Tampilkan postingan dengan label Hindu Bali. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hindu Bali. Tampilkan semua postingan

Jumat, 07 Agustus 2015

apa itu Uparengga?

apa itu Uparengga?

Pemahaman masyarakat tentang uparangga atau sarana upacara umat Hindu masih bersifat individual. Kami berusaha menganggkat tentang sarana upacara Umat Hindu agar perangkat-perangkat tersebut dapat dipahami generasi muda sebagai generasi penerus sehingga kelestariannya dapat berlanjut dari generasi ke generasi.

Dapat kami berikan makna dan pengertian uparangga sebagai berikut :
Uparengga berasal dari suku kata upa-re-angga, mengandung pengertian bahwa:
  • UPA = perantara, 
  • RE = raditya (sinar suci), dan 
  • ANGGA = wujud atau merupakan perwujudan Ida Sanghyang Widhi.
Jadi uparengga adalah semua bentuk perangkat upacara yang merupakan simbul perwujudan Sanghyang Widhi melalui kekuatan sinar suci-Nya.
beberapa macam uparangga:
selain itu, Uparengga lainnya adalah:

LINGGA YONI

Lingga Yoni dibuat dari daun rontal yang tua dibentuk sedemikian rupa sampai berbentuk linggayoni. Pada ujung lingga dihias dengan daun beringin yang ditusuk dan diletakkan pada ruang bangunan suci yang akan diplaspas.
Lingga Yoni mengandung makna dan maksud telah manunggalnya kekuatan prakerti dan purusha Sanghyang Widhi dan bermanifestasi menjadi Dewa, Bathara sesuai dengan fungsinya.

SEBATANG TEBU

Perangkat upacara ini merupakan simbul kekuatan Sang Hyang Panca Kosika, yang berfungsi sebagai penetralisir dari kekuatan yang bersifat adharma. Tebu batangan ini biasanya dipergunakan pada waktu ada upacara piodalan di pura-pura, pada saat melasti ke segara. Tebu dibawa pada barisan depan. Tebu batangan juga dipergunakan pada saat runtutan upacara perkawinan yaitu dalam upacara mulih ngalang atau pewarangan.

Mudah-mudahan apa yang berusaha kami paparkan dan informasikan bermanfaat sebagai tambahan pengetahuan agama. 

Kami menyadari penulisan ini masih banyak kekurangan-kekurangan, semoga dengan pandangan-pandangan umat sedarma kami dapat menyempurnakannya lagi.

Rabu, 29 Juli 2015

Siwa Lingga dalam Siwa Sidhanta

Siwa Lingga dalam Siwa Sidhanta

Membuat Siwa Lingga sebenarnya merupakan penerapan sekte Pasupata, yang kemudian melebur menjadi satu dalam konsep Siwa Sidhanta atau Saiva siddhanta. Dalam susastra Hindu di Bali banyak dijumpai ajaran Siwa Sidhanta. 
peninggalan Lingga Yoni
Ajaran Saiwa Siddhanta di Bali merupakan kelanjutan dari ajaran Sekte Saiva Gama yang masuk ke Indonesia sekitar abad ke 4. Namun dengan perpaduan antara konsep-konsep Saiva, Tantra, Buddha Mahayana, Trimurthi dan juga paham Waisnawa maka lahirlah konsep Saiva Siddhanta Indonesia. Adapun konsep ajaran Saiva Siddhanta Indonesia lebih banyak berpedoman pada konsep ajaran lokal serta ajaran yang telah berkembang sebelumnya seperti konsep Saiva, konsep Waisnawa, konsep Tantra, konsep Tri Murthi, bahkan konsep Buddha Mahayana yang kesemuanya dipadukan sehingga menghasilkan konsep-konsep yang dituangkan ke dalam lontar-lontar yang kemudian menjadi dasar konsep Saiva Siddhanta Indonesia, konsep-konsep yang dimaksud adalah Bhuwana kosa, Wrhaspati tattwa, Tattwa Jnana, Ganapati tattwa, bhuwana Sang Ksepa, Siwa Tattwa Purana, Sang Hyang Maha Jnana, dan sebagainya. Dari sekian banyak  susastra Hindu di Bali, sesuai dengan sumbernya; maka sangat kaya dengan nilai-nilai filsafat Hindu, terlebih lagi dengan ajaran Saiva Siddhanta.


Siwa Sidhanta menempatkan Dewa Siwa sebagai realitas tertinggi, jiva atau roh pribadi adalah intisari yang sama dengan SIWA, walaupun tidak identik. Juga ada Pati (Tuhan), pacea (pengikat), serta beberapa ajaran yang tersurat dalam tattwa sebagai prinsip dalam kesemestaan yang realita.

Salah satu sekte yang termasuk dalam sekte Saiva yang sangat dekat dengan pemujaan dengan media lingga adalah sekte Pasupata yang juga menempatkan Siva sebagai realitas tertinggi. Sekte ini memiliki perbedaan dengan Saiva Siddhanta, tetapi ia merupakan bagian dari Saiva Siddhanta itu sendiri karena Saiva Siddhanta itu merupakan gabungan atau peluruhan dari semua sekte yang ada di Bali. Bedanya dengan Saiva Siddhanta adalah dalam cara pemujaannya. Cara pemujaan sekte Pasupata adalah dengan menggunakan lingga sebagai simbol tempat turunnya/bersthananya Dewa Siva.

Jadi, penyembahan lingga sebagai lambang Siva adalah merupakan ciri khas sekte Pasupata  yang merupakan sekte pemuja Siva dengan menggunakan lingga sebagai sarana dalam pemujaan kepada Sang Hyang Siva.

Makna Siwa Lingga

Lingga berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti tanda, ciri, isyarat, sifat khas, bukti, keterangan, petunjuk, lambang kemaluan laki-laki, terutama lingga Siwa dalam bentuk tiang batu, Patung Dewa, titik tuju pemujaan, titik pusat, pusat, poros, sumbu .

Sedangkan pengertian yang umum ditemukan dalam Bahasa Bali, bahwa lingga diidentikkan dengan: linggih, yang artinya tempat duduk, pengertian ini tidak jauh menyimpang dari pandangan umat beragama Hindu di Bali, dikatakan bahwa lingga sebagai linggih Dewa Siwa.

Petunjuk tertua mengenai lingga terdapat pada ajaran tentang Rudra Siwa telah terdapat di hampir semua kitab suci agama Hindu, malah dalam berbagai penelitian umat oleh arkeolog dunia diketahui bahwa konsep tentang Siwa telah terdapat dalam peradaban Harappa yang merupakan peradaban pra-weda dengan ditemuinya suatu prototif tri mukha yogiswara pasupati Urdhalingga Siwa pada peradaban Harappa. Kemudian pada peradaban lembah Hindus bahwa menurut paham Hindu, lingga merupakan lambang kesuburan. Perkembangan selanjutnya pemujaan terhadap lingga sebagai simbol Dewa Siwa terdapat di pusat candi di Chennittalai pada sebuah desa di Travancore, menurut anggapan orang Hindu di India pada umumnya pemujaan kepada lingga dilanjutkan kepada Dewa Siwa dan saktinya.

Dalam Lingga Purana, lingga merupäkan yang erat kaitannya dengan konsep wujud alam semesta yang tak terhingga dan kemaha-kuasaan Tuhan. Lingga pada Lingga Purana adalah simbol Dewa Siwa (Siwa lingga). Semua wujud diresapi oleh Dewa Siwa dan setiap wujud adalah lingga dan Dewa Siwa.

Kitab Lingga Purana dan Siwaratri Kalpa karya Mpu Tanakung semakin memperkuat kenyataan bahwa pada mulanya pemujaan terhadap lingga pada hakekatnya merupakan pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam wujudnya sebagai Siwa.

Kitab-kitab Purana banyak memberikan gambaran tentang cerita maupun keutamaan yang diperoleh dari Sivalingga, Oleh karenanya Sivalingga dijadikan sarana sebagai objek pemujaan.
Bagian dan jenis Lingga

Bagian dan Jenis Siwa Lingga

Lingga mempunyai bagian-bagian yang sangat jelas. Pembagian lingga berdasarkan bentuknya terdiri atas: dasar lingga paling bawah yang pada umumnya berbentuk segi empat yang pada salah satu sisinya terdapat carat atau saluran air bagian ini disebut yoni. Di atas yoni yang merupakan bagian lingga paling bawah berbentuk segi empat disebut dengan Brahma Bhaga, bagian tengah berbentuk segi delapan disebut Wisnu Bhaga, sedangkan bagian atas berbentuk bulatan yang disebut Siwa Bhaga.

Jadi bentuk lingga menggunakan konsep Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) ketiga bagian lingga tersebut kiranya dapat disamakan dengan konsepsi Bhur Bwah Swah. Lingga pada umumnya diletakkan di atas lapik yang disebut pindika atau pitha. Bentuk lapik ini biasanya segi empat sama sisi, segi empat panjang, segi enam, segi delapan, segi dua belas, bulat, bulat telur, setengah bulatan, persegi enam belas dan yang lainnya. Yang paling sering dijumpai adalah Lapik yang berbentuk segi empat. Mengenai bentuk-bentuk dan puncak lingga ada banyak ragam antara lain : berbentuk payung (chhatrakara), berbentuk telur (kukkutandakara), berbentuk buah mentimun (tripusha kara), berbentuk bulan setengah lingkaran (arddhacandrakara), berbentuk balon (budbudhasadrisa).
Dalam Jnana Siddhanta disebutkan:
Pranalo Brahma visnus ca Lingotpadah Siwarcayet”.
Terjemahan:
Salurannya ialah Brahma dan Visnu dan penampakan lingga dapat dianggap sebagai sumber Siwa.
Dalam bahasa Sansekerta pranala berarti saluran air, pranala dipandang sebagai kaki atau dasar lingga yang dilengkapi sebuah saluran air. Dengan istilah lingga pranala lalu di maksudkan seluruh konstruksi yang meliputi kaki dan lingga, jadi lingga dan yoni. Kemudian lingga yoni, berkaitan dengan tri purusa yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa, di mana Siwa dinamakan lingga, sedangkan Brahma dan Wisnu bersama-sama dinamakan pranala sebagai dasar yaitu yoni.

Berdasarkan jenisnya Lingga dapat dikelompokkan atas dua bagian antara lain: Chalalingga dan Achalalingga.

Chalalingga
Chalalingga adalah lingga-lingga yang dapat bergerak, artinya lingga itu dapat dipindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa mengurangi suatu arti yang terkandung. Adapun yang termasuk dalam kelompok lingga ini adalah:
  1. Mrinmaya Lingga, merupakan suatu lingga yang dibuat dari tanah liat, yang prosesnya dengan cara dibakar. Dalam kitab Kamikagama dijelaskan bahwa pembuatan lingga ini berasal dari tanah liat putih dan tempat yang bersih. Proses pengolahannya adalah tanah dicampur susu, tepung, gandum, serbuk cendana, menjadi adonan setelah beberapa lama disimpan lalu dibentuk sesuai dengan ketentuan, lalu dibakar.
  2. Lohaja Lingga, yaitu suatu lingga yang terbuat dari jenis logam, seperti : emas, perak, tembaga, logam besi, timah dan kuningan.
  3. Ratmaja Lingga, yaitu lingga yang terbuat dan jenis batu-batuan yang berharga seperti, permata, mutiara, kristal, jamrud, waidurya, kwarsa, blue stone dan lain-lain.
  4. Daruja Lingga, yaitu lingga yang terbuat dari bahan kayu seperti kayu sami, tinduka, karnikara, madhuka, arjuna, pippala dan udumbara. Dalam kitab Kamikagama disebutkan juga jenis kayu yang digunakan yaitu khadira, chandana, sala, bilva, badara, dan dewadara.
  5. Kshanika Lingga, yaitu lingga yang dibuat untuk sementara jenis-jenis lingga ini dibuat dari saikatam, beras, nasi, tanah pekat, rumput kurcha, janggery dan tepung, bunga dan rudrasha.
Bahan dan pembuatan lingga erat kaitannya dengan tujuan dilakukannya pemujaan. Lingga yang terbuat dari emas bertujuan untuk mendapatkan kekayaan. Lingga yang terbuat dari nasi umumnya digunakan bila pemujanya mengharapkan makanan, terutama nasi. Adapun lingga tanah liat ditujukan untuk mendapatkan kekayaan, sedangkan lingga dari kotoran sapi digunakan untuk menghilangkan penyakit. Lingga dengan bahn dasar mentega umumnya memberikan suasana gembira. Pemuja lingga yang ingin mendapatkan umur panjang maka mengadakan pemujaan dengan menggunakan lingga yang terbuat dari bunga-bungaan. Untuk mendapatkan kebahagiaan lingga yang dipuja umumnya terbuat darisadlewood. (Gunawan, 2012; 81-82).
Achala Lingga

Achala Lingga merupakan lingga yang tidak dapat dipindah-pindahkan seperti gunung sebagai linggih Dewa-Dewi dan Bhatara-Bhatari. Di samping itu pula lingga ini biasanya berbentuk batu besar dan berat yang sulit untuk dipindahkan. I Gusti Agung Gde Putra dalam bukunya berjudul : “Cudamani, kumpulan kuliah-kuliah agama jilid I”, menjelaskan bagian lingga atas bahan yang digunakan. Beliau mengatakan lingga yang dibuat dari barang-barang mulia seperti permata tersebut spathika lingga, lingga yang dibuat dari emas disebut kanaka lingga dan bahkan ada pula dibuat dari tahi sapi dengan susu disebut homaya lingga, lingga yang dibuat dari bahan banten disebut Dewa-Dewi, lingga yang biasa kita jumpai di Indonesia dari di Bali khususnya adalah linggapala yaitu lingga terbuat dari batu. 

Mengenai keadaan masing-masing jenis lingga T.A. Gopinatha Rao dalam bukunya berjudul “Elements of Hindu Iconografi Vol. II part I” dapat dijelaskan, sebagai berikut:
  1. Svayambhuva lingga. Dalam mitologi, lingga dengan sendirinya tanpa diketahui keadaannya di bumi, sehingga oleh masyarakat lingga yang paling suci dan lingga yang paling utama (uttamottama). Atau dapat dikatakan “terjadi dengan sendirinya”.
  2. Ganapatya lingga. Lingga ini berhubungan dengan Ganesa, Ganapatya lingga yaitu lingga yang berhubungan dengan kepercayaan dibuat oleh Gana (padukan Dewa Siwa) yang menyerupai bentuk mentimun, sitrun atau apel hutan.
  3. Arsha lingga. Lingga yang dibuat dan dipergunakan oleh para Resi. Bentuknya bundar dengan bagian puncaknya bundar seperti buah kelapa yang sudah dikupas.
  4. Daivika lingga. Lin/gga yang memiliki kesamaan dengan Ganapatya lingga dan arsha lingga hanya saja tidak memiliki brahma sutra (selempang tali atau benang suci, dipakai oleh brahman).
  5. Manusa lingga. Lingga yang paling umum ditemukan pada bangunan suci, karena langsung dibuat oleh tangan manusia, sehingga mempunyai bentuk yang bervariasi. Lingga ini umumnya mencerminkan konsep tri bhaga yang Brahma bhaga (dasar), Wisnu bhaga (badan) dan Rudra bhaga (puncak). Mengenai ukuran panjang maupun lebar menyamai pintu masuk tempat pemujaan utama
Manusalingga terbagi atas 3 bagian, yaitu : Rudrabhaga (lingga bagian atas) berpenampang garis lengkung, Visnubhaga (lingga bagian tengah) mempunyai bentuk segi-8 (octagonal), dan Brahmabhaga (lingga bagian bawah) mempunyai bentuk persegi.

Minggu, 26 Juli 2015

Hindu Indonesia

Hindu Indonesia

Agama Hindu bersumber pada wahyu Tuhan Yang Maha Esa / Hyang Widhi yang  turun di India sekitar 2500 tahun BC. Wahyu-wahyu itu merupakan pengetahuan suci yang diterima  oleh orang-orang suci atau Rsi-Rsi dalam keadaan semadhi, kemudian dihimpun oleh  beberapa Maharsi antara lain Maharsi Wyasa yang mengumpulkannya menjadi Catur Weda berasal dari akar kata wid yang artinya tahu. Dari akar kata wid ini menjadi kata Weda  yang berarti pengetahuan suci. Juga dari akar kata wid menjadi kata Widhi artinya yang  memberi/sumber pengetahuan suci itu. Dari akar kata wid ini juga, menjadi kata widya yang  artinya kesadaran atau ilmu pengetahuan dan kebalikan dari widya adalah awidya yang artinya ketidaksadaran/kegelapan (ignorance).

Dengan turunnya Weda di India, maka timbullah suatu periode sejarah yang disebut zaman Weda. Pada zaman ini berkembanglah suatu corak kebudayaan baru di India yang mengambil sumber pada Weda dan meliputi beberapa aspek kehidupan yang disebut dengan  suatu istilah Hinduisme sebagaimana disebutkan di dalam Arya Warta.


Dalam perkembangan lebih lanjut pada Zaman Upanisad dimana bermunculan filsafat-filsafat di India, maka muncullah aliran-aliran yang disebut paksa atau sekte dalam agama Hindu, anatara lain sekte Saiwa, sekte Waisnawa, sekte Brahma, sekte Tantrayana dan lain-lain. Sekte Saiwa memuja Dewa Siwa sebagai suatu tokoh yang paling utama, sekta Waisnawa memuja Dewa Wisnu sebagai satu-satunya Tokoh yang paling utama, sekta Brahma mentokohkan Dewa Brahma dalam pemujaannya dan sekte Tantrayana memusatkan pemujaannya kepada Dewi Durga. Tiga dewa : Brahma, Wisnu dan Siwa dipuja secara horizontal, sebagai Dewa Tri Murti manifestasi dari Hyang Widhi.

Disamping agama Hindu, bahwa di India pada abad ke 5 BC muncullah agama Buddha yang menekankan ajarannya kepada masalah etika dan hukum karma. Agama Buddha juga mengajarkan berbagai aturan hidup masyarakat dan menimbulkan suatu paham yang disebut Buddhisme. Agama Buddha dibagi menjadi dua kelompok besar yang disebut Mahayana dan Hinayana. Dari masing-masing kelompok ini terbagi lagi menjadi beberapa mazab (aliran).

Pengertian Hinduisme di India, tidaklah mencakup Buddhisme dan kedua isme itu berdiri sendiri menempuh jalan sendiri dalam proses perkembangannya masing-masing. Tetapi pengertian Hinduisme di Indonesia mencakup pula Buddhisme Mahayana atau dengan kata lain Hinduisme di Indonesia mencakup semua paham yang berasal dari India yang masuk ke Indonesia pada abad permulaan tarikh Masehi yang didukung oleh budaya lokal di Indonesia.

Proses Perkembangan Hindu di Indonesia

Pengaruh Hindu datang di Indonesia diperkirakan pada permulaan tarikh Masehi. Proses kedatangannya berlangsung secara damai dan bertahap-tahap. Kontak pendahuluan melalui media perdagangan yang dilakukan oleh pedagang India dengan para pedagang Indonesia (ada beberapa teori mengenai ini). Bukti-bukti ke Hinduan yang tertua di Indonesia diberikan persaksian oleh batu bertulis (Yupa) yang terdapat di Kutai Kalimantan Timur, memakai huruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta. Berdasarkan huruf Pallawa yang dipakai dalam Yupa tersebut, ditarik kesimpulan bahwa pengaruh Hindu yang masuk ke Indonesia, diperkirakan pada abad ke 4 Masehi, berasal dari daerah Koromandel di India Selatan. Dari segi keagamaan, keterangan yang tertulis pada Yupa itu menunjukkan corak Siwais, dinyatakan dalam kata Vaprakesvara yang berarti suatu tempat suci yang berhubungan dengan pemujaan terhadap Iswara yaitu nama lain dari Dewa Siwa. Diperkirakan sekitar 5 Masehi, muncullah ke Hinduan di Jawa Barat, ditandai dengan ditemukan 7 buah prasasti batu. dari segi keagamaan terdapat berbagai spekulasi mengenai agama yang dianut oleh kerajaan Tarumanegara. Ada bukti kuat yang menduga bahwa raja Pumawarman memuja Dewa Wisnu. Ada pula pendapat lain yang mengatakan raja Pumawarman memuja Siwa dan ada juga yang berpendapat bahwa ia menganut paham Brahmanical Religion.

Bukti-bukti masuknya agama Hindu di Jawa Tengah diberikan persaksian oleh prasasti batu Tuk Mas di desa Dakawu yang menyebutkan pujian terhadap kesucian sungai Gangga disertai gambar-gambar atribut Dewa Tri Murti, yaitu : Kendi (amrta-Brahma), Gadha (Wisnu) dan Trisula (Siwa) yang diperkirakan dibuat pada tahun 650 Masehi.

Pada zaman yang berikutnya, prasasti Canggal di gunung Wukir Jawa Tengah yang berangka tahun 654 S = 732 Masehi, menyebutkan pemujaan terhadap Dewa Siwa, Wisnu dan Brahma dalam suatu susunan yang vertikal, dengan mentokohkan Dewa Siwa sebagai yang paling dominan. Ini berarti secara konkrit pada 732 Masehi agama Hindu dalam arti pemujaan Tri Murti telah muncul di Jawa Tengah.

Munculnya agama Hindu di Jawa Timur ditandai oleh prasasti Dinoyo pada 760 Masehi. Di dalam prasasti ini terdapat kata putikeswara yang berarti api suci dari Dewa Siwa. Perkembangannya kemudian merupakan kelanjutan dari Jawa Tengah dengan berbagai corak.

Pengertian Tri Murti di Indonesia adalah pemujaan terhadap tiga dewa yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa secara vertikal dengan pemujaan terhadap Dewa Siwa paling menonjol. Karena itu paham Tri Murti di Indonesia sering disebut Siwaisme atau sebaliknya Siwaisme atau agama Siwa adalah cakupan Waisnawa dan Brahmaisme. Inilah yang secara nyata kita anut di Indonesia sekarang. Mengenai siapa yang menyebarkan agama Siwa (baea : Hindu) di Indonesia, para ahli menunjukkan kepada seorang tokoh yaitu : Maharsi Agastya yang banyak namanya diabadikan pada prasasti-prasasti dalam Kesusastraan Jawa Kuno.

Disamping agama Hindu, maka agama Buddha juga masuk ke Indonesia. Menurut penelitian para ahli, bahwa agama Buddha Hinayana masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad ke 3 Masehi. Hal ini diberikan persaksian oleh arca perunggu berbentuk Buddha Dipangkara yang terdapat di Sempaga-Sulawesi Tengah yang memakai gaya amarawati. Di Jawa Tengah agama Buddha Hinayana telah ada tahun 664 Masehi, dimana seorang pendeta Buddha Cina bernama Hwining menterjemahkan kitab Mulasarwastiwadanikaya, yaitu salah satu kitab suci Buddha Hinayana, bersama pendeta Indonesia (Holing) yang bernama Jnanabhadra.

Pada abad ke 7 Buddha Mahayana masuk dan berkembang di Sumatera Selatan bersama dengan pertumbuhan kerajaan Sriwijaya, yang diberikan persaksian oleh prasasti batu Kedukan Bukit tahun 683 Masehi dan prasasti batu Talang Tuwo tahun 684 Masehi. Dalam prasasti Talang Tuwo itu terdapat kata Wajrasarira yang artinya berbadan Wajra. Ini memberikan data, bahwa agama Buddha Mahayana yang masuk ke Sriwijaya adalah mazab Wajrayana atau juga disebut Buddha Tantra. Selain mazab Wajrayana, maka mazab Yogacara dari Buddha Mahayana juga masuk ke Indonesia.

Agama Buddha Mahayana ini juga masuk ke Jawa Tengah pada abad ke 8 Masehi, periode awal Sailendrawangsa di Jawa Tengah diberi persaksian oleh prasasti Kalasan tahun 754 M. Masuknya Buddha Mahayana ke Jawa Tengah yang diduga perkembangan dari Sriwijaya, mendesak Buddha Hinayana di daerah itu, sehingga Buddha Hinayana tidak lagi disebut-sebut dalam sejarah Agama di Indonesia.

Dari abad ke 8 sampai abad ke 9 agama Siwa dan agama Buddha Mahayana hidup berdampingan secara damai di Jawa Tengah (peaceful coexistence) di bawah dinasti Sanjaya dan dinasti Sailendra. hal ini dibuktikan dengan adanya Candi Borobudur sebagai lambang kemegahan agama Buddha Mahayana pada abad ke 9 (824-842 Masehi) dan Candi Prambanan pada abad ke 9 juga (± 856 Masehi) sebagai lambang kemegahan agama Siwa di Jawa Tengah.

Dalam perkembangan selanjutnya, sejarah mencatat terjadinya perluluhan antara beberapa unsur agama Siwa dan agama Buddha Mahayana dan dalam proses perluluhan ini, agama Siwa lebih dominan. Titik permulaan luluhnya antara kedua agama di mulai di Jawa Tengah sejak abad ke 9, kemudian berkembang di Jawa Timur sejak abad ke 10. Secara intensif perluluhan itu memuncak pada periode Singosari di Jawa Timur dan Kertanegara sendiri bergelar Prabu Siwa Buddha. Dalam zaman Majapahit perluluhan itu lebih luas lagi meliputi bidang filsafat, upacara agama, seni bangunan, kesusastraan dan tata pemerintahan. Pada periode inilah muncul kakawin Sutasoma dan cerita Bhukbhuksah Gagangaking yang bertenden Siwa-Buddha.

Penerapan Siwa Siddhanta di Bali

Penerapan Siwa Siddhanta di Bali

Ajaran Agama Hindu yang dianut sebagai warisan nenek moyang di Bali adalah ajaran Siwa Siddhanta yang kadang - kadang juga disebut Sridanta.
Siddhanta artinya akhir dari sesuatu yang telah dicapai, yang maksudnya adalah sebuah kesimpulan dari ajaran yang sudah mapan. Ajaran ini merupakan hasil dari akulturasi dari banyak ajaran Agama Hindu. Didalamnya kita temukan ajaran Weda, Upanisad, Dharmasastra, Darsana (terutama Samkya Yoga), Purana dan Tantra. Ajaran dari sumber - sumber tersebut berpadu dalam ajaran Tattwa yang menjadi jiwa atau intisari Agama Hindu di Bali.

Dalam realisasinya, tata pelaksanaan kehidupan umat beragama di Bali juga menampakkan perpaduan dari unsur - unsur kepercayaan nenek moyang. Wariga, Rerainan (hari raya) dan Upakara sebagian besarnya merupakan warisan nenek moyang. Warisan ini telah demikian berpadu serasi dengan ajaran Agama Hindu sehingga merupakan sebuah satu kesatuan yang bulat dan utuh. Dengan demikian, Agama Hindu di Bali mempunyai sifat yang khas sesuai dengan kebutuhan rohani orang Bali dari jaman dahulu hingga sekarang. Di masa sekarang ini, warisan Agama yang adhiluhung tersebut perlu kita jaga, rawat dan menyempurnakan pemahaman kita sehingga tetap bisa memenuhi kebutuhan jiwa keagamaan umatnya.


Tempat - tempat pemujaan menunjukkan tempat memuja Bhatara Siwa dalam manifestasi beliau. Belia dipuja sebagai Siwa Raditya di Padmasana, dipuja sebagai Tri Murti di sanggah, paibon, Kahyangan Desa dan kahyangan jagat. Pemujaan Tuhan pada berbagai tempat sebagai Ista Dewata sesuai dengan ajaran Tuhan berada dimana - mana. Demikinalah orang Bali menyembah Tuhan disemua tempat, di Pura Dalem, Pura Desa, Pura Puseh, Bale Agung, Pempatan Agung, Peteluan, Setra, Segara, Gunung, Sawah, Dapur dan sebagainya.

Pada abad ke-8 Danghyang Markandeya mendapat wahyu di Gunung di Hyang (sekarang Dieng, Jawa Timur) bahwa bangunan palinggih di Tolangkir (sekarang Besakih) harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur –unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah. Setelah menetap di Taro, Tegal lalang-Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siwa Siddhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual: Surya Sewana, Bebali (banten), dan pecaruan. Dari konsepsi ajaran  Danghyang Markandeya dapat disamakan dengan ajaran sekta-sekta lain yang ada di Bali. Seperti sekta Sora yang mengutamakan pemujaan terhadap Dewa Surya dalam bentuk pemujaan Surya sewana, sama halnya yang dilakukan oleh Sekta Siwa Siddhanta. Ini dapat dikatakan adanya kesamaan bentuk pemujaan antara sekta Siwa Siddhanta dengan sekta Sora.

Siwa Siddhanta dalam pelaksanaannya di Bali terdapat relasi antara manusia dengan Tuhan. Relasi ini diwujudkan dalam bentuk bakti sebagai wujud Prawrtti Marga. Tuhan dipuja sebagai saksi agung akan semua perbuatan manusia di dunia. Tuhan yang memberikan berkah dan hukuman kepada semua mahluk. Di Bali, bhakti kepada Tuhan direalisasikan dalam berbagai bentuk. Untuk orang kebanyakan, bhakti diwujudkan dengan sembahyang yang diiringi dengan upakara. Upakara artinya pelayanan dengan ramah diwujudkan dengan banten. Upakara termasuk Yajna atau persembahan suci. Baik sembahyang maupun persembahan Yajna memerlukan tempat pemujaan. Pemangku, Balian Sonteng dan Sulinggih mengantarkan persembahan umat kepada Tuhan dengan saa, mantra dan puja. Padewasan dan rerainan memengang peranan penting, yang mana pada semua ini ajaran sradha kepada Tuhan akan selalu tampak terwujud. Demikian juga misalnya saat Bhatara Siwa sebagai Dewata Nawa Sanga diwujudkan dalam banten caru, belia disimbulkan pada banten Bagia Pula Kerti, beliau dipuja pada puja Asta Mahabhaya, Nawa Ratna dan pada kidung belia dipuja pada kidung Aji Kembang. Bhatara Siwa sebagai Panca Dewata dipuja dalam berbagai Puja, Mantra dan saa, ditulis dalam aksara pada rerajahan dan juga disimbulkan pada alat upacara serta aspek kehidupan beragama lainnya.

Praktek – praktek ritual dari Saiwa Siddhanta dengan warna Tantrik dapat kita lihat dari ritual para Pendeta di Bali seperti dalam pelaksanaan Suryasevana dengan patangan atau mudra serta mantra – mantra ( Stuti dan Stava ) dengan kuta mantra-Nya dan lain – lain. Waisnawa Sampradaya memiliki peninggalan dalam tradisi adalah pemujaan kepada Dewi Sri sebagai Dewi kemakmuran. Sri adalah sakti dari Dewa Wisnu sedang Wisnu diyakini sebagai pemelihara alam semesta yang dikaitkan pula dengan pura puseh ( dipuja melalui pura puseh ) , Pura Ulun sui/ bedugul dimaksudkan pula untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasi utamanya sebagai Shang Hyang Wisnu.

Pelaksanaan Siwa Siddhanta dalam Panca Yajna

Penerapan Siwa Siddhanta di Bali lebih banyak yang nampak melalui pelaksanaan upacara agama Hindu yang dikelompokkan dalam lima bagian besar yang dinamain pancaa yajna, yakni : 
  1. Dewa Yajna yakni persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa beserta dengan semua manifestasi-Nya, dengan pelaksanaan upacar agama berupa piodalan di Pura, persembahyangan, perayaan hari suci agama Hindu seperti : Saraswati, Pagerwesi, Galungan, Kuningan, Siwaratri, Nyepi, Purnama, Tilem, dan sebagainya. 
  2. Manusa Yajna yakni persemban kepada manusia yang dimulai sejak dalam kandungan sampai menjelang meninggal dengan berbagai jenis upacaranya yang bertujuan untuk melakukan penghormatan terhadap sesama manusia, melakukan upacara seperti upacara megedong-gedongan, dapetan, tutug kambuhan, telu bulanan, ngotonin, ngeraja wala, matatah, mawiwaha, pawintenan, dan sebagainya. 
  3. Pitra Yajna yaitu persembahan kehadapan orang tua selama masih hidup maupun setelah mati kehadapan pitara-pitari guna mendapatkan kerahayuan hidup di dunia ini dan di akhirat, cara pelaksanaannya dengan melakukan penghormatan kepada orang tua, berbakti kepada orang tua, melakukan upacara pitra yajna, dan lain-laainnya. 
  4. Resi Yajna yakni persembahan kehadapan para orang suci, para resi yang telah berjasa dalam pembinaan, pengembangan, serta menuntut umat , yang pelaksanaanya dengan menaati ajaran para Resi, berbakti kepada Resi, berdana punia kepada para Resi, memberikan pelayanan keapda para Resi, dan sebagainya. 
  5. Bhuta Yajna yakni persembahan kehadapan para bhuta kala atau makhluk bawahan, oleh karena para bhuta kala itu turut memberikan kekuatan kehidupan di alam semesta ini sehingga semua kehidupan menjadi harmonis. Pelaksanaannya dengan melakukan masegeh, macaru, dan pelaksanaan tawur.

Unsur-Unsur Sekte Waisnawa Yang terdapat Dalam Saiwa Siddhanta

Untuk melihat unsur-unsur Waisnawa yang terdapat dalam Saiwa Siddhanta perlu kiranya kita lihat dari 2 sisi,yaitu : Upakara dan Upacara.Dibawah ini akan diuraikan unsur-unsur Waisnawa dalam dua sisi tersebut.

1. Upakara
  • Dalam upakara dapat dilihat bahwa unsur-unsur Waisnawa ada pada penggunaan Sesayut Agung,bentuknya:memakai aled/alas sesayut,tumpeng agung yang dipuncaknya memakai telur itik direbus 1,4 kwangen,4 bunga yang berwarna hitam,pada saat dihaturkan bertempatkan di utara.Bentuk sesayut ini menggambarkan ciri-ciri dari Wisnu yang merupakan Dewa yang dipuja dalam sekta waisnawa.
  • Sesayut Ratu Agung,bentuknya:Menggunakan tiga nasi tumpeng dengan puncaknya diisi satu buah telur itik,Bunga cempaka yang ditempatkan pada empat penjuru mengelilingi tumpeng,dua kwangen disandarkan pada tumpeng,dua tulung,sasangahan sarwa galahan,sodan woh,berbagai jenis buah-buahan.Dipersembahkan pada Dewa Wisnu.
  • Canang Genten,bentuknya : memakai alas yang berupa ceper atau yang berupa reringgitan,disusun dengan plawa(daun),Porosan yang berupa sedah berisi apuh dan jambe diikat dengan tali porosan,disusun dengan tempat minyak,bunga dan pandan arum yang bermakna penyatuan pikiran yang suci untuk sujud bhakti kehadapan Hyang Widhi dalam wujudnya sebagai Brahma Wisnu dan Iswara.
  • Banten Pula Gembal;Terdapat beberapa bagian yang mewakili wisnu diantaranya adalah terdapat jajan yang menggambarkan senjata dan salah satunya adalah senjata cakra yang merupakan senjatanya Dewa Wisnu.
  • Gayah Urip:mempergunakan seekor babi.diatas kepala babi tersebut ditancapkan sembilan jenis sate yang berbentuk senjata,yang penempatannya sesuai dengan pengideran dewata nawa sanga.salah satu dari sate tersebut berbentuk cakra (senjata Dewa Wisnu) dengan puncaknya Amparu ditancapkan disebelah utara (Untram).
  • Tirta:hampir disetiap upacara menggunakan tirta yang terbuat dari yang telah disucikan.Air merupakan lambang dari Dewa Wisnu.
  • Banten catur rebah : pada banten ini salah satunya menggunakan biyu lurut 4 bulih,diletakan diutara sebagai simbol Dewa Wisnu.

2. Upacara
  • Upacara Mapag Yeh : dilakukan oleh para krama subak yeh yang ditujukan kepada Dewa Wisnu.
  • Mabyukukung : menggunakan upakara berupa banten dapetan penyeneng,jerimpen,pangambyan,sodan,canang,raka putih kuning,toya anyar mawadah sibuh yang berisi muncuk daun dapdap.Yang dipuja adalah Hyang Sri Laksmi yang merupakan saktinya Dewa Wisnu.
  • Upacara yang dilakukan pada saat menanam padi:dilaksanakan pada sasih kaulu,kesanga,dan kedasa Dengan menggunakan segehan nasi kepalan berwarna hitam,ikan serba hitam,buah yang berwarna hitam,masawen (sawen=penanda) dengan kayu yang berwarna Hitam.Yang disembah atau dipuja adalah Hyang Guru Wisnu.

Unsur-unsur Sekte Bhairawa dalam Saiwa Siddhanta

Dalam pelaksanaan setiap upacara di Bali tidak dapat terlepas dari proses upacara pecaruan. Dalam proses upacara pecaruan ini sebagian besar penggunaan sarananya mirip dengan penggunaan sarana sekta Bhairawa yang menggunakan arak, tuak dan brem. Selain itu dalam setiap penutup kegiatan Pujawali di setiap Pura di Bali menyelenggarakan upacara Tabuh Rah yang merupkan simbolisasi pemberian penyupatan kepada bhuta kala. Sekta Bhairawa juga mengadakan upacara Tabuh Rah, ini tidak dapat dipungkiri adanya kesamaan bentuk dan pelaksanaan upacara antara Siwa Siddhanta dan Bhairawa.

Unsur-Unsur Sekte Sora dalam Saiwa Siddhanta

Setiap pelaksanaan upacara di Bali saat ini merupakan penerapan dari ajaran Siwa Siddhanta. Dan Ajaran Siwa Siddhanta ini merupakan salah satu bentuk ajaran yang mengkristalisasi semua ajaran sekta-sekta yang ada di Bali. Seperti dalam setiap pelaksanaan upacara pemujaan dalam bentuk surya sewana yaitu pemujaan kepada Dewa Surya, hal ini merupakan salah satu unsur dari sekta Sora yang kemudian di kristalisasikan dalam sekta Siwa Siddhanta. Adapun makna yang terkandung dalam pelaksanaan upacara pemujaan Dewa Surya ini adalah sebagai simbolisasi bahwa umat manusia telah melaksanakan Yajna.

Unsur-unsur Sekte Pasupata dalam Siwa Siddhanta

Sekta pasupata merupakan sekta yang mengutamakan bentuk pemujaan terhdap Dewa Siwa melalui Lingga. Dalam Siwa Siddhanta pelaksanaanya dalam mewujudkan Sang Hyang Widhi Wasa yang berwujud Transenden menggunakan simbolisasi berupa arca atau lingga. Hal ini dapat disamakan dengan bentuk pemujaan yang dilakukan oleh sekta Pasupata. Mpu Sangkulputih merupakan pelopor pembuatan arca atau pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan batu, kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi. Lingga merupakan lambang Dewa Siwa atau Tuhan Siwa, yang pada hakekatnya mempuriyai arti, peranan dan fungsi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat lampau, khususnya bagi umat manusia yang beragama Hindu. Hal ini terbukti bahwasanya peninggalan lingga sampai saat ini pada umumnya di Bali kebanyakan terdapat di tempat-tempat suci seperti pada pura-pura kuno. Bahkan ada juga ditemukan pada goa-goa yang sampai sekarang masih tetap dihormati dan disucikan oleh masyarakat setempat.Di Indonesia khususnya Bali, walaupun ditemukan peninggalan lingga dalam jumlah yang banyak, akan tetapi masyarakat masih ada yang belum memahami arti lingga yang sebenarnya. Untuk memberikan penjelasan tentang pengertian lingga secara umum maka di dalam uraian ini akan membahas pengertian lingga, yang sudah tentu bersifat umum.

Ajaran Hindu yang berkembang di Indonesia adalah ajaran Siwa Siddhanta, yaitu ajaran yang menekankan pada pemujaan Lingga dengan tokoh Tri Murti yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa. Serta pada Tri Purusa yaitu Parama Siwa, Sada Siwa, Siwa. Pengertian Tri Purusa ialah lukisan Tuhan sebagai penguasa alam atas, alam tengah dan alam bawah yang dilukiskan sebagai Parama Siwa (atas), Sada Siwa (tengah) dan Siwa (bawah). (Sara,1994:56). Dari kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa Siwa Siddhanta menggunakan lingga sebagai simbolisasi. Hal ini merupakan kemiripan dari ajaran Pasupata.

Unsur-unsur Sekte Bodha atau Sogatha dalam Siwa Siddhanta

Masuknya agama Hindu di Bali diperkirakan sebelum abad ke-8 Masehi, karena terdapat bukti berupa fragmen-fragmen pada prasasti yang ditemukan di desa Pejeng, Gianyar yang berbahasa Sanskerta. Ditinjau dari segi bentuk hurufnya diduga sejaman dengan meterai tanah liat yang memuat mantra Budha yang dikenal dengan "Ye te mantra", dan diperkirakan berasal dari tahun 778 Masehi. Pada baris pertama dari dalam prasasti itu menyebutkan kata "Sivas.......ddh......." yang oleh para ahli, terutama Dr. R. Goris menduga kata yang hampir pudar itu kemungkinan berbunyi: "Siva Siddhanta". Dengan demikian pada abad ke-8, Paksa (Sampradaya atau Sekta) Siwa Siddhanta sudah berkembang di Bali. Berkembangnya ajaran agama yang dianut oleh raja dan rakyat tentunya melalui proses yang cukup panjang, sehingga dapat dikatakan Hindu Sekte Siwa Siddhanta sudah masuk secara perlahan-lahan sebelum abad ke-2 hingga ke-8 Masehi.

Bukti lainnya adalah ditemukannya arca Siwa di Pura Putra Bhatara Desa di Bedahulu, Gianyar. Arca tersebut merupakan satu tipe dengan arca-arca Siwa di Candi Dieng yang berasal sekitar abad ke-8, yang menurut Stutterheim tergolong berasal pada periode seni arca Hindu Bali. Dalam prasasti Sukawana di Bangli yang memuat angka 882 Masehi, menyebutkan adanya tiga tokoh agama yaitu Bhiksu Sivaprajna, Bhiksu Siwa Nirmala dan Bhiksu Sivakangsita yang membangun pertapaan di Cintamani (di Kintamani), yang menunjukkan kemungkinan telah terjadi sinkretisme antara Siwa dan Budha di Bali. Bila dilihat perkembangannya, kedua aliran agama tersebut sesungguhnya berasal dari pohon yang sama yaitu ajaran Hindu. Berkembangnya dan terjadinya sinkretisme antara penganut Siwa dan Buddhisme di Bali, diduga lebih menonjol pada masa pemerintahan raja besar Dharma Udayana Warmadeva, karena kedua agama tersebut merupakan agama yang diakui kerajaan.

Konsep Budha memang tidak dapat tempat ke dalam konsep ini. Namun secara fhilosofis, Budhisma sesungguhnya tidak memerlukan tempat suci. Sebab inti Budhisma bukan pemujaan, namun pelatihan-pelatihan untuk mengubah prilaku diri sendiri. Karena itu, pura bagi pengikut sang Budha adalah dirinya sendiri. Para pengikut Budha tidak memerlukan tempat suci, meskipun memang ada pengikut Budha yang masih memerlulan tempat suci. Mereka diberi kebebasan untuk membangun tempat suci untuk dewa pujaannya dirumanya masing-masing.

Keseluruhan konsep ini dikembangkan kedalam sebuah tatanan yang disebut Pakraman. Tatanan ini mengikat seluruh warga yang ada di dalam Pekraman. Sehingga semua sekte atau aliran pemikiran tersebut melebur ke dalam Pakraman. Pada sekitar abad ke 15 masehi, peleburan ini telah mencapai pada titik sempurna. Dhangyang Dwijendra pada sekitar abad tersebut, hanya menemui sekte-sekte seperti terdapat dalam kelompok-kelompok elite para brahmana, seperti brahmana Waisnawa, Shiwa dan Budha. Sementara masyarakat bali sendiri telah terlebur ke dalam Pakraman. Siapa pun tidak bisa membedakan sekte-sekte mereka. Walau pun mereka menganut sebuah sekte tertentu. Sifatnya sangat pribadi. Tak perlu diumumkan di tengah-tengah masyarakat luas.

Sabtu, 25 Juli 2015

Hindu Bali

Hindu Bali

Hindu Bali disebut pula Agama Hindu Dharma atau Gama Tirtha (agama Air Suci) adalah suatu praktik agama Hindu yang umumnya diamalkan oleh mayoritas suku Bali di Indonesia.

Hindu Bali merupakan sinkretisme atau penggabungan sekte - kepercayaan Hindu atau dimasa sekarang lebih dikenal dengan sebutan Sampradaya, baik aliran Siwa Sidhanta, Brahmana, Resi, Sora, Pasupata, Ganapatya, Bhairawa, Waisnawa, dan Sogatha dengan kepercayaan asli (local genius) suku Bali.
akibat dari penggabungan (sinkretisme) sekte tersebuat, banyak ritual-ritual dibali terlihat berbeda dengan ritual agama hindu diluar bali, baik di indonesia maupun dengan India (asal agama hindu). Pada dasarnya, Ritual Hindu Bali tidaklah berubah 100% dari aslinya, melainkan penyesuaian kesepahaman agar semua unsur pemujaan dari kesemua sekte yang telah digabungkan tercermin dalam setiap ritual upacara yadnya dibali. 

Untuk tetap menjaga kondisi tersebut, para pemuka agama (sadaka/sulinggih) maupun para pujangga pada jaman itu dan selanjutnya atas perintah Raja Udayana diwajibkan membuat lontar-lontar Sastra yang dijadikan acuan dalam menjalankan ritual upacara yadnya.  sehingga lontar-lontar dan karya sastra yang berkaitan dengan spiritual dibali selalu mengacu pada perintah raja udayana, yang hingga kini diwariskan oleh masyarakat Bali.
jadi,
"bila ada Ritual dibali selalu dilakukan dan dilaksanakan sesuai petunjuk lontar bali, dan apabila sebuah ritual tanpa ada dasar sastra lontar bali, maka ritual itu dianggap keliru".
dasar pemikiran diatas, kemudian terus berkembang, sehingga apabila ada umat yang menanyakan ritual hindu bali, memang akan sulit memilah-milahnya, karena kesemua ritual yang diyakini oleh sekte yang pernah tingal dibali sudah terlebur menjadi ritual hindu bali, salah satunya Banten.

bila sebuah ritual, khususnya Banten ditarik dasar sastranya langsung ke ajaran weda, maka akan sangat sulit ditemukan, karena dasar pembuatan banten adalah renungan para pemuka agama dibali, hasil meditasi, serta penyamaan pemahaman spiritual sekte-sekte yang sudah tentu awalnya berdasarkan weda khususnya purana-purana yang mereka pegang sebelumnya.

Sejarah Hindu Bali

Sesuai dengan sifat Sejarah, bahwa pengetahuan mengenai kedatangan Hinduisme di Bali didasarkan atas fakta yang dapat dikumpulkan. Menurut hasil penelitian para ahli sejarah, bahwa Hinduisme yang datang di Bali, ada yang datang dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera dan ada juga datang dari Thailand.
Kapan mulai masuknya Hinduisme di Bali ? 
menurut bukti-bukti dalam Stupika Buddha yang terdapat di Pura Penataran Sasih di Pejeng, bahwa dalam abad ke 8 di Bali telah terdapat Hinduisme dalam wujud agama Buddha Mahayana dan agama Siwa. Juga prasasti tembaga yang tersimpan di desa Sukawana­Kintamani tahun 882 Masehi sudah menyebutkan nama-nama Bhiksu Siwa Nirmala, Bhiksu Siwa Praja dan Bhiksu Siwa Kangsita. lni berarti keberadaan agama Siwa dan agama Buddha di Bali adalah pada kurun waktu yang bersamaan.

Dari data-data sejarah Bali Kuna, diperoleh keterangan, bahwa raja-raja Bali Kuna sebelum kedatangan Gajah Mada ke Bali tahun 1343 Masehi, adalah memeluk agama Buddha Mahayana. Agama Buddha Mahayana di Bali dianut oleh raja-raja dan para pejabat tinggi pemerintahan Bali Kuna dahulu, sedangkan agama Siwa dianut oleh masyarakat.

Perluluhan agama Siwa dengan Buddha secara intensif di Bali, dimulai sejak akhir abad ke 10, ditandai dengan perkawinan Dharma Udayana raja Bali Kuna yang beragama Buddha Mahayana dengan Mahendradatta putri raja Jawa Timur yang beragama Siwa. Sejak itu agama Siwa berkembang secara meluas di Bali dan agama Buddha tidak mengembangkan dirinya, melainkan lu1uh ke dalam agama Siwa (baca : Hindu).

Pada masa pemerintahan raja Anak Wungsu di Bali (abad ke 11), datanglah Empu Kuturan dari Jawa Timur ke Bali. Be1iau berkedudukan di Silayukti Padangbai sekarang. Empu Kuturan datang ke Bali, mengajarkan konsepsi pemujaan Tri Murti dan diterapkan pada masing-masing desa pakraman. Beliau juga mengajarkan tentang Upaeara Ngaben Swasta, tentang upacara Manusa-Yajna (Dharmakahuripan), tentang cara membuat meru di Besakih, tentang pedagingan pa1inggih dan mendirikan Sad Kahyangan Jagat Bali serta beberapa Kahyangan lainnya lagi dan lain-lainnya. Disamping itu beliau juga menyempumakan kehidupan agama Hindu di Bali dari sebelumnya serta menghimpun beberapa sekte agama Hindu yang telah ada di Bali seperti : sekte Kala, sekte Sambhu, sekte lndra, sekte Brahma, sekte Waisnawa dan sekte Saiwa.
  1. Kala paksa (Wanakrtih): mengajarkan tentang upacara untuk tanam-tanaman (pertanian).
  2. Sambhu paksa (Jagatkrtih): mengajarkan tentang mengupacarai jagat (bhuwana), mengadakan tawur dan caru kepada Panca maha bhuta.
  3. Indra paksa (Samudrakrtih): mengajarkan tentang mengupacarai laut, gunung, merebu bumi ngenteg linggih (Dewahara).
  4. Agni paksa (Atmakrtih): mengajarkan tentang mengupacarai atma atau rokh manusia serta sekalian mahluk (sarwa prani).
  5. Waisnawa paksa (Danukrtih): mengajarkan tentang mengupacarai danau, sawah, ladang dan segala pembersihan lahir bathin.
  6. Saiwa paksa (Janakrtih): mengajarkan tentang mengupacarai manusia dalam bentuk upacara-upacara Janmaprawerti dan Dharmakahuripan.

Ajaran tersebut diatas disebut Sad-Kertih yang menjadi dasar dari bentuk-bentuk upacara agama Hindu di Bali yang akhimya disempumakan dan dicakup ke dalam Panca Yadnya, disertai paham Tantrayana.

Pada masa pemerintahan Dalem Baturenggong di Gelgel (1460-1550 Masehi), datanglah Dang Hyang Nirartha dari Kediri Jawa Timur Ke Bali. Kedatangan beliau ke Bali bertujuan ganda yaitu :
  1. Mempertahankan Bali dari desakan paham baru (baca : Islam) yang telah meruntuhkan Majapahit.
  2. Meningkatkan dan menyempurnakan cara-cara hidup beragama Hindu di Bali menuju kepada kemurniannya.
Beliau mengajarkan tentang Tripurusa dalam konsepsi Siwa Sidhanta yaitu : Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa yang diidentikkan dengan Tri Murti. Beliau juga mengajarkan membuat palinggih Padmasalla sebagai linggih Hyang Widhi. Beliau melakukan Karya Ekadasarudra di Besakih, guna memohon kesentosaan rakyat Bali. Selain itu beliau juga mengajarkan tentang Panca Yadnya yang disempurnakan di Bali dan juga menyusun Weda yang dipakai pegangan oleh para Pedanda sekarang di Bali. Beliau adalah sastrawan besar dan berbagai karya sastra beliau diwariskan di Bali sekarang seperti : Dharmasunya, Nitisastra, Ekapratama, Usana Bali, Ampik, Sebun Bangkung dan sebagainya. Perjalanan beliau sebagai dharmayatra di Bali banyak diabadikan dalam Pura, seperti : Purancak, Rambut Siwi, Tanah Lot, Peti Tenget, Uluwatu, Sakenan, Air Jeruk, Ponjok Batu dan sebagainya. Beliau berdharmayatra sampai ke Lombok dan Sumbawa dan akhimya moksa di Uluwatu.

Dalam periode ini pula datanglah Dang Hyang Astapaka dari Jawa Timur ke Bali. Beliau adalah seorang pendeta Buddha dari keturunan Dang Hyang Angsoka yang beraliran Wajrayana dengan pemujaan yang terutama kepada Wairocana yaitu Dhyani Buddha yang di tengah dalam susunan Panca Tatagatha Buddha. Keturunan beliau sekarang terdapat di desa Budha Keling Karangasem, di desa Batuan-Gianyar dan juga tempat lain.

Pemerintahan Sri Kresna Kepakisan di Bali yang berasal dari Majapahit menerapkan tradisi yang berlaku di Majapahit seperti dalam upacara-upacara agama yang besar dipimpin oleh pendeta Siwa dan Buddha, sebagaimana diuraikan didalam Negarakertagama yang kita warisi sekarang ini di pulau Bali dan berkembang menurut desa, kala dan patra.

Dalam perkembangan lebih lanjut, bahwa sejarah mencatat terjadinya perubahan sistem kenegaraan di Indonesia. Dengan dijajahnya Indonesia oleh Belanda, maka mulailah diterapkan pendidikan klasikal di Indonesia, dengan sistem pendidikan baru. lni mengakibatkan berkembangnya pemikiran intelektual di masyarakat termasuk dikalangan umat Hindu. Dengan demikian maka ajaran-ajaran agama Hindu mulai dikaji secara mendalam dengan menggunakan pendekatan ilmiah dan analisis-analisis rasional. Hal yang demikian itu dipelopori oleh orang-orang Hindolog yang berhasil menyelesaikan pendidikannya di India. Mereka mulai memperkenalkan Kitab Bhagawadgita dan Kitab-kitab Upanisad yang sebelumnya kurang dikenal di Indonesian. Pandangan-pandangan rasional bermunculan dan secara perlahan-Iahan menggugah hati nurani Umat Hindu untuk memperdalam pengetahuan serta keyakinannya terhadap agama Hindu. Ini adalah proses awal terbentuknya Parisada.

Sekarang Umat Hindu telah tersebar di seluruh propinsi di Indonesia, lebih-Iebih lagi di Jawa Tengah dan di Jawa Timur. Berkembangnya kembali Umat Hindu di Indonesia yang pemah mengalami masa kejayaan di Indonesia jaman Majapahit, bukanlah berarti menyebarkan agama baru, melainkan mereka sendiri dengan penuh keyakinan untuk kembali menganut agama Hindu yang dianut oleh nenek moyangnya dahulu.

Tantrayana di Bali

Tantrayana berpangkal pada Konsepsi-Dewi (Mother Gooddes) yang bukti-buktinya terdapat di Lembah Sidhu. Dari Konsepsi-Dewi itu muncullah Saktiisme yaitu suatu ajaran yang mengkhususkan pemujaannya kepada Sakti, yaitu kekuatan dari Dewa, terutama sekali pemujaan terhadap Dewi Durga. Golongan pemuja Sakti disebut SAKTA. Perkembangan lebih lanjut dari Saktiisme itu munculan Tantrisme. Golongan itu memuja Sakti secara Ekstrim dan mereka disebut Tantrayana.
Tantra berasal dari kata "Tan" artinya memaparkan (memaparkan kekuatan dari Sakti itu). 
Dari Tantrisme ini muncullah suatu pada Bhairawa yang artinya Iwhat. Paham Bhairawa itu secara khusus memuja kehebatan daripada Sakti itu, dengan cara­cara yang spesifik. Mereka melaksanakan barata lima MA, yaitu: mamsa, matsya, madhya, maituna dan mudra yang disebut Panca Tattwa. Praktek ajarannya pada waktu malam diatas kuburan serta ditempat yang angker dan mereka menggunakan masker. Kegunaan dari pada ini adalah untuk mendapatkan kharisma yang tinggi yang diperlukan dalam suatu pengendalian pemerintahan. Maka dari itu aliran ini hanya diikuti oleh Raja dan Staf Pejabat Tinggi saja jaman dahulu. Bhairawa ada tiga macam yaitu : Bhairawa Heruka, Bhairawa Kalacakra dan Bhairawa Bhima. Aliran ini mempunyai tendensi politik dalam suatu pemerintahan dalam menghadapi musuh.

Di Bali, perkembangan dari Konsepsi-Dewi itu nyata sekali yaitu pemujaan Dewi/Bhatari lebih menonjol dari pada pemujaan Dewa/Bhatara, misalnya pemujaan terhadap Dewi Saraswati, Dewi Durga, Dewi Sri, Ibu Pertiwi dan sebagainya. Di dalam sistem kekeluargaan di Bali, banyak sekali dijumpai Pura Ibu.

Perkembangan Saktiisme di Bali, menjurus kepada dua aliran (Leak Bali) yaitu: Pangiwa dan Penengen. Kelompok Pangiwa memunculkan : Leyak, Desti, Teluh Taranjana dan Wegig. Kelompok Panengen memunculkan Kawisesan dan Pragolan. Pangiwa berasal dari sistem Niwerti dalam Bhairawa, sedangkan Panengen berasal dari sistem Prawerti dalam Bhairawa.

Cakupan Substansi Hindu Bali

pertama, Alam pikiran (baca : Bali) adalah bersifat fleksibel dan elastis yaitu mau menerima unsur-unsur pengaruh luar secara selektif untuk memperkaya pemikiran di Bali dan memberikan wama tersendiri serta mengembangkannya menurut alam pikiran Bali, sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan sifat-sifat dan kepribadian masyarakat Bali. Pandangan yang luwes itu melandasi pertumbuhan dan perkembangan kehidupan sosial, budaya dan agama Hindu di Bali, sehingga mampu beradaptasi dengan produk-produk pemikiran dari luar, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip kepribadian masyarakat Bali.

Sebelum kedatangan agama Hindu di Bali, Bali (baca : Indonesia) telah memiliki unsur-unsur kebudayaan yang bemilai tinggi yang di dalam bahasa populernya disebut local genious, disamping juga memiliki alam pikiran kerohanian dalam wujud religi yang bemilai tinggi. Alam pikiran inilah yang disebut alam pikiran lokal yang telah ada sebelum datangnya pengaruh Hindu di Bali.

Setelah datangnya pengaruh Hindu di Bali dalam wujud sosial, budaya dan agama, maka terjadilah akulturasi kebudayaan dan sinkritisme kepercayaan anatara alam pikiran lokal di Bali dengan pengaruh Hindu yang selanjutnya berproses sedemikian rupa dan muncullah tatanan kehidupan sosial, budaya dan agama Hindu di Bali. Oleh karena kualitas alam pikiran Hindu lebih tinggi daripada alam pikiran lokal di Bali, maka dalam proses akulturasi dan sinkritisme itu alam pikiran lokal menjadi dasamya dan pengembangannya diwamai oleh alam pikiran Hindu. Dengan lain perkataan, bahwa tatanan kehidupan sosial, budaya dan agama Hindu di Bali sekarang adalah agama Hindu yang dilandasi oleh alam pikiran lokal di Bali.

Terjadinya hubungan harmonis antara alam pikiran lokal dengan alam pikiran Hindu di Bali disebabkan oleh dua hal yaitu :
  1. Alam pikiran lokal mau menerima alam pikiran Hindu secara selektif dan menyesuaikannya dengan alam pikiran lokal yang hidup di Bali.
  2. Alam pikiran Hindu yang masuk ke Bali tidak bersifat kaku, melainkan menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi alam pikiran lokal di Bali. Hal itu disebabkan karena adanya konsep : desa, kala, patra dan kallistlta, madya, utama dalam alam pikiran Hindu. Inilah menyebabkan mengapa agama Hindu dapat hidup sepanjang zaman sehingga selalu up to date.
Beranjak dari analisis ini, maka tidak semua pengaruh Hindu diserap secara utuh di Bali, melainkan diambil dan dipilih yang sesuai dengan alam pikiran lokal di Bali (baca : Indonesia), Catur Weda, Manawadharmasastra, Nawadarsana, Ajaran Sekte, Tata Kemasyarakatan, Seni-Budaya, upacara dan lain-lainnya. Dari sini dapat diketahui bahwa dalam banyak hal kehidupan agama Hindu di India berbeda dengan agama Hindu di Bali, kecuali sumbernya yang sama yaitu Weda.

kedua adalah Sinkritisme Substansi Sekte, lebih lanjut silahkan baca "Sejarah Sekte di Bali"

ketiga, Agama harus dihayati, dicamkan, direnungkan dan diwujudkan dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Agama bukan hanya diomongkan, melainkan dilaksanakan dengan penuh keyakinan yang bermuara pada logika dan rasa batin (atmanastuti). Ada dua komponen yang terpadu dalam agama yaitu: rasa dan rasio. Didalam perpaduan ini, rasa (baca : rasa batin) mendominasi, karena Sang Hyang Widhi tidak membedakan orang yang pintar dengan orang yang bodoh, melainkan membedakan orang yang batinnya suci dengan orang yang batinnya kotor. Dalam hal ini ada dua istilah yang dapat diangkat, yaitu: ahli agama dan agamawan. Ahli agama belum tentu agamawan, tetapi agamawan sudah tentu tahu agama walaupun sangat minim. Karena itu agamawan lebih tinggi nilainya dari pada akhli agama.

Metoda yang baik untuk mewujudkan adalam dalam kehidupan adalah melaksanakan Catur-Marga (bhakti-marga, karma-marga, jnana-marga dan yoga-marga) secara utuh, karena hal itu merupakan suatu kesatuan. Tidaklah dibenarkan apabila Catur-Marga itu dilaksanakan secara terpisah-pisah, karena kualitas sumber daya manusia umat tidak sama kuatnya, maka adanya penonjolan salah satu marga itu dapat dipahami, namun harus tetap dalam konteks kesatuan Catur-Marga itu secara utuh.

Kita memahami, bahwa agama Hindu memiliki tattwa, susila, upacara dan acara. Inipun harus diwujudkan secara nyata didalam kehidupan sehari-sehari, karena semuanya itu merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan. Apabila menonjolkan tattwa (baca: filsafat) saja tanpa diwujudkan dengan susila, ini akan dapat memunculkan kemunafikan. Apabila menonjolkan susila saja tanpa melaksanakan upacara (dalam arti luas), ini sulit menamakan apakah mereka beragama atau tidak. Apabila upacara saja tanpa disadari tattwa dan susila, ini dikatakan dogmatis. Demikian pula apabila melaksanakan acara (tradisi) saja tanpa didasari tattwa dan susila, ini dikatakan buta.

Maka dari itu kewajiban kita umat Hindu haruslah melaksanakan agama secara utuh, mencakup tattwa, susila, upacara dan acara, sehingga suatu kesempurnaan akan dapat dicapai didalam kehidupan ini. caranya adalah : tattwa harus dicamkan, susila harus dijadikan pedoman dan arahan berperilaku, upacara harus dilakukan atas dasar Catur-Marga, dan acara harus dihormati sebagai nilai luhur warisan budaya bangsa. Dengan demikian kesejahteraan batin dan kemantapan rohani serta kestabilan jiwa akan dapat dicapai dalam kehidupan.

KOMPARASI KEHINDUAN DI INDIA DENGAN BALI

Sosial, Budaya dan Agama Hindu di India

Masyarakat Hindu di India terdiri dari beberapa ethnis dan tribes seperti: Dravida, Arya, Naga, Sikh dan lain-lain (Agama Sikh adalah campuran Hindu dengan Islam) yang masing-masing menampakkan kharakternya sendiri-sendiri. Di sana ada perkampungan-­perkampungan seperti desa di Bali yang disebut Grama. Grama yang besar atau kumpulan beberapa Grama disebut Pura yang berarti kota semacam Kota Kecamatan di Bali. Kehidupananya sangat kumuh dan kotor berbaur dengan ternak sapi yang diperliharanya dan banyak sekali sapi liar yang berkeliaran di jalan-jalan.

Keadaan perkonomian masyarakatnya sangat lemah dan mundur serta banyak pengemis yang berkeliaran di jalan-jalan. Pada umumnya tanah-tanah dikuasai oleh tuan-tuan tanah dan banyak rakyat kecil yang tidak mempunyai tanah. Hal ini mungkin disebabkan penduduk India sangat padat ± 900 juta jiwa, disamping juga karena dampak politik swadesi dan satyagraha yang diajarkan oleh Mahatma Gandhi yang menyebabkan ketertutupan India dari pengaruh  dunia luar.

Suatu hal yang menarik perhatian dan merupakan suatu ironis adalah murahnya harga kain sutra dan woll. Demikian pula buku-buku yang bagus berstandar internasional sangat banyak dan murah harganya bila dihitung dengan rupiah Indonesia. Makanan pokok sehari-­hari adalah susu dan tepung beras dan gandum yang diramas sedemikian rupa dicampur gula dan bumbu-bumbuan yang pedas. Jenis makanan yang paling umum di India adalah capati (seperti jajan kering) dan tali (semacam jajan dicampur kentang dan sayur-sayuran). Orang India sebagian besar vegetarian, lebih-lebih lagi di daerah Resikesh dan Haridwar di India Utara yang menerapkan kehidupan full vegetarian dan juga didalam kehidupan Ashram-Ashram.

Pada umumnya orang India pandai bersilat lidah, kikir dan sulit dapat menepati janji. Mereka sangat berorientasi kepada nilai-nilai spiritual dan agaknya menyampingkan nilai-nilai kehidupan duniawi, sehingga tampaknya kurang seimbangnya antara kehidupan skala dan niskala.

Produk budaya dalam wujud ilmu pengetahuan, teknologi, kesusastraan dan filsafat, sangat maju di India. Demikian pula arsitektur bangunan suci seperti Mandir, misalnya memakai style Gotic dan iconografi style Hellen memancarkan wujud yang anggun dan megah.

Di India terdapat penganut agama Hindu (?) yang mayoritas, dan penganut agama Sikh serta penganut agama Islam yang sedikit jumlahnya. Situasi kehidupan antar umat beragama di India, menampakkan suasana yang tidak rukun dan sangat mudah munculnya bentrokan antara yang satu dengan yang lain.

Setelah memperhatikan buku-buku yang dikeluarkan oleh Sekte Saiwa, sekte Waisnawa, sekte Tantrayana dan Budhis serta buku-buku dari berbagai aliran dan paham di India, serta menyaksikan foto maupun siaran TV tentang beberapa Ashram di India, dikesimpulan bahwa di India tidak ada yang disebut agama Hindu sebagai suatu kesatuan di India. Di India tidak ada satu lembaga umat yang mengkoordinasikan dan membina masyarakat Hindu seperti parisada di Indonesia. Di India ada Parisad (baca : Parisada), namun lembaga itu bukanlah lembaga atau majelis umat, melainkan merupakan suatu parlemen yang bersifat lembaga politik dalam  negara sekuler.

Untuk memperoleh gambaran mengenai kehidupan agama di India, disini diangkat hal-hal yang menonjol di India seperti berikut ini:
  1. Keagamaan di India bersifat Sektarian. Sekte yang menonjol ada tiga, yaitu : Saiwa, Waisnawa dan Tantrayana, disamping juga adanya banyak sekte yang lain. Pemujaan terhadap Brahma juga ada, namun keadaannya tidak seperti pemujaan terhadap Siwa, Wisnu dan Durga. Pemujaan Tri Murti disana dilakukan horizontal dan masing-masing Dewa dipuja terpisah secara tersendiri oleh pemujanya masing-masing. Disamping itu disana ada banyak Ashram yang mengajarkan sistem pendidikan kerohanian sendiri-­sendiri dengan pola orientasi dan arahan sendiri pula.
  2. Theisme atau Konsepsi Ke-Tuhanan di India agaknya kabur antara pemujaan terhadap Dewa dan Dewi dengan pemujaan terhadap individu yang suci seperti terhadap : Rama, Krishna, Hanoman dan lain-lain. Juga terjadi kekaburan antara personel dengan impersonal dalam imaginasi perwujudan Dewa dan Dewi. Demikian pula pentokohan terhadap seorang Guru Suci adalah sangat penting di hati para pengikutnya. Guru Suci inilah yang berperan sangat besar dalam kehidupan kerohanian di India seperti Swami Wiwekananda misalnya. Peran pemerintah di bidang keagamaan tidak begitu besar, karena India merupakan suatu Negara Sekuler
  3. Aktivitas keagamaan menonjolkan doa-doa dan pujian-pujian dalam bentuk Hymne daripada upacara ritual yang ceremonial.
  4. Prasarana keagamaan terlihat dalam wujud Mandir dan Arca-Arca, sedangkan sarana pemujaan yang digunakan hanyalah: bunga, air dan api. Penggunaan bunga dan air dalam pemujaan adalah berasal dari kebudayaan bangsa Arya, sedangkan penggunaan api adalah berasal dari kebudayaan bangsa Dravida. Suatu hal yang menarik perhatian adalah pada setiap tempat suci terdapat Arca (image) yang menjadi fokus konsentrasi pemujaan. Secara konseptual rupa-rupanya personifikasi Tuhan yang abstrak atau impersonal itu sangat dominan didalam imaginasinya.
  5. Kehidupan yang tidak seimbang. Orang-orang di India lebih menitikberatkan orientasi kehidupannya kepada sunyata dan mengesampingkan nilai-nilai sekala atau duniawi. Mereka dalam kesehariannya sebagian besar waktunya disita untuk merenung dan berdoa serta memuji-muji tokoh kerohanian yang dipujanya. Oleh karena itu tampaknya mereka kurang bersemangat meningkatkan kualitas kehidupan duniawinya. Disana sulit membedakan antara orang Sanyasin dengan orang peminta-minta yang sangat banyak berada disekitar tempat-tempat suci. Selain itu sifat mengkultuskan sapi sangat berlebihan di India.

Sosial, Budaya dan Agama di Bali

Kita patut bersyukur, bahwa kita diwarisi suatu tatanan kehidupan sosial, budaya dan agama Hindu yang telah mantap dan konseptual. Aktivitas agama Hindu di Bali cukup semarak dan meriah serta konseptual, karena ditopang oleh adat yang kukuh dan elastis, seni budaya yang kreatip serta bernilai tinggi. Agama Hindu menyinari kehidupan sosial budaya yang memberikan orientasi dan arahan di dalam kehidupan, sedangkan sosial budaya menopang dan mewujudkan ajaran agama dalam kehidupan masyarakat, sehingga menciptakan suatu tatanan kehidupan masyarakat socio-religius yang mantap dan etis-moralis serta dharmais.

Konsep kehidupan sosial, budaya dan agama Hindu di Bali adalah untuk mewujudkan kesejahteraan bersama (Jagadhita) melalui keseimbangan antara kesejahteraan pisik (sekala) dengan kesejahteraan rohani (niskala), sesuai dengan hakikat daripada Rwabhnieda yang mencanakangkan suatu konsep monodualis.

Kita mengakui, bahwa memang benar agama Hindu di Bali berasal dari India dalam arti konsepsi, pokok-pokok ajaran dan sumber kerohanian namun sosialisasi dan penerapannya di masyarakat Bali adalah berbeda dengan di India. Hal ini disebabkan karena nilai-nilai kehidupan sosial, budaya dan agama Hindu di Bali, telah memiliki akar yang kuat dalam kepribadian bangsa Indonesia khususnya Bali, sehingga menampilkan identitasnya tersendiri. Maka dari itu adalah tidak pas, apabila konsep-konsep pemikiran India di terapkan secara utuh di Bali, tanpa terlebih dahulu mengkajinya secara mendalam dan menerapkannya tanpa penyesuaian dengan alam pikiran dan kultur masyarakat Bali yang telah mantap secara turun-temurun.

Apabila keadaan ekonomi memungkinkan, akan sangat baik apabila kita datang ke India untuk menyaksikan kehidupan sosial, budaya dan agama di India serta rnerasakan getaran kesucian kerohaniannya. Setelah berada di India, maka lihatlah Bali milik kita sendiri. Kita  akan memperoleh kesan, bahwa sesungguhnya kehidupan sosial, budaya dan agama Hindu serta getaran kesucian kerohaniannya di Bali adalah jauh lebih baik daripada di India. Hal ini telah diakui oleh beberapa orang India sendiri yang telah berkunjung ke Bali.

Demikianlah tentang Kehinduan di Bali kemudian sering disebut HINDU BALI, yang diungkapkan secara garis besarnya saja, mengingat keterbatasan penulis akan banyaknya kitab yang harus dibaca dan keterbatasan lainnya. Dengan memahami ini, diharapkan dapat memberikan suatu gambaran bagaimana eksistensi dan identifikasi Agama Hindu di Bali. rujukan tulisan ini dari berbagai sumber. semoga bermanfaat.

Agama Veda dharma

Agama Veda dharma

Veda atau dalam istilah Bali disebut dengan WEDA, merupakan Wahyu yang diturunkan oleh Hyang Widhi (Tuhan) melalui para Rsi, dikumpulkan atau dihimpun menjadi suatu kitab suci. 
Kata Weda dapat dikaji melalui dua pendekatan, yaitu berdasarkan etimologi  (akar katanya) dan berdasarkan semantic (pengertiannya).
  • Secara etimologi berasal dari bahasa Sansekerta, dari akar kata "Wid" yang berarti mengetahui atau pengetahuan. Dari kata Weda yang ditulis dengan huruf A (panjang) berarti pengetahuan kebenaran sejati atau kata-kata yang diucapkan dengan aturan-aturan tertentu yang dijadikan sumber ajaran Agama Hindu. 
  • Secara semantic Weda berarti kitab suci yang mengandung kebenaran abadi, ajaran suci atau kitab suci bagi umat Hindu. Maharsi Sanaya mengatakan bahwa Weda adalah wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang mengandung ajaran yang luhur untuk kesempurnaan umat manusia serta menghindarkannya dari perbuatan jahat.
Weda adalah ilmu pengetahuan suci yang maha sempurna berasal dari Sang Hyang Widhi yang didengarkan oleh Para Maha Rsi melalui pawisik (wahyu), sehingga weda disebut Sruti yang berarti Sabda Suci atau pawisik yang didengarkan sehingga weda itu sebagian besar adalah nyanyian-nyanyian dari Hyang Widhi yang berbentuk puisi, dalam Weda disebut Chandra. Orang yang menghayati dan mengamalkan Weda akan mendapatkan kerahayuan atau ketenangan lahir batin.  


Winternitz dalam bukunya A History of Indian Literature, volume I (1927) menyatakan bahwa kitab suci Weda adalah monument dan susastra tertua di dunia. Ia menyatakan bila kita ingin mengerti permulaan dari kebudayaan kita yang tertua, kita harus melihat Rg Weda sebagai susastra tertua yang masih terpelihara. Sebab pendapat apapun yang kita miliki mengenai susastra maka dapat dikatakan bahwa Weda adalah susastra timur tertua dan bersama dengan itu merupakan monument susastra dunia tertua. Demikian pula Bloomfield dalam bukunya The Religion of Weda (1908) menyatakan bahwa Rg Weda bukan saja monument tertua tetapi juga dokumen di timur yang paling tua.

Bahasa Weda

Sebagai wahyu Tuhan Yang Maha Esa maka timbul sebuah pertanyaan, bahasa apakah yang dipergunakan ketika wahyu itu turun dan demikian pula ketika Weda itu dituliskan. Dapat kita lihat pada kenyataannya bahwa setiap agama memiliki bahasa wahyunya tersendiri, biasanya bahasa kitab suci mereka adalah bahasa dimana wahyu tersebut diterima atau diturunkan. Begitu pula sebaliknya yang terjadi pada agama Hindu, kitab suci Weda menggunakan bahasa Sansekerta Karena Maha Rsi penerima wahyu Weda tersebut menggunakan bahasa sansekerta. Sampai saat ini bahasa sansekerta juga digunakan dalam penulisan susastra Hindu.

Istilah bahasa sansekerta adalah bahasa yang dipopulerkan oleh Maharsi bernama Panini yang hidup pada abad ke VI sebelum masehi. Pada waktu itu Maharsi Panini mencoba menulis sebuah kitab Vyakarana (tata bahasa) yang kemudian terkenal dengan nama Astadhayayi yang terdiri dari delapan Adhyaya atau bab yang mencoba mengemukakan bahwa bahasa yang digunakan dalam Weda adalah bahasa dewa-dewa. Bahasa dewa-dewa yang demikian dikenal dengan “Daivivak” yang berarti bahasa atau “sabda dewata”.
Kemudian atas jasa Maharsi Patanjali yang menulis kitab “Bahasa” dan merupakan buku kritik yang menjelaskan kitab Maharsi Panini yang ditulis pada abad ke II sebelum masehi, makin terungkaplah nama Daivivak untuk menamai bahasa yang digunakan dalam penulisan karya sastra seperti Itihasa (Sejarah), Purana (cerita-cerita kuno/mitologi). Penulis yang tampil setelah Maharsi Panini adalah Maharsi Katyayana. Katyayana hidup di abad ke V sebelum masehi. Katyayana dikenal juga dengan nama Vararuci dan di Indonesia salah satu karya dari Maharsi Vararuci yaitu Sarasamuccaya telah diterjemahkan kedalam bahasa Jawa Kuno pada masa kerajaan Majapahit.
Dengan perkembangannya yang pesat sesudah diturunkannya Weda, kemudian para ahli Sansekerta membedakan bahasa Weda kedalam tiga kelompok, yakni:
  1. Bahasa Sansekerta Weda (Vedic Sanskrit) yakni bahasa sansekerta yang digunakan dalam Weda yang umumnya jauh lebih tua dibandingkan dengan bahasa sansekerta yang kemudian digunakan dalam berbagai susastra Hindu seperti dalam Itihasa, Purana, Dharmasastra,dll.
  2. Bahasa Sansekerta Klasik (Classical Sanskrit) yakni bahasa sansekerta yang digunakan dalam karya sastra (susastra Hindu) seperti Itihasa (Ramayana dan Mahabharata), Purana (18 Mahapurana dan 18 Upapurana), Smrti (kitab-kitab Dharmasastra), kitab-kitab Agama (Tantra), dan Darsana yang berkembang sesudah Weda.
  3. Bahasa Sansekerta Campuran (Hybrida Sanskrit) dan untuk di Indonesia oleh para ahli menamai sansekerta kepulauan (Archipelago Sanskrit). Baik sansekerta campuran maupun sansekerta kepulauan keduanya ini tidak murni menggunakan kosa kata atau tata bahasa Sansekerta sebagaimana yang digunakan dalam kedua kelompok sebelumnya (Sansekerta Weda dan Sansekerta Klasik). Contoh sansekerta campuran dapat dijumpai di India terutama pada masyarakat yang tidak menggunakan bahasa sansekerta (kini menjadi bahasa Hindi) seperti di India Timur atau Selatan, sedangkan di Indonesia dapat kita lihat dari Sruti, Stava atau Puja yang digunakan oleh para pandita di Bali.
Tentang pengucapan mantra dalam Weda yang tertuang di dalam kitab Nirukta I.18 menyatakan bahwa :
Seseorang yang mengucapkan mantra (Weda) tidak mengerti makna yang terkandung dalam mantra Weda tersebut, maka tidak memperoleh penerangan rohani. Seperti sebatang kayu bakar yang disiram minyak tanah tidak akan pernah terbakar jikalau tidak ada api. Demikianlah orang yang hanya mengucapkan (membaca), tidak mengetahui arti atau makna mantra (Weda) maka tidak akan memperoleh cahaya pengetahuan sejati

Umur Kitab Suci Weda

Umat Hindu meyakini bahwa Weda itu tidak berawal dan tidak berakhir dalam pengertian waktu. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum itu atau tidak ada sesuatu yang lebih awal dari Weda. Weda berarti sudah ada sebelum pengertian waktu itu ada. Dalam hal ini Weda telah ada saat Brahman ada, yaitu sebelum alam semesta ini diciptakan. Brhadaranyaka Upanisad menyatakan:
Sa yathardraidhagner abhyahitat prtag viniscaranti, evam va are symahato bhuttasya nihsvasitam eta dyad rgvedo yayur Wedah samavedo ‘tharvangirasa itihasah puran avidya upanisadah slokah sutrany anuvyakhyani vyakhyani asyaivaiatani sarvani nihsvasitani” (Brhadaranyaka Upanisad II.4.20)
Artinya :
seperti juga sinar api yang dihidupkan dengan minyak campur air, berbagai asap  akan keluar dan menyebar, begitu juga Rg Weda, Yajur Weda, samaWeda, AtharvaWeda (Atharvangirasa), Itihasa, Purana dan ilmu pengetahuan, Upanisad, sloka, sutra (aphorisme), penjelasan, komentar-komentar. Daripada-Nya semuanya dinafaskan.

Bebagai pendapat ditemukan dalam dunia penelitian yaitu mengenai kapan wahyu Tuhan tersebut diturunkan. Hal ini banyak mengundang pendapat baik dari sarjana Barat maupun para sarjana Timur. Pada mulanya Weda diterima secara lisan dan disampaikan pula secara lisan, karena mengingat pada saat Weda itu diturunkan belum dikenal tentang tulisan. Setelah manusia mengenal tulisan barulah wahyu tersebut di paparkan dalam bentuk mantra-mantra oleh Maharsi Wyasa atau Krsnadwipayana, beliau menyusun atau menuliskan kembali ajaran Weda tersebut kedalam empat himpunan (Samhita) yang dibantu oleh empat orang siswanya. 
Banyak sekali para ahli yang berpendapat tentang kapan Weda diturunkan, diantaranya yaitu:
  1. Vidyaranya mengatakan sekitar 15.000 tahun Sebelum Masehi.
  2. Lokamanya Tilak Shastri menyatakan 6000 tahun Sebelum Masehi.
  3. Bal Gangadhar Tilak menyatakan 4.000 tahun Sebelum Masehi.
  4. Dr. Haug memperkirakan tahun 2.400 tahun Sebelum Masehi.
  5. Max Muller menyatakan sekitar 1.200-800 tahun Sebelum Masehi.
  6. Heina Gelderen memperkirakan 1.150-1.000 tahun Sebelum Masehi.
  7. Sylvain Levy memperkirakan 1000 tahun Sebelum Masehi.
  8. Stutterhein memperkirakan 1000-500 tahun Sebelum Masehi.
Demikian pendapat para sarjana memperkirakan mengenai masa turunnya wahyu Weda yang sudah sangat tua dan sampai saat ini ajaran Weda masih relevan menjadi sumber ajaran agama Hindu dan senantiasa menjadi pegangan bagi umat Hindu.

Sifat - Sifat Weda

Sifat Weda yang utama adalah anadi ananta, artinya Weda itu bersifat abadi. Karena Weda adalah sabda Tuhan yang diterima oleh Para Maha Rsi. Walaupun usia Weda sudah sangat tua, namun ajaran yang terkandung didalamnya ternyata sangat relevan dengan perkembangan zaman. Lebih jauh dapat ditegaskan sifat Weda itu adalah sebagai berikut :
  1. Weda itu tidak berawal, karena Weda merupakan sabda Tuhan yang telah ada sebelum alam diciptakan olehNya.
  2. Weda tidak berakhir karena ajaran Weda berlaku sepanjang zaman, mengingat Weda tidak berawal dan berakhir sehingga Weda disebut anadi ananta (abadi).
  3. Weda berlaku sepanjang zaman, maksudnya dari manusia pada zaman prasejarah sampai manusia modern, dari manusia dengan kecerdasan tinggi maupun rendah. Weda akan memberikan penjelasan mengenai Tuhan dan Alam Semesta ini, sesuai dengan kemampuan daya pikir manusia sendiri.
  4. Weda itu disebut Apauruscyam¸ artinya Weda itu tidak disusun oleh manusia melainkan diperoleh atau diterima oleh orang-orang suci atau para maharsi. Oleh karena itu, Weda bukan agama budaya dan bukan hasil ciptaan manusia.
  5. Weda mempunnyai keluwesan, tidak kaku namun tidak berubah inti dan hakikatnya. Weda dapat diumpamakan sebagai bola karet yang melengket, kemanapun ia digelindingkan, maka tanah yang dilalui itu akan melengket, memberikan warna baru pada bola karet itu, namun inti karet itu sedikitpun tidak berkurang, demikian pula bentuknya yang bundar hanya warna yang berubah sesuai dengan daerah yang dilalui.

Weda, Wahyu Tuhan Yang Maha Esa

Seperti halnya setiap ajaran agama memberikan tuntunan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia lahir dan batin dan diyakini pula bahwa ajaran itu bersumber pada ajaran Weda yang merupakan wahyu atau sabda Tuhan Yang Maha Esa yang disebut dengan Sruti yang artinya didengar. Weda sebagai himpunan sabda atau wahyu berasal dari Apauruseyam (bukan dari Purusa atau Manusia), sebab para Rsi penerima wahyu hanya berfungsi sebagai instrument (sarana) dari Tuhan Yang Maha Esa untuk menyampaikan ajaran suci-Nya.
Tasmad yajnat sarvahuta rcah samani yajnire, chandamsi yajnire tasmadd yajus tasmad ajayata” (Yajur Weda XXXI.7)
Artinya :
Dari Tuhan Yang Maha Agung dan kepada-Nya umat manusia mempersembahkan berbagai Yajna daripadaNyalah muncul Rg Weda dan Sama Weda. daripadaNyalah muncul Yajur Weda dan Atharva Weda.

Tentang para Rsi yang menerima wahyu Tuhan Yang Maha Esa dan menyampaikan secara lisan melalui tradisi kuno, yakni sistem perguruan yang disebut parampara, seorang pengamat Weda dan penyusun kitab Nirukta, menyatakan:
Saksat krta dharmana rsayo bubhuvuste saksat krtadharmabhaya upadesena mantran sampraduh” (Nirukta I.19)
Artinya :
Para Rsi adalah orang-orang yang mampu merealisasikan dan mengerti dharma dengan sempurna. Beliau mengajarkan hal tersebut kepada mereka yang mencari kesempurnaan yakni yang belum melaksanakan hal itu.

Rsayo mantradrastarah Rsirdarsanat stoman dadarsety aupamanyavah yadenan tapasyamanan brahmasvayambhu abhyanarsat tad Rsinam Rsitvamiti vijnayate” (Nirukta II.11)
Artinya :
Para rsi adalah mereka yang memperoleh mantra. Kata rsi berarti drasta. Acarya Upamanyu menyatakan: mereka yang karena ketekunan melakukan tapa memperoleh dan merealisasikan mantra Weda disebut Rsi

Dari uraian tersebut, maka jelaslah bahwa para Maha Rsi adalah mereka yang menerima wahyu Tuhan Yang Maha Esa karena kesucian pribadi, hati, dan pikiran mereka yang dapat merekaam sabda suci-Nya. Kata Maha Rsi berasal dari urat kata drs yang artinya melihat atau memandang, dalam pengertian yang lebih luas berarti memperoleh atau menerima. Oleh karena itu seorang Rsi disebut dengan mantradrastra (mantra drestah iti Resih). Ada beberapa cara seorang Rsi memperoleh wahyu, yaitu melalui:
  1. Svaranada, yakni gema yang diterima para Rsi dan gema tersebut berubah menjadi sabda atau wahyu dan disampaikan kepada para siswa kerohanian didalam asrama (pasraman)
  2. Upanisad, pikiran para Rsi dimasuki oleh sabda Brahman sehingga yang diterima oleh para siswa dari guru adalah sabda Brahman. Guru menyampaikan ajaran-Nya itu dalam suasana pendidikan dalam garis perguruan parampara yang disebut Upanisad, yakni duduk dibawah dekat guru untuk menerima ajaran suci-Nya.
  3. Darsana, yakni manusia berhadapan dengan dewa-dewa seperti ketika Arjuna berhadapa dengan Hyang Siva atau Indra dalam suatu pandangan memakai mata batin (mata rohani).
  4. Avatara, yakni manusia berhadapan dengan AvataraNya seperti halnya Arjuna menerima wejangan suci Bhagavadgita dan Sri Krisna, sang Purna Avatara.
Demikianlah Weda adalah wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang diterima oleh para Rsi dan merupakan sember ajaran agama Hindu yang bersifat kekal abadi (Anadi dan Ananta).

Weda Kitab Suci, Sumber Ajaran Agama Hindu

Satu-satunya pemikiran secara tradisional yang kita miliki adalah yang mengatakan bahwa Weda adalah kitab suci agama hindu. Sebagai kitab suci agama Hindu, maka ajaran Weda diyakini dan dipedomani oleh umat Hindu sebagai satu-satunya sumber bimbingan dan informasi yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari ataupun untuk waktu-waktu tertentu. Apapun yang diturunkan sebagai ajaranNya kepada umat manusia adalah ajaran suci, terlebih lagi bahwa isinya itu memberikan petunjuk-petunjuk atau ajaran untuk hidup beragama.

Sebagai kitab suci, Weda adalah sumber ajaran agama Hindu sebab dari Weda mengalir ajaran yang merupakan kebenaran agama Hindu. Ajaran Weda dikutip kembali dan memberikan warna terhadap kitab-kitab susastra Hindu pada masa berikutnya. Dari kitab Weda mengalirlah ajarannya dan dikembangkan dalam kitab-kitab Smrti, Itihasa, Purana, Tantra, Darsana dan Tatwa-tatwa yang kita warisi di Indonesia. Svami Sivananda, seorang yogi besar di abad modern ini, menyatakan Weda adalah kitab tertua dari perpustakaan umat manusia. Kebenaran yang terkandung dalam agama hindu berasal dari Weda dan akhirnya kembali kepada Weda. Weda adalah sumber ajaran agama, sumber tertinggi dari semua sastra agama.

Weda mengandung ajaran yang memberikan keselamatan di dunia ini dan di akhirat nanti. Ajaran Weda tidak terbatas hanya sebagai tuntunan hidup individual, tetapi juga dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bagaimana hendaknya seseorang atau masyarakat bersikap dan bertindak, tugas-tugas individu dan tugas-tugas umum sebagai anggota masyarakat, demikian pula bagaimana seorang rohaniawan bertingkah laku, tugas dan kewajiban kepada negara atau pemerintah dalam melaksanakan tugasnya. Segala tuntunan hidup ditunjukkan kepada kita oleh ajaran Weda yang terhimpun dalam Kitab suci Weda.

Sapta Rsi Penerima Wahyu Weda

Sepintas telah dijelaskan tentang para Rsi menerima wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang kemudian terhimpun dalam kitab suci Weda. Dalam agama Hindu orang-orang suci penerima wahyu disebut Rsi atau Maha Rsi, kata ini berarti yang memandang, melihat atau yang memperoleh wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Dalam perkembanganya kita jumpai berbagai sebutan terhadap orang-orang suci antara lain : Muni, Sadhu, Swami, Yogi, Sannyasi, Acarya, Upadhyaya dan lain-lain dan di Indonesia pada zaman dahulu kita mengenal istilah Mpu atau Bhujangga, kini para Pandita dari golongan Vaisnava di Bali disebut pula dengan Rsi. Untuk membedakan Rsi penerima wahyu Weda dengan Rsi para pandita dewasa ini, maka untuk yang pertama disebut Maharsi atau kadangkala dapat disebut Rsi. Maharsi ini dapat disebut sebagai nabi bagi umat Hindu dan jumlahnya tidaklah seorang, melainkan cukup banyak.

Seorang Maharsi adalah tokoh pemikir dan pemimpin agama, ia juga seorang ”Jnanin”, filosuf dan pejuang dalam bidang agama. Ia rendah hati dan tahan uji, ia memiliki pandangan yang luas dan mampu menatap masa depan, mampu mengendalikan indrianya, suka melakukan tapa, brata, yoga, samadhi, karena itu ia senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai pemimpin agama ia adalah pengayom yang memberikan keteduhan dan kesejukan kepada siapa saja yang datang untuk memohon bimbingannya.
Dengan sifat-sifat tersebut di atas, seorang Rsi adalah seorang rohaniawan, agamawan dan sekaligus seorang pemimpin dalam bidang agama. Di dalam kitab-kitab Purana kita jumpai pengelompokkan Rsi ke dalam 3 katagori, yaitu :
  1. DevaRsi,
  2. BrahmaRsi,
  3. RajaRsi.
Dengan adanya Rsi ke dalam tiga kelompok itu, secara tidak langsung kita mengetahui bahwa tidak semua Rsi berstatus sebagai penerima wahyu Tuhan. Hindu berpandangan bahwa dengan banyaknya Rsi itu umat mendapatkan teladan, figur dan penampilannya menjadi panutan, wejangan-wejangannya memberikan kesejukan hati dan kebahagiaan yang tiada taranya, misalnya karya Maharsi Wyasa yang memadukan unsur sejarah dan mitologi dalam karya besarnya Mahabharata dan kitab-kitab Purana.

Disamping pengelompokan ke dalam 3 katagori tersebut di atas, kitab Matsya Purana dan Brahmanda Purana menyebutkan 5 kelompok Rsi, sebagai berikut :
  1. BrahmaRsi, tugasnya mempelajari dan mengajarkan Weda, jadi fungsinya sebagai pandita.
  2. SatyaRsi, gelar para Rsi yang mempunyai asal-usul langsung dari Tuhan Yang Maha Esa pada permulaan penciptaan dunia ini
  3. DevaRsi, dikaitkan dengan mantra-mantra dalam kitab suci ini seperti Marici, Bhrgu, Angira, Pulastya, Pulaha, Kratu, Daksa, Atri dan Vasistha.
  4. SrutaRsi,
  5. RajaRsi.
Pengelompokkan ini merupakan penyempurnaan pengelompokan sebelumnya dengan menambahkan 2 kelompok baru, yaitu SatyaRsi dan SrutaRsi. Dari istilah-istilah ini dapat dipahami bahwa nama-nama kelompok ini hanya bersifat relatif fungsional dihubungkan dengan fungsi dan sifat yang khas dari seorang Rsi. Selanjutnya perlu kita tinjau lebih jauh kaitan seorang Rsi dengan tugas yang dibebankan kepadanya. Seorang Rsi sebagai Brahmana, sebagai guru dan sebagai Bhatara (yang memberikan perlindungan). Kata Brahmana adalah istilah umum yang digunakan dalam Weda sebagai gelar untuk menamakan fungsi seseorang sebagai pemimpin upacara agama.

Seorang Rsi karena pengetahuannya dapat berfungsi sebagai pemimpin dalam melaksanakan upacara agama, ia juga merupakan seorang Brahmana. Demikian pula karena memiliki kemampuan untuk mengajarkan dalam rangka penyebar luasan ajaran Weda dan Dharma, maka secara fungsional ia adalah seorang guru. Di dalam Manavadharmasastra disebutkan adanya beberapa jenis guru, demikian pula halnya dengan Brahmana. Seorang guru disebut Acarya, Mahcarya atau Upadhyaya, tetapi guru ini belum tentu seorang Rsi.
Seorang disebut Acarya bila ia telah menguasai seluruh isi Weda, termasuk Itihasi, Purana, Wedangga, dan kitab-kitab susastra Hindu yang lain. Sebaliknya seorang Upadhyaya, hanya dianggap cukup bila ia menguasai Wedangga. Selanjutnya seorang Rsi sebagai Bhatara (pelindung) sekaligus seorang pemimpin baik dalam bidang kerohanian, politik dan pemerintahan dan bahkan menjadi panglima perang sebagai contoh adalah Rsi Bhisma, Drona dan sebagainya.

Di Bali pada masa pemerintahan Dharma Udayana Varmadeva, Mpu Rajakrta menjabat Senapati Kuturan dan kemudian nama ini populer menjadi Mpu Kuturan yang merintis Kahyangan Tiga dengan desa Pakraman di daerah ini. Seorang Brahma Rsi menurut kitab Brahmanda Purana tugasnya mempelajari dan mengajarkan Weda, jadi fungsinya sebagai pandita. Adapun seorang yang dinyatakan sebagai SatyaRsi adalah gelar para Rsi yang mempunyai asal-usul langsung dari Tuhan Yang Maha Esa pada permulaan penciptaan dunia ini. Beliau pula yang mula-mula disebut sebagai Bhatara, misalnya Bhatara Manu dan lain-lain.

Kelompok Deva Rsi dikenal pula dengan nama Prajapati. Di dalam kitab brahmanda Purana disebutkan adanya 9 Prajapati, yaitu : Marici, Bhrgu, Angira, Pulastya, Pulaha, Kratu, Daksa, Atri dan Vasistha. Di antara 9 Prajapati itu ada pula yang disebut-sebut namanya dalam kitab Rg Weda, sebagai Rsi yang dikaitkan dengan mantra-mantra dalam kitab suci ini. Adapun 4 kelompok lainnya (Brahma, Satya, Sruta dan Raja Rsi) di dalam Brahmanda Purana masing-masing disebutkan berturut-turut : Sonaka, Sananda, Sanatana dan Sanatkumara.

Disamping nama-nama yang telah disebutkan di atas, terdapat pula keterangan lain yang menyebutkan kelompok Sapta Rsi penerima wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang terhimpun dalam Weda. Weda sebagai Sabda suci atau pawisik Sang Hyang Widhi yang diterima oleh Para Maha Rsi. Keterangan ini dapat dijumpai pada sebuah Kitab Nirupta. Para Maha Rsi sebagai penerima Sabda Suci atau Pawisik (Mantra Drestah Iti Resih) artinya orang-orang yang melihat atau mendapat mantra-mantra itu.

Menurut kitab-kitab Purana maupun Manavadharmasastra, nama-nama SaptaRsi dikaitkan dengan jangka waktu tertentu. Satu jangka waktu atau Yuga manusia dibimbing oleh adanya Sapta Rsi disamping Rsi-Rsi lainnya. SaptaRsi atau Sapta Maharsi ini merupakan pengembala utama umat manusia dan penerima wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Adapun SaptaRsi dan keluarga (Gotra) dari Sapta (Maha) Rsi, yang paling banyak disebut adalah: Grtsamada, Visvamitra, Vamadeva, Atri, Bharadvaja, Vasistha dan Kanva. Untuk mengenal lebih jauh tentang masing-masing dari para Rsi itu serta kaitannya dengan turunnya Weda dapat dijelaskan hal-hal penting sebagai berikut:
  1. Maharsi Grtsamada adalah Maharsi yang banyak dihubungkan dengan turunnya mantra-mantra Weda, terutama Rg Weda mandala II. Dari beberapa catatan diketahui bahwa Grtsamada adalah keturunan dari Sunahotra, keluarga Angira, adapula penjelasan lain yang menyatakan bahwa Grtsamada adalah keturunan Bhrgu. Dengan demikian sejarahnya tidak diketahui dengan pasti, sedang di dalam Mahabharata, ia disebutkan keturunan Maharsi Sonaka dan  dinyatakan sebagai keturunan Bharadvaja.
  2. Maharsi Visvamitra adalah Maharsi kedua yang banyak disebut-sebut namanya dan dikaitkan dengan seluruh Rg Weda mandala III. Kitab mandala III Rg Weda ini terdiri dari 58 Sukta. Setelah diadakan penelitian, ternyata tidak semua Sukta itu dikaitkan dengan nama Visvamitra karena diantara mantra-mantra itu ada menyebutkan Maharsi lainnya, seperti Kusika, Isiratha dan lain-lain. Visvamitra adalah putra Rsi Musika. Disamping itu dijumpai pula nama Rsi Jamadagni sebagai Maharsi yang dikaitkan dengan mandala III Rg Weda.
  3. Maharsi Vamadeva banyak dihubungkan dengan kitab Rg Weda mandala IV. Di dalam kitab-kitab Purana diceritakan bahwa Vamadeva sempat mengadakan dialog dengan deva Indra dan Aditi, suatu hal yang tidak dapat dibayangkan oleh pikiran kita, kecuali kita memberikan penafsiran bahwa maksudnya adalah untuk menjelaskan bahwa Vamadeva memperoleh kesempurnaan selagi beliau masih muda. Maharsi Vamadeva disebut memberikan petunjuk untuk mencapai kesempurnaan sejati.
  4. Maharsi Atri pada umumnya banyak dikaitkan dengan turunnya mantra-mantra Rg Weda mandala V. Di dalam Matsya Purana, nama Atri tidak saja sebagai nama keluarga, tetapi juga sebagai nama pribadi. Dinyatakan bahwa dalam keluarga Atri yang tergolong Brahmana dijumpai pula beberapa nama dari keluarga Atri seperti : Saryana, Udvalaka, Sona, Sukratu, Gauragriva dan lain-lain. Dalam cerita lainnya dikemukakan pula informasi bahwa Maharsi Atri banyak dikaitkan dengan keluarga Angira. Bila kita baca dengan teliti Rg Weda mandala V, tampaknya tidak hanya Maharsi Atri yang menerima wahyu untuk mandala ini, tetapi juga Druva, Prabhuvasu, Samvarana, Gauraviti, Putra Sakti dan lain-lain. Dikemukakan pula bahwa di antara keluarga Atri, 36 Rsi tergolong penerima wahyu. Kemungkinan nama-nama itu adalah keturunan dari Maharsi Atri.
  5. Rsi Bharadvaja adalah Maharsi yang banyak dikaitkan dengan turunnya mantra-mantra dari Rg. Weda Mandala VI, kecuali ada beberapa saja yang diturunkan melalui Sahotra dan Sarahotra. Adapun nama-nama lain, seperti Nara, Gargajisva adalah nama Rsi penerima wahyu dari keluarga Bharadvaja. Di dalam kitab-kitab Purana dijelaskan bahwa Bharadvaja adalah putra Brihaspati, cerita ini belum dapat dipastikan kebenarannya karena disamping keterangan lain yang mengatakan bahwa Samyu dengan Bharadvaja masih dalam satu keluarga.
  6. Rsi Vasistha. Nama Vasistha sering digunakan sebagai nama keluarga kadang kala sebagai nama pribadi. Rsi Vasistha banyak dikaitkan dengan turunnya mantra-mantra Rg Weda mandala VII. Salah seorang keturunan Rsi Vasistha adalah Rsi Sakti yang juga terkenal sebagai penerima wahyu. Di dalam kitab Mahabharata nama Vasistha disamakan dengan Visvamitra. Di dalam kitab Matsya Purana, dinyatakan bahwa Rsi Vasistha mengawini Arundhati, saudara perempuan Devarsi Narada. Dari padanya lahir seorang putra bernama Sakti.
  7. Maharsi Kanva merupakan Maharsi penerima wahyu dan banyak dikaitkan dengan Rg Weda mandala VIII. Mandala ini isinya bermacam-macam Sukta. Kanva adalah nama pribadi dan juga nama keluarga. Mandala VIII dinyatakan diterima oleh keluarga Sakuntala. Disamping Rsi Kanva terdapat pula nama-nama Rsi lainnya seperti Kasyapa, putra Marici. Maharsi Kanva mempunyai putra bernama Praskanva. Nama-nama Rsi yang lain yang juga dapat dijumpai dalam mandala VIII adalah: Gosukti, Asvasukti, Pustigu, Bhrgu, Manu, Vaivasvata, Niopatithi dan sebagainya. Adapun mandala IX dan X Rg Weda merupakan mandala yang paling lengkap. Mandala ini memuat pokok-pokok ajaran agama Hindu yang sangat penting dan sangat bermanfaat untuk diketahui.

Disamping nama-nama Rsi sebagai telah dikemukakan diatas, tampaknya penggunaan Rsi itu telah cukup merasuk sampai ke Bali. Dalam mempelajari perkembangan agama Hindu didaerah ini, kita jumpai pula tokoh-tokoh yang juga disebut Saptarsi yang bertanggung jawab terhadap perkembangan agama Hindu.

Disamping Sapta Rsi tersebut diatas masih banyak lagi Maha Rsi lain sebagian penerima Wahyu atau pawisik yang berjasa dalam mengelompokkan Weda serta berjasa menyusun dalam penulisan Kitab Suci Weda. Dalam tradisi Hindu disebutkan bahwa Maha Rsi terbesar yang sangat banyak jasanya dalam mengkodifikasikan atau menghimpun Weda adalah Bhagawan Wyasa, dimana beliau dibantu oleh empat orang siswanya atau muridnya yaitu :
  1. Maha Rsi Pulana yang juga disebut Paila, sebagai penyusun Reg Weda
  2. Maha Rsi Waisampayana sebagai penyusun Yajur Weda
  3. Maha Rsi Jaimini sebagai penyusun Sama Weda
  4. Maha Rsi Sumantu sebagai penyusun Atharwa Weda
Keempat Weda tersebut diatas disebut Catur Weda Samhita. Disamping menghimpun Catur Weda Samhita tersebut, Maha Rsi Wyasa juga sebagai penyusun kitab Mahabharata, Purana, Bhagawadgita, dan Brahmasutra. Maha Rsi Wyasa dikenal pula dengan nama Kresna Dwipayana Wyasa, Bhagawan Wyasa dan Wyasadewa.

Berdasarkan keterangan diatas, maka Pawisik atau wahyu tersebut tidak hanya diterima oleh seorang Maha Rsi saja melainkan oleh banyak Maha Rsi dari keluarga yang berbeda ditempat yang berbeda dan dalam waktu yang berbeda pula. Pengumpulan berbagai Mantra menjadi himpunan buku-buku merupakan usaha kodifikasi Weda. Selain itu banyak lagi usaha yang dilakukan dalam mengkodifikasi atau mengumpulkan ayat-ayat suci tersebut sehingga dapat dilestarikan. Usaha menyusun atau mengkodifikasi itu ada beberapa kecenderungan yang dipergunakan sebagai cara penghimpunannya yaitu :
  1. Didasarkan atas usia ayat-ayat termasuk tempat geografis turunnya ayat-ayat itu.
  2. Didasarkan atas sistem pengelompokkan isi, fungsi dan guna mantra-mantra itu.
  3. Didasarkan atas resensi menurut system keluarga atau kelompok geneologis.

Weda sebagai Sumber Hukum Hindu

Maharsi Manu, peletak dasar hukum Hindu menjelaskan bahwa Weda adalah sumber dari segala Dharma :
Vedo ’khilo dharma mulam smrti sile ca tad vidam, acarasca iva sadhunam atmanas tustir eva ca” (Manavadharmasastra II.6)
Artinya :
Weda adalah sumber dari segala Dharma, yakni agama, kemudian barulah Smrti, disamping Sila (kebiasaan atau tingkah laku yang baik dari orang yang menghayati dan mengamalkan ajaran Weda) dan kemudian Acara yakni tradisi-tradisi yang baik dari orang-orang suci atau masyarakat yang diyakini baik serta akhirnya Atmatusti, yakni rasa puas diri yang dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Berdasarkan kutipan di atas, kita mengenal sumber-sumber hukum Hindu menurut kronologisnya seperti berikut :
  1. Weda (Sruti). Dalam ajaran agama Hindu, Weda termasuk dalam golongan Sruti. Weda diyakini sebagai sastra tertua dalam peradaban manusia yang masih ada hingga saat ini. Setelah tulisan ditemukan, para Rsi menuangkan ajaran-ajaran Weda ke dalam bentuk tulisan.
  2. Smrti (Dharmasastra). adalah Weda juga, karena kedudukannya dipersamakan dengan Weda (Sruti).
  3. Sila (tingkah laku orang suci).
  4. Acara atau Sadacara, berasal dari bahasa Sansekerta, dari kata Sat dan Acara. Sat adalah Satya yang berarti kebenaran Weda dan Acara artinya tradisi yang baik. ’Acara ngarania prawrti kawarah sang hyang aji’’ (Sarasamuscaya 177) Artinya: Acara adalah pelaksanaan ajaran pustaka suci agama. Dari pemahaman ini Sadacara adalah ajaran Weda yang Sanatana Dharma itu diterapkan menjadi tradisi suci.
  5. Atmatusti (Amanastuti). adalah tercapainya kepuasan diri dan kebahagiaan rohani baik dalam upacara yadnya maupun dalam berbagai kegiatan sehari-hari. 
Implementasi Atmanastusti dalam kehidupan masyarakat Bali, misalnya dalam sebuah paruman desa adat, dalam teknik pengambilan keputusan secara ilmiah ditinjau dari hukum hindu sebagaimana disebutkan bahwa :
  1. Dengan rasa puas diri, berarti keputusan yang di ambil dapat memuaskan diri setiap orang.
  2. Atmatusti dan disebut juga dengan istilah Santosa yang mempunyai makna dapat memuaskan semua orang.
  3. Atmanastusti baru kemudian diambil sebagai keputusan bersama,
Pada intinya disebutkan bahwa Atmanastusti itu sebagai kepuasan diri atau setiap orang yang dapat dipertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Untuk lebih menengakkan tentang kedudukan sumber-sumber hukum Hindu itu, lebih jauh sloka-sloka Manawadharmasastra menyatakan sebagai berikut:
Srutistu Vedo dharma sastramtu vai smrtih, te sarvarthesvamimamsye tabhyam dharmohi nirbabhau” (Manavadharmasastra II.10)
Artinya :
Sesungguhnya Sruti (Wahyu) adalah Weda, demikian pula Smrti itu adalah Dharmasastra, keduanya tidak boleh diragukan dalam hal apapun, sebab keduanya adalah kitab suci yang menjadi sumber dari agama dan hukum Hindu.

Dari terjemahan sloka di atas, dapat ditegaskan bahwa ke lima sumber hukum Hindu itu kebenarannya tidak dapat dibantah. Kedudukan sloka II.6 dan II.10 di atas merupakan dasar yang harus dipegang teguh dalam hal kemungkinan timbulnya perbedaan pengertian mengenai penafsiran hukum yang terdapat di dalam berbagai kitab agama. Maka kedudukan yang pertama lebih tinggi dari sumber hukum berikutnya. Ketentuan ini ditegaskan lebih lanjut di dalam sloka Manavadharmasastra berikutnya :
Sruti dvaidham tu yatrasyattatra dharmavubhau smrtau, ubhavapi hi tau dharmau samyuktau manisibhih” (Manavadharmasastra II.14)
Artinya :
Bila dua kitab Sruti bertentangan satu dengan yang lainnya, keduanya diterima sebagai hukum karena keduanya telah diterima oleh orang-orang suci sebagai hukum.

Dari ketentuan ini maka tidak ada ketentuan yang membenarkan adanya sloka yang satu harus dihapus oleh sloka yang lain, melainkan keduanya harus diterima sebagai hukum. Disamping sloka-sloka di atas, masih ada sloka yang penting pula artinya di dalam memberi batasan tentang pengertian sumber hukum itu, yaitu sloka berikut :
Wedah smrtih sadacarah svasya ca priyatmanah, etas catur vidham prahuh saksad dharmasya laksanam” (Manavadharmasastra II.12)
Artinya :
Weda, Smrti, Sadacara dan Atmanastuti mereka nyatakan sebagai empat dasar usaha untuk memberikan batasan tentang Dharma.

Terjemahan sloka di atas menyederhanakan sloka II.6, dengan meniadakan ”Sila”, karena Sila dengan ”Sadacara” mengandung arti yang mirip dan bahkan sama. Sila berarti kebiasaan dan Sadacara juga berarti kebiasaan. Selanjutnya di Indonesia kita jumpai kitab Sarasmuscaya yang merupakan karya dengan mengambil sumber kitab Mahabharata dan Purana, juga memberikan penjelasan tentang Weda sebagai sumber hukum Hindu sebagai berikut :
Sruti wedah samakhyato dharmasastram tu vai smrtih, te sar vathesvamimasye tabhyam dharmo vinirbhrtah” (Sarasmuccaya 37)
artinya:
Ketahuilah olehmu Sruti itu adalah Weda (dan) Smrti itu sesungguhnya adalah Dharmasastra keduanya harus diyakini dan dituruti agar sempurnalah pelaksanaan dharma itu.

Penjelasan dan terjemahan kitab Sarasmuccaya di atas didasarkan pada teks Sansekerta, sedang teks Jawa kunonya merupakan terjamahan yang sudah diperluas atau dikomentari oleh penerjemah jawa Kuno, namun demikian baik Manavadharmasastra maupun Sarasamuccaya meyakini bahwa Sruti dan Smrti itu adalah dua sumber hukum dalam melaksanakan Dharma. Selanjutnya perlu ditegaskan bahwa ketentuan-ketentuan yang digariskan dalam Weda sebagai sumber hukum, bersifat memaksa dan mutlak harus dipatuhi, kitab Manavadharmasastra menyatakan hal itu :
Kamatmata na prasasta caivehastya kamaka, kamyohi wedadhigamah karmayogasca vaidikah” (Manavadharmasastra II.2)
Artinya :
Berbuat karena nafsu untuk memperoleh pahala tidaklah terpuji namun berbuat tanpa keinginan akan pahala tidak dapat kita jumpai di dunia ini karena keinginan-keinginan itu bersumber dari mempelajari Weda dan karena itu setiap perbuatan diatur oleh Weda

Tesu samyag varttamano gacchatyabmaralokatam, yatha samkalpitamcceha sarvan kaman samasnute” (Manavadharmasastra II.5)
Artinya :
Ketahuilah bahwa ia yang selalu melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah diatur dengan cara yang benar, mencapai tingkat kebebasan yang sempurna kelak dan memperoleh semua keinginan yang diharapkan.

Yo’vamanyeta te mule hetu sastra srayad dvijah, sa sadhubhir bahiskaryo nastiko weda nindakah”(Manavadharmasastra II.11)
Artinya :
Setiap dvijati yang menggantikan dengan lembaga dialektika dan memandang rendah kedua sumber hukum itu (Sruti dan Smrti) harus dijauhkan dari orang-orang bajik sebagai orang atheis yang menentang Weda.

Pitr deva manusyanam wedas caksuh sanatanah, asakhyamca ’prameyamcca wedasastramiti sthitah” (Manavadharmasastra XII.94)
Artinya :
Weda adalah mata yang abad dari para leluhur, dewa-dewa dan manusia. Peraturan-peraturan dalam Weda sukar dipahami oleh manusia dan itu adalah kenyataan.

Ya weda vahyah smrtayo yasca kasca kudrstayah, sarvastanisphala tamo nisthahitah smrtah” (Manavadharmasastra XII.95)
Artinya :
Semua tradisi dan sistem kefilsafatan yang tidak bersumber pada Weda tidak akan memberi pahala kelak sesudah mati karena dinyatakan bersumber pada kegelapan.

Utpadnyante syavante ca yanyato nyani kanicit, tanyarvakalika taya nisphalanya nrtani ca” (Manawa dharmasastra XII.96)
Artinya :
Semua ajaran yang menyimpang segera akan musnah, tidak berharga dan palsu karena tidak berpahala.

Vibharti sarva bhutani wedasastram sanatana, tasmadetat param manye yajjantorasya sadhanam” (Manawa dharmasastra XII.9)
Artinya :
Ajaran Weda menyangga semua makhluk ciptaan ini, karena saya berpendapat, hal itu harus dijunjung tinggi, jalan menuju kebahagiaan semua makhluk.

Senapatyam ca rajyam ca dandanetri tvam eva ca, sarva lokadhipatyam ca weda sastra vidarhati” (Manawa dharmasastra XII.100)
Artinya :
Panglima Angkatan Bersenjata, pejabat pemerintah pejabat pengadilan dan penguasa atas semua manusia di dunia ini hanya layak kalau mengenal ajaran Weda.

Terdapat beberapa sloka yang menekankan pentingnya Weda sebagai sumber ajaran Hindu maupun sebagai sumber hukum dalam membina masyarakat, oleh karena itu berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas pemahaman dan penghayatan ajaran Weda sangat penting karena bermanfaat tidak saja kepada mereka yang mendalami dan mengamalkannya tetapi juga kepada masyarakat yang dibinanya.

Pengkodifikasian Weda

Kitab Weda merupakan naskah suci pokok dari agama hindu. Weda adalah pengetahuan suci yang sangat luar biasa. Weda diterima melalui Maha Rsi bukan orang biasa maka kebenaran Weda adalah mutlak tidak dapat diragukan lagi. Berdasarkan materi dan luas ruang lingkup isinya, jenis buku Weda itu banyak jumlahnya. Weda mencakup berbagai aspek kehidupan yang menyangkut manusia. Maha Rsi Manu membagi jenis Weda kedalam dua kelompok besar, yaitu Weda Sruti dan Weda Smrti.

Pembagian dalam dua jenis Weda ini selanjutnya dipakai untuk menamakan semua jenis buku yang dikelompokkan sebagai kitab Weda secara tradisional. Kelompok Weda Sruti isinya hanya memuat wahyu sedangkan kelompok Weda Smrti isinya adalah ingatan kembali terhadap Sruti. Jadi, Smrti merupakan buku pedoman yang isinya tidak bertentangan dengan Sruti Bila dibandingkan dengan ilmu politik, Sruti adalah UUD-nya Hindu sedangkan Smrti adalah UU pokok dan UU pelaksanaannya adalah Nibandha. Keduanya merupakan sumber hukum yang mengikat yang harus diterima. Oleh karena itu, Bhagawan Manu menegaskan dalam kitabnya Manawa Dharmasastra II.10 sebagai berikut :
"Srutistu Weda Wijneyo dharmacastram tu wai Smrtih. te sarwartheswam imamsye tabhyam dharmohi nirba bhau" (Manawa Dharmasastra. II. 10)
artinya:
"Sesungguhnya Sruti (wahyu) adalah Weda demikian pula Smrti itu adalah Dharmasastra, keduanya harus tidak boleh diragukan dalam hal apapun juga karena keduanya adalah kitab suci yang menjadi sumber dari Agama Hindu (Dharma)".
Penghimpunan dan pengkodifikasian weda sangatlah penting dilakukan, karena wahyu Hyang Widhi diberbagai tempat yang diterima oleh beberapa Maha Rsi, penyampainnya masih dalam bentuk lisan dari mulut ke mulut serta hanya disampaikan kepada orang tertentu saja. Oleh karena itu menjadi sangat penting untuk mengkodifikasikan Weda sehingga dapat dilestarikan dan disampaikan kepada semua umat Hindu. Weda secara garis besarnya dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu Weda Sruti dan Weda Smrti.

WEDA SRUTI

Weda Sruti adalah kelompok Weda yang ditulis oleh para Maha Rsi melalui pendengaran langsung dari wahyu Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Kelompok Weda Sruti menurut Bhagawan Manu merupakan Weda yang sebenarnya atau weda orisinil. Menurut sifat isinya, weda sruti dibagi menjadi tiga bagian antara lain :

1. Bagian mantra (Mantra Samhita)

Kitab Mantra atau Mantra Samhita umurnya sangat tua dan merupakan dokumen umat manusia tertulis yang tertua dan masih ada sampai sekarang. Kitab ini ditulis dalam bentuk syair atau prosa liris, bahasanya bahasa Sansekerta Weda (Wedic Sanskrit). Syair-syair tersebut terkumpul dalam empat himpunan mantra yang masing-masing disebut samhita. Keempat samhita tersebut disebut Catur Weda Samhita yang terdiri dari :
  • Rg Veda atau Rg Weda Samhita merupakan kumpulan mantra-mantra yang memuat ajaran-ajaran umum dalam bentuk pujaan (Rc atau Rcas) Arc = memuja. Rg. weda terdiri dari 10.552 mantra, isinya syair-syair pujaaan. Kitab ini merupakan Weda yang tertua dan yang terpenting, isinya terdiri dari 10 mandala. Dan mandala yang ke-10 adalah mandala yang terpenting karena menunjukkan kebenaran yang mutlak. Pendeta penyajinya disebut Hort (Horti). Kitab Rg. Weda dikumpulkan dalam berbagai jenis resensi, seperti resensi Sakala, Baskala, Aswalayana, Sankhyayana, dan Madukeya. Dari lima macam resensi ini, yang masih terpelihara adalah resensi sakala, sedangkan resensi-resensi lainnya banyak yang tidak sempurna lagi karena mantra-mantranya hilang. Rg.Weda terbagi atas 10 mandala yang tidak sama panjangnya 
  • Sama Veda atau Sama Weda Samhita merupakan kumpulan mantra-mantra yang memuat ajaran umum mengenai lagu-lagu pujaan atau saman yang dinyanyikan waktu upacara. Sama Weda terdiri dari 1.875 mantra. Kata sama berarti irama atau melodi. Pendeta penyajinya disebut Udgatr (Udgatri). Sama Weda terdiri dari dua bagian, yaitu : (1) Bagian Arcika terdiri dari mantra-mantra pujaan yang bersumber pada Rg. Weda. (2) Bagian Uttararcika, yaitu himpunan mantra-mantra yang bersifat tambahan. Kitab ini terdiri dari beberapa buku nyanyian pujaan (gana). Dari kitab-kitab yang ada, yang masih dapat dijumpai antara lain Ranayaniya, Kutama, dan Jaiminiya (Talawakara).
  • Yajur Veda atau Yajur Weda Samhita merupakan kumpulan mantra-mantra yang memuat doa-doa pujaan atau pokok-pokok yadnya, yang terdiri dari 1.975 mantra. Pendeta penyajinya disebut Adwaryu. Yajur Weda terdiri dari mantra-mantra yang sebagian besar berasal dari Rg. Weda, ditambah dengan beberapa mantra tambahan baru. Tambahan ini umumnya berbentuk prosa. Menurut Bhagawan Patanjali, kitab ini terdiri dari 101 resensi yang sebagian besar sudah lenyap. Kitab ini terdiri atas dua aliran, yaitu : (1) Yajur Weda Hitam (Kresna Yajur Weda) yang terdiri atas beberapa resensi yaitu Katakhassamhita, Mapisthalakathasamhita, Maitrayamisamhita, dan Taithiriyasamhita (terdiri dari dua aliran, yaitu Apastamba dan Hiranyakesin). dan (2) Yajur Weda Putih (Sukla Yajur Weda juga dikenal Wajasaneyi Samhita). Kitab ini terdiri dari dua resensi, yaitu Kanwa dan Madhayandina. Perbedaan pokok antara kedua Yajur Weda ini terletak pada penggunaan mantra. Mantra pada yajur weda putih diucapkan sebagai doa-doa dalam suatu upacara, sedangkan mantra pada Yajur Weda Hitam menguraikan tentang arti dari upacara itu sendiri.
  • Atharva Veda atau Atharwa Weda Samhita terdiri dari 5.987 mantra. Diantara mantra-mantra itu banyak yang berbentuk prosa. Isinya adalah tuntunan hidup sehari-hari yang berhubungan dengan hidup keduniawian. Banyak mantranya bersifat magis (Atharwan). Pendeta penyajianya disebut Brahmana. Kitab ini terdiri dari Resensi Saunaka dan Paipplada.
Dari keempat kelompok Weda itu, tiga kelompok pertama sering disebut sebagai mantra yang berdiri sendiri. Oleh karena itu disebut Trayi weda atau Tri Weda.

2. Bagian Brahmana (Karma Kanda)

Kitab-Kitab Brahmana memuat ajaran tentang kewajiban-kewajiban hidup beragama. Kewajiban-kewajiban ini antara lain kewajiban untuk melakukan upacara korban atau yadnya. Setiap Kitab Suci Weda memilki kitab Brahmananya sendiri-sendiri. Kitab Reg Weda memiliki dua buah kitab Brahmana yaitu: Aetareya Brahmana dan Kausitaki Brahmana yang juga disebut Sankhyana Brahmana. Kitab yang pertama terbagi atas 40 bab, sedangkan kitab yang kedua terdiri dari 30 bab. Kitab Sama Weda memiliki beberapa kitab brahmana yaitu: Tandya Brahmana (Panca Wirusa), Sadwirusa Brahmana, Adbhuta Brahmana. Kitab Yajur Weda memiliki dua kitab brahmana yaitu: Taittiriya Brahmana (milik Sukla Yajur Weda). Kitab Atharwa Weda memiliki kitab Gopatha Brahmana.

3. Bagian Upanisad/Aranyaka (Jnana Kanda)

Kata Upanisad berarti duduk dibawah dekat seorang guru untuk menerima ajaran-ajaran yang bersifat rahasia. Pokok ajaran Upanisad berkisar pada dua asas yaitu Brahman dan Atman.Brahman adalah asas alam semesta, dan Atma adalah asas manusia. Upanisad-upanisad yang dipandang paling penting, yaitu: Isa Upanisad, Kena Upanisad, Katha upanisad, Aetareya Upanisad, Taiitiriya Upanisad, Kausitaki Upanisad dan Swetaswatara Upanisad.

Kitab Aranyaka merupakan kelanjutan dari kitab Brahmana. Kitab ini merupakan pedoman bagi orang yang sudah melaksanakan Wanasprasta. Kitab ini isinya interpretasi upacara-upacara keagamaan. Kitab ini disebut rahasya Jnana karena isinya bersifat rahasia. Kitab-kitab  Aranyaka yaitu: Aetareya Aranyaka (milik Reg Weda). Tandra Aranyaka (Milik Sama Weda), Satapatha Aranyaka (milik Atharwa Weda). 

Menurut DR.G Sriniwasa Murti bahwa tiap-tiap sakha yaitu cabang ilmu dari kitab suci Weda merupakan satu Upanisad. Dalam penelitian beliau dinyatakan bahwa kitab Catur Weda Samhita memiki 1.180 sakha yang perinciannya sebagai berikut: 
  • Reg Weda memiliki 21 sakha, 
  • Sama Weda memiliki 1.000 sakha, 
  • yajur Weda memilki 109 sakha dan 
  • Atarwa Weda memiliki 50 sakha. 
Jadi semestinya ada 1.180 sakha, namun berdasarkan catatan Muktikopanisad jumlah upanisad yang ada sebanyak 108 buah buku, setiap Weda dari Catur Weda memilki kitab Upanisad sebagai berikut:
  • Upanisad yang termasuk Reg Weda berjumlah 10 Upanisad yaitu: Aetareya, Kausitaki, Nada-Bindu, Atmaprabedha, Nirwana, Mudgala, Aksamalika, Tripura, Saubhaya, dan Brahwrca Upanisad.
  • Upanisad yang termasuk Sama Weda berjumlah 16 Upanisad yaitu: Kena, Chandogya, Aruni, Maitrayani, Maitreyi, Wajrasucika, Yogacudamani, Wasudewa, Mahat, Sanyasa, Awyakta, Kondika, Sawitri, Rudraksajabala, Darsana dan Jabali Upanisad.
  • Upanisad yang termasuk Yajur Weda: (1) Yajur Weda Hitam berjumlah 32 Upanisad: Kanthawali, Taittiriyaka, brahma, Kaiwalya, Swetaswatara, Garbha, Narayana, Amrtabindu, Asartanada, Katagnirudra, Kausika, Sukharahasya, Tejebindu, Dyanabindu, Brahmawidya, Yogatattwa,  Daksinamurti, Skanda, Sariraka, Yoga Sikha, Ekasara, Aksi, Awadhuta, Katha, Rudrahredaya, Yogakundalini, Pancabrahma, Pranagnihotra, Wahara, Kalisandraha, Ratnakhata dan Saraswatirasya Upanisad. dan (2) Yajur Weda Putih berjumlah 19 Upanisad: Isawasya, Brhadaranyaka, Jabala, Hamsa, Paramahamsa, Subata, Mantrika, Niralambha, Trisikhibrahmana, Turiyatitah, Adwanyataraka, Pinggala, Bhiksu, Adhyatma, Tarasara, Yadnyawalkya, Satyayani, Muktika dan Mandala brahmanaa Upanisad.
  • Upanisad yang termasuk Atharwa Weda  Berjumlah 31 Upanisad: Prasna, Mundaka, Mandhuka, Atharwasria, Atharwasikha, Brhaajjabala, Nrsimhatapini, Naradapariwrrjaka, Sita, Mahanarayana, Ramarahasya, Ramatapini, Sandilya, Paramahamsa, Annapurna, Surya, Atma, Pasupata, Parabrahma, Tripuratapini, Dewi, bhawana, Brahma, Ganapati, Mahawakaya, Gopalatapini, Krsna, Hayagriwa, Dattatreya, Garuda, Sarabha.

WEDA SMRTI

Kitab Weda Smrti adalah kitab yang ditulis berdasarkan ingatan yang bersumber kepada Weda Sruti. Kitab ini dianggap sebagai kitab Hukum Hindu yang didalamnya memuat tentang sariat Hindu yang disebut Dharma. Kerena itu Kitab Smrti ini dinyatakan sebagai Kitab Dharmasastra. Dharma berarti hukum dan Sastra berarti ilmu. Keterangan lebih lanjut mengenai kitab Smrti dapat kita temukan dalam berbagai kitab seperti:
Srutir wedah samakhyato, dharmasastram tu wai smrti” (Kitab Sarassamuscaya 37)
Artinya:
Yang dimaksud dengan sruti sama dengan weda dan Dharmasastra itu sesungguhnya Smrti.

 “Srutistu wedo wijneyo dharmasastram tu wai smrtih” (Menawa Dharmasastra II. 10)
Artinya:
Ketauilah bahwa sesungguhnya Sruti itu adalah Weda dan Dharmasastra itu adalah Smrti.
Dari kedua keterangan itu menjelaskan kepada kita yang dimaksud dengan Dharmasastra itu adalah Smrti atau dengan kata lain Smrti adalah Dharmasastra. Smrti sebagai Dharamasastra bersifat pelengkap dalam melengkapi keterangan-keterangan yang terdapat dalam Sruti, yang dirumuskan secara jelas dan mudah serta sistematis. Jadi, Smrti seperti kitab ulang dalam versi yang berbeda. Namun dalam mempergunakan kitab Smrti, kita perlu hati-hati karena antara kedua kitab tersebut (Sruti dan Smrti) tidak boleh bertentangan. Jika kedua kitab tersebut bertentangan, mungkin ada kesalahan saat Maha Rsi menyusun Smrti karena Smrti merupakan ingatan Maha Rsi akan wahyu sedangkan Sruti adalah wahyu yang didengar lalu ditulis secara langsung.

Kitab Smrti artinya mengingat, sehingga istilah Smrti adalah untuk menyebutkan jenis kelompok Weda yang disusun kembali berdasarkan ingatan. Smrti dapat digolongkan kedalam dua kelompok, yaitu: Kelompok Wedangga dan Upa Weda.

1. Kelompok Wedangga

Dilihat dari arti kata, Wedangga terdiri dari dua kata yaitu Weda adalah Kitab Suci dan Angga artinya badan (batang tubuh). Jadi, Wedangga artinya batang tubuh (badan) Weda. Kitab Wedangga tidak terpisah dari weda, karena isi dan idenya lahir dari Weda. Kitab ini akan memberikan penjelasan tentang hal-hal yang ada dalam Weda (badan Weda). Kelompok Wedangga terdiri dari 6 bagian yang disebut Sad Wedangga, yang terdiri dari:
  • Siksa (Phonetika); Isinya memuat petunjuk-petunjuk tentang tata cara yang tepat dalam pengucapan mantra serta tinggi rendahnya tekanan suara. Buku-buku siksa ini disebut Pratisakhya yang dihubungkan dengan berbagai resensi Weda Sruti.
  • Wyakarana (Tata Bahasa); sebagai suplemen batang tubuh Weda dianggap sangat penting dan menentukan karena untuk mengerti dan menghayati Weda Sruti, tidak mungkin tanpa bantuan pengertian dan bahasa yang benar. Asal mula teori pengajaran Wyakarana, bersumber pada kitab Pratisakhya.
  • Chanda (Lagu); adalah cabang Weda yang khusus membahas aspek ikatan bahasa yang disebut lagu. Peranan Chanda di dalam sejarah penulisan Weda karena dengan Chanda semua ayat-ayat itu dapat dipelihara turun temurun seperti nyanyian yang mudah diingat. Diantara berbagai jenis kitab Chanda, yang masih terdapat dewasa ini adalah dua buah buku, antara lain Nidana sutra dan Chandra sutra. Kitab terakhir itu dihimpun oleh Bhagawan Pinggala.
  • Nirukta (Sinonim dan Antonym); Kelompok jenis kitab Nirukta isinya terutama memuat berbagai penafsiran otentik mengenai kata-kata yang terdapat di dalam Weda. Kitab tertua dari jenis ini dihimpun oleh Begawan Yaska bernama Nirukta, ditulis pada tahun 800 SM. Kitab ini membahas tiga masalah yaitu: (1) Naighantukakanda, memuat kata-kata yang sama artinya. (2) Naidhamakanda (Aikapadika), memuat kata-kata yang berarti ganda. dan (3) Daiwatakanda menghimpun nama Dewa-Dewa yang ada di angkasa, bumi dan surga.
  • Jyotisa (Astronomi); Kelompok Jyostisa merupakan pelengkap Weda yang isinya memuat pokok-pokok ajaran astronomi yang diperlukan untuk pedoman dalam melakukan Yadnya. Isinya yang penting membahas peredaran tata surya, bulan dan benda angkasa lainnya yang dianggap mempunyai pengaruh dalam pelaksanaan Yadnya. Satu-satunya buku Jyotisa yang masih kita jumpai ialah Jyostisa Wedangga yang penulisanyan sendiri tidak dikenal.
  • Kalpa (Ritual); Kelompok kalpa ini merupakan kelompok Wedangga yang terbesar dan yang terpenting. Kitab kalpa adalah jenis kitab Smrti (Wedangga) yang isinya berhubungan dengan kitab Brahmanda dan kitab-kitab mantra. Kalpa terdiri empat kitab yang kebanyakan isinya berhubungan dengan kitab-kitab Brahmana. Dan hanya sebagian kecil yang berhubungan dengan kitab-kitab mantra.
Kitab Kalpa terdiri dari beberapa kitab, antara lain :
  1. Kitab Srauta, atau disebut juga Srauta Sutra, isinya memuat berbagai macam ajaran mengenai tata cara melakukan yadnya. Tata cara melakukan yadnya yang dimaksud antara lain tata cara upacara yadnya, penebusan dosa, dan lain-lain serta tata cara upacara yadnya yang berhubungan dengan upacara keagamaan, baik dalam tingkatan upacara besar, upacara kecil, dan upacara harian (tiap-tiap hari).
  2. Kitab Grhya disebut juga dengan nama Grhya Sutra. Kitab Grhya Sutra isinya menguraikan tentang berbagai aturan pelaksanaan yadnya yang harus dilaksanakan oleh masyarakat (umat hindu) yang telah hidup berumah tangga. Berhubungan dengan kitab Srauta dan Grhya Sutra terdapat kitab sradha kalpa dan pitri medha sutra. Kedua kitab tersebut isinya menguraikan tentang pokok-pokok ajaran yang berhubungan dengan tata cara upacara untuk roh orang-orang yang telah meninggal dunia. Disamping itu pula terdapat kitab Prayas Cita Sutra sebagai pendukung dari Kitab Waitana Sutra (Atharwa Weda).
  3. Kitab Dharma Sutra isinya menguraikan tentang berbagai macam aspek mengenai peraturan hidup bermasyarakat dan bernegara. Kitab Dharma Sutra disebut juga Dharma Sastra. Kitab Dharma Sutra dipandang sebagai kitab yang sangat penting diantara kitab-kitab jenis kalpa. Karena dipandang sangat penting maka terdapat kesan bahwa Weda Smrti itu adalah Dharma Sastra. Diantara orang suci yang disebutkan sebagai penulis kitab Dharma Sastra adalah Bhagawan Manu, Bhagawan Apastamba, Bhagawan Bhaudayana, Bhagawan Harita, Bhagawan Wisnu, Bhagawan Wasistha, Bhagawan Waikanasa, Bhagawan Sanskha Likhita, Bhagawan Yajnawalkya, dan Bhagawan Parasara.
  4. Kitab Sulwa Sutra merupakan bagian terakhir dari kitab-kitab Kalpa. Kitab Sulwa Sutra ini, isinya memuat tentang petunjuk dan peraturan-peraturan mengenai tata cara membuat dan mendirikan tempat suci untuk beribadat (Pura, Candi), bangunan-bangunan lainnya yang berhubungan dengan arsitektur. Kitab Sulwa Sutra memiliki beberapa bentuk buku, antara lain Kitab Silpa Sastra, Kitab Kautuma, Kitab Mayatama, Kitab Wastu Widya, Kitab Manasara, dan Kitab Wisnu Dharmotara Purana.
Dari nama-nama para orang suci penulis Kitab Dharma Sastra tersebut diatas yang paling terkenal adalah Bhagawan Manu. Karya sastra beliau di bidang Manawa Dharmasastra ditulis oleh Bhagawan Bhrgu. Ajaran yang termuat dalam kitab Menawa Dharmasastra yang ditulis oleh Bhagawan Bhrgu menyebar diseluruh pelosok dunia, seperti di India, Campa, Kamboja, Thailand, dan Indonesia.

Agama hindu mengajarkan kepada umatnya, bahwa dalam hidup dan kehidupan kita ini, dilalui oleh empat zaman atau disebut juga Catur Yuga. Bhagawan Sankhalikhita menjangkau bahwa masing-masing dari Catur Yuga mempunyai Dharma Sastranya tersendiri, seperti berikut :
  1. Pada zaman Satya/Krtha Yuga berlaku kitab Manawa Dharma Sastra karya sastra dari Bhagawan Manu.
  2. Pada zaman Treta Yuga berlaku kitab Dharma Sastra yang ditulis oleh Bhagawan Yajnawalkhya.
  3. Pada masa Dwapara Yuga berlaku kitab Dharma Sastra buah karya Bhagawan Sankha Likhita.
  4. Pada masa Kali Yuga dipergunakanlah Dharma Sastra yang ditulis oleh Bhagawan Parasara.
Diantara keempat kitab Dharma Sastra tersebut, yang diterapkan untuk masing-masing Catur Yuga memiliki sifat saling mengisi atau melengkapi diantara satu dengan yang lainnya.

2. Kelompok Upa Weda

Kitab-kitab Upa Weda merupakan kitab kelompok kedua dari Weda Smrti, setelah kitab-kitab Wedangga. Upa berarti dekat/sekitar dan Weda dapat diartikan pengetahuan suci/kitab suci. Upa Weda juga diartikan sebagai weda yang lebih kecil. Kitab Upa Weda memiliki fungsi sama pentingnya dengan kitab-kitab Smrti yang lainnya. Kitab Upa Weda terdiri dari bebrapa cabang ilmu, antara lain sebagai berikut :

a. Itihasa
Kitab Itihasa dikelompokkan dalam kitab-kitab Upa Weda. Nama Itihasa pada mulanya diberikan oleh penulis kitab Mahabharata pada bagian Adi Parwa, yaitu Bhagawan Wyasa. Itihasa terdiri atas tiga kata yaitu Iti-ha-sa, yang artinya sesungguhnya kejadian itu begitulah nyatanya. Didalam kitab Adi Parwa terdapat kata "Jayo nametihaso yam srotatawyo wujigisuna". Menurut para ahli kata "Jaya" itulah yang kemudian dinamakan itihasa. Jaya adalah nama episode karangan Bhagawan wyasa yang menceritakan sejarah pandawa dan korawa. 

Itihasa adalah sebuah epos yang menceritakan sejarah perkembangan raja-raja dan kerajaan Hindu di masa lampau. Itihasa adalah karya sastra yang bersifat spiritual, dimana ceritanya penuh filsafat, roman, kewiraan, dan mitologi sehingga memberi sifat kekhasan sebagai sastra spiritual. Idealisme yang ada dalam kitab itihasa itu berpegang teguh kepada Dharma, sifat-sifat kepemimpinan dengan asas Astabrata. Kitab Itihasa secara tradisional terdiri dari kitab Ramayana (terdiri dari 7 kanda) dan Mahabharata (terdiri dari 18 parwa). Kedua kitab ini sangat terkenal di dunia dan digubah kedalam sastra jawa kuno yang sangat indah. Ceritanya banyak diambil dalam bentuk drama, pewayangan,seni pahat, seni lukis dan sebagainya.
  1. Ramayana ditulis oleh Mpu Walmiki. Menurut tradisi, kejadian yang dilukiskan didalam Ramayana menggambarkan kehidupan pada zaman Tretayuga, tetapi menurut para ahli lainnya, Ramayana telah selesai ditulis sebelum tahun 500SM. Diduga ceritanya telah populer sejak 3100SM. Ramayana merupakan epos yang ditulis dalam bentuk stansa meliputi 24.000 buah stansa. Seluruh isi dikelompokkan kedalam tujuh kanda yaitu Bala Kanda, Ayodnya Kanda, Aranya Kanda, Kiskindha Kanda, Sundara Kanda, Yudha Kanda dan Uttara Kanda. Tiap-tiap kanda merupakan satu kejadian yang menggambarkan cerita yang menarik. Kitab ini dikenal sebagai adikawya, sedangkan dalam berbagai bentuk versi baru, seperti Ramayana Tatwa Padika ditulis oleh Maheswaratirtha, Amrtakataka oleh Sri Rama, dan Kekawin Ramayana oleh Mpu Yogiswara.
  2. Mahabharata yang sering disebut dengan istilah "wiracarita" terdiri atas 100.000 ribu sloka dan dibagi menjadi 18 parwa, sehingga disebut asta dasa parwa. Menurut tradisi, kejadian Bharatayudha diperkirakan pada permulaan zaman Kaliyuga. Kitab Mahabharata menceritakan kehidupan keluarga bharata dan isinya menggambarkan pecahnya perang saudara antara pandawa dengan korawa. Kitab ini meliputi 18 buah parwa, yaitu Adi Parwa, Sabha Parwa, Wana Parwa, Wirata Parwa, Udyoga Parwa, Bhisma Parwa, Drona Parwa, Karna Parwa, Satya Parwa, Sampti kaparwa, Stri Parwa, Santri Parwa, Amsasana Parwa, Aswamedhi Kaparwa, Asramawasi Kaparwa, Mausala Parwa, Mohaprasthani Kaparwa, Swargarohana Parwa. Parwa ke-12 merupakan parwa terpanjang yang meliputi 14.000 stana. Mahabharata ditulis oleh Bhagawan Wyasa, Mahabharata banyak menggambarkan kehidupan beragama, sosial, dan politik menurut ajaran agama Hindu, yang mirip dengan dharma sastra dan wisnu smrti.

b. Purana
Kitab Purana adalah bagian dari kitab-kitab Upaweda. Kitab Purana memuat ajaran suci dalam cerita-cerita kuno dan perumpamaan untuk memudahkan penerapan dan pengertian yang terkandung dalam kehidupan sehari-hari serta bagi mereka yang tingkat pikirannya belum tinggi. Juga menceritakan tentang "Case Low" pembuktian hukum yang pernah dijalankan. 

Sejarah penulisan Purana dimulai pada tahun 500 SM. Dan mencapai kesempurnaan pada tahun 600 SM, ketika Maharaja Harsa Wardana yang memerintah Negara Aryawarta. 
Adapun jenis-jenis purana adalah yaitu Brahmanda Purana, Brahmawaiwarta Purana, Markandya Purana, Bhawisya Purana, Wamana Purana, Brahma Purana, Wisnu Purana, Narada Purana, Bhagawata Purana, Garuda Purana, Padma Purana, Warana Purana, Matsya Purana, Kurma Purana, Lingga Purana, Siwa Purana, Skanda Purana dan Agni Purana. Diantara Purana-purana tersebut, yang paling terkenal adalah Wisnu Purana dan Bhagawata Purana. Berdasarkan sifatnya, kedepan belas purana itu dibagi atas tiga bagian yaitu :
  1. Satwika Purana, terdiri atas Wisnu Purana, Narada Purana, Bhagawata Purana, Garuda Purana, dan Waraha purana.
  2. Rajasika Purana, terdiri atas Bhrahmanda Purana, Bhrahmawaiwarta Purana, Markandya Purana, Bhawisya Purana, Waruna Purana dan Brahma Purana.
  3. Tamasika Purana, terdiri atas Matsya Purana, Kurma Purana, Lingga Purana, Siwa Purana, Skanda Purana, dan Agni Purana.
Kitab-kitab purana sangat penting karena bermanfaat untuk memahami garis-garis besar isi Weda. Menurut Wisnu Purana III.6.24, suatu purana yang lengkap dan baik memuat lima macam pokok isi, meliputi hal-hal sebagai berikut :
  1. cerita tentang penciptaan dunia.
  2. cerita tentang bagaimana tanda dan terjadinya pralaya.
  3. cerita yang menjelaskan silsilah dewa-dewa dan bhatara.
  4. cerita mengenai zaman manu atau manwantara.
  5. cerita mengenai silsilah keturunan dan perkembangan dinasti surya wangsa dan candra wangsa.
Isi kitab-kitab purana lainnya memuat pokok-pokok pemikiran yang menguraikan tentang kejadian alam semesta, doa-doa dan mantra untuk sembahyang, cara melakukan puasa, tata cara upacara keagamaan dan petunjuk-petunjuk mengenai cara bertirtayatra ke tempat-tempat suci. Adapun peranan penting dari purana ialah karena kitab-kitab ini memuat pokok-pokok ajaran mengenai ketuhanan.

c. Artha Sastra

Kitab Artha Sastra berisikan tentang pokok-pokok pemikiran bidang ilmu politik atau ilmu pemerintahaan negara. Artha Sastra sebagai bagian dari kitab Upa Weda, ditulis oleh Bhagawan Brhaspati. Jejak beliau didalam tulis menulis kitab-kitab artha sastra diikuti oleh Maharsi Kautilya (Canakya). Disamping Maharsi Kautilya yang mengikuti Bhagawan Brhaspati dalam menulis kitab-kitab Artha Sastra, ada juga Bahgawan lainnya seperti Bhagawan Usana, Bhagawan Parasara, Danding, Wisnugupta, Bharadwaja, dan Wisalaksa.
Kitab-kitab yang tergolong kitab Artha Sastra adalah Niti Sastra atau Rajadharma (Dandaniti). Jenis kitab Artha Sastra yang digubah di Indonesia adalah jenis Usana, Nitisastra, dan Sukraniti. Umumnya naskah-naskah itu tidak lengkap lagi sehingga bila ingin mengadakan rekontruksi diperlukan data-data dan bahan-bahan lain untuk penulisannnya kembali.

d. Ayur Weda
Kitab Ayur Weda adalah kelompok kitab Upa Weda yang isinya menguraikan tentang bidang ilmu kedokteran atau kesehatan baik rohani maupun jasmani. Adapun nama kitab yang termasuk kelompok kitab ayur weda adalah kitab Caraka Samhita, Susruta Samhita, Kasyapa Samhita, Astanggahrdaya, Yogasara, dan Kama Sutra.

Pada umumnya kitab Ayur Weda erat sekali hubungannya dengan kitab-kitab Dharma Sastra dan Purana Ajaran umum yang menjadi hakikat isi seluruh kitab ini menyangkut bidang kesehatan jasmani dan rohani dengan berbagai sistem sifatnya. Jadi ayur weda adalah filsafat kehidupan, baik etis maupun medis. Oleh karena itu, luas lingkup bidang isi ajaran yang dikodifikasikan didalam Ajur Weda ini meliputi bidang yang sangat luas dan merupakan hal-hal yang hidup. Berdasarkan materi yang terdapat dalam kitab Ayur Weda maka isi kitab Ayur Weda meliputi delapan bidang ajaran umum, yaitu sebagai berikut :
  1. Salya adalah ajaran mengenai ilmu bedah.
  2. Salkya adalah ajaran mengenai ilmu penyakit.
  3. Kayakitsa adalah ajaran mengenai ilmu obat-obatan.
  4. Bhuta Widya adalah ajaran mengenai ilmu psikoterapi.
  5. Kaumara Bhrtya adalah ajaran mengenai ilmu pendidikan anak-anak dan merupakan dasar bagi ilmu jiwa anak-anak.
  6. Agada Tantra adalah ajaran mengenai ilmu toksikologi.
  7. Rasayama Tantra adalah ajaran mengenai ilmu muhjizat.
  8. Wajikarana Tantra adalah ajaran mengenai ilmu jiwa remaja.
Kitab Caraka Samhita merupakan bagian dari kitab Ayur Weda. Kitab tersebut memuat delapan bidang ajaran, antara lain sebagai berikut :
  1. Sutrathana, isinya menguraikan tentang ilmu pengobatan.
  2. Nidanasthana, isinya memuat tentang berbagai penyakit yang bersifat umum.
  3. Wimanasthana, isinya menguraikan tentang ilmu pathologi.
  4. Sarithana, isinya menguraikan tentang ilmu anatomi dan embriologi.
  5. Indiyasthana, isinya menguraikan tentang materi diagnosa dan prognosa.
  6. Cikitasasthana, isinya menguraikan tentang ajaran khusus mengenai pokok-pokok ilmu terapi.
  7. Kalpasthana, isinya menguraikan tentang ajaran di bidang terapi secara umum.
  8. Siddistana, isinya juga menguraikan tentang pokok-pokok di bidang terapi secara umum.
Berdasarkan catatan yang ada, kitab Kalpasthana dan kitab Siddistana telah diterjemahkan kedalam bahasa Arab dan Persia pada tahun 800 Masehi. Kitab Susruta Samhita ditulis oleh Bhagawan Susanta. Kitab ini isinya menguraikan tentang pentingnya ajaran umum dibidang ilmu bedah. Disamping itu, kitab Susruta Samhita juga mencatat berbagai macam alat-alat yang dapat dipergunakan dalam pembedahan. Kitab Yogasara dan Yogasastra ditulis oleh Bhagawan Nagarjuna. Kedua kitab ini isinya menguraikan tentang pokok-pokok ilmu yoga yang berhubungan dengan sistem anatomi dalam pembinaan kesehatan, baik jasmani maupun rohani. Kitab kama Sutra ditulis oleh Bhagawan Watsyayana pada abad ke-10 masehi. Kitab Kama Sutra berhubungan dengan kitab Wajikarana Tantra. Isinya menguraikan tentang ajaran ilmu jiwa remaja.

e. Gandharwa Weda

Kitab Gandharwa Weda merupakan bagian dari kitab-kitab Upa Weda. Gandharwa Weda sebagai kitab Smrti, juga memiliki beberapa bagian kitab, seperti: Natya Sastra, Natya Wedagama, Dewa Dasa Sahasri, Rasarnawa, dan Rasaratnasamucaya. Kitab Gandharwa Weda isinya menguraikan tentang berbagai aspek cabang ilmu seni.

f. Kama Sastra

Kitab Kama Sastra adalah termasuk kitab suci agama hindu pada bagian Smrti (Upa Weda). Kama Sastra sebagai bagian dari jenis kitab Upa Weda isinya menguraikan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan asmara, seni atau rasa indah. Didalam upaya untuk mewujudkan salah satu tujuan hidup, umat Hindu dipandang perlu untuk membangkitkan rasa indah tersebut. Kebangkitan dari rasa indah manusia terbentuk untuk berbakti kepada Sang Hayng Widhi, hendaknya dipedomani oleh Kama Sastra. Karena dengan demikian asmara dan rasa indah yang muncul itu tentu terarah/bernilai positif adanya. Diantara kitab-kitab Kama Sastra yang terkenal adalah karya dari Bhagawan Watsyayana.

g. Agama
Kitab agama itu baru ada setelah agama hindu ada dan berkembang di dunia. menurut Weda, agama Hindu dapat dipelajari ole seluruh umat manusia. Hal ini termuat dalam kitab Yajur Weda sebagai berikut :
"Yaatkeram wacam kalyanin awadoni janebhyah,
Brahma Rajanyabhyam cudraya caryaya ca siwaya caranayaca" (Yajur Weda XVI. 18)
Artinya :
Biar kutanyakan disini kitab suci ini kepada orang-orang banyak, kepada kaum Brahmana, Kaum Ksatrya, Kaum Sudra, dan Kaum Waisya dan bahkan kepada orang-orangKu dan kepada mereka (orang-orang asing) sekalipun.

Berdasarkan bunyi sloka tersebut diatas dinyatakan bahwa kitab suci Weda dapat dipelajari oleh siapa saja, tidak terkecuali. Namun menyadari akan kekurang sempurnanya kita sebagai umatnya, maka tidak akan semuanya dapat mempelajarinya dengan sempurna. Disamping itu, kita juga perlu menyadari bahwa Weda sebagai sumber ajaran agama Hindu mengandung ajaran yang sangat tinggi. bagi mereka yang belum dapat mempelajari Weda dapat belajar agama Hindu berdasarkan kitab-kitab agama. Kitab agama isinya memuat ajaran tentang keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan petunjuk-petunjuk untuk melaksanakan tata cara persembahyangan. 

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa jumlah kitab-kitab Smrti yang dapat kita pergunakan sebagai petunjuk untuk menata kehidupan dalan berhubungan dengan Sang Hyang Widhi / Tuhan Yang Maha Esa, banyak jenisnya. Hal itu sesuai dengan ucapa Kitab Smrti (Dharmasastra) sebagai berikut :
"Weda'khilo dharma mulam smrti cile ca tad widam
acaracca iwa sadhunam atmanastustir ceva ca" (Manawa Dharmasastra II.6)
Artinya :
Seluruh weda merupakan sumber utama daripada dharma (Agama Hindu) kemudian berulah Smrti, disamping kebiasaan-kebiasaan yang baik dari orang-orang yang menghayati Weda (sila) dan kemudian tradisi-tradisi dari orang-orang suci (acara) serta yang terakhir adalah rasa puas diri sendiri (atmanastusti)

Isi Kitab Suci Weda

Bila kita mempelajari secara keseluruhan mantra-mantra Weda (Catur Weda) termasuk pula kitab-kitab Mantra, Brahmana, Aranyaka/Upanisad, maka pada garis besarnya ajaran Weda dapat dikelompokkan kedalam 4 kelompok isi, yang masing-masing dapat dikembangkan lagi sebagai pengetahuan, yaitu sebagai berikut :
  1. Kelompok yang membahas Vijnana, yaitu kelompok mantra yang membahas bermacam aspek pengetahuan, baik pengetahuan alam sebagai ciptaanNya, termasuk pula teologi, kosmologi dan lain-lain yang bersifat metaphisik. Kata vidjnana berarti kebijaksanaan tertinggi (realization of knowlegde). Intinya mungkit sangat singkat atau pendek, kadangkala sangat sulit untuk memahami apa yang terkandung di balik mantra atau sangat sulit untuk memahami apa yang terkandung dibalik mantra atau ungkapan melalui mantra-mantra itu. Demikian pula penggunaannya terlebih lagi digunakan dalam rangkaian doa atau stava, sehingga hal itu kadang-kadang kita anggap hal yang biasa dan bukan merupakan pengetahuan yang disebut vidjnana. Ini akan bertambah jelas setelah kita membaca Yajur weda, bahwa weda berisikan berbagai pengetahuan yang diperlukan oleh manusia guna meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan. Yang paling menonjol dalam aspek vidjnana ini adalah aspek yang memberi keterangan dasar pandangan filsafat dan methapisika berdasarkan weda.
  2. Kelompok yang membahas aspek Karma, yaitu kelompok mantra mengenai aspek atau jenis Karma atau Yajna sebagai dasar atau cara dalam mencapai tujuan hidup manusia. Pembahasan secara mendalam mengenai hal ini kemudian dikembangkan didalam kitab-kitab Kalpasutra sebagai pengembangan lebih jauh kitab-kitab Brahmana.
  3. Kelompok yang membahas Upasana, yaitu kelompok mantra yang membahas segala aspek yang ada kaitannya dengan petunjuk dan cara untuk mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa. Kata Upasana berarti usaha mendekatkan diri dengan sthana Sang Hyang Widhi. Kelompok mantra ini menjadi dasar berkembangnya sistem atau ajaran yoga.
  4. Kelompok yang membahas aspek Jnana, yaitu kelompok mantra yang membahas segala aspek pengetahuan secara umum sebagai ilmu murni. Dalam hubungan ini perlu dikemukakan bahwa kita tidak mendapatkan gambaran secara lengkap bagaimana ilmu itu, kecuali hukum-hukum tertentu yang kemudian kalau kita kembangkan akan menjadi ilmu yang berdiri sendiri, sebagai contoh Vaidikaganitam, Ayurweda dan sebagainya. Ayurweda ini sudah lama dikembangkan dalam perguruan modern (Ayurvedic collage) sebagai bidang yang berdiri sendiri, berdampingan dengan sistem pengobatan modern. Ini berarti di dalam weda terdapat pengetahuan atau ilmu murni yang bisa dikembangkan lagi.

Setelah diketahui bahwa isi Weda dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok isi, dapat pula disederhakanan menjadi 2 aspek, yaitu ajaran yang mengandung aspek: 
  • Karmakanda, yakni yang menyangkut ajaran karma, yajna dan upanisad dapat dijumpai dalam kitab-kitab Samhita, Brahmana, dan Aranyaka, 
  • Jnanakanda, yang dapat dijumpai dalam Samhita, Aranyaka da Upanisad. 
Selanjutnya tentang isi Weda dapat pula dianalisis dengan menggunakan  dasar-dasar pendekatan sesuai kitab Bhagavadgita, yakni mengelompokkan isi Weda dalam 5 topik, sebagai berikut :
  1. Yang mengandung ajaran Bhakti atau Bhaktiyoga
  2. Yang mengandung ajaran Karma atau Karmayoga
  3. Yang mengandung ajaran Jnana atau Jnanayoga
  4. Yang mengandung ajaran Rajayoga
  5. Yang mengandung ajaran Vibhutiyoga atau ajaran yang bersifat mistis.
Mengingat mantra-mantra weda sulit dipahami dan mungkin kurang menarik minat bagi umat yang awam dibidang kerohanian, para Rsi menyusun kitab-kitab sastra sebagai alat bantu memahami ajaran tersebut. Tentang hal ini, Maharsi yang juga Adikawi Walmiki menyatakan dalam karya agung beliau Ramayana, bahwa disusunnya cerita seperti Mahabharata dan Ramayana sebagai sarana untuk lebih memudahkan umat memahami kitab suci Weda.

DAFTAR PUSTAKA

Bantas, I Ketut dan I Nengah Dana. 1986. Pendidikan Agama Hindu. Jakarta: Karunika Jakarta.
Bantas, I Ketut. 2002. Agama Hindu. Jakarta: Universitas Terbuka.
Titib, I Made. 1996. Veda, Sabda Suci pedoman praktis kehidupan. Surabaya: Paramita
Tim Penyusun. 1994. Buku Pelajaran Agama Hindu until Perguruan Tinggi. Jakarta: hanuman Sakti.
Pudja, Gede dan Sudhartama, Tjokorda Rai. 1973. Manawa Dharmasastra. Jakarta: PHDI