perkawinan yang baik perlu diperhatikan : perjodohan atau patemon, hari dan bulan perkawinan yang di nilai baik serta bentuk perkawinan yang harus diusahaka. Untuk itu perlu konsultasi kepada pakar yang terkait.
  1. Petemon Penganten: merupakan perhitungan pertemuan kelahiran suami dan istri yang nantinya akan membawa nasib keluarga mereka, apakah akan murah rejeki, banyak masalah ataupun berakibat yang lainnya. 
  2. Dewasa Ayu Nganten: merupakan pemilihan hari baik melangsukan upacara pernikahan. Karma wasana yang kita bawa sejak kelahiran kita akan memberikan warna pada kehidupannya, sehingga para akhli astronomi/wariga hari kelahiran seseorang dapat diterka/diramal maslah rejeki, suka-duhka hidup yang diraihnya melalui urip kelahirannya. Biasanya dibaca hari kelahirannya menunjukkan masa yang dalami masa anak-anak, dicari gabungan urip berikutnya masa remaja dan masa tua adalah urip gabungan berikutnya dapat diketahui.Namun yang dipakai patokan pertemuan suami istri adalah urip gabungan kelahirannya saja. Ataas dasar itulah maka seseorang dapat meningkatkan status dan kualitas kehidupannya yang akan dibangun melalui berumah tangga. lebih lengkapnya baca: Pemilihan Hari Baik Pernikahan.

Cara Perkawinan.
Cara atau bentuk perkawinan penting sekali diperhatikan. Weda Smrti III.42 menyatakan; Dari perkawinan yang terpuji akan lahir putra yang terpuji, dari perkawinan yang tercela akan lahir putra yang tercela. Karena itu hendaknya dihindari bentuk perkawinan yang tercela. Aninditah stri wiwah air, anindya bhawati praja ninditair nindita nrrnam, nasnam nidyam wiwarjayaet.

Dalam Weda Smrti III.20 disebutkan bahwa diantara delapan bentuk perkawinan, ada yang memberi pahala, ada pula yang menimbulkan derita, baik ketika masih hidup maupun setelah mati.

Kedelapan bentuk perkawinan yang disebutkan dalam Weda Smrti adalah Brahma wiwaha, Daiwa wiwaha, Arsa wiwaha, Prajapati wiwaha, Asura wiwaha, Gandharwa wiwaha, Raksasa wiwaha,dan Pisaca wiwaha. Empat yang terakhir hendaknya dihindari oleh kaum brahmana. Gandharwa wiwaha masih bisa ditolerir bila dilakukan oleh kaum ksatria, sedangkan raksasa wiwaha masih bisadimengerti bila dilakukan oleh golongan sudra (Weda Smrti ).

Proses Reproduksi yang baik dan terkendali

Dalam proses reproduksi atau pembuatan anak perlu diperhatikan waktu yang dibenarkan dan yang dilarang oleh ajaran agama Hindu atau yang pas untukmewujudkan keinginan punya anak laki atau perempuan. Posisi tubuh atau gaya bermain kedangkalan penting diperhatikan terutama untuk pasangan yang mengalami kesulitan punya anak. Namun sejauh itu Weda belum mengatur.

Memahami waktu yang dilarang dan dibenarkan sangat diperkenankan bila ingin mendapatkan anak suputra sadhu gunawan,seperti yang telah dibahas di artikel "Hari Baik Berhubungan Intim"

Perawatan dan pendidikan anak yang benar.

Perawatan anak dalam Hindu berarti perawatan badan anak seutuhnya yang meliputi trisarira dan triguna. Trisarira terdiri dari anggasarira atau Stula sarira yaitu badan kasar, sukma sarira yaitu badan halus yang memberi kesadaran kepada manusia, terdiri dari cita, budhi dan ahamkara. Sedangkan anantakarana sarira adalah atman. Triguna adalah sattwam, rajas, tamas.
  • Satwam adalah watak yang menyebabkan perilaku sabar, hormat, penuh cinta kasih, rela berkorban, penolong, pemaaf. 
  • Rajas adalah watak yang menyebabkan perilaku serba cepat,energetic dan mudah marah. 
  • Tamas adalah watak yang menyebabkan perilaku yang serba lambat, malas

Antara badan dan jiwa terdapat kaitan yang sangat erat. Pepatah Yunani kuno mengatakan mensana in corpore sano Artinya jiwa sehat terdapat dalam badan yang sehat.
Bila dikaji dari filsafat Samkya kaitan erat ini bila dimengerti karena jiwa dan badan keduanya berasal dari Purusa dan Prakerti yang membentuk 25 unsur yang sama- sama menjadi unsure pembentuk jiwa maupun badan. Menurut filsafat Samkya pula, dalam Prakerti- yang merupakan unsure kosmik pembentukan manusia-terdapat triguna yang merupakan unsure perwatakan yang memberi warna tingkah laku manusia.

Berdasarkan pemahaman unsure-unsur yang membentuk manusia seutuhnya maka bila berbicara mengenai perawatan anak tidak cukup hanya perawatan kesehatan fisik dan mental/jiwa tetapi juga perawatan atman untuk mewujudkan atma hita. Perawatan kesehatan fisik meliputi pemberian makanan bersih, suci, bukan sisa orang, bergisi dan seimbang, cukup olahraga, dan lingkungan yang aman, nyaman dan memungkinkan tumbuh dan berkembang secara optimal.
Atmahita karana meliputi kegiatan :
  1. Garbhadhana, yaitu upacara ketika mulai diketahui sudah ada konsepsi pembuahan yaitu bertemu dan bersatunya kama bang dan kama petak atau telur (ovum) yang merupakan bibit dari pihak perempuan dan bibit dari pihak laki (sperma ).
  2. Punsavana, upacara 3 bulan kandungan
  3. Simantonnayana, upacara 6 bulan kandungan , di Bali disebut magedong-gedongan.
  4. Upacara Jatakarma ketika lahir. Untuk anak laki dilakukan sebelum talipusar dipotong (Weda Smrti II,29)
  5. Namakarana atau namadheya: Menurut Weda Smrti II.30 upacara pemberian nama dilakukan pada usia 10-12 hari atau pada hari lain yang dianggap baik. Nama harus disesuaikan dengan wangsa.Untuk wanita namanya harus mengandung arti penghormatan, sederhana dan tidak menakutkan. Semuanya ini diatur dalam Veda Smrti II.31-33.
  6. Niskramana: upacara pada usia empat bulan dimana bayi sudah boleh dibawa kelur rumah atau menyentuh (Weda Smrti II.34)
  7. Annprasana: upacara 6-7 bulan dimana bayi pertama kali diajarkan makan (Weda Smrti II. 3-4).
  8. Cundakarma : upacara potong rambut pertama, dilakukan untuk memperoleh kebajikan spiritual. Dilakukan pada usia 1-3 tahun (3 tahun bagi orang-orang dwijati, Smrti II.35)
  9. Upanayana : upacara mengawali belajar secara formal. Menurut Weda Smrti II. 36,upacara ini dilakukan pada tahun kedelapan setelah pembuahan bagi kaumbrahmana, tahun kesebelas bagi kaum Ksatriya, tahun kedua belas bagi Waisya.
  10. Samawartana ; upacara setelah menyelesaikan pendidikan.
  11. Wiwaha: upacara perkawinan .

Di India selain upacara tersebut diatas masih ada lagi upacara tambahan yaitu upacara tindik kuping (Karnawedha) pada usia 3 tahun dan upacara Weda ramba : upacara mulai belajar weda pada usia 5 tahun bagi kaum brahmana. Di Bali ada upacara mepandes atau upacara potong gigi.

Semua upacara tersebut di atas dilakukan sebagai rangkaian pensucian untuk membersihkan kotoran yang melekat pada diri anak yang diperoleh dari orang tua ketika dalam kandungan sekaligus mohon bimbingan dan perlindungan dari Ida Sanghyang Widhi, serta sebagai media untuk mengumpulkan sanak keluarga untuk memberikan doa restu.

Dalam rangka perawatan fisik, perlu juga mengadopsi ilmu kedokteran modern yaitu dengan memberikan upaya pencegahan penyakit lewat program imunisasi

Misalnya;BCG untuk mencegah TBC, Hepatitis A maupun B untuk mencegah infeksi virus Hepatitis pada Hati, DPT untuk mencegah tetanus, batuk rejan dan infeksi menyumbat tenggorokan, Polio untuk mencegah lumpuh polio, Campak untuk mencegah radang paru basah dan radang otak, MMR untuk mencegah bengok, campak Jerman dan campak bias, HIB untuk mencegah radang selaput otak, Varicella untuk menegah cacar air, Typhim atau Typa untuk mencegah tipus.


Demikian beberapa hal yang dapat kami sampaikan dalam makalah ini yang berthema pembinaan Remaja Pra Nikah, semoga kegiatan orientasi keluarga Sukhinah dapat menjadaikan sarana dan wahana peningkatan kualitas sumber daya manusia Hindu yang mandiri dan berakhlak mulia menuju tercapai kehidupan yang sejahtera dan damai.
Om Sarve bhavantu sukhinah
Sarve śāntu niramayah
Sarve bhadrāni paśyantu
Ma kaścid duhkha bhāg bhavet (Sloka Subhasita).
Om, Hyang Widhi, semoga semuanya memperoleh kebahagiaan
Semoga semuanya memperoleh kedamaian
Semoga semuanya memperoleh kebajikan dan saling pengertian
Jauhkanlah kami dari segala kedukaan dan halangan.

demikian sekilas Perkawinan menurut Pandangan Hindu menuju  Keluarga Sukinah Dari Perspektif Agama. semoga bermanfaat. Om Santih Santih Santih Om.