Tampilkan postingan dengan label Manawa Dharmasastra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Manawa Dharmasastra. Tampilkan semua postingan

Kamis, 13 Agustus 2015

Kewajiban Suami - Grahasta Asrama

Kewajiban Suami - Grahasta Asrama

salah satu bagian dari Catur Asramaadalah masa Grahasta, yang sering disebut dengan masa berkeluarga. langkah awal dalam membangun keluarga adalah kawin (baca: "Pernikahan menurut Pandangan Hindu"). Selain sebagai ikatan/jalinan pengabdian yang tulus ikhlas antara seorang ayah kepada ibu dan anak, dalam keluarga juga terdapat kewajiban atau swadarma untuk melakukan panca yadna (Weda Smrti III 67.71), itu lima pengabdian yang ikhlas, suci, nirmala antara lain:
  1. Kepada Hyang Widhi beserta manifestasi-Nya (dewa yadnya)
  2. Kepada orang suci (Rsi Yadnya)
  3. Kepada orang tua, leluhur/guru rupaka (Pitra Yadna).
  4. Kepada sesama manusia (Manusa Yadnya).
  5. Kepada Alam semesta (Bhuta yadnya).
Selain kewajiban panca yadnya tersebut diatas, setiap unsur dalam keluarga Hindu memiliki kewajiban masing-masing antara lain:


Kewajiban Suami.

Mameyam astu posyaa, mahyam tvaadaad brhaspatih, mayaa patyaa prajaavati, sam jiiva saradah satam (Atharvaveda XIV.1.52)
“Engkau istriku, yang dianugrahkan Hyang Widhi kepadaku, aku akan mendukung dan melindungimu. Semoga engkau hidup berbahagia bersamaku dan anak keturunan kita sepanjang masa”.
Suami hendaknya berusaha tanpa henti untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi keluarganya, menafkahi istri secara lahir dan batin, merencanakan jumlah keluarga, menjadi pelindung keluarga dan figur yang dihormati dan ditauladani oleh istri dan anak-anaknya.

“Wahai mempelai laki-laki, lakukanlah yadnya(pengorbanan suci) yang akan mengantarkan keluargamu mencapai kebahagiaan dan perkawinan yang penuh rahmat. Senantiasa berbaktilah kepada Hyang Widhi, berikannlah kegembiraan kepada semua makhluk.” (Yajur Weda VIII,4)
Dalam Kitab Sarasamuccaya 242 disebutkan kewajiban suami antara lain:
  1. Sarirakrt artinya, mengupayakan kesehatan jasmani anak-anaknya.
  2. Prana data, membangun jiwa anak-anaknya.
  3. Anna data, artinya: memberikan makan.
Dalam Grhya Sutha, seorang suami mempunyai 2 (dua) kewajiban antara lain:
  1. Memberikan perlindungan pada istri dan anak (patti).
  2. Bhastri, artinya seorang suami berkewajiban menjamin kesejahteraan istri dan anak-anaknya.
Dalam Nitisastra VIII sloka 3 ada 5 (lima) kewajiban seorang suami yang disebut panca vida, antara lain:
  1. Matuluning urip rikalaning baya artinya: menyelamatkan keluarga pada saat bahaya.
  2. Nitya maweh bhinoajana artinya: selalu mengusahakan makanan yang sehat.
  3. Mangupadyaya artinya: memberikan ilmu pengetahuan kepada anak-anaknya.
  4. Sira sang angaskara kita artinya: yang menyucikan diri kita
  5. Sang ametwaken artinya: suami sebagai penyebab kelahiran bagi anak-anaknya.
Didalam Weda Smrti IX.3 disebutkan:
Pitaraksati kaumare, bharta raksati yauwane, raksanti sthavire putra na, srti swatantryam arhati
Selagi masih kecil seorang ayahlah yang melindungi, dan setelah dewasa suaminyalah yang melindunginya dan setelah ia tua putranyalah yang melindungi, wanita tidak pernah layak bebas (harus selalu dilindungi).

Kewajiban suami dalam Weda Smrti IX: 2,3,9,11 dapat diuraikan sebagai berikut:
  1. Wajib melindungi istri dan anak-anaknya serta memperlakukan istri dengan wajar dan hormat. Wajib memelihara kesucian hubungannya dengan saling mempercayai sehingga terjamin kerukunan dan keharmonisan rumah tangga.
  2. Suami hendaknya menyerahkan harta kekayaan dan menugaskan istrinya untuk mengurus artha rumah tangga, urusan dapur, yadnya serta ekonomi keluarga.
  3. Bila harus dinas keluar daerah suami suami berusaha menjamin istrinya untuk memberikan nafkah.
  4. Suami wajib menggauli istrinya dan mengusahakan agar antara mereka sama-sama menjamin kesucian keturunannya serta menjauhkan diri dari hal-hal yang mengakibatkan perceraian.
  5. Suami hendaknya selalu merasa puas dan bahagia bersama istrinya karena akan terpelihara kelangsungannya.
  6. Suami wajib menjalankan dharma grhastin, dharma keluarga (kula dharma), dhama dalam bermasyarakat (vansa dharma).
  7. Suami berkewajiban melaksanakan sraddha, pitrapuja (pemujaan kepada luluhur) memelihara cucunya serta melaksanakan panca yadnya.

Kewajiban Suami menurut Manawa Dharmasastra 

Aninditaih Stri Wiwahair
Anindya Bhawati Praja
Ninditairnindita Nrrnam
Tasmannindyan Wiwarjayet (Manawa Dharmasastra III.42)
Dari perkawinan terpuji akan lahirlah putra-putri yang terpuji; dan dari perkawinan tercela lahir keturunan tercela; karena itu hendaklah dihindari bentuk-bentuk perkawinan tercela.

Rtu Kalabhigamisyat
Swadaraniratah Sada
Parwawarjam Wrajeccainam
Tad Wrato Rati Kamyaya (Manawa Dharmasastra III.45)
Hendaknya suami menggauli istrinya dalam waktu-waktu tertentu dan selalu merasa puas dengan istrinya seorang, ia juga boleh dengan maksud menyenangkan hati istrinya mendekatinya untuk mengadakan hubungan kelamin pada hari apa saja kecuali hari Parwani.


Pitrbhir Bhratrbhis
Caitah Patibhir Dewaraistatha
Pujya Bhusayita Wyasca
Bahu Kalyanmipsubhih  (Manawa Dharmasastra III.55)
Wanita harus dihormati dan disayangi oleh ayah-ibu dan mertuanya, kakak-kaknya, adik-adiknya, suami dan ipar-iparnya yang menghendaki kesejahteraan sendiri.

Yatra Naryastu Pujyante
Ramante Tatra Dewatah
Yatraitastu Na Pujyante
Sarwastatraphalah Kriyah (Manawa Dharmasastra III.56)
Di mana wanita dihormati disanalah para Dewa-Dewa merasa senang, tetapi dimana mereka tidak dihormati tidak ada upacara suci apapun yang akan berpahala.


Socanti Jamayo Yatra
Winasyatyacu Tatkulam
Na Socanti Tu Yatraita
Wardhate Taddhi Sarwada (Manawa Dharmasastra III.57)
Di mana warga wanitanya hidup dalam kesedihan, keluarga itu cepat akan hancur, tetapi dimana wanita itu tidak menderita, keluarga itu akan selalu bahagia.


Jamayo Yani Gehani
Capantya Patri Pujitah
Tani Krtyahatanewa
Winasyanti Samantatah (Manawa Dharmasastra III.58)
Rumah di mana wanitanya tidak dihormati sewajarnya mengucapkan kata-kata kutukan, keluarga itu akan hancur seluruhnya seolah-olah dihancurkan oleh kekuatan gaib.

Tasmadetah Sada Pujya
Bhusanaccha Dana Sanaih
Bhuti Kamairnarair Nityam
Satkaresutsa Wesu Ca (Manawa Dharmasastra III.59)
Oleh karena itu orang yang ingin sejahtera harus selalu menghormati wanita pada hari-hari raya dengan memberi hadiah perhiasan, pakaian dan makanan.

Samtusto Bharyaya Bharta
Bhartra Tathaiwa Ca
Yasminnewa Kule Nityam
Kalyanam Tatra Wai Dhruwam (Manawa Dharmasastra III.60)
Pada keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri terhadap suaminya, kebahagiaan pasti akan kekal.
Sang alaki rabi sane saling asih kawiyaktian nyane sampun ngemanggihin kerahayuan
Yadi Hi Stri Na Roceta
Pumamsam Na Pramodayet
Apramodat Punah Pumsah
Prajanam Na Prawartate (Manawa Dharmasastra III.61)
Kalau istri tidak mempunyai wajah berseri, ia tidak akan menarik suaminya, tetapi jika sang istri tidak tertarik pada suaminya tidak akan ada anak yang lahir.
Yening stri tan setata nyemita, tan kengin sang meraga lanang sih asih ring stri, taler yening stri sekadi inucap, punika sane ngawinang sang alaki rabi tan presida ngawentenang sentana

Striya Tu Rocamanayam
Sarwam Tadrocate Kulam
Tasyam Twarocamanayam
Sarwamewa Na Rocate (Manawa Dharmasastra III.62)
Jika sang istri selalu berwajah berseri-seri seluruh rumah akan kelihatan bercahaya, tetapi jika ia tidak berwajah demikian semuanya akan kelihatan suram.

Kuwiwahaih Kriya Lopair
Wedanadhyayanena Ca
Kulanya Kulam Tamyanti
Brahmanati Kramena Ca (Manawa Dharmasastra III.63)
Dengan perkawinan secara rendah yaitu dengan mengabaikan upacara pemujaan, dengan mengabaikan pelajaran Weda dan dengan tingkah laku yang tidak hormat kepada Sulinggih, keluarga-keluarga besarpun akan berantakan.

Mantratastu Samrddhani
Kulanyalpa Dhananyapi
Kulasamkhyam Ca Gachanti
Karsanti Ca Mahadyacah (Manawa Dharmasastra III.66)
Tetapi keluarga-keluarga yang kaya dalam pengetahuan Weda walaupun mempunyai kekayaan sedikit mereka dapat dimasukkan dalam golongan keluarga yang mulia serta mendapatkan kemakmuran.

Swadhyaye Nityayuktah
Syaddaiwe Caiweha Karmani
Daiwakarmani Yukto Hi
Bibhartimdam Caracaram (Manawa Dharmasastra III.75)
Hendaknya setiap orang yang menjadi kepala rumah tangga setiap harinya menghaturkan mantra-mantra suci Weda (Puja Trisandya) dan juga melakukan upacara pada para Dewa karena ia yang rajin dalam melakukan upacara yadnya pada hakekatnya membantu kehidupan ciptaan Hyang Widhi yang bergerak (mahluk hidup) maupun yang tidak bergerak (alam semesta).

Demikian sekilas tentang Kewajiban Suami - Grahasta Asrama, semoga bermanfaat.

Sabtu, 25 Juli 2015

Agama Veda dharma

Agama Veda dharma

Veda atau dalam istilah Bali disebut dengan WEDA, merupakan Wahyu yang diturunkan oleh Hyang Widhi (Tuhan) melalui para Rsi, dikumpulkan atau dihimpun menjadi suatu kitab suci. 
Kata Weda dapat dikaji melalui dua pendekatan, yaitu berdasarkan etimologi  (akar katanya) dan berdasarkan semantic (pengertiannya).
  • Secara etimologi berasal dari bahasa Sansekerta, dari akar kata "Wid" yang berarti mengetahui atau pengetahuan. Dari kata Weda yang ditulis dengan huruf A (panjang) berarti pengetahuan kebenaran sejati atau kata-kata yang diucapkan dengan aturan-aturan tertentu yang dijadikan sumber ajaran Agama Hindu. 
  • Secara semantic Weda berarti kitab suci yang mengandung kebenaran abadi, ajaran suci atau kitab suci bagi umat Hindu. Maharsi Sanaya mengatakan bahwa Weda adalah wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang mengandung ajaran yang luhur untuk kesempurnaan umat manusia serta menghindarkannya dari perbuatan jahat.
Weda adalah ilmu pengetahuan suci yang maha sempurna berasal dari Sang Hyang Widhi yang didengarkan oleh Para Maha Rsi melalui pawisik (wahyu), sehingga weda disebut Sruti yang berarti Sabda Suci atau pawisik yang didengarkan sehingga weda itu sebagian besar adalah nyanyian-nyanyian dari Hyang Widhi yang berbentuk puisi, dalam Weda disebut Chandra. Orang yang menghayati dan mengamalkan Weda akan mendapatkan kerahayuan atau ketenangan lahir batin.  


Winternitz dalam bukunya A History of Indian Literature, volume I (1927) menyatakan bahwa kitab suci Weda adalah monument dan susastra tertua di dunia. Ia menyatakan bila kita ingin mengerti permulaan dari kebudayaan kita yang tertua, kita harus melihat Rg Weda sebagai susastra tertua yang masih terpelihara. Sebab pendapat apapun yang kita miliki mengenai susastra maka dapat dikatakan bahwa Weda adalah susastra timur tertua dan bersama dengan itu merupakan monument susastra dunia tertua. Demikian pula Bloomfield dalam bukunya The Religion of Weda (1908) menyatakan bahwa Rg Weda bukan saja monument tertua tetapi juga dokumen di timur yang paling tua.

Bahasa Weda

Sebagai wahyu Tuhan Yang Maha Esa maka timbul sebuah pertanyaan, bahasa apakah yang dipergunakan ketika wahyu itu turun dan demikian pula ketika Weda itu dituliskan. Dapat kita lihat pada kenyataannya bahwa setiap agama memiliki bahasa wahyunya tersendiri, biasanya bahasa kitab suci mereka adalah bahasa dimana wahyu tersebut diterima atau diturunkan. Begitu pula sebaliknya yang terjadi pada agama Hindu, kitab suci Weda menggunakan bahasa Sansekerta Karena Maha Rsi penerima wahyu Weda tersebut menggunakan bahasa sansekerta. Sampai saat ini bahasa sansekerta juga digunakan dalam penulisan susastra Hindu.

Istilah bahasa sansekerta adalah bahasa yang dipopulerkan oleh Maharsi bernama Panini yang hidup pada abad ke VI sebelum masehi. Pada waktu itu Maharsi Panini mencoba menulis sebuah kitab Vyakarana (tata bahasa) yang kemudian terkenal dengan nama Astadhayayi yang terdiri dari delapan Adhyaya atau bab yang mencoba mengemukakan bahwa bahasa yang digunakan dalam Weda adalah bahasa dewa-dewa. Bahasa dewa-dewa yang demikian dikenal dengan “Daivivak” yang berarti bahasa atau “sabda dewata”.
Kemudian atas jasa Maharsi Patanjali yang menulis kitab “Bahasa” dan merupakan buku kritik yang menjelaskan kitab Maharsi Panini yang ditulis pada abad ke II sebelum masehi, makin terungkaplah nama Daivivak untuk menamai bahasa yang digunakan dalam penulisan karya sastra seperti Itihasa (Sejarah), Purana (cerita-cerita kuno/mitologi). Penulis yang tampil setelah Maharsi Panini adalah Maharsi Katyayana. Katyayana hidup di abad ke V sebelum masehi. Katyayana dikenal juga dengan nama Vararuci dan di Indonesia salah satu karya dari Maharsi Vararuci yaitu Sarasamuccaya telah diterjemahkan kedalam bahasa Jawa Kuno pada masa kerajaan Majapahit.
Dengan perkembangannya yang pesat sesudah diturunkannya Weda, kemudian para ahli Sansekerta membedakan bahasa Weda kedalam tiga kelompok, yakni:
  1. Bahasa Sansekerta Weda (Vedic Sanskrit) yakni bahasa sansekerta yang digunakan dalam Weda yang umumnya jauh lebih tua dibandingkan dengan bahasa sansekerta yang kemudian digunakan dalam berbagai susastra Hindu seperti dalam Itihasa, Purana, Dharmasastra,dll.
  2. Bahasa Sansekerta Klasik (Classical Sanskrit) yakni bahasa sansekerta yang digunakan dalam karya sastra (susastra Hindu) seperti Itihasa (Ramayana dan Mahabharata), Purana (18 Mahapurana dan 18 Upapurana), Smrti (kitab-kitab Dharmasastra), kitab-kitab Agama (Tantra), dan Darsana yang berkembang sesudah Weda.
  3. Bahasa Sansekerta Campuran (Hybrida Sanskrit) dan untuk di Indonesia oleh para ahli menamai sansekerta kepulauan (Archipelago Sanskrit). Baik sansekerta campuran maupun sansekerta kepulauan keduanya ini tidak murni menggunakan kosa kata atau tata bahasa Sansekerta sebagaimana yang digunakan dalam kedua kelompok sebelumnya (Sansekerta Weda dan Sansekerta Klasik). Contoh sansekerta campuran dapat dijumpai di India terutama pada masyarakat yang tidak menggunakan bahasa sansekerta (kini menjadi bahasa Hindi) seperti di India Timur atau Selatan, sedangkan di Indonesia dapat kita lihat dari Sruti, Stava atau Puja yang digunakan oleh para pandita di Bali.
Tentang pengucapan mantra dalam Weda yang tertuang di dalam kitab Nirukta I.18 menyatakan bahwa :
Seseorang yang mengucapkan mantra (Weda) tidak mengerti makna yang terkandung dalam mantra Weda tersebut, maka tidak memperoleh penerangan rohani. Seperti sebatang kayu bakar yang disiram minyak tanah tidak akan pernah terbakar jikalau tidak ada api. Demikianlah orang yang hanya mengucapkan (membaca), tidak mengetahui arti atau makna mantra (Weda) maka tidak akan memperoleh cahaya pengetahuan sejati

Umur Kitab Suci Weda

Umat Hindu meyakini bahwa Weda itu tidak berawal dan tidak berakhir dalam pengertian waktu. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum itu atau tidak ada sesuatu yang lebih awal dari Weda. Weda berarti sudah ada sebelum pengertian waktu itu ada. Dalam hal ini Weda telah ada saat Brahman ada, yaitu sebelum alam semesta ini diciptakan. Brhadaranyaka Upanisad menyatakan:
Sa yathardraidhagner abhyahitat prtag viniscaranti, evam va are symahato bhuttasya nihsvasitam eta dyad rgvedo yayur Wedah samavedo ‘tharvangirasa itihasah puran avidya upanisadah slokah sutrany anuvyakhyani vyakhyani asyaivaiatani sarvani nihsvasitani” (Brhadaranyaka Upanisad II.4.20)
Artinya :
seperti juga sinar api yang dihidupkan dengan minyak campur air, berbagai asap  akan keluar dan menyebar, begitu juga Rg Weda, Yajur Weda, samaWeda, AtharvaWeda (Atharvangirasa), Itihasa, Purana dan ilmu pengetahuan, Upanisad, sloka, sutra (aphorisme), penjelasan, komentar-komentar. Daripada-Nya semuanya dinafaskan.

Bebagai pendapat ditemukan dalam dunia penelitian yaitu mengenai kapan wahyu Tuhan tersebut diturunkan. Hal ini banyak mengundang pendapat baik dari sarjana Barat maupun para sarjana Timur. Pada mulanya Weda diterima secara lisan dan disampaikan pula secara lisan, karena mengingat pada saat Weda itu diturunkan belum dikenal tentang tulisan. Setelah manusia mengenal tulisan barulah wahyu tersebut di paparkan dalam bentuk mantra-mantra oleh Maharsi Wyasa atau Krsnadwipayana, beliau menyusun atau menuliskan kembali ajaran Weda tersebut kedalam empat himpunan (Samhita) yang dibantu oleh empat orang siswanya. 
Banyak sekali para ahli yang berpendapat tentang kapan Weda diturunkan, diantaranya yaitu:
  1. Vidyaranya mengatakan sekitar 15.000 tahun Sebelum Masehi.
  2. Lokamanya Tilak Shastri menyatakan 6000 tahun Sebelum Masehi.
  3. Bal Gangadhar Tilak menyatakan 4.000 tahun Sebelum Masehi.
  4. Dr. Haug memperkirakan tahun 2.400 tahun Sebelum Masehi.
  5. Max Muller menyatakan sekitar 1.200-800 tahun Sebelum Masehi.
  6. Heina Gelderen memperkirakan 1.150-1.000 tahun Sebelum Masehi.
  7. Sylvain Levy memperkirakan 1000 tahun Sebelum Masehi.
  8. Stutterhein memperkirakan 1000-500 tahun Sebelum Masehi.
Demikian pendapat para sarjana memperkirakan mengenai masa turunnya wahyu Weda yang sudah sangat tua dan sampai saat ini ajaran Weda masih relevan menjadi sumber ajaran agama Hindu dan senantiasa menjadi pegangan bagi umat Hindu.

Sifat - Sifat Weda

Sifat Weda yang utama adalah anadi ananta, artinya Weda itu bersifat abadi. Karena Weda adalah sabda Tuhan yang diterima oleh Para Maha Rsi. Walaupun usia Weda sudah sangat tua, namun ajaran yang terkandung didalamnya ternyata sangat relevan dengan perkembangan zaman. Lebih jauh dapat ditegaskan sifat Weda itu adalah sebagai berikut :
  1. Weda itu tidak berawal, karena Weda merupakan sabda Tuhan yang telah ada sebelum alam diciptakan olehNya.
  2. Weda tidak berakhir karena ajaran Weda berlaku sepanjang zaman, mengingat Weda tidak berawal dan berakhir sehingga Weda disebut anadi ananta (abadi).
  3. Weda berlaku sepanjang zaman, maksudnya dari manusia pada zaman prasejarah sampai manusia modern, dari manusia dengan kecerdasan tinggi maupun rendah. Weda akan memberikan penjelasan mengenai Tuhan dan Alam Semesta ini, sesuai dengan kemampuan daya pikir manusia sendiri.
  4. Weda itu disebut Apauruscyam¸ artinya Weda itu tidak disusun oleh manusia melainkan diperoleh atau diterima oleh orang-orang suci atau para maharsi. Oleh karena itu, Weda bukan agama budaya dan bukan hasil ciptaan manusia.
  5. Weda mempunnyai keluwesan, tidak kaku namun tidak berubah inti dan hakikatnya. Weda dapat diumpamakan sebagai bola karet yang melengket, kemanapun ia digelindingkan, maka tanah yang dilalui itu akan melengket, memberikan warna baru pada bola karet itu, namun inti karet itu sedikitpun tidak berkurang, demikian pula bentuknya yang bundar hanya warna yang berubah sesuai dengan daerah yang dilalui.

Weda, Wahyu Tuhan Yang Maha Esa

Seperti halnya setiap ajaran agama memberikan tuntunan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia lahir dan batin dan diyakini pula bahwa ajaran itu bersumber pada ajaran Weda yang merupakan wahyu atau sabda Tuhan Yang Maha Esa yang disebut dengan Sruti yang artinya didengar. Weda sebagai himpunan sabda atau wahyu berasal dari Apauruseyam (bukan dari Purusa atau Manusia), sebab para Rsi penerima wahyu hanya berfungsi sebagai instrument (sarana) dari Tuhan Yang Maha Esa untuk menyampaikan ajaran suci-Nya.
Tasmad yajnat sarvahuta rcah samani yajnire, chandamsi yajnire tasmadd yajus tasmad ajayata” (Yajur Weda XXXI.7)
Artinya :
Dari Tuhan Yang Maha Agung dan kepada-Nya umat manusia mempersembahkan berbagai Yajna daripadaNyalah muncul Rg Weda dan Sama Weda. daripadaNyalah muncul Yajur Weda dan Atharva Weda.

Tentang para Rsi yang menerima wahyu Tuhan Yang Maha Esa dan menyampaikan secara lisan melalui tradisi kuno, yakni sistem perguruan yang disebut parampara, seorang pengamat Weda dan penyusun kitab Nirukta, menyatakan:
Saksat krta dharmana rsayo bubhuvuste saksat krtadharmabhaya upadesena mantran sampraduh” (Nirukta I.19)
Artinya :
Para Rsi adalah orang-orang yang mampu merealisasikan dan mengerti dharma dengan sempurna. Beliau mengajarkan hal tersebut kepada mereka yang mencari kesempurnaan yakni yang belum melaksanakan hal itu.

Rsayo mantradrastarah Rsirdarsanat stoman dadarsety aupamanyavah yadenan tapasyamanan brahmasvayambhu abhyanarsat tad Rsinam Rsitvamiti vijnayate” (Nirukta II.11)
Artinya :
Para rsi adalah mereka yang memperoleh mantra. Kata rsi berarti drasta. Acarya Upamanyu menyatakan: mereka yang karena ketekunan melakukan tapa memperoleh dan merealisasikan mantra Weda disebut Rsi

Dari uraian tersebut, maka jelaslah bahwa para Maha Rsi adalah mereka yang menerima wahyu Tuhan Yang Maha Esa karena kesucian pribadi, hati, dan pikiran mereka yang dapat merekaam sabda suci-Nya. Kata Maha Rsi berasal dari urat kata drs yang artinya melihat atau memandang, dalam pengertian yang lebih luas berarti memperoleh atau menerima. Oleh karena itu seorang Rsi disebut dengan mantradrastra (mantra drestah iti Resih). Ada beberapa cara seorang Rsi memperoleh wahyu, yaitu melalui:
  1. Svaranada, yakni gema yang diterima para Rsi dan gema tersebut berubah menjadi sabda atau wahyu dan disampaikan kepada para siswa kerohanian didalam asrama (pasraman)
  2. Upanisad, pikiran para Rsi dimasuki oleh sabda Brahman sehingga yang diterima oleh para siswa dari guru adalah sabda Brahman. Guru menyampaikan ajaran-Nya itu dalam suasana pendidikan dalam garis perguruan parampara yang disebut Upanisad, yakni duduk dibawah dekat guru untuk menerima ajaran suci-Nya.
  3. Darsana, yakni manusia berhadapan dengan dewa-dewa seperti ketika Arjuna berhadapa dengan Hyang Siva atau Indra dalam suatu pandangan memakai mata batin (mata rohani).
  4. Avatara, yakni manusia berhadapan dengan AvataraNya seperti halnya Arjuna menerima wejangan suci Bhagavadgita dan Sri Krisna, sang Purna Avatara.
Demikianlah Weda adalah wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang diterima oleh para Rsi dan merupakan sember ajaran agama Hindu yang bersifat kekal abadi (Anadi dan Ananta).

Weda Kitab Suci, Sumber Ajaran Agama Hindu

Satu-satunya pemikiran secara tradisional yang kita miliki adalah yang mengatakan bahwa Weda adalah kitab suci agama hindu. Sebagai kitab suci agama Hindu, maka ajaran Weda diyakini dan dipedomani oleh umat Hindu sebagai satu-satunya sumber bimbingan dan informasi yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari ataupun untuk waktu-waktu tertentu. Apapun yang diturunkan sebagai ajaranNya kepada umat manusia adalah ajaran suci, terlebih lagi bahwa isinya itu memberikan petunjuk-petunjuk atau ajaran untuk hidup beragama.

Sebagai kitab suci, Weda adalah sumber ajaran agama Hindu sebab dari Weda mengalir ajaran yang merupakan kebenaran agama Hindu. Ajaran Weda dikutip kembali dan memberikan warna terhadap kitab-kitab susastra Hindu pada masa berikutnya. Dari kitab Weda mengalirlah ajarannya dan dikembangkan dalam kitab-kitab Smrti, Itihasa, Purana, Tantra, Darsana dan Tatwa-tatwa yang kita warisi di Indonesia. Svami Sivananda, seorang yogi besar di abad modern ini, menyatakan Weda adalah kitab tertua dari perpustakaan umat manusia. Kebenaran yang terkandung dalam agama hindu berasal dari Weda dan akhirnya kembali kepada Weda. Weda adalah sumber ajaran agama, sumber tertinggi dari semua sastra agama.

Weda mengandung ajaran yang memberikan keselamatan di dunia ini dan di akhirat nanti. Ajaran Weda tidak terbatas hanya sebagai tuntunan hidup individual, tetapi juga dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bagaimana hendaknya seseorang atau masyarakat bersikap dan bertindak, tugas-tugas individu dan tugas-tugas umum sebagai anggota masyarakat, demikian pula bagaimana seorang rohaniawan bertingkah laku, tugas dan kewajiban kepada negara atau pemerintah dalam melaksanakan tugasnya. Segala tuntunan hidup ditunjukkan kepada kita oleh ajaran Weda yang terhimpun dalam Kitab suci Weda.

Sapta Rsi Penerima Wahyu Weda

Sepintas telah dijelaskan tentang para Rsi menerima wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang kemudian terhimpun dalam kitab suci Weda. Dalam agama Hindu orang-orang suci penerima wahyu disebut Rsi atau Maha Rsi, kata ini berarti yang memandang, melihat atau yang memperoleh wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Dalam perkembanganya kita jumpai berbagai sebutan terhadap orang-orang suci antara lain : Muni, Sadhu, Swami, Yogi, Sannyasi, Acarya, Upadhyaya dan lain-lain dan di Indonesia pada zaman dahulu kita mengenal istilah Mpu atau Bhujangga, kini para Pandita dari golongan Vaisnava di Bali disebut pula dengan Rsi. Untuk membedakan Rsi penerima wahyu Weda dengan Rsi para pandita dewasa ini, maka untuk yang pertama disebut Maharsi atau kadangkala dapat disebut Rsi. Maharsi ini dapat disebut sebagai nabi bagi umat Hindu dan jumlahnya tidaklah seorang, melainkan cukup banyak.

Seorang Maharsi adalah tokoh pemikir dan pemimpin agama, ia juga seorang ”Jnanin”, filosuf dan pejuang dalam bidang agama. Ia rendah hati dan tahan uji, ia memiliki pandangan yang luas dan mampu menatap masa depan, mampu mengendalikan indrianya, suka melakukan tapa, brata, yoga, samadhi, karena itu ia senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai pemimpin agama ia adalah pengayom yang memberikan keteduhan dan kesejukan kepada siapa saja yang datang untuk memohon bimbingannya.
Dengan sifat-sifat tersebut di atas, seorang Rsi adalah seorang rohaniawan, agamawan dan sekaligus seorang pemimpin dalam bidang agama. Di dalam kitab-kitab Purana kita jumpai pengelompokkan Rsi ke dalam 3 katagori, yaitu :
  1. DevaRsi,
  2. BrahmaRsi,
  3. RajaRsi.
Dengan adanya Rsi ke dalam tiga kelompok itu, secara tidak langsung kita mengetahui bahwa tidak semua Rsi berstatus sebagai penerima wahyu Tuhan. Hindu berpandangan bahwa dengan banyaknya Rsi itu umat mendapatkan teladan, figur dan penampilannya menjadi panutan, wejangan-wejangannya memberikan kesejukan hati dan kebahagiaan yang tiada taranya, misalnya karya Maharsi Wyasa yang memadukan unsur sejarah dan mitologi dalam karya besarnya Mahabharata dan kitab-kitab Purana.

Disamping pengelompokan ke dalam 3 katagori tersebut di atas, kitab Matsya Purana dan Brahmanda Purana menyebutkan 5 kelompok Rsi, sebagai berikut :
  1. BrahmaRsi, tugasnya mempelajari dan mengajarkan Weda, jadi fungsinya sebagai pandita.
  2. SatyaRsi, gelar para Rsi yang mempunyai asal-usul langsung dari Tuhan Yang Maha Esa pada permulaan penciptaan dunia ini
  3. DevaRsi, dikaitkan dengan mantra-mantra dalam kitab suci ini seperti Marici, Bhrgu, Angira, Pulastya, Pulaha, Kratu, Daksa, Atri dan Vasistha.
  4. SrutaRsi,
  5. RajaRsi.
Pengelompokkan ini merupakan penyempurnaan pengelompokan sebelumnya dengan menambahkan 2 kelompok baru, yaitu SatyaRsi dan SrutaRsi. Dari istilah-istilah ini dapat dipahami bahwa nama-nama kelompok ini hanya bersifat relatif fungsional dihubungkan dengan fungsi dan sifat yang khas dari seorang Rsi. Selanjutnya perlu kita tinjau lebih jauh kaitan seorang Rsi dengan tugas yang dibebankan kepadanya. Seorang Rsi sebagai Brahmana, sebagai guru dan sebagai Bhatara (yang memberikan perlindungan). Kata Brahmana adalah istilah umum yang digunakan dalam Weda sebagai gelar untuk menamakan fungsi seseorang sebagai pemimpin upacara agama.

Seorang Rsi karena pengetahuannya dapat berfungsi sebagai pemimpin dalam melaksanakan upacara agama, ia juga merupakan seorang Brahmana. Demikian pula karena memiliki kemampuan untuk mengajarkan dalam rangka penyebar luasan ajaran Weda dan Dharma, maka secara fungsional ia adalah seorang guru. Di dalam Manavadharmasastra disebutkan adanya beberapa jenis guru, demikian pula halnya dengan Brahmana. Seorang guru disebut Acarya, Mahcarya atau Upadhyaya, tetapi guru ini belum tentu seorang Rsi.
Seorang disebut Acarya bila ia telah menguasai seluruh isi Weda, termasuk Itihasi, Purana, Wedangga, dan kitab-kitab susastra Hindu yang lain. Sebaliknya seorang Upadhyaya, hanya dianggap cukup bila ia menguasai Wedangga. Selanjutnya seorang Rsi sebagai Bhatara (pelindung) sekaligus seorang pemimpin baik dalam bidang kerohanian, politik dan pemerintahan dan bahkan menjadi panglima perang sebagai contoh adalah Rsi Bhisma, Drona dan sebagainya.

Di Bali pada masa pemerintahan Dharma Udayana Varmadeva, Mpu Rajakrta menjabat Senapati Kuturan dan kemudian nama ini populer menjadi Mpu Kuturan yang merintis Kahyangan Tiga dengan desa Pakraman di daerah ini. Seorang Brahma Rsi menurut kitab Brahmanda Purana tugasnya mempelajari dan mengajarkan Weda, jadi fungsinya sebagai pandita. Adapun seorang yang dinyatakan sebagai SatyaRsi adalah gelar para Rsi yang mempunyai asal-usul langsung dari Tuhan Yang Maha Esa pada permulaan penciptaan dunia ini. Beliau pula yang mula-mula disebut sebagai Bhatara, misalnya Bhatara Manu dan lain-lain.

Kelompok Deva Rsi dikenal pula dengan nama Prajapati. Di dalam kitab brahmanda Purana disebutkan adanya 9 Prajapati, yaitu : Marici, Bhrgu, Angira, Pulastya, Pulaha, Kratu, Daksa, Atri dan Vasistha. Di antara 9 Prajapati itu ada pula yang disebut-sebut namanya dalam kitab Rg Weda, sebagai Rsi yang dikaitkan dengan mantra-mantra dalam kitab suci ini. Adapun 4 kelompok lainnya (Brahma, Satya, Sruta dan Raja Rsi) di dalam Brahmanda Purana masing-masing disebutkan berturut-turut : Sonaka, Sananda, Sanatana dan Sanatkumara.

Disamping nama-nama yang telah disebutkan di atas, terdapat pula keterangan lain yang menyebutkan kelompok Sapta Rsi penerima wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang terhimpun dalam Weda. Weda sebagai Sabda suci atau pawisik Sang Hyang Widhi yang diterima oleh Para Maha Rsi. Keterangan ini dapat dijumpai pada sebuah Kitab Nirupta. Para Maha Rsi sebagai penerima Sabda Suci atau Pawisik (Mantra Drestah Iti Resih) artinya orang-orang yang melihat atau mendapat mantra-mantra itu.

Menurut kitab-kitab Purana maupun Manavadharmasastra, nama-nama SaptaRsi dikaitkan dengan jangka waktu tertentu. Satu jangka waktu atau Yuga manusia dibimbing oleh adanya Sapta Rsi disamping Rsi-Rsi lainnya. SaptaRsi atau Sapta Maharsi ini merupakan pengembala utama umat manusia dan penerima wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Adapun SaptaRsi dan keluarga (Gotra) dari Sapta (Maha) Rsi, yang paling banyak disebut adalah: Grtsamada, Visvamitra, Vamadeva, Atri, Bharadvaja, Vasistha dan Kanva. Untuk mengenal lebih jauh tentang masing-masing dari para Rsi itu serta kaitannya dengan turunnya Weda dapat dijelaskan hal-hal penting sebagai berikut:
  1. Maharsi Grtsamada adalah Maharsi yang banyak dihubungkan dengan turunnya mantra-mantra Weda, terutama Rg Weda mandala II. Dari beberapa catatan diketahui bahwa Grtsamada adalah keturunan dari Sunahotra, keluarga Angira, adapula penjelasan lain yang menyatakan bahwa Grtsamada adalah keturunan Bhrgu. Dengan demikian sejarahnya tidak diketahui dengan pasti, sedang di dalam Mahabharata, ia disebutkan keturunan Maharsi Sonaka dan  dinyatakan sebagai keturunan Bharadvaja.
  2. Maharsi Visvamitra adalah Maharsi kedua yang banyak disebut-sebut namanya dan dikaitkan dengan seluruh Rg Weda mandala III. Kitab mandala III Rg Weda ini terdiri dari 58 Sukta. Setelah diadakan penelitian, ternyata tidak semua Sukta itu dikaitkan dengan nama Visvamitra karena diantara mantra-mantra itu ada menyebutkan Maharsi lainnya, seperti Kusika, Isiratha dan lain-lain. Visvamitra adalah putra Rsi Musika. Disamping itu dijumpai pula nama Rsi Jamadagni sebagai Maharsi yang dikaitkan dengan mandala III Rg Weda.
  3. Maharsi Vamadeva banyak dihubungkan dengan kitab Rg Weda mandala IV. Di dalam kitab-kitab Purana diceritakan bahwa Vamadeva sempat mengadakan dialog dengan deva Indra dan Aditi, suatu hal yang tidak dapat dibayangkan oleh pikiran kita, kecuali kita memberikan penafsiran bahwa maksudnya adalah untuk menjelaskan bahwa Vamadeva memperoleh kesempurnaan selagi beliau masih muda. Maharsi Vamadeva disebut memberikan petunjuk untuk mencapai kesempurnaan sejati.
  4. Maharsi Atri pada umumnya banyak dikaitkan dengan turunnya mantra-mantra Rg Weda mandala V. Di dalam Matsya Purana, nama Atri tidak saja sebagai nama keluarga, tetapi juga sebagai nama pribadi. Dinyatakan bahwa dalam keluarga Atri yang tergolong Brahmana dijumpai pula beberapa nama dari keluarga Atri seperti : Saryana, Udvalaka, Sona, Sukratu, Gauragriva dan lain-lain. Dalam cerita lainnya dikemukakan pula informasi bahwa Maharsi Atri banyak dikaitkan dengan keluarga Angira. Bila kita baca dengan teliti Rg Weda mandala V, tampaknya tidak hanya Maharsi Atri yang menerima wahyu untuk mandala ini, tetapi juga Druva, Prabhuvasu, Samvarana, Gauraviti, Putra Sakti dan lain-lain. Dikemukakan pula bahwa di antara keluarga Atri, 36 Rsi tergolong penerima wahyu. Kemungkinan nama-nama itu adalah keturunan dari Maharsi Atri.
  5. Rsi Bharadvaja adalah Maharsi yang banyak dikaitkan dengan turunnya mantra-mantra dari Rg. Weda Mandala VI, kecuali ada beberapa saja yang diturunkan melalui Sahotra dan Sarahotra. Adapun nama-nama lain, seperti Nara, Gargajisva adalah nama Rsi penerima wahyu dari keluarga Bharadvaja. Di dalam kitab-kitab Purana dijelaskan bahwa Bharadvaja adalah putra Brihaspati, cerita ini belum dapat dipastikan kebenarannya karena disamping keterangan lain yang mengatakan bahwa Samyu dengan Bharadvaja masih dalam satu keluarga.
  6. Rsi Vasistha. Nama Vasistha sering digunakan sebagai nama keluarga kadang kala sebagai nama pribadi. Rsi Vasistha banyak dikaitkan dengan turunnya mantra-mantra Rg Weda mandala VII. Salah seorang keturunan Rsi Vasistha adalah Rsi Sakti yang juga terkenal sebagai penerima wahyu. Di dalam kitab Mahabharata nama Vasistha disamakan dengan Visvamitra. Di dalam kitab Matsya Purana, dinyatakan bahwa Rsi Vasistha mengawini Arundhati, saudara perempuan Devarsi Narada. Dari padanya lahir seorang putra bernama Sakti.
  7. Maharsi Kanva merupakan Maharsi penerima wahyu dan banyak dikaitkan dengan Rg Weda mandala VIII. Mandala ini isinya bermacam-macam Sukta. Kanva adalah nama pribadi dan juga nama keluarga. Mandala VIII dinyatakan diterima oleh keluarga Sakuntala. Disamping Rsi Kanva terdapat pula nama-nama Rsi lainnya seperti Kasyapa, putra Marici. Maharsi Kanva mempunyai putra bernama Praskanva. Nama-nama Rsi yang lain yang juga dapat dijumpai dalam mandala VIII adalah: Gosukti, Asvasukti, Pustigu, Bhrgu, Manu, Vaivasvata, Niopatithi dan sebagainya. Adapun mandala IX dan X Rg Weda merupakan mandala yang paling lengkap. Mandala ini memuat pokok-pokok ajaran agama Hindu yang sangat penting dan sangat bermanfaat untuk diketahui.

Disamping nama-nama Rsi sebagai telah dikemukakan diatas, tampaknya penggunaan Rsi itu telah cukup merasuk sampai ke Bali. Dalam mempelajari perkembangan agama Hindu didaerah ini, kita jumpai pula tokoh-tokoh yang juga disebut Saptarsi yang bertanggung jawab terhadap perkembangan agama Hindu.

Disamping Sapta Rsi tersebut diatas masih banyak lagi Maha Rsi lain sebagian penerima Wahyu atau pawisik yang berjasa dalam mengelompokkan Weda serta berjasa menyusun dalam penulisan Kitab Suci Weda. Dalam tradisi Hindu disebutkan bahwa Maha Rsi terbesar yang sangat banyak jasanya dalam mengkodifikasikan atau menghimpun Weda adalah Bhagawan Wyasa, dimana beliau dibantu oleh empat orang siswanya atau muridnya yaitu :
  1. Maha Rsi Pulana yang juga disebut Paila, sebagai penyusun Reg Weda
  2. Maha Rsi Waisampayana sebagai penyusun Yajur Weda
  3. Maha Rsi Jaimini sebagai penyusun Sama Weda
  4. Maha Rsi Sumantu sebagai penyusun Atharwa Weda
Keempat Weda tersebut diatas disebut Catur Weda Samhita. Disamping menghimpun Catur Weda Samhita tersebut, Maha Rsi Wyasa juga sebagai penyusun kitab Mahabharata, Purana, Bhagawadgita, dan Brahmasutra. Maha Rsi Wyasa dikenal pula dengan nama Kresna Dwipayana Wyasa, Bhagawan Wyasa dan Wyasadewa.

Berdasarkan keterangan diatas, maka Pawisik atau wahyu tersebut tidak hanya diterima oleh seorang Maha Rsi saja melainkan oleh banyak Maha Rsi dari keluarga yang berbeda ditempat yang berbeda dan dalam waktu yang berbeda pula. Pengumpulan berbagai Mantra menjadi himpunan buku-buku merupakan usaha kodifikasi Weda. Selain itu banyak lagi usaha yang dilakukan dalam mengkodifikasi atau mengumpulkan ayat-ayat suci tersebut sehingga dapat dilestarikan. Usaha menyusun atau mengkodifikasi itu ada beberapa kecenderungan yang dipergunakan sebagai cara penghimpunannya yaitu :
  1. Didasarkan atas usia ayat-ayat termasuk tempat geografis turunnya ayat-ayat itu.
  2. Didasarkan atas sistem pengelompokkan isi, fungsi dan guna mantra-mantra itu.
  3. Didasarkan atas resensi menurut system keluarga atau kelompok geneologis.

Weda sebagai Sumber Hukum Hindu

Maharsi Manu, peletak dasar hukum Hindu menjelaskan bahwa Weda adalah sumber dari segala Dharma :
Vedo ’khilo dharma mulam smrti sile ca tad vidam, acarasca iva sadhunam atmanas tustir eva ca” (Manavadharmasastra II.6)
Artinya :
Weda adalah sumber dari segala Dharma, yakni agama, kemudian barulah Smrti, disamping Sila (kebiasaan atau tingkah laku yang baik dari orang yang menghayati dan mengamalkan ajaran Weda) dan kemudian Acara yakni tradisi-tradisi yang baik dari orang-orang suci atau masyarakat yang diyakini baik serta akhirnya Atmatusti, yakni rasa puas diri yang dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Berdasarkan kutipan di atas, kita mengenal sumber-sumber hukum Hindu menurut kronologisnya seperti berikut :
  1. Weda (Sruti). Dalam ajaran agama Hindu, Weda termasuk dalam golongan Sruti. Weda diyakini sebagai sastra tertua dalam peradaban manusia yang masih ada hingga saat ini. Setelah tulisan ditemukan, para Rsi menuangkan ajaran-ajaran Weda ke dalam bentuk tulisan.
  2. Smrti (Dharmasastra). adalah Weda juga, karena kedudukannya dipersamakan dengan Weda (Sruti).
  3. Sila (tingkah laku orang suci).
  4. Acara atau Sadacara, berasal dari bahasa Sansekerta, dari kata Sat dan Acara. Sat adalah Satya yang berarti kebenaran Weda dan Acara artinya tradisi yang baik. ’Acara ngarania prawrti kawarah sang hyang aji’’ (Sarasamuscaya 177) Artinya: Acara adalah pelaksanaan ajaran pustaka suci agama. Dari pemahaman ini Sadacara adalah ajaran Weda yang Sanatana Dharma itu diterapkan menjadi tradisi suci.
  5. Atmatusti (Amanastuti). adalah tercapainya kepuasan diri dan kebahagiaan rohani baik dalam upacara yadnya maupun dalam berbagai kegiatan sehari-hari. 
Implementasi Atmanastusti dalam kehidupan masyarakat Bali, misalnya dalam sebuah paruman desa adat, dalam teknik pengambilan keputusan secara ilmiah ditinjau dari hukum hindu sebagaimana disebutkan bahwa :
  1. Dengan rasa puas diri, berarti keputusan yang di ambil dapat memuaskan diri setiap orang.
  2. Atmatusti dan disebut juga dengan istilah Santosa yang mempunyai makna dapat memuaskan semua orang.
  3. Atmanastusti baru kemudian diambil sebagai keputusan bersama,
Pada intinya disebutkan bahwa Atmanastusti itu sebagai kepuasan diri atau setiap orang yang dapat dipertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Untuk lebih menengakkan tentang kedudukan sumber-sumber hukum Hindu itu, lebih jauh sloka-sloka Manawadharmasastra menyatakan sebagai berikut:
Srutistu Vedo dharma sastramtu vai smrtih, te sarvarthesvamimamsye tabhyam dharmohi nirbabhau” (Manavadharmasastra II.10)
Artinya :
Sesungguhnya Sruti (Wahyu) adalah Weda, demikian pula Smrti itu adalah Dharmasastra, keduanya tidak boleh diragukan dalam hal apapun, sebab keduanya adalah kitab suci yang menjadi sumber dari agama dan hukum Hindu.

Dari terjemahan sloka di atas, dapat ditegaskan bahwa ke lima sumber hukum Hindu itu kebenarannya tidak dapat dibantah. Kedudukan sloka II.6 dan II.10 di atas merupakan dasar yang harus dipegang teguh dalam hal kemungkinan timbulnya perbedaan pengertian mengenai penafsiran hukum yang terdapat di dalam berbagai kitab agama. Maka kedudukan yang pertama lebih tinggi dari sumber hukum berikutnya. Ketentuan ini ditegaskan lebih lanjut di dalam sloka Manavadharmasastra berikutnya :
Sruti dvaidham tu yatrasyattatra dharmavubhau smrtau, ubhavapi hi tau dharmau samyuktau manisibhih” (Manavadharmasastra II.14)
Artinya :
Bila dua kitab Sruti bertentangan satu dengan yang lainnya, keduanya diterima sebagai hukum karena keduanya telah diterima oleh orang-orang suci sebagai hukum.

Dari ketentuan ini maka tidak ada ketentuan yang membenarkan adanya sloka yang satu harus dihapus oleh sloka yang lain, melainkan keduanya harus diterima sebagai hukum. Disamping sloka-sloka di atas, masih ada sloka yang penting pula artinya di dalam memberi batasan tentang pengertian sumber hukum itu, yaitu sloka berikut :
Wedah smrtih sadacarah svasya ca priyatmanah, etas catur vidham prahuh saksad dharmasya laksanam” (Manavadharmasastra II.12)
Artinya :
Weda, Smrti, Sadacara dan Atmanastuti mereka nyatakan sebagai empat dasar usaha untuk memberikan batasan tentang Dharma.

Terjemahan sloka di atas menyederhanakan sloka II.6, dengan meniadakan ”Sila”, karena Sila dengan ”Sadacara” mengandung arti yang mirip dan bahkan sama. Sila berarti kebiasaan dan Sadacara juga berarti kebiasaan. Selanjutnya di Indonesia kita jumpai kitab Sarasmuscaya yang merupakan karya dengan mengambil sumber kitab Mahabharata dan Purana, juga memberikan penjelasan tentang Weda sebagai sumber hukum Hindu sebagai berikut :
Sruti wedah samakhyato dharmasastram tu vai smrtih, te sar vathesvamimasye tabhyam dharmo vinirbhrtah” (Sarasmuccaya 37)
artinya:
Ketahuilah olehmu Sruti itu adalah Weda (dan) Smrti itu sesungguhnya adalah Dharmasastra keduanya harus diyakini dan dituruti agar sempurnalah pelaksanaan dharma itu.

Penjelasan dan terjemahan kitab Sarasmuccaya di atas didasarkan pada teks Sansekerta, sedang teks Jawa kunonya merupakan terjamahan yang sudah diperluas atau dikomentari oleh penerjemah jawa Kuno, namun demikian baik Manavadharmasastra maupun Sarasamuccaya meyakini bahwa Sruti dan Smrti itu adalah dua sumber hukum dalam melaksanakan Dharma. Selanjutnya perlu ditegaskan bahwa ketentuan-ketentuan yang digariskan dalam Weda sebagai sumber hukum, bersifat memaksa dan mutlak harus dipatuhi, kitab Manavadharmasastra menyatakan hal itu :
Kamatmata na prasasta caivehastya kamaka, kamyohi wedadhigamah karmayogasca vaidikah” (Manavadharmasastra II.2)
Artinya :
Berbuat karena nafsu untuk memperoleh pahala tidaklah terpuji namun berbuat tanpa keinginan akan pahala tidak dapat kita jumpai di dunia ini karena keinginan-keinginan itu bersumber dari mempelajari Weda dan karena itu setiap perbuatan diatur oleh Weda

Tesu samyag varttamano gacchatyabmaralokatam, yatha samkalpitamcceha sarvan kaman samasnute” (Manavadharmasastra II.5)
Artinya :
Ketahuilah bahwa ia yang selalu melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah diatur dengan cara yang benar, mencapai tingkat kebebasan yang sempurna kelak dan memperoleh semua keinginan yang diharapkan.

Yo’vamanyeta te mule hetu sastra srayad dvijah, sa sadhubhir bahiskaryo nastiko weda nindakah”(Manavadharmasastra II.11)
Artinya :
Setiap dvijati yang menggantikan dengan lembaga dialektika dan memandang rendah kedua sumber hukum itu (Sruti dan Smrti) harus dijauhkan dari orang-orang bajik sebagai orang atheis yang menentang Weda.

Pitr deva manusyanam wedas caksuh sanatanah, asakhyamca ’prameyamcca wedasastramiti sthitah” (Manavadharmasastra XII.94)
Artinya :
Weda adalah mata yang abad dari para leluhur, dewa-dewa dan manusia. Peraturan-peraturan dalam Weda sukar dipahami oleh manusia dan itu adalah kenyataan.

Ya weda vahyah smrtayo yasca kasca kudrstayah, sarvastanisphala tamo nisthahitah smrtah” (Manavadharmasastra XII.95)
Artinya :
Semua tradisi dan sistem kefilsafatan yang tidak bersumber pada Weda tidak akan memberi pahala kelak sesudah mati karena dinyatakan bersumber pada kegelapan.

Utpadnyante syavante ca yanyato nyani kanicit, tanyarvakalika taya nisphalanya nrtani ca” (Manawa dharmasastra XII.96)
Artinya :
Semua ajaran yang menyimpang segera akan musnah, tidak berharga dan palsu karena tidak berpahala.

Vibharti sarva bhutani wedasastram sanatana, tasmadetat param manye yajjantorasya sadhanam” (Manawa dharmasastra XII.9)
Artinya :
Ajaran Weda menyangga semua makhluk ciptaan ini, karena saya berpendapat, hal itu harus dijunjung tinggi, jalan menuju kebahagiaan semua makhluk.

Senapatyam ca rajyam ca dandanetri tvam eva ca, sarva lokadhipatyam ca weda sastra vidarhati” (Manawa dharmasastra XII.100)
Artinya :
Panglima Angkatan Bersenjata, pejabat pemerintah pejabat pengadilan dan penguasa atas semua manusia di dunia ini hanya layak kalau mengenal ajaran Weda.

Terdapat beberapa sloka yang menekankan pentingnya Weda sebagai sumber ajaran Hindu maupun sebagai sumber hukum dalam membina masyarakat, oleh karena itu berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas pemahaman dan penghayatan ajaran Weda sangat penting karena bermanfaat tidak saja kepada mereka yang mendalami dan mengamalkannya tetapi juga kepada masyarakat yang dibinanya.

Pengkodifikasian Weda

Kitab Weda merupakan naskah suci pokok dari agama hindu. Weda adalah pengetahuan suci yang sangat luar biasa. Weda diterima melalui Maha Rsi bukan orang biasa maka kebenaran Weda adalah mutlak tidak dapat diragukan lagi. Berdasarkan materi dan luas ruang lingkup isinya, jenis buku Weda itu banyak jumlahnya. Weda mencakup berbagai aspek kehidupan yang menyangkut manusia. Maha Rsi Manu membagi jenis Weda kedalam dua kelompok besar, yaitu Weda Sruti dan Weda Smrti.

Pembagian dalam dua jenis Weda ini selanjutnya dipakai untuk menamakan semua jenis buku yang dikelompokkan sebagai kitab Weda secara tradisional. Kelompok Weda Sruti isinya hanya memuat wahyu sedangkan kelompok Weda Smrti isinya adalah ingatan kembali terhadap Sruti. Jadi, Smrti merupakan buku pedoman yang isinya tidak bertentangan dengan Sruti Bila dibandingkan dengan ilmu politik, Sruti adalah UUD-nya Hindu sedangkan Smrti adalah UU pokok dan UU pelaksanaannya adalah Nibandha. Keduanya merupakan sumber hukum yang mengikat yang harus diterima. Oleh karena itu, Bhagawan Manu menegaskan dalam kitabnya Manawa Dharmasastra II.10 sebagai berikut :
"Srutistu Weda Wijneyo dharmacastram tu wai Smrtih. te sarwartheswam imamsye tabhyam dharmohi nirba bhau" (Manawa Dharmasastra. II. 10)
artinya:
"Sesungguhnya Sruti (wahyu) adalah Weda demikian pula Smrti itu adalah Dharmasastra, keduanya harus tidak boleh diragukan dalam hal apapun juga karena keduanya adalah kitab suci yang menjadi sumber dari Agama Hindu (Dharma)".
Penghimpunan dan pengkodifikasian weda sangatlah penting dilakukan, karena wahyu Hyang Widhi diberbagai tempat yang diterima oleh beberapa Maha Rsi, penyampainnya masih dalam bentuk lisan dari mulut ke mulut serta hanya disampaikan kepada orang tertentu saja. Oleh karena itu menjadi sangat penting untuk mengkodifikasikan Weda sehingga dapat dilestarikan dan disampaikan kepada semua umat Hindu. Weda secara garis besarnya dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu Weda Sruti dan Weda Smrti.

WEDA SRUTI

Weda Sruti adalah kelompok Weda yang ditulis oleh para Maha Rsi melalui pendengaran langsung dari wahyu Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Kelompok Weda Sruti menurut Bhagawan Manu merupakan Weda yang sebenarnya atau weda orisinil. Menurut sifat isinya, weda sruti dibagi menjadi tiga bagian antara lain :

1. Bagian mantra (Mantra Samhita)

Kitab Mantra atau Mantra Samhita umurnya sangat tua dan merupakan dokumen umat manusia tertulis yang tertua dan masih ada sampai sekarang. Kitab ini ditulis dalam bentuk syair atau prosa liris, bahasanya bahasa Sansekerta Weda (Wedic Sanskrit). Syair-syair tersebut terkumpul dalam empat himpunan mantra yang masing-masing disebut samhita. Keempat samhita tersebut disebut Catur Weda Samhita yang terdiri dari :
  • Rg Veda atau Rg Weda Samhita merupakan kumpulan mantra-mantra yang memuat ajaran-ajaran umum dalam bentuk pujaan (Rc atau Rcas) Arc = memuja. Rg. weda terdiri dari 10.552 mantra, isinya syair-syair pujaaan. Kitab ini merupakan Weda yang tertua dan yang terpenting, isinya terdiri dari 10 mandala. Dan mandala yang ke-10 adalah mandala yang terpenting karena menunjukkan kebenaran yang mutlak. Pendeta penyajinya disebut Hort (Horti). Kitab Rg. Weda dikumpulkan dalam berbagai jenis resensi, seperti resensi Sakala, Baskala, Aswalayana, Sankhyayana, dan Madukeya. Dari lima macam resensi ini, yang masih terpelihara adalah resensi sakala, sedangkan resensi-resensi lainnya banyak yang tidak sempurna lagi karena mantra-mantranya hilang. Rg.Weda terbagi atas 10 mandala yang tidak sama panjangnya 
  • Sama Veda atau Sama Weda Samhita merupakan kumpulan mantra-mantra yang memuat ajaran umum mengenai lagu-lagu pujaan atau saman yang dinyanyikan waktu upacara. Sama Weda terdiri dari 1.875 mantra. Kata sama berarti irama atau melodi. Pendeta penyajinya disebut Udgatr (Udgatri). Sama Weda terdiri dari dua bagian, yaitu : (1) Bagian Arcika terdiri dari mantra-mantra pujaan yang bersumber pada Rg. Weda. (2) Bagian Uttararcika, yaitu himpunan mantra-mantra yang bersifat tambahan. Kitab ini terdiri dari beberapa buku nyanyian pujaan (gana). Dari kitab-kitab yang ada, yang masih dapat dijumpai antara lain Ranayaniya, Kutama, dan Jaiminiya (Talawakara).
  • Yajur Veda atau Yajur Weda Samhita merupakan kumpulan mantra-mantra yang memuat doa-doa pujaan atau pokok-pokok yadnya, yang terdiri dari 1.975 mantra. Pendeta penyajinya disebut Adwaryu. Yajur Weda terdiri dari mantra-mantra yang sebagian besar berasal dari Rg. Weda, ditambah dengan beberapa mantra tambahan baru. Tambahan ini umumnya berbentuk prosa. Menurut Bhagawan Patanjali, kitab ini terdiri dari 101 resensi yang sebagian besar sudah lenyap. Kitab ini terdiri atas dua aliran, yaitu : (1) Yajur Weda Hitam (Kresna Yajur Weda) yang terdiri atas beberapa resensi yaitu Katakhassamhita, Mapisthalakathasamhita, Maitrayamisamhita, dan Taithiriyasamhita (terdiri dari dua aliran, yaitu Apastamba dan Hiranyakesin). dan (2) Yajur Weda Putih (Sukla Yajur Weda juga dikenal Wajasaneyi Samhita). Kitab ini terdiri dari dua resensi, yaitu Kanwa dan Madhayandina. Perbedaan pokok antara kedua Yajur Weda ini terletak pada penggunaan mantra. Mantra pada yajur weda putih diucapkan sebagai doa-doa dalam suatu upacara, sedangkan mantra pada Yajur Weda Hitam menguraikan tentang arti dari upacara itu sendiri.
  • Atharva Veda atau Atharwa Weda Samhita terdiri dari 5.987 mantra. Diantara mantra-mantra itu banyak yang berbentuk prosa. Isinya adalah tuntunan hidup sehari-hari yang berhubungan dengan hidup keduniawian. Banyak mantranya bersifat magis (Atharwan). Pendeta penyajianya disebut Brahmana. Kitab ini terdiri dari Resensi Saunaka dan Paipplada.
Dari keempat kelompok Weda itu, tiga kelompok pertama sering disebut sebagai mantra yang berdiri sendiri. Oleh karena itu disebut Trayi weda atau Tri Weda.

2. Bagian Brahmana (Karma Kanda)

Kitab-Kitab Brahmana memuat ajaran tentang kewajiban-kewajiban hidup beragama. Kewajiban-kewajiban ini antara lain kewajiban untuk melakukan upacara korban atau yadnya. Setiap Kitab Suci Weda memilki kitab Brahmananya sendiri-sendiri. Kitab Reg Weda memiliki dua buah kitab Brahmana yaitu: Aetareya Brahmana dan Kausitaki Brahmana yang juga disebut Sankhyana Brahmana. Kitab yang pertama terbagi atas 40 bab, sedangkan kitab yang kedua terdiri dari 30 bab. Kitab Sama Weda memiliki beberapa kitab brahmana yaitu: Tandya Brahmana (Panca Wirusa), Sadwirusa Brahmana, Adbhuta Brahmana. Kitab Yajur Weda memiliki dua kitab brahmana yaitu: Taittiriya Brahmana (milik Sukla Yajur Weda). Kitab Atharwa Weda memiliki kitab Gopatha Brahmana.

3. Bagian Upanisad/Aranyaka (Jnana Kanda)

Kata Upanisad berarti duduk dibawah dekat seorang guru untuk menerima ajaran-ajaran yang bersifat rahasia. Pokok ajaran Upanisad berkisar pada dua asas yaitu Brahman dan Atman.Brahman adalah asas alam semesta, dan Atma adalah asas manusia. Upanisad-upanisad yang dipandang paling penting, yaitu: Isa Upanisad, Kena Upanisad, Katha upanisad, Aetareya Upanisad, Taiitiriya Upanisad, Kausitaki Upanisad dan Swetaswatara Upanisad.

Kitab Aranyaka merupakan kelanjutan dari kitab Brahmana. Kitab ini merupakan pedoman bagi orang yang sudah melaksanakan Wanasprasta. Kitab ini isinya interpretasi upacara-upacara keagamaan. Kitab ini disebut rahasya Jnana karena isinya bersifat rahasia. Kitab-kitab  Aranyaka yaitu: Aetareya Aranyaka (milik Reg Weda). Tandra Aranyaka (Milik Sama Weda), Satapatha Aranyaka (milik Atharwa Weda). 

Menurut DR.G Sriniwasa Murti bahwa tiap-tiap sakha yaitu cabang ilmu dari kitab suci Weda merupakan satu Upanisad. Dalam penelitian beliau dinyatakan bahwa kitab Catur Weda Samhita memiki 1.180 sakha yang perinciannya sebagai berikut: 
  • Reg Weda memiliki 21 sakha, 
  • Sama Weda memiliki 1.000 sakha, 
  • yajur Weda memilki 109 sakha dan 
  • Atarwa Weda memiliki 50 sakha. 
Jadi semestinya ada 1.180 sakha, namun berdasarkan catatan Muktikopanisad jumlah upanisad yang ada sebanyak 108 buah buku, setiap Weda dari Catur Weda memilki kitab Upanisad sebagai berikut:
  • Upanisad yang termasuk Reg Weda berjumlah 10 Upanisad yaitu: Aetareya, Kausitaki, Nada-Bindu, Atmaprabedha, Nirwana, Mudgala, Aksamalika, Tripura, Saubhaya, dan Brahwrca Upanisad.
  • Upanisad yang termasuk Sama Weda berjumlah 16 Upanisad yaitu: Kena, Chandogya, Aruni, Maitrayani, Maitreyi, Wajrasucika, Yogacudamani, Wasudewa, Mahat, Sanyasa, Awyakta, Kondika, Sawitri, Rudraksajabala, Darsana dan Jabali Upanisad.
  • Upanisad yang termasuk Yajur Weda: (1) Yajur Weda Hitam berjumlah 32 Upanisad: Kanthawali, Taittiriyaka, brahma, Kaiwalya, Swetaswatara, Garbha, Narayana, Amrtabindu, Asartanada, Katagnirudra, Kausika, Sukharahasya, Tejebindu, Dyanabindu, Brahmawidya, Yogatattwa,  Daksinamurti, Skanda, Sariraka, Yoga Sikha, Ekasara, Aksi, Awadhuta, Katha, Rudrahredaya, Yogakundalini, Pancabrahma, Pranagnihotra, Wahara, Kalisandraha, Ratnakhata dan Saraswatirasya Upanisad. dan (2) Yajur Weda Putih berjumlah 19 Upanisad: Isawasya, Brhadaranyaka, Jabala, Hamsa, Paramahamsa, Subata, Mantrika, Niralambha, Trisikhibrahmana, Turiyatitah, Adwanyataraka, Pinggala, Bhiksu, Adhyatma, Tarasara, Yadnyawalkya, Satyayani, Muktika dan Mandala brahmanaa Upanisad.
  • Upanisad yang termasuk Atharwa Weda  Berjumlah 31 Upanisad: Prasna, Mundaka, Mandhuka, Atharwasria, Atharwasikha, Brhaajjabala, Nrsimhatapini, Naradapariwrrjaka, Sita, Mahanarayana, Ramarahasya, Ramatapini, Sandilya, Paramahamsa, Annapurna, Surya, Atma, Pasupata, Parabrahma, Tripuratapini, Dewi, bhawana, Brahma, Ganapati, Mahawakaya, Gopalatapini, Krsna, Hayagriwa, Dattatreya, Garuda, Sarabha.

WEDA SMRTI

Kitab Weda Smrti adalah kitab yang ditulis berdasarkan ingatan yang bersumber kepada Weda Sruti. Kitab ini dianggap sebagai kitab Hukum Hindu yang didalamnya memuat tentang sariat Hindu yang disebut Dharma. Kerena itu Kitab Smrti ini dinyatakan sebagai Kitab Dharmasastra. Dharma berarti hukum dan Sastra berarti ilmu. Keterangan lebih lanjut mengenai kitab Smrti dapat kita temukan dalam berbagai kitab seperti:
Srutir wedah samakhyato, dharmasastram tu wai smrti” (Kitab Sarassamuscaya 37)
Artinya:
Yang dimaksud dengan sruti sama dengan weda dan Dharmasastra itu sesungguhnya Smrti.

 “Srutistu wedo wijneyo dharmasastram tu wai smrtih” (Menawa Dharmasastra II. 10)
Artinya:
Ketauilah bahwa sesungguhnya Sruti itu adalah Weda dan Dharmasastra itu adalah Smrti.
Dari kedua keterangan itu menjelaskan kepada kita yang dimaksud dengan Dharmasastra itu adalah Smrti atau dengan kata lain Smrti adalah Dharmasastra. Smrti sebagai Dharamasastra bersifat pelengkap dalam melengkapi keterangan-keterangan yang terdapat dalam Sruti, yang dirumuskan secara jelas dan mudah serta sistematis. Jadi, Smrti seperti kitab ulang dalam versi yang berbeda. Namun dalam mempergunakan kitab Smrti, kita perlu hati-hati karena antara kedua kitab tersebut (Sruti dan Smrti) tidak boleh bertentangan. Jika kedua kitab tersebut bertentangan, mungkin ada kesalahan saat Maha Rsi menyusun Smrti karena Smrti merupakan ingatan Maha Rsi akan wahyu sedangkan Sruti adalah wahyu yang didengar lalu ditulis secara langsung.

Kitab Smrti artinya mengingat, sehingga istilah Smrti adalah untuk menyebutkan jenis kelompok Weda yang disusun kembali berdasarkan ingatan. Smrti dapat digolongkan kedalam dua kelompok, yaitu: Kelompok Wedangga dan Upa Weda.

1. Kelompok Wedangga

Dilihat dari arti kata, Wedangga terdiri dari dua kata yaitu Weda adalah Kitab Suci dan Angga artinya badan (batang tubuh). Jadi, Wedangga artinya batang tubuh (badan) Weda. Kitab Wedangga tidak terpisah dari weda, karena isi dan idenya lahir dari Weda. Kitab ini akan memberikan penjelasan tentang hal-hal yang ada dalam Weda (badan Weda). Kelompok Wedangga terdiri dari 6 bagian yang disebut Sad Wedangga, yang terdiri dari:
  • Siksa (Phonetika); Isinya memuat petunjuk-petunjuk tentang tata cara yang tepat dalam pengucapan mantra serta tinggi rendahnya tekanan suara. Buku-buku siksa ini disebut Pratisakhya yang dihubungkan dengan berbagai resensi Weda Sruti.
  • Wyakarana (Tata Bahasa); sebagai suplemen batang tubuh Weda dianggap sangat penting dan menentukan karena untuk mengerti dan menghayati Weda Sruti, tidak mungkin tanpa bantuan pengertian dan bahasa yang benar. Asal mula teori pengajaran Wyakarana, bersumber pada kitab Pratisakhya.
  • Chanda (Lagu); adalah cabang Weda yang khusus membahas aspek ikatan bahasa yang disebut lagu. Peranan Chanda di dalam sejarah penulisan Weda karena dengan Chanda semua ayat-ayat itu dapat dipelihara turun temurun seperti nyanyian yang mudah diingat. Diantara berbagai jenis kitab Chanda, yang masih terdapat dewasa ini adalah dua buah buku, antara lain Nidana sutra dan Chandra sutra. Kitab terakhir itu dihimpun oleh Bhagawan Pinggala.
  • Nirukta (Sinonim dan Antonym); Kelompok jenis kitab Nirukta isinya terutama memuat berbagai penafsiran otentik mengenai kata-kata yang terdapat di dalam Weda. Kitab tertua dari jenis ini dihimpun oleh Begawan Yaska bernama Nirukta, ditulis pada tahun 800 SM. Kitab ini membahas tiga masalah yaitu: (1) Naighantukakanda, memuat kata-kata yang sama artinya. (2) Naidhamakanda (Aikapadika), memuat kata-kata yang berarti ganda. dan (3) Daiwatakanda menghimpun nama Dewa-Dewa yang ada di angkasa, bumi dan surga.
  • Jyotisa (Astronomi); Kelompok Jyostisa merupakan pelengkap Weda yang isinya memuat pokok-pokok ajaran astronomi yang diperlukan untuk pedoman dalam melakukan Yadnya. Isinya yang penting membahas peredaran tata surya, bulan dan benda angkasa lainnya yang dianggap mempunyai pengaruh dalam pelaksanaan Yadnya. Satu-satunya buku Jyotisa yang masih kita jumpai ialah Jyostisa Wedangga yang penulisanyan sendiri tidak dikenal.
  • Kalpa (Ritual); Kelompok kalpa ini merupakan kelompok Wedangga yang terbesar dan yang terpenting. Kitab kalpa adalah jenis kitab Smrti (Wedangga) yang isinya berhubungan dengan kitab Brahmanda dan kitab-kitab mantra. Kalpa terdiri empat kitab yang kebanyakan isinya berhubungan dengan kitab-kitab Brahmana. Dan hanya sebagian kecil yang berhubungan dengan kitab-kitab mantra.
Kitab Kalpa terdiri dari beberapa kitab, antara lain :
  1. Kitab Srauta, atau disebut juga Srauta Sutra, isinya memuat berbagai macam ajaran mengenai tata cara melakukan yadnya. Tata cara melakukan yadnya yang dimaksud antara lain tata cara upacara yadnya, penebusan dosa, dan lain-lain serta tata cara upacara yadnya yang berhubungan dengan upacara keagamaan, baik dalam tingkatan upacara besar, upacara kecil, dan upacara harian (tiap-tiap hari).
  2. Kitab Grhya disebut juga dengan nama Grhya Sutra. Kitab Grhya Sutra isinya menguraikan tentang berbagai aturan pelaksanaan yadnya yang harus dilaksanakan oleh masyarakat (umat hindu) yang telah hidup berumah tangga. Berhubungan dengan kitab Srauta dan Grhya Sutra terdapat kitab sradha kalpa dan pitri medha sutra. Kedua kitab tersebut isinya menguraikan tentang pokok-pokok ajaran yang berhubungan dengan tata cara upacara untuk roh orang-orang yang telah meninggal dunia. Disamping itu pula terdapat kitab Prayas Cita Sutra sebagai pendukung dari Kitab Waitana Sutra (Atharwa Weda).
  3. Kitab Dharma Sutra isinya menguraikan tentang berbagai macam aspek mengenai peraturan hidup bermasyarakat dan bernegara. Kitab Dharma Sutra disebut juga Dharma Sastra. Kitab Dharma Sutra dipandang sebagai kitab yang sangat penting diantara kitab-kitab jenis kalpa. Karena dipandang sangat penting maka terdapat kesan bahwa Weda Smrti itu adalah Dharma Sastra. Diantara orang suci yang disebutkan sebagai penulis kitab Dharma Sastra adalah Bhagawan Manu, Bhagawan Apastamba, Bhagawan Bhaudayana, Bhagawan Harita, Bhagawan Wisnu, Bhagawan Wasistha, Bhagawan Waikanasa, Bhagawan Sanskha Likhita, Bhagawan Yajnawalkya, dan Bhagawan Parasara.
  4. Kitab Sulwa Sutra merupakan bagian terakhir dari kitab-kitab Kalpa. Kitab Sulwa Sutra ini, isinya memuat tentang petunjuk dan peraturan-peraturan mengenai tata cara membuat dan mendirikan tempat suci untuk beribadat (Pura, Candi), bangunan-bangunan lainnya yang berhubungan dengan arsitektur. Kitab Sulwa Sutra memiliki beberapa bentuk buku, antara lain Kitab Silpa Sastra, Kitab Kautuma, Kitab Mayatama, Kitab Wastu Widya, Kitab Manasara, dan Kitab Wisnu Dharmotara Purana.
Dari nama-nama para orang suci penulis Kitab Dharma Sastra tersebut diatas yang paling terkenal adalah Bhagawan Manu. Karya sastra beliau di bidang Manawa Dharmasastra ditulis oleh Bhagawan Bhrgu. Ajaran yang termuat dalam kitab Menawa Dharmasastra yang ditulis oleh Bhagawan Bhrgu menyebar diseluruh pelosok dunia, seperti di India, Campa, Kamboja, Thailand, dan Indonesia.

Agama hindu mengajarkan kepada umatnya, bahwa dalam hidup dan kehidupan kita ini, dilalui oleh empat zaman atau disebut juga Catur Yuga. Bhagawan Sankhalikhita menjangkau bahwa masing-masing dari Catur Yuga mempunyai Dharma Sastranya tersendiri, seperti berikut :
  1. Pada zaman Satya/Krtha Yuga berlaku kitab Manawa Dharma Sastra karya sastra dari Bhagawan Manu.
  2. Pada zaman Treta Yuga berlaku kitab Dharma Sastra yang ditulis oleh Bhagawan Yajnawalkhya.
  3. Pada masa Dwapara Yuga berlaku kitab Dharma Sastra buah karya Bhagawan Sankha Likhita.
  4. Pada masa Kali Yuga dipergunakanlah Dharma Sastra yang ditulis oleh Bhagawan Parasara.
Diantara keempat kitab Dharma Sastra tersebut, yang diterapkan untuk masing-masing Catur Yuga memiliki sifat saling mengisi atau melengkapi diantara satu dengan yang lainnya.

2. Kelompok Upa Weda

Kitab-kitab Upa Weda merupakan kitab kelompok kedua dari Weda Smrti, setelah kitab-kitab Wedangga. Upa berarti dekat/sekitar dan Weda dapat diartikan pengetahuan suci/kitab suci. Upa Weda juga diartikan sebagai weda yang lebih kecil. Kitab Upa Weda memiliki fungsi sama pentingnya dengan kitab-kitab Smrti yang lainnya. Kitab Upa Weda terdiri dari bebrapa cabang ilmu, antara lain sebagai berikut :

a. Itihasa
Kitab Itihasa dikelompokkan dalam kitab-kitab Upa Weda. Nama Itihasa pada mulanya diberikan oleh penulis kitab Mahabharata pada bagian Adi Parwa, yaitu Bhagawan Wyasa. Itihasa terdiri atas tiga kata yaitu Iti-ha-sa, yang artinya sesungguhnya kejadian itu begitulah nyatanya. Didalam kitab Adi Parwa terdapat kata "Jayo nametihaso yam srotatawyo wujigisuna". Menurut para ahli kata "Jaya" itulah yang kemudian dinamakan itihasa. Jaya adalah nama episode karangan Bhagawan wyasa yang menceritakan sejarah pandawa dan korawa. 

Itihasa adalah sebuah epos yang menceritakan sejarah perkembangan raja-raja dan kerajaan Hindu di masa lampau. Itihasa adalah karya sastra yang bersifat spiritual, dimana ceritanya penuh filsafat, roman, kewiraan, dan mitologi sehingga memberi sifat kekhasan sebagai sastra spiritual. Idealisme yang ada dalam kitab itihasa itu berpegang teguh kepada Dharma, sifat-sifat kepemimpinan dengan asas Astabrata. Kitab Itihasa secara tradisional terdiri dari kitab Ramayana (terdiri dari 7 kanda) dan Mahabharata (terdiri dari 18 parwa). Kedua kitab ini sangat terkenal di dunia dan digubah kedalam sastra jawa kuno yang sangat indah. Ceritanya banyak diambil dalam bentuk drama, pewayangan,seni pahat, seni lukis dan sebagainya.
  1. Ramayana ditulis oleh Mpu Walmiki. Menurut tradisi, kejadian yang dilukiskan didalam Ramayana menggambarkan kehidupan pada zaman Tretayuga, tetapi menurut para ahli lainnya, Ramayana telah selesai ditulis sebelum tahun 500SM. Diduga ceritanya telah populer sejak 3100SM. Ramayana merupakan epos yang ditulis dalam bentuk stansa meliputi 24.000 buah stansa. Seluruh isi dikelompokkan kedalam tujuh kanda yaitu Bala Kanda, Ayodnya Kanda, Aranya Kanda, Kiskindha Kanda, Sundara Kanda, Yudha Kanda dan Uttara Kanda. Tiap-tiap kanda merupakan satu kejadian yang menggambarkan cerita yang menarik. Kitab ini dikenal sebagai adikawya, sedangkan dalam berbagai bentuk versi baru, seperti Ramayana Tatwa Padika ditulis oleh Maheswaratirtha, Amrtakataka oleh Sri Rama, dan Kekawin Ramayana oleh Mpu Yogiswara.
  2. Mahabharata yang sering disebut dengan istilah "wiracarita" terdiri atas 100.000 ribu sloka dan dibagi menjadi 18 parwa, sehingga disebut asta dasa parwa. Menurut tradisi, kejadian Bharatayudha diperkirakan pada permulaan zaman Kaliyuga. Kitab Mahabharata menceritakan kehidupan keluarga bharata dan isinya menggambarkan pecahnya perang saudara antara pandawa dengan korawa. Kitab ini meliputi 18 buah parwa, yaitu Adi Parwa, Sabha Parwa, Wana Parwa, Wirata Parwa, Udyoga Parwa, Bhisma Parwa, Drona Parwa, Karna Parwa, Satya Parwa, Sampti kaparwa, Stri Parwa, Santri Parwa, Amsasana Parwa, Aswamedhi Kaparwa, Asramawasi Kaparwa, Mausala Parwa, Mohaprasthani Kaparwa, Swargarohana Parwa. Parwa ke-12 merupakan parwa terpanjang yang meliputi 14.000 stana. Mahabharata ditulis oleh Bhagawan Wyasa, Mahabharata banyak menggambarkan kehidupan beragama, sosial, dan politik menurut ajaran agama Hindu, yang mirip dengan dharma sastra dan wisnu smrti.

b. Purana
Kitab Purana adalah bagian dari kitab-kitab Upaweda. Kitab Purana memuat ajaran suci dalam cerita-cerita kuno dan perumpamaan untuk memudahkan penerapan dan pengertian yang terkandung dalam kehidupan sehari-hari serta bagi mereka yang tingkat pikirannya belum tinggi. Juga menceritakan tentang "Case Low" pembuktian hukum yang pernah dijalankan. 

Sejarah penulisan Purana dimulai pada tahun 500 SM. Dan mencapai kesempurnaan pada tahun 600 SM, ketika Maharaja Harsa Wardana yang memerintah Negara Aryawarta. 
Adapun jenis-jenis purana adalah yaitu Brahmanda Purana, Brahmawaiwarta Purana, Markandya Purana, Bhawisya Purana, Wamana Purana, Brahma Purana, Wisnu Purana, Narada Purana, Bhagawata Purana, Garuda Purana, Padma Purana, Warana Purana, Matsya Purana, Kurma Purana, Lingga Purana, Siwa Purana, Skanda Purana dan Agni Purana. Diantara Purana-purana tersebut, yang paling terkenal adalah Wisnu Purana dan Bhagawata Purana. Berdasarkan sifatnya, kedepan belas purana itu dibagi atas tiga bagian yaitu :
  1. Satwika Purana, terdiri atas Wisnu Purana, Narada Purana, Bhagawata Purana, Garuda Purana, dan Waraha purana.
  2. Rajasika Purana, terdiri atas Bhrahmanda Purana, Bhrahmawaiwarta Purana, Markandya Purana, Bhawisya Purana, Waruna Purana dan Brahma Purana.
  3. Tamasika Purana, terdiri atas Matsya Purana, Kurma Purana, Lingga Purana, Siwa Purana, Skanda Purana, dan Agni Purana.
Kitab-kitab purana sangat penting karena bermanfaat untuk memahami garis-garis besar isi Weda. Menurut Wisnu Purana III.6.24, suatu purana yang lengkap dan baik memuat lima macam pokok isi, meliputi hal-hal sebagai berikut :
  1. cerita tentang penciptaan dunia.
  2. cerita tentang bagaimana tanda dan terjadinya pralaya.
  3. cerita yang menjelaskan silsilah dewa-dewa dan bhatara.
  4. cerita mengenai zaman manu atau manwantara.
  5. cerita mengenai silsilah keturunan dan perkembangan dinasti surya wangsa dan candra wangsa.
Isi kitab-kitab purana lainnya memuat pokok-pokok pemikiran yang menguraikan tentang kejadian alam semesta, doa-doa dan mantra untuk sembahyang, cara melakukan puasa, tata cara upacara keagamaan dan petunjuk-petunjuk mengenai cara bertirtayatra ke tempat-tempat suci. Adapun peranan penting dari purana ialah karena kitab-kitab ini memuat pokok-pokok ajaran mengenai ketuhanan.

c. Artha Sastra

Kitab Artha Sastra berisikan tentang pokok-pokok pemikiran bidang ilmu politik atau ilmu pemerintahaan negara. Artha Sastra sebagai bagian dari kitab Upa Weda, ditulis oleh Bhagawan Brhaspati. Jejak beliau didalam tulis menulis kitab-kitab artha sastra diikuti oleh Maharsi Kautilya (Canakya). Disamping Maharsi Kautilya yang mengikuti Bhagawan Brhaspati dalam menulis kitab-kitab Artha Sastra, ada juga Bahgawan lainnya seperti Bhagawan Usana, Bhagawan Parasara, Danding, Wisnugupta, Bharadwaja, dan Wisalaksa.
Kitab-kitab yang tergolong kitab Artha Sastra adalah Niti Sastra atau Rajadharma (Dandaniti). Jenis kitab Artha Sastra yang digubah di Indonesia adalah jenis Usana, Nitisastra, dan Sukraniti. Umumnya naskah-naskah itu tidak lengkap lagi sehingga bila ingin mengadakan rekontruksi diperlukan data-data dan bahan-bahan lain untuk penulisannnya kembali.

d. Ayur Weda
Kitab Ayur Weda adalah kelompok kitab Upa Weda yang isinya menguraikan tentang bidang ilmu kedokteran atau kesehatan baik rohani maupun jasmani. Adapun nama kitab yang termasuk kelompok kitab ayur weda adalah kitab Caraka Samhita, Susruta Samhita, Kasyapa Samhita, Astanggahrdaya, Yogasara, dan Kama Sutra.

Pada umumnya kitab Ayur Weda erat sekali hubungannya dengan kitab-kitab Dharma Sastra dan Purana Ajaran umum yang menjadi hakikat isi seluruh kitab ini menyangkut bidang kesehatan jasmani dan rohani dengan berbagai sistem sifatnya. Jadi ayur weda adalah filsafat kehidupan, baik etis maupun medis. Oleh karena itu, luas lingkup bidang isi ajaran yang dikodifikasikan didalam Ajur Weda ini meliputi bidang yang sangat luas dan merupakan hal-hal yang hidup. Berdasarkan materi yang terdapat dalam kitab Ayur Weda maka isi kitab Ayur Weda meliputi delapan bidang ajaran umum, yaitu sebagai berikut :
  1. Salya adalah ajaran mengenai ilmu bedah.
  2. Salkya adalah ajaran mengenai ilmu penyakit.
  3. Kayakitsa adalah ajaran mengenai ilmu obat-obatan.
  4. Bhuta Widya adalah ajaran mengenai ilmu psikoterapi.
  5. Kaumara Bhrtya adalah ajaran mengenai ilmu pendidikan anak-anak dan merupakan dasar bagi ilmu jiwa anak-anak.
  6. Agada Tantra adalah ajaran mengenai ilmu toksikologi.
  7. Rasayama Tantra adalah ajaran mengenai ilmu muhjizat.
  8. Wajikarana Tantra adalah ajaran mengenai ilmu jiwa remaja.
Kitab Caraka Samhita merupakan bagian dari kitab Ayur Weda. Kitab tersebut memuat delapan bidang ajaran, antara lain sebagai berikut :
  1. Sutrathana, isinya menguraikan tentang ilmu pengobatan.
  2. Nidanasthana, isinya memuat tentang berbagai penyakit yang bersifat umum.
  3. Wimanasthana, isinya menguraikan tentang ilmu pathologi.
  4. Sarithana, isinya menguraikan tentang ilmu anatomi dan embriologi.
  5. Indiyasthana, isinya menguraikan tentang materi diagnosa dan prognosa.
  6. Cikitasasthana, isinya menguraikan tentang ajaran khusus mengenai pokok-pokok ilmu terapi.
  7. Kalpasthana, isinya menguraikan tentang ajaran di bidang terapi secara umum.
  8. Siddistana, isinya juga menguraikan tentang pokok-pokok di bidang terapi secara umum.
Berdasarkan catatan yang ada, kitab Kalpasthana dan kitab Siddistana telah diterjemahkan kedalam bahasa Arab dan Persia pada tahun 800 Masehi. Kitab Susruta Samhita ditulis oleh Bhagawan Susanta. Kitab ini isinya menguraikan tentang pentingnya ajaran umum dibidang ilmu bedah. Disamping itu, kitab Susruta Samhita juga mencatat berbagai macam alat-alat yang dapat dipergunakan dalam pembedahan. Kitab Yogasara dan Yogasastra ditulis oleh Bhagawan Nagarjuna. Kedua kitab ini isinya menguraikan tentang pokok-pokok ilmu yoga yang berhubungan dengan sistem anatomi dalam pembinaan kesehatan, baik jasmani maupun rohani. Kitab kama Sutra ditulis oleh Bhagawan Watsyayana pada abad ke-10 masehi. Kitab Kama Sutra berhubungan dengan kitab Wajikarana Tantra. Isinya menguraikan tentang ajaran ilmu jiwa remaja.

e. Gandharwa Weda

Kitab Gandharwa Weda merupakan bagian dari kitab-kitab Upa Weda. Gandharwa Weda sebagai kitab Smrti, juga memiliki beberapa bagian kitab, seperti: Natya Sastra, Natya Wedagama, Dewa Dasa Sahasri, Rasarnawa, dan Rasaratnasamucaya. Kitab Gandharwa Weda isinya menguraikan tentang berbagai aspek cabang ilmu seni.

f. Kama Sastra

Kitab Kama Sastra adalah termasuk kitab suci agama hindu pada bagian Smrti (Upa Weda). Kama Sastra sebagai bagian dari jenis kitab Upa Weda isinya menguraikan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan asmara, seni atau rasa indah. Didalam upaya untuk mewujudkan salah satu tujuan hidup, umat Hindu dipandang perlu untuk membangkitkan rasa indah tersebut. Kebangkitan dari rasa indah manusia terbentuk untuk berbakti kepada Sang Hayng Widhi, hendaknya dipedomani oleh Kama Sastra. Karena dengan demikian asmara dan rasa indah yang muncul itu tentu terarah/bernilai positif adanya. Diantara kitab-kitab Kama Sastra yang terkenal adalah karya dari Bhagawan Watsyayana.

g. Agama
Kitab agama itu baru ada setelah agama hindu ada dan berkembang di dunia. menurut Weda, agama Hindu dapat dipelajari ole seluruh umat manusia. Hal ini termuat dalam kitab Yajur Weda sebagai berikut :
"Yaatkeram wacam kalyanin awadoni janebhyah,
Brahma Rajanyabhyam cudraya caryaya ca siwaya caranayaca" (Yajur Weda XVI. 18)
Artinya :
Biar kutanyakan disini kitab suci ini kepada orang-orang banyak, kepada kaum Brahmana, Kaum Ksatrya, Kaum Sudra, dan Kaum Waisya dan bahkan kepada orang-orangKu dan kepada mereka (orang-orang asing) sekalipun.

Berdasarkan bunyi sloka tersebut diatas dinyatakan bahwa kitab suci Weda dapat dipelajari oleh siapa saja, tidak terkecuali. Namun menyadari akan kekurang sempurnanya kita sebagai umatnya, maka tidak akan semuanya dapat mempelajarinya dengan sempurna. Disamping itu, kita juga perlu menyadari bahwa Weda sebagai sumber ajaran agama Hindu mengandung ajaran yang sangat tinggi. bagi mereka yang belum dapat mempelajari Weda dapat belajar agama Hindu berdasarkan kitab-kitab agama. Kitab agama isinya memuat ajaran tentang keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan petunjuk-petunjuk untuk melaksanakan tata cara persembahyangan. 

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa jumlah kitab-kitab Smrti yang dapat kita pergunakan sebagai petunjuk untuk menata kehidupan dalan berhubungan dengan Sang Hyang Widhi / Tuhan Yang Maha Esa, banyak jenisnya. Hal itu sesuai dengan ucapa Kitab Smrti (Dharmasastra) sebagai berikut :
"Weda'khilo dharma mulam smrti cile ca tad widam
acaracca iwa sadhunam atmanastustir ceva ca" (Manawa Dharmasastra II.6)
Artinya :
Seluruh weda merupakan sumber utama daripada dharma (Agama Hindu) kemudian berulah Smrti, disamping kebiasaan-kebiasaan yang baik dari orang-orang yang menghayati Weda (sila) dan kemudian tradisi-tradisi dari orang-orang suci (acara) serta yang terakhir adalah rasa puas diri sendiri (atmanastusti)

Isi Kitab Suci Weda

Bila kita mempelajari secara keseluruhan mantra-mantra Weda (Catur Weda) termasuk pula kitab-kitab Mantra, Brahmana, Aranyaka/Upanisad, maka pada garis besarnya ajaran Weda dapat dikelompokkan kedalam 4 kelompok isi, yang masing-masing dapat dikembangkan lagi sebagai pengetahuan, yaitu sebagai berikut :
  1. Kelompok yang membahas Vijnana, yaitu kelompok mantra yang membahas bermacam aspek pengetahuan, baik pengetahuan alam sebagai ciptaanNya, termasuk pula teologi, kosmologi dan lain-lain yang bersifat metaphisik. Kata vidjnana berarti kebijaksanaan tertinggi (realization of knowlegde). Intinya mungkit sangat singkat atau pendek, kadangkala sangat sulit untuk memahami apa yang terkandung di balik mantra atau sangat sulit untuk memahami apa yang terkandung dibalik mantra atau ungkapan melalui mantra-mantra itu. Demikian pula penggunaannya terlebih lagi digunakan dalam rangkaian doa atau stava, sehingga hal itu kadang-kadang kita anggap hal yang biasa dan bukan merupakan pengetahuan yang disebut vidjnana. Ini akan bertambah jelas setelah kita membaca Yajur weda, bahwa weda berisikan berbagai pengetahuan yang diperlukan oleh manusia guna meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan. Yang paling menonjol dalam aspek vidjnana ini adalah aspek yang memberi keterangan dasar pandangan filsafat dan methapisika berdasarkan weda.
  2. Kelompok yang membahas aspek Karma, yaitu kelompok mantra mengenai aspek atau jenis Karma atau Yajna sebagai dasar atau cara dalam mencapai tujuan hidup manusia. Pembahasan secara mendalam mengenai hal ini kemudian dikembangkan didalam kitab-kitab Kalpasutra sebagai pengembangan lebih jauh kitab-kitab Brahmana.
  3. Kelompok yang membahas Upasana, yaitu kelompok mantra yang membahas segala aspek yang ada kaitannya dengan petunjuk dan cara untuk mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa. Kata Upasana berarti usaha mendekatkan diri dengan sthana Sang Hyang Widhi. Kelompok mantra ini menjadi dasar berkembangnya sistem atau ajaran yoga.
  4. Kelompok yang membahas aspek Jnana, yaitu kelompok mantra yang membahas segala aspek pengetahuan secara umum sebagai ilmu murni. Dalam hubungan ini perlu dikemukakan bahwa kita tidak mendapatkan gambaran secara lengkap bagaimana ilmu itu, kecuali hukum-hukum tertentu yang kemudian kalau kita kembangkan akan menjadi ilmu yang berdiri sendiri, sebagai contoh Vaidikaganitam, Ayurweda dan sebagainya. Ayurweda ini sudah lama dikembangkan dalam perguruan modern (Ayurvedic collage) sebagai bidang yang berdiri sendiri, berdampingan dengan sistem pengobatan modern. Ini berarti di dalam weda terdapat pengetahuan atau ilmu murni yang bisa dikembangkan lagi.

Setelah diketahui bahwa isi Weda dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok isi, dapat pula disederhakanan menjadi 2 aspek, yaitu ajaran yang mengandung aspek: 
  • Karmakanda, yakni yang menyangkut ajaran karma, yajna dan upanisad dapat dijumpai dalam kitab-kitab Samhita, Brahmana, dan Aranyaka, 
  • Jnanakanda, yang dapat dijumpai dalam Samhita, Aranyaka da Upanisad. 
Selanjutnya tentang isi Weda dapat pula dianalisis dengan menggunakan  dasar-dasar pendekatan sesuai kitab Bhagavadgita, yakni mengelompokkan isi Weda dalam 5 topik, sebagai berikut :
  1. Yang mengandung ajaran Bhakti atau Bhaktiyoga
  2. Yang mengandung ajaran Karma atau Karmayoga
  3. Yang mengandung ajaran Jnana atau Jnanayoga
  4. Yang mengandung ajaran Rajayoga
  5. Yang mengandung ajaran Vibhutiyoga atau ajaran yang bersifat mistis.
Mengingat mantra-mantra weda sulit dipahami dan mungkin kurang menarik minat bagi umat yang awam dibidang kerohanian, para Rsi menyusun kitab-kitab sastra sebagai alat bantu memahami ajaran tersebut. Tentang hal ini, Maharsi yang juga Adikawi Walmiki menyatakan dalam karya agung beliau Ramayana, bahwa disusunnya cerita seperti Mahabharata dan Ramayana sebagai sarana untuk lebih memudahkan umat memahami kitab suci Weda.

DAFTAR PUSTAKA

Bantas, I Ketut dan I Nengah Dana. 1986. Pendidikan Agama Hindu. Jakarta: Karunika Jakarta.
Bantas, I Ketut. 2002. Agama Hindu. Jakarta: Universitas Terbuka.
Titib, I Made. 1996. Veda, Sabda Suci pedoman praktis kehidupan. Surabaya: Paramita
Tim Penyusun. 1994. Buku Pelajaran Agama Hindu until Perguruan Tinggi. Jakarta: hanuman Sakti.
Pudja, Gede dan Sudhartama, Tjokorda Rai. 1973. Manawa Dharmasastra. Jakarta: PHDI

Kamis, 16 Juli 2015

Keluarga Sukinah Dari Perspektif Agama Hindu

Keluarga Sukinah Dari Perspektif Agama Hindu

Prajanartha striyah srstah
Samtanartham ca manawah
Tasmat sadharano dharmah
ςrutau patnya sahaditah (Vedasmrti. IX.96)
artinya:
Untuk menjadi ibu, wanita itu diciptakan dan untuk menjadi ayah , laki-laki itu diciptakan Upacara keagamaan karena itu ditetapkan di dalam Veda untuk dilakukan oleh suami beserta dengan istrinya.
Sejak awal kehidupan manusia, ternyata bersatunya antara seorang wanita dengan seorang laki-laki yang disimbulkan akasa dan pertiwi sebagai cakal bakal sebuah kehidupan baru yang diawali dengan lembaga perkawinan. Hendaknya laki-laki dan perempuan yang telah terikat dalam ikatan perkawinan selalu berusaha agar tidak bercerai dan selalu menyintai dan setia sampai hayat hidupnya, jadikanlah hal ini sebagi hukum yang tertinggi dalam ikatan suami-istri (G.Pudja MA, 2002 :561). 


Keluarga yang dibentuk hanya berlangsung sekali dalam hidup manusia, keluarga atau rumah tangga bukanlah semata-mata tempat berkumpulnya laki dan wanita sebagai pasangan suami istri dalam satu rumah, makan-minum bersama. Namun mengupayakan terbunanya keperibadian dan ketenangan lahir dan bathin, hidup rukun dan damai, tentram, bahagia dalam upaya menurunkan tunas muda yang suputra (Jaman, 195 :3).

Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Bab I

pasal 1:
menyebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuahanan Yang maha Esa.

pasal 2 :
Menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan menurut hokum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Makalah ini disampaikan pada acara Dharma santih Tempek Pondok karya Jakarta Selatan, Oleh : I Gede Jaman, S.Ag.M.Si.

Dengan demikian perkawinan menurut pandangan Hindu bukanlah sekedar legalitas hubungan bilologis semata tetapi merupakan suatu peningkatan nilai berdasarkan hukum Agama, karena Wiwaha samkara adalah merupakan upacara sacral atau skralisasi peristiwa kemanusiaan yang bersifat wajib ( G. Pudja,MA,2002 :80).

Keluarga bahagia yang menjadi tujuan wiwaha samkara dalam terminology Hindu disebut keluarga Sukhinah merupakan unsur yang sangat menentukan terbentuknya masyarakat sehat (sane society).

Tujuan Grehastha

Beranjak dari Veda Smrthi Bab. IX Sloka 45 menegaskan bahwa ia yang merupakan orang sempurna yang terdiri atas tiga orang menjadi satu : istrinya, ia sendiri dan keturunannya .Begitu pula dikatakan tidak ada bedanya sama sekali antara Dewi Sri (Dewi Kemakmuran ) dengan istri dirumah, yang dikawinkan dengan tujuan untuk mempunyai keturunan membawa kebahagiaan dan layak dipuja sebagai pelita rumah tangga (Veda Smrthi. XI.26).
Kata anak dalam bahasa sankerta “Putra” kata putra berarti kecil, yang disayang, kata putra menjadi penting dalam berkeluarga, hal secara tegas seperti sloka berikut :
Pumnamo narakadyas
Mattraya te pitaram sutah,
Tasmat putra iti proktah
Swayamewaswayambhuwa
Artinya:
Oleh karena seorang anak yang akan menyebrangkan orang tuanya dari neraka yang disebut Put (neraka lantaran tidak punya keturuanan), oleh karenanya ia disebut putra.
Sehingga arti dan maksud kata Putra pada hakekatnya adalah ia yang menyelamatkan atau menyebrangkan roh orang tua/leluhurnya dari neraka mencapai sorga.

Apakah semua anak dapat membahagiakan keluarganya, tentu tidak karena kita sering melihat dan mendengar istilah anak durhaka, anak penghacur keluarga. Namun anak yang dimaksudkan dlam tujuan perkawinan Hindu adalah anak yang suputra yang senantiasa membahagiakan keluarganya (PGAHN, 1987:26).

Pentingnya berkeluarag untuk tujuan kebahagiaan dan penyelamatan dari neraka , juga dinyatakan bahwa Jaratkaru yang melihat orang tua yang tergantung di bamboo petung pangkalnya digigit tikur di pinggir jurang. Karena tersentak hatinya barkatalah Jaratkaru :
Ling Sang Jaratkaru:
aparan ta rahadyan sanghulun kabeh, ginatung ri petung sawulih, meh tikela deni panigit ing tikur, ikang jurang ri sornya tan kinawruhan jero nika. Ya tikangde larangeresi manah ninghuluh, moghawelas ahyun tumulunge kita.
(Apakah sebabnya tuanku sekalian bergantung dibuluh yang hampir putus oleh gigitan tikus, seang dibawahnya jurang yang tiada terduga dalamnya ?. Perbuatan itulah yang menyebabkan hamba, kasihan hamba melihat, dan hamba akan menolong )
Menjawablah orang yang tergantung di buluh petung :
kunang tapan pegat wangsa mami. Nahan ta mami n pegat sangkeng pitraloka, magantungan petungan sawulih, kangken tibeng narakaloka; tattwa nikang petung sawulih, hana wangsa mami sasiki, Jaratkaru ngaranya. Ndan moksa wih ta ya, mahyun luputeng sarwajanmabandhana, tatan pastry” (Adiparwa 1938 :35)
Artinya:
Karena keturunan kami terputus. Itulah sebabnya saja pisah dari dunia leluhur, bergantung dibuluh petung ini, seakan-akan sudah masuk neraka. Ada seorang keturunan saya bernama Jaratkaru, ia moksa (pergi ) untuk melepaskan ikatan kesengsaraan orang, ia tiada beristri
Demikianlah pentingnya posisi spiritual dari seorang anak dalam keluarga Hindu, karena kelahiran anak yang suputra akan membahgiakan keluraganya dan membuka sorga setelah kematian leluhurnya. Namun untuk mendapat kan anak yang suputra sebagai sumber kebahagiaan keluarga ( yan ning putra suputra sadhu gunawan mamadangi ri kula wandawa), tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.
Untuk ini diperlukan serangkaian proses yang cukup panjang :
  • Tahap 1. Menentukan Areal Rumah Tangga
  • Tahap 2. menentukan calon pasangan yang baik
  • Tahap 3. menyiapkan perkawinan yang baik
  • Tahap 4. Proses reproduksi yang baik dan terkendali, serta perawatan dan pendidikan yang benar.

Menentukan Areal Rumah Tangga

Setelah seseorang melakukan samskara wiwaha,maka ada tempat tinggal pasangan suami-istri tersebut yang dinamakan rumah tempat tinggal yang lazim kita sebut sebagai Rumah Tangga yang didalamnya lengkap dengan kehidupan suami-istri dalam areal rumah tempat tinggalnya. Massyarakat Hindu selalu berusaha bersikap hidup dalam keseimbangan alam semesta. Keseimbangan tatanan hidup dengan alam semesta berporos pada konsep hulu-teben, sacral-profan, yang akhirnya areal rumah tinggal dibagi menjadi tiga zone, sesuai dengan nilai sacral (utama), nilai sedang (madya), dan nilai profan (kanista) yang disebut Tri Mandala. 
dari konsep Tri Mandala inilahirlah konsep sanga mandala dengan menempat arah airsanya (kaja kangin) yang dinyatakan areal yang paling sacral sebagai pengkejawantahan konsep niskala ke skala konsep Dewata nawa sanga. Kesembilan dewa yang menguasai penjuru mata angin ini sangat berpengaruh terhadap tata letak bangunan berdasarkan fungsinya ( Sulistyawati, 1998 :46). Penempatan tiap-tiap bangunan yang mempunyai fungsi relegi selalu mengikuti arah dewa yang menguasainya. Misalnya letak dapur diletakkan di arah selatan, disesuaikan dengan arah yang dikuasai oleh Dewa Brahma (Dewa panas/api) dalam kosmologi Hindu. Sumur di sebelah utara bersebrangan dengan dapur , disesuaikan dengan arah Dewa Wisnu ( Sulistyawati,1998 :48).

Bila kita akan membangun tempat tinggal hendaknya areal pekarangan di bagi 9 lebih dahulu dan dalam kaitan dengan Tri Mandala, maka arah perpaduan Timur dengan Utara (Airsanya) memiliki nilai yang paling sacral sehingga dipakai tempat yang diposisikan sebagai Utama mandala untuk letak pendirian tempat Ibadah.

Hal ini jelas disuratkan bagi setiap umat Hindu yang telah berkeluarga hendaknya memiliki tempat pemujaan berupa Pemerajan (sanggah) dalam lontar Siwagama disebutkan sebagai berikut :
…… wwang kamulan pamanggalanya sowang...
Artinya :
… dan Kamulan palinggih pada masing-masing pakarangan rumah.
Pemerajan ini berfungsi sebagai tempat pemujaan roha suci leluhur atau atma yang telah Sidha Dewata/Dewa Pitara (I Ketut Wiana, 1992 :22), sesuai dengan lontar Usana dewa menyebutkan sebagai berikut :
Ring kamulan ngaran Ida Sanghyang Atma, ring Kamulan Tengan bapa ngaran sang Paratma, ring Kamulan Kiwa ibu ngaran sang Siwatma, ring kamulan Tengah ngaran raganya, tu Brahma dadi meme bapa maraga Sang Hyang Tuduh.
Artinya:
Pada Kamulan nama Beliau adalah Sang Hyang Atma, di Kamulan sebelah kanan adalah linggih Paratma adalah Bapak, di kamulan ruang sebelah kiri adalah linggih Siwatma adalah Ibu, di Kamulan tengah ada wujudnya Brahma menjadi Ibu Bapak yang berujud Sang Hyang Tuduh.
Keluarga yang memiliki tempat tinggal (rumah), memiliki Tempat Pemujaan (mrajan) minimal pada banguna mraja itu adanya pelinggih Rong Tiga, pelinggih Sedahan Penglurah dan Gedong linggih Taksu (Gde Soeka, BA, 1986 :13).

Lingkungan kedua tempat tadi menuju keseimbangan bhuana Agung dan Bhuana Alit harus selaras untuk mencari kesejahteraan jasmani dan kebahagiaan rohani, keselarasan antara Bhuana Agung dengan kehidupan manusia menjadi tujuan pokok mengikuti tata aturanperumahan seperti ini. Hal ini dilandasi oleh kesadaran bhawa Bhuana Agung/alam semesta adalah kompleksitas unsure-unsur yang satu sama lain terkait dan memebntuk satu sisitim kesemestaan. Sehingga dapat dikatakan bahwa nilai dasar dari kehidupan masyarakat Hindu adalah nilai keseimbangan. Nilai keseimbangan ini tertuang dalam perilaku :
  1. selalu ingin menyesuikan diri dan berusaha menjalin hubungan dengan elemen-elemen alam dan kehidupan yang mengitari.
  2. Ingin menciptakan suasana kedamaian dan ketentraman antara sesama makhluk dan juga terhadap alam dimana manusia hidup sebagai salah satu elemen dari alam semesta raya.
Kedua unsur tersebut oleh masyarakat Hindu dianggap sebagai azas yang harus dipakai pedoman atau tuntunan dalam kehidupan berumah tangga. Karena rumah tangga dianggap sebagai dunia yang hidup dengan konsep Tri Hita Karana. Adanya parahyangan untuk mencapai sasaran Satyam (kebenaran), adanya Palemahan untuk mencapai sasaran Sundaram (kebahagiaan) dan adanya Tempat tinggal/rumah (pawongan ) sasaran untuk mencapai Kebijakan (Siwam). Kesemuanya itu menuju tujuannya Jagadhita (secara sekala/nyata) dan Moksa secara Niskalanya (I Made Suasthawa, 1991:36)

Kehidupan rumah tangga tata letak keluar masuk menuju rumah (pemedal) juga mengikuti asta kosala-kosali dengan tolok ukur yang empunya rumah itu sendiri.
Bila rumah menghadap :
  • Timur : diukur dari arah utara/kadya, lalu dibagi sembilan pintu masuk ambil pada bagian 3 ( wredi guna) dan atau 4 (dana teke). Wredi artinya subur, banyak.
  • Selatan : diukur dari arah Timur ke Barat, lalu dibagi 9 pintu masuk ambil pada hitungan 4 (udan mas), 6 (dana wredi) atau 8 (teka wredi)
  • Barat : diukur dari arah Selatan menuju Utara, lalu dibagi 9 pintu masuk ambil pada hitungan 3 (wredi mas ), 4 (wredi guna) da atau 5 (danawan).
  • Utara : diukur dari Barat ke Timur dibagi 9 pintu masuk ambil pada hitungan 7 (suka agung).
Dengan memperhatikan hitungan-hitungan tersebut diatas sesuai dengan arah banguan kita maka niscaya kehidupan yang sejahtera dapat kita dekati dan penderitaan dapat kita hindari (I Made Suandra, 1991 :22). Disamping tata letak yang kita tentukan seperti diatas memilih areal pekarangan juga harus berhati hati dan hendaknya hindari pekarangan seperti: 
  • Karang karubuhan yaitu areal pekaranga yang berpapasan dengan perempatan jalan, menyebabkan sakit-sakitan yang menempati.
  • Karang Sandanglawe yaitu pekaranga yang memiliki pintu masuk berpapasan dengan tetangga.
  • Karang Kutabanda yaitu pekarangan yang diapit oleh jalan raya..
  • Karang Gerah yaitu pekarangan yang terletak di hulu Pura atau parahyangan.
  • Karang Suduk Angga yaitu pekarangan yang dibatasi oleh pagar hidup, terdapat dua tempat pemujaan dari keluarga yang berbeda..
Pekarangan yang dilarang seperti diatas perlu hendaknya dibuatkan upacara pemahayu karang atau bangunkan palinggih tertentu (Drs. I Nyoman Singgih W, 1999 :15)

Secara kodrati bahwa setiap orang yang dilahirkan berlawanan jenis untuk bersatu dalam kehidupan rumah tangga yang diawali dengan samskara wiwaha yang terwadahi dalam areal /kawasan rumah tangga dengan system keseimbangannya. Mengingat berumah tangga tidak untuk sesaat maka berhati-hatilah dengan mempersiapkan fisik dan spiritual secara matang (K.H.M. RusliAmin, M.A, 2002 :18).

Menentukan Calon Pasangan yang baik

Untuk mendapatkan calon pasangan yang baik harus diamati bibit, bebet dan bobot calon pasangan.

Yang dimaksudkan pengamatan bibit meliputi asal-usul calon pasangan. Hendaknya diusahakan calon pasangan berasal dari keluaga baik-baik artinya bukan dari keluarga yang gemar mabuk-mabukan, penjudi, pemarah/emosional, pembohong, pencuri, gemar memerkosa, gemar memerkosa, gemar memfitnah, penggemar black magic dan lain-lainya yang merupakan perwujudan dari sifat-sifat sadripu dan sadatatayi. 
Bila memungkinkan supaya diusahakan mendapatkan calon yang bisa diajak membangun keluarga Sukhinah dari kelahiran Suwargacyuta yaitu orang-orang yang berbahagia turun lahir dari sorga dengan cirri-ciri : 
  1. tidak sakit-sakitan ( Arogya), 
  2. disayangi oleh sesamanya (Rati), 
  3. bersifat ksatrya( Curatwa), 
  4. berbhakti kepada Ida Sanghyang Widhi (Dewasubhaktih), 
  5. murah rejeki (kanakalabha) 
  6. dikasihi oleh orang besar (Rajapriyatwa), 
  7. Pemberani (Cura), 
  8. bijaksana dalam segala ilmu pengetahuan (Krtawidya), 
  9. peramah (Pryamwada). 
Kesemuanya ini adlah ciri kelahiran sorga dan penjelmaan dari orang melakukan dharma yang suci dahulunya (I Gusti Agung Oka, 1994 :24-25)

Yang dimaksud dengan pengamatan tentang bebet atau penampilan. Hendaknya menghindari orang kelahiran Neraka cyuta dengan cirri-ciri sebagai berikut :
  1. Mandul (Anapatya), 
  2. wandu (Akamarasa), 
  3. mempunyai penyakit asma ( Pitti), 
  4. bisu (kujiwa) 
  5. berbicara tidak jelas (Clesma) dan 
  6. orang berambut kemerah-merahan dan badannya cacat. 
  7. Tetapi yang pantas dinikahi mempunyai nama yang pantas dan badannya tidak cacat, jalannya seperti seekor angsa, giginya kecil-kecil berbadan lembut ( I Gede Pudhja, M.A, 2002 :132-133)
Yang dimaksudkan dengan pengamatan tentang bobot, ini banyak diatur dalam Canakya Nitisastra maupun dalam Weda Smrti III.7 yang menyatakan: Keluarga yang tidak hirau pada upacara suci, tidak mengerti ajaran weda /agama hendaknya dihindari untuk dijadikan calon pasangan. Salah satu susatra Veda menegaskan bahwa :
Akara iringngita irgatya cesta bhasitena ca;
Natrawaktrawikarena jayate ca pariksitah
Maksudnya:
seseorang harus diuji dengan melihat tampilan luarnya berupa caranya berjalan, gerakgeriknya, perbuatannya, tutur katanya ( I Gusti Agung Oka, 1993 :169)
Dalam menejemen modern hendaknya mempertimbangan pengetahuan (knowledge), ketrampilan yang dimiliki (Skill) dan tata laku kesahariannya (Attitude)nya

Kelahiran Neraka cyuta yang dihindari dalam memilih pasangan, juga dilarang adalah:
  1. masih hubungan sepupu dari keluarga Purusha, Arudaka namanya, 
  2. saling ambil (Pasikuh-paha), 
  3. suami istri pernah keponakan (Angemban Ari), 
  4. kawin dengan tumin ngarep (Anglangkahi sanggar), 
  5. mengawini janda beranak bila sudah punya anak laki-laki, Ekajanma namanya (Suwidja,1992 :101).

Menyiapkan Perkawinan yang Baik

Meyiapkan perkawinan yang baik perlu diperhatikan : perjodohan atau patemon, hari dan bulan perkawinan yang di nilai baik serta bentuk perkawinan yang harus diusahaka. Untuk itu perlu konsultasi kepada pakar yang terkait.
  1. Petemon Penganten: merupakan perhitungan pertemuan kelahiran suami dan istri yang nantinya akan membawa nasib keluarga mereka, apakah akan murah rejeki, banyak masalah ataupun berakibat yang lainnya. 
  2. Dewasa Ayu Nganten: merupakan pemilihan hari baik melangsukan upacara pernikahan. Karma wasana yang kita bawa sejak kelahiran kita akan memberikan warna pada kehidupannya, sehingga para akhli astronomi/wariga hari kelahiran seseorang dapat diterka/diramal maslah rejeki, suka-duhka hidup yang diraihnya melalui urip kelahirannya. Biasanya dibaca hari kelahirannya menunjukkan masa yang dalami masa anak-anak, dicari gabungan urip berikutnya masa remaja dan masa tua adalah urip gabungan berikutnya dapat diketahui.Namun yang dipakai patokan pertemuan suami istri adalah urip gabungan kelahirannya saja. Ataas dasar itulah maka seseorang dapat meningkatkan status dan kualitas kehidupannya yang akan dibangun melalui berumah tangga. lebih lengkapnya baca: Pemilihan Hari Baik Pernikahan.

Cara Perkawinan.
Cara atau bentuk perkawinan penting sekali diperhatikan. Weda Smrti III.42 menyatakan; Dari perkawinan yang terpuji akan lahir putra yang terpuji, dari perkawinan yang tercela akan lahir putra yang tercela. Karena itu hendaknya dihindari bentuk perkawinan yang tercela. Aninditah stri wiwah air, anindya bhawati praja ninditair nindita nrrnam, nasnam nidyam wiwarjayaet.

Dalam Weda Smrti III.20 disebutkan bahwa diantara delapan bentuk perkawinan, ada yang memberi pahala, ada pula yang menimbulkan derita, baik ketika masih hidup maupun setelah mati.

Kedelapan bentuk perkawinan yang disebutkan dalam Weda Smrti adalah Brahma wiwaha, Daiwa wiwaha, Arsa wiwaha, Prajapati wiwaha, Asura wiwaha, Gandharwa wiwaha, Raksasa wiwaha,dan Pisaca wiwaha. Empat yang terakhir hendaknya dihindari oleh kaum brahmana. Gandharwa wiwaha masih bisa ditolerir bila dilakukan oleh kaum ksatria, sedangkan raksasa wiwaha masih bisadimengerti bila dilakukan oleh golongan sudra (Weda Smrti ).

Proses Reproduksi yang baik dan terkendali

Dalam proses reproduksi atau pembuatan anak perlu diperhatikan waktu yang dibenarkan dan yang dilarang oleh ajaran agama Hindu atau yang pas untukmewujudkan keinginan punya anak laki atau perempuan. Posisi tubuh atau gaya bermain kedangkalan penting diperhatikan terutama untuk pasangan yang mengalami kesulitan punya anak. Namun sejauh itu Weda belum mengatur.

Memahami waktu yang dilarang dan dibenarkan sangat diperkenankan bila ingin mendapatkan anak suputra sadhu gunawan,seperti yang telah dibahas di artikel "Hari Baik Berhubungan Intim"

Perawatan dan pendidikan anak yang benar.

Perawatan anak dalam Hindu berarti perawatan badan anak seutuhnya yang meliputi trisarira dan triguna. Trisarira terdiri dari anggasarira atau Stula sarira yaitu badan kasar, sukma sarira yaitu badan halus yang memberi kesadaran kepada manusia, terdiri dari cita, budhi dan ahamkara. Sedangkan anantakarana sarira adalah atman. Triguna adalah sattwam, rajas, tamas.
  • Satwam adalah watak yang menyebabkan perilaku sabar, hormat, penuh cinta kasih, rela berkorban, penolong, pemaaf. 
  • Rajas adalah watak yang menyebabkan perilaku serba cepat,energetic dan mudah marah. 
  • Tamas adalah watak yang menyebabkan perilaku yang serba lambat, malas

Antara badan dan jiwa terdapat kaitan yang sangat erat. Pepatah Yunani kuno mengatakan mensana in corpore sano Artinya jiwa sehat terdapat dalam badan yang sehat.
Bila dikaji dari filsafat Samkya kaitan erat ini bila dimengerti karena jiwa dan badan keduanya berasal dari Purusa dan Prakerti yang membentuk 25 unsur yang sama- sama menjadi unsure pembentuk jiwa maupun badan. Menurut filsafat Samkya pula, dalam Prakerti- yang merupakan unsure kosmik pembentukan manusia-terdapat triguna yang merupakan unsure perwatakan yang memberi warna tingkah laku manusia.

Berdasarkan pemahaman unsure-unsur yang membentuk manusia seutuhnya maka bila berbicara mengenai perawatan anak tidak cukup hanya perawatan kesehatan fisik dan mental/jiwa tetapi juga perawatan atman untuk mewujudkan atma hita. Perawatan kesehatan fisik meliputi pemberian makanan bersih, suci, bukan sisa orang, bergisi dan seimbang, cukup olahraga, dan lingkungan yang aman, nyaman dan memungkinkan tumbuh dan berkembang secara optimal.
Atmahita karana meliputi kegiatan :
  1. Garbhadhana, yaitu upacara ketika mulai diketahui sudah ada konsepsi pembuahan yaitu bertemu dan bersatunya kama bang dan kama petak atau telur (ovum) yang merupakan bibit dari pihak perempuan dan bibit dari pihak laki (sperma ).
  2. Punsavana, upacara 3 bulan kandungan
  3. Simantonnayana, upacara 6 bulan kandungan , di Bali disebut magedong-gedongan.
  4. Upacara Jatakarma ketika lahir. Untuk anak laki dilakukan sebelum talipusar dipotong (Weda Smrti II,29)
  5. Namakarana atau namadheya: Menurut Weda Smrti II.30 upacara pemberian nama dilakukan pada usia 10-12 hari atau pada hari lain yang dianggap baik. Nama harus disesuaikan dengan wangsa.Untuk wanita namanya harus mengandung arti penghormatan, sederhana dan tidak menakutkan. Semuanya ini diatur dalam Veda Smrti II.31-33.
  6. Niskramana: upacara pada usia empat bulan dimana bayi sudah boleh dibawa kelur rumah atau menyentuh (Weda Smrti II.34)
  7. Annprasana: upacara 6-7 bulan dimana bayi pertama kali diajarkan makan (Weda Smrti II. 3-4).
  8. Cundakarma : upacara potong rambut pertama, dilakukan untuk memperoleh kebajikan spiritual. Dilakukan pada usia 1-3 tahun (3 tahun bagi orang-orang dwijati, Smrti II.35)
  9. Upanayana : upacara mengawali belajar secara formal. Menurut Weda Smrti II. 36,upacara ini dilakukan pada tahun kedelapan setelah pembuahan bagi kaumbrahmana, tahun kesebelas bagi kaum Ksatriya, tahun kedua belas bagi Waisya.
  10. Samawartana ; upacara setelah menyelesaikan pendidikan.
  11. Wiwaha: upacara perkawinan .

Di India selain upacara tersebut diatas masih ada lagi upacara tambahan yaitu upacara tindik kuping (Karnawedha) pada usia 3 tahun dan upacara Weda ramba : upacara mulai belajar weda pada usia 5 tahun bagi kaum brahmana. Di Bali ada upacara mepandes atau upacara potong gigi.

Semua upacara tersebut di atas dilakukan sebagai rangkaian pensucian untuk membersihkan kotoran yang melekat pada diri anak yang diperoleh dari orang tua ketika dalam kandungan sekaligus mohon bimbingan dan perlindungan dari Ida Sanghyang Widhi, serta sebagai media untuk mengumpulkan sanak keluarga untuk memberikan doa restu.

Dalam rangka perawatan fisik, perlu juga mengadopsi ilmu kedokteran modern yaitu dengan memberikan upaya pencegahan penyakit lewat program imunisasi

Misalnya;BCG untuk mencegah TBC, Hepatitis A maupun B untuk mencegah infeksi virus Hepatitis pada Hati, DPT untuk mencegah tetanus, batuk rejan dan infeksi menyumbat tenggorokan, Polio untuk mencegah lumpuh polio, Campak untuk mencegah radang paru basah dan radang otak, MMR untuk mencegah bengok, campak Jerman dan campak bias, HIB untuk mencegah radang selaput otak, Varicella untuk menegah cacar air, Typhim atau Typa untuk mencegah tipus.


Demikian beberapa hal yang dapat kami sampaikan dalam makalah ini yang berthema pembinaan Remaja Pra Nikah, semoga kegiatan orientasi keluarga Sukhinah dapat menjadaikan sarana dan wahana peningkatan kualitas sumber daya manusia Hindu yang mandiri dan berakhlak mulia menuju tercapai kehidupan yang sejahtera dan damai.
Om Sarve bhavantu sukhinah
Sarve śāntu niramayah
Sarve bhadrāni paśyantu
Ma kaścid duhkha bhāg bhavet (Sloka Subhasita).
Om, Hyang Widhi, semoga semuanya memperoleh kebahagiaan
Semoga semuanya memperoleh kedamaian
Semoga semuanya memperoleh kebajikan dan saling pengertian
Jauhkanlah kami dari segala kedukaan dan halangan.

demikian sekilas Perkawinan menurut Pandangan Hindu menuju  Keluarga Sukinah Dari Perspektif Agama. semoga bermanfaat. Om Santih Santih Santih Om.