Tampilkan postingan dengan label Kala Tatwa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kala Tatwa. Tampilkan semua postingan

Minggu, 30 Agustus 2015

Makna Filosofis Dalam Kala Tattwa

Makna Filosofis Dalam Kala Tattwa

Pada dasarnya, setiap yadnya sanagt terkait dengan Tattwa Kala, yang dalam hal ini lebih dikenal dengan Bhuta Kala dan setelah disomyakan menjadi Dewa. Karena itu jelas bahwa nilai filsafat yang secara langsung berkaitan dengan agama yang tercermin dalam cerita Tattwa Kala adalah sesuai dengan ajaran agama Hindu yang meliputi Tattwa (Filsafat), Susila (etika), dan upacara (ritual)

Kata tattwa merupakan:
  • istilah filsafat yang didasarkan atas tujuan yang hendak dicapai oleh filsafat itu, yakni suatu kebenaran sejati yang hakiki dan tertinggi.
  • tattwa artinya tutur, cerita, melajahin tattwa utama. Dalam ajaran agama Hindu pandangan tentang kebenaran disebut Tattwa. Kata Tattwa berasal dari bahasa sansekerta yang jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti “kebenaran, kenyataan”.
Lontar-lontar di Bali menyebutkan kata tattwa inilah yang dipakai untuk mengungkapkan kebenaran. Karena segi memandang kebenaran berlainan, maka benarnya sebuah kebenaran itu adalah sesuai dengan bagaimana orang memandangnya, walaupun kebenaran itu hanya ada satu.

Berdasakan uraian di atas, maka filsafat yang terkandung dalam Tattwa Kala adalah Upacara metatah/mesangih/mepandes yang tujuannya secara filosofis adalah mengendalikan sad ripu, bagi anak-anak yang secara biologis dan psikologis sedang menuju kearah guna satwam dan dharma.

Upacara metatah berkaitan pula dengan swadharma orang tua yang mempunyai tanggung jawab pemeliharaan dan pendidikan anak-anaknya ke jalan dharma. Usaha tersebut ditempuh dengan jalan ritual natahin. Ini semua mempunyai makna agar giginya tidak kotor atau tidak berbisa lagi sehingga bisa meninggalkan bhuta kala yang disebut sad ripu.

Upacara metatah/mesangih/mepandes dilakukan dengan cara memotong empat buah gigi seri dan dua buah taring. Jadi ada enam buah gigi yang diasah (simbol menghilangkan sad ripu). Hal ini sesuai dengan cerita yang terdapat dalam Lontar Tattwa Kala yaitu saat Hyang Kala tidak dapat bertemu dengan Ayah Ibunya, lalu bhatara Siwa meminta agar taringnya dipotong, setelah itu baru beliau mau menjelaskan siapa ayah-ibunya. Untuk lebih jelasnya perhatikan kutipan berikut:
"Lah yan mangkana punggelen rumuhun syung ta ring tengen maran kapangguh bapa-bunta. Ta adwa ku ri kita, mangke hana panugran kwa ri kita, jah tasmat umangguhang kita kesadyan, umawak kita ring sarwa mambekan, kapisara kita mangke, mahyun kita mejaha wenang, mahyun kita marupa wenang, apan kita anak ingsun, ya teki ibunta Bhatari Uma. Mangkana ling Bhatara"
Artinya :
Nah kalau demikian potonglah terlebih dahulu taringmu baru ketemu ayah ibumu, aku tidak akan berbohong padamu, sekarang ada anugrah untukmu, semoga engkau memperoleh kebahagiaan, engkau wujudkan semua yang bernafasterserahlah kamu, jika kamu inign membunuhnya boleh, jika kamu ingin menghidupkan boleh, sebab engkau anakku dan ibumu dewi Uma. Begitulah perkataan Bhatara.

Jelas dalam hal ini menunjukkan bila mampu mengendalikan sad ripu akan mencapai kebahagiaan. Upacara metatah yang dilakukan bertujuan sebagai penyucian dan tidak terbelenggu oleh sifat-sifat sad ripu. Upacara ini mengandung arti penting bahwa orang tua tidak semata-mata menunaikan kewajibannya untuk membayar hutang kepada anaknya. Bila orang yang belum melaksanakan upacara dianggap belum memnuhi swadharma sebagai orang tua, sehingga dikatakan masih berhutang kewajiban  terhadap putra-putrinya. Apabila sudah melaksanakan upacar potong gigi maka kelak sesudahnya meninggal dapat bertemu dengan Bapak Ibunya di akhirat. Orang tua disini adalah sebagai penciptanya yakni Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Selain itu upacara metatah ini juga memiliki tujuan untuk menghilangkan kekotoran diri dalam wujud kala, bhuta dan pisaca serta raksasa dalam artian jiwa dan raga diliputi oleh sifat sad ripu. Sehingga dapat menemukan hakekat manusia sejati untuk menghindari hukuman di alam neraka nanti, yang dijatuhkan oleh bhtara Yamadipati berupa menggit pangkal bambu petung.
Tata cara pelaksanaan yadnya potong gigi yang umum dilaksanakan di bali kebanykan masih melakukan system desa-dresta atau loka-dresta sehingga dalam pelaksanaan pada masing-masing daerah sedikit berbeda. Tatanan dalam pelaksanaan upacara potong gigi  dapat dibagi menjadi lima rangkaian yaitu :
  1. Upacara Pekalan-kalan
  2. Upacara ini dilaksanakan sehari sebelum upacara potong gigi, biasanya dilaksanakan pada sore hari dengan sarana berupa upakara caru ayam brumbun, biasanya dibuatkan sanggar agung  sebagai tempat pemujaan kehadapan Sang Hyang Smarajaya dang Sang Hyang Smara Ratih. Karena itu caru diletakkan persis di depan tempat pemujaan.
    Upacara ini bertujuan sebagai korban suci ke hadapan Bhatara Kala agar pengaruh keburukannya dapat dinetralisir menjadi pengaruh kedewataan yang berguna bagi anak dalam mengarungi salah satu unsure Tri Upasaksi yaitu Bhuta saksi.
  3. Upacara Pengekeban
  4. Upacara pengekeban biasanya dilakukan di sebuah bangunan (bale) yang terkurung dan diberi hiasan sehingga kelihatan indah dengan dipasangkan sanggah Ardha Candra yang berisi upakara disebelah kanan dan kiri pintu masuknya. Sanggah Arda Candra tersebut merupakan tempat pemujaaan Sang Hyang Kama Bang disebelah kiri dan Sang Hyang Kama Petak disebelah kanan dari raha keluar pintu.
    Kata pengekeban berasal dari kata ngekeb  yang artinya mematangkan dengan pada hari itu terjadi suatu proses perubahan status dari status anak dengan Dewa pelindungnya Sang Hyang Kumara menjadi status remaja dengan Dewa pelindungnya Sang Hyang Smarajaya/ Sang Hyang Smara Ratih. Sewsungguhnya pada pelaksanaan upacar tingkat inilah dilaksanakan pedidikan budi pekerti berupa petuah-petua sebagai santapan rohani bagi anak. Dengan harapan  agar anak mampu mengadakan perubahan pada dirinya  terutama mengubah kebiasaan-kebiasaan yang buruk menjadi kebiasaan baik.
  5. Pelaksanaan Upacara Ngendang
  6. Upacara ngendang adalah pemotongan enam buah gigi sebagai simbol sad ripu. Upacara ini dilaksanakan dihadapan pelinggih kemulan. Pada waktu pelaksanaan upacar pengendangan, dimohonkan kehadapan Hyang Siwa Guru, disanalah dimohonkan air suci (tirta) pesangihan, sebagai kekuatan penglebur (penetralisir) kekuatan adharma pada anak yang akan dipotong giginya.
    Sesungguhnya menurut Kalapati Tattwa ayahnya sendiri yang seharusnya menjadi sangging (tukang potong gigi), namun karena pekerjaan itu cukup rumit maka dapat diwakilkan kepada seseorang yang memiliki keahlian sebagai sangging. Namun waktu ngendang yharus dilakukan di pemerajan. Demikian juga saat upacara ini dilaksanakan  secara simbolis sebagai pembayaran hutang anak kepada orang tua dengan menyembah memakai kwangen, seperti adat jawa yang bersujud kehadapan orang tua. Pada upacar ngendang ini merupakan puncak upacara potong gigi yang nerupakan ritual keagamaan  menurut ajaran agama Hindu dan merupakan salah satu dari Tri Upasaksi yaitu Dewa Saksi.
  7. Tata Cara Pemotongan Gigi
  8. Tata cara pemotongan gigi ini dilaksanakan di sebua ruangan (bale) yang telah dihias, sehingga tempat tersebut terlihat indah dan asri. Pada ruangan ini adsa sebuah tempat tidur beralaskan tikar berisi tulisan (rerajahan) berupa gambar Sabg Hyang Smarajaya/Smara Ratih dan pada flapon bale dibuat semacam hiasan dari kain berbentuk melingkar yang disebut telaga ngembeng. Pada tempat inilah anak yang potong gigi melaksanakan persembahyangan lagi. Bagi anak laki-laki kehadapan Sang Hyang Smarajaya sedangkan yang perempuan kehadapan Sang Hyang Smara Ratih. Pada tempat ini kegiatan upacara potong gigi dipusatkan disaksikan oleh warga masyarakat sehingga terlihat meriah.
    Pada pelaksanaan inilah terlhat unsure budaya dan adat Hindu karena proses estetikanya sedang berjalan dan proses kekerabatan, keakraban warga masyarakat sehingga menjadi salah satu dari Tri Upasaksi yaitu manusa saksi.
  9. Upacara Mejaya-jaya
  10. Setelah selesai pemotongan gigi maka dilanjutkan dengan upacara mejaya-jaya. Mejaya-jaya berasal dari kata jaya yang artinya menang atau restu, karena saat itulah pemimpin upacara memohonkan restu ke hadapan Sang Hyang Siwa Guru agar anak yang potong gigi dianugrahi kemenangan dalam berpikir, dalam perbuatan dan menang dalam berbicara. Upacar potong gigi belum dianggap selesai jika belum melaksanakan mejaya-jaya karena segala kegiatan keagamaan sangat erat hubungannya dengan permohonan restu kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Pendidikan Etika Dalam Lontar Kala Tattwa

Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu Ethis yang berarti kesusilaan lebih tepatnya to ethos yang berarti kebiasaan, adat istiadat, kesusilaan. Etika ialah pengetahuan tentang kesusilaan, kesusilaan berbentuk kaedah-kaedah yang berisi larangan-larangan untuk berbuat sesuatu. Dengan demikian dalam etika akan didapati ajaran-ajaran tentang perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk. Seperti terdapat dalam kutipan berikut :
Kalau ada orang tidur sampai sore dan tidak pada waktunya setelah matahari terbenam, dan anak kecil menangis pada malam hari ditakut-takuti oleh ayah-ibunya dengan kata-kata ‘nah amah ne amah’ dan lagi kalau ada yang membaca kidung, kakawin, wirama, tutur utama di tengah jalam itu boleh menjadi santapanmu. Kalau ada orang yang mengadakan pertemuan di tengah jalan, itu juga bleh kamu makan. Jika ada yang memohon anugrah kepadamu, hendaknya kamu membantu; seperti manusia sejati, sebab dia adalah saudaramu.
Jika manusia melanggar hal-hal yang ditetapkan diatas itu berarti bertentangan dengan etika. Maka akan mendapatkan penderitaan yang disimboliskan dimakan oleh Sang Hyang Kala. Tetapi kalau berbuat kebaikan dengan mengikuti aturan-aturan tersebut maka manusia akan dibantu oleh Sang Hyang Kala. Karena pada umumnya manusia yang baik adalah bersahabat dengan Sang Hyang Kala.
Demikian perilaku manusia selama hidupnya berada pada jalur yang berbeda, sehingga dengan kesadarannya dia harus dapat menggunakan kemapuan berkata dan kemapuan untuk berbuat. Kemampuan itu sendiri hendaknya diarahkan pada subha karma (perbuatan baik). Karena jika subha karma yang menjadi gerak pikiran, perkataan, perbuatan maka kemapuan yang ada pada diri manusia akan menjelma menjadi perilaku yang baik dan benar. Sebaliknya apabila asubha karma yang menjadi sasaran gerak pikiran, perkataan dan perbuatan maka kemampuan itu akan berubah menjadi perilaku yang salah atau buruk.

Berdasarkan hal itu, maka salah satu aspek kehidupan manusia sebagai pancaran dari kemampuan atau daya pikirnya adalah membeda-bedakan dan memilih yang baik dan benar bukan yang buruk dan salah. Seperti yang dijelaskan dalam kitab Sarasamusccaya sloka 2, sebagai berikut :
Manusah sarvabhutesu,
Vartate vai cubhe,
Asubhesu samavistam,
Cubhesvevakarayet.
Artinya :
Diantara semua mahluk hidup hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah yang dapat melaksanakan perbuatan baik maupun buruk ; leburlah dalam perbuatan baik, segala perbuatan yang buruk itu. Demikianlah gunannya (phalanya) menjadi manusia.

Pendidikan Upacara Dalam Lontar Kala Tattwa

Tattwa kala menguraikan tentang yadnya seperti terdapat dalam kutipan berikut :
Karena itu orang harus mengetahui rincian tentang yadnya diantaranya : Manusa yadnya, Resi yadnya, Pitra yadnya, Siwa yadnya, Aswameda yadnya itulah tujuh yadnya namanya yang dapat mengantarkan kesentosaan badan dan seluruh sampai ke sorga. Oleh karena dapat mengantarkan pada kesejahteraan dunia. Yadnya adalah sebagai penebusan hukuman kepada Tuhan dari orang yang berdosa, sebagai pembeli jiwa pada kehidupan masing-masing. Manusa yadnya bermanfaat untuk menjadikan kokohnya Negara dan kekalnya sang pemimpin. Tata cara beryadnya dengan membagi-bagikan dana, kesenangan, persembahan, hidangan, umbi-umbian dan buah-buahan. Kemudian yadnya dalam bentuk upakara dijelaskan bahwa : adapun yadnya itu beragam bentuknya besar kecil, tawur bentuknya itu juga bhuta namanya itu menjadi santapanmu. Adapun rinciannya masing-masing, kalau panca sata sebagai bentuk tawurnya (kekuatan pelindung) selama satu tumpek (35 hari), kalau panca kelud sebagai tawurnya enam bulan (kekuatan) perlindungannya. Kalau Rsi gana Agung bentuk tawurnya (kekuatan) perlindungannya setahun tiga bulan. Kalau Panca Sanak Agung bentuk tawurnya (kekuatan) perlindungannya lima tahun lima bulan………..
Jadi yadnya itu terdiri dari berbagai macam, seperti dana punia, menyerahkan umbi-umbian, buah-buahan dan juga termasuk upakara banten tawur, yang memiliki tenggang waktu tertentu sesuai dengan besar kecilnya suatu yadnya. Khusus dalam kaitannya dengan sad ripu lebih sesuai dengan upakara metatah atau potong gigi. Upacara potong gigi metatah ini bukanlah semata-mata mencaci keindahan / kecantikan belaka, melainkan mempunyai tujuan yang mulia.

Jadi pendidikan upakara dalam Tattwa Kala adalah membungkus nilai-nilai filosofis ke dalam masing-masing upakara dan pelaksanaan upakara. Sehingga konsep agama Hindu di dalam memahaminya dapat dicerna dari berbagai kalangan masyarakat umum baik kaum intelektual, orang awam, maupun masyarakat buta huruf sekalipun.