Tampilkan postingan dengan label Cerita Bersambung. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita Bersambung. Tampilkan semua postingan

Rabu, 20 Juli 2016

Misteri Yang Tersembunyi 5



Embun pagi masih memeluk rerumputan dan kelopak-kelopak bunga di depan rumah Pak Lurah. Matahari belum nampak. Pagi benar-benar redup dan beku. Beranda rumah Pak Lurah berselimut kabut tipis.
Bu Lurah merapatkan mantel hangat dan hendak masuk rumah ketika ia melihat Candi dan Rio muncul dari keremangan kabut pagi itu.
”Dik Candi?” sapa Bu Lurah, ”Sudah sehat, to?”
“Saya sudah mendingan, Bu. Sekarang kami mau bertemu Pak Lurah. Tadi ketika Pak Lurah ke tempat kejadian, saya belum bicara banyak. Ini penting, bu!” kata Candi.
Bu Lurah sempat melirik Rio. Rio menangkap wajah segar Bu Lurah pagi ini. ”Bapak belum tidur sejak tadi subuh setelah meninjau tempat kejadian. Ayo pinarak di dalam. Dingin di sini,” Bu Lurah memimpin masuk rumah.
Asromo keluar dari bilik tidurnya ketika Rio dan Candi baru saja duduk di ruang tamu. Mukanya lebih kusut daripada yang sudah-sudah. Kerut-kerut di wajahnya makin banyak.

”Apa saya bilang? Firasat saya betul, kan? Ancaman itu tidak main-main, kan? Masih untung kau tidak tewas digorok bajingan itu,” kata Pak Lurah tanpa basa-basi. Ia tampak berada di atas angin karena kata-katanya kemarin terbukti benar.
”Bukan itu masalahnya, Pak. Saya tidak minta simpati Bapak. Tapi, Bapak lihat Saidun jadi korban,” kata Candi.
”Lha itu kan karena kesalahan kalian! Coba kalian hengkang dari kemarin sore, tak akan ada korban itu!” bentak Pak Lurah.
Rio tersentak. ”Pak Lurah tidak selayaknya bicara begitu. Si Mbah dikeroyok orang. Apa itu juga salah kami? Apa itu juga salah saya karena hadir di desa ini bertepatan dengan hari penganiayaan itu?” kata Rio, agak emosional. Sudah luntur rasa hormatnya pada Pak Lurah.
Pak Lurah tidak menyahut.
”Desa ini gawat, Pak! Tak akan ada gunanya Bapak menyembunyikan sesuatu pada kami. Korban akan berjatuhan dengan atau tanpa kehadiran kami di sini. Kami sudah cukup terlibat sekarang!” kata Rio.
”Berulang kali saya bilang saya tidak ingin melibatkan kalian. Ini urusan pribadi desa ini. Jadi pergilah kalian dari desa ini selagi bisa,” salak Pak Lurah.
”Tapi kejadian-kejadian yang berkembang sudah tidak lagi pribadi. Dua korban sudah jatuh. Temanku Candi hampir tewas dicabik-cabik belati,” tegas Rio.
Bu Lurah menggigit bibir menyimak percakapan yang makin panas ini. Ia urung menyiapkan teh hangat. Pak Lurah tampak bimbang. Wajahnya kacau balau.
”Baiklah,” kata Candi. ”Kalau memang Pak Lurah bersikukuh untuk menyembunyikan fakta yang sebenarnya, kami akan cari sendiri. Dunia luar harus tahu ini. Saya akan kirim email ke kantor redaksi saya siang ini. Saya akan tulis berita lengkap peristiwa-peristiwa kriminal desa ini dan saya akan kutip kata-kata Pak Lurah yang menyatakan pimpinan desa ini menutup-nutupi kejahatan.”
Candi berdiri diikuti Rio. Asromo gusar. Sesaat ia membiarkan Rio dan Candi meninggalkan ruang tamu. Sejenak Asromo tak tahu apa yang harus dilakukannya.
”Sebentar!” seru Pak Lurah. Rio dan Candi menoleh. ”Kalian tunggu saya di kantor. Lima menit lagi saya menyusul,” kata Pak Lurah kemudian.
Candi dan Rio melangkah menuju ke kantor lurah. Penjaga kantor tergopoh-gopoh membuka pintu kantor. Matahari perlahan muncul. Redup berganti terang. Rio mengais embun di dedaunan di depan kantor desa dan membasuhkan ke wajahnya.
Begitu sampai di kantor desa, Asromo mengisyaratkan agar Candi dan Rio masuk kantor pribadi Asromo. Sebelum masuk ruang kantor, Asromo menyapukan pandangan berkeliling untuk memastikan tak ada orang lain di sekitar kantor, kecuali penjaga kantor yang kini tengah menyapu halaman.
Sembari menempati kursinya, Asromo mengeluarkan secarik amplop dari saku baju batiknya. Amplop itu tidak biasa. Terlihat kertasnya bagus, dengan print huruf cetak di bagian depan, dan berperangko luar negeri.
”Sehari sebelum Mbah Parto dianiaya orang, saya terima surat ini lewat pos,” berhati-hati Asromo bicara, dan berhati-hati pula ia mengangsurkan sepucuk amplop surat. Amplop itu berperangko Belanda. ”Bacalah!” kata Asromo.
Rio memberi tanda agar Candi membuka surat itu. Candi melepas carik kertas dari amplopnya. Surat itu ditulis dalam bahasa Inggris, ditandatangani oleh seorang Belanda.
Tak sabar Rio menanti Candi menuntaskan membaca surat. Candi menutup kembali surat itu setelah membaca, dan menoleh Rio. ”Ini surat dari Yayasan Kristoff von Weissernborn di Leiden, Belanda. Yayasan ini berencana akan menghibahkan uang 50.000 euro untuk Parto Sumartono,“ ucap Candi.
“Lima puluh ribu euro?“ mulut Rio menganga.
“Jumlah yang cukup besar,“ sela Asromo.
“Sekitar tujuh ratus lima puluh juta rupiah,“ sambung Rio, menghitung dengan kurs 1 euro sama dengan 15.000 rupiah.
”Uang hibah ini akan cair dengan syarat Parto Sumartono bisa menunjukkan ’bukti’ tertentu. Untuk itu, tak lama lagi Yayasan Kristoff von Weissernborn akan mengirimkan utusan untuk meneliti ’bukti’ itu. Kalau bukti itu benar, uang hibah akan segera diterima Si Mbah,” kata Candi melanjutkan isi surat.
”Ya, siapa yang punya bukti itu, dialah yang bakal terima uang hibah itu,” kata Asromo.
”Kira-kira, bukti apa itu, Pak Lurah?” tanya Rio.
Asromo mendesah. ”Saya sendiri tidak tahu. Tapi bisa jadi itu adalah dokumen atau benda lain yang dulu pernah disepakati oleh von Weissernborn dan Parto Sumartono sebagai tanda pernah bekerjasama. Hanya Si Mbah yang tahu bukti itu,” kata Asromo.
”Tapi alasan apa yayasan itu perlu melacak bukti terlebih dahulu. Apa mereka tak percaya pada Si Mbah?” Rio menyampaikan pertanyaan yang sejak tadi ingin disampaikannya.
”Boleh jadi,” sela Candi, ”karena yayasan bertindak hati-hati. Maksud saya, mereka tak akan percaya begitu saja pada orang-orang yang dihubungi. Ingat, von Weisserborn sendiri wafat pada tahun 1982.”
”Sekarang aku mulai mengerti,” ujar Rio. ”Bukti itu yang dicari pengeroyok Si Mbah. Masalahnya, bagaimana bajingan-bajingan itu tahu?”
”Selain Pak Lurah,” sela Candi, ”siapa lagi yang tahu isi surat itu?”
Asromo menggeleng. ”Hanya saya yang tahu. Saya sendiri heran bagaimana isi surat ini tercium orang lain,”
”Di mana Pak Lurah menyimpannya?” tanya Rio.
”Pada hari pertama, saya simpan di tempat tersembunyi di laci kerja saja. Laci saya kunci. Kuncinya saya kantongi terus. Baru pada hari kedua surat itu saya simpan di lemari pribadi di rumah saya, di tempat yang tersembunyi. Bahkan Bu Lurah juga tidak tahu surat ini,” ujar Asromo.
”Maaf kalau saya lancang. Surat ini kan ditulis dalam bahasa Inggris. Maaf, bagaimana Bapak bisa faham isi surat ini. Bapak bisa bahasa Inggris?”
”Saya mencoba membaca sebisanya, pakai kamus. Lumayan berhasil, buktinya yang Dik Candi katakan tadi soal isi surat ini benar seperti dugaan saya, walaupun saya hanya baca kata-katanya lewat kamus,” jelas Asromo.
”Baiklah, ini lain soal. Barangkali Pak Lurah tahu kenapa kami mendapat surat ancaman itu?” tanya Candi.
Asromo tak lekas menjawab. Ia menyeka dahi dengan telapak tangan. Lama ia mengurut-urut dahinya sendiri. ”Terus terang,” kata Asromo, ”saya yang perintahkan staf saya memata-matai kalian. Saya curiga kenapa kamu, Candi dan rambut jagung itu bisa hadir hampir bersamaan saat adanya surat ini. Tapi soal ancaman itu, saya tidak tahu. Saya berani angkat sumpah saya tidak tahu menahu soal ancaman itu. Sekarang saya malah balik percaya ada kelompok tertentu yang ingin main kayu menguasai uang hibah itu. Jika utusan dari yayasan Belanda datang, bajingan-bajingan itulah yang akan mengaku punya bukti itu,” gigi Asromo bergeletuk.
Candi dan Rio berpandangan. Rupanya, kecurigaan mereka pada Pak Lurah selama ini tidak terbukti. Asromo, sejauh ini, tampaknya bukan dalang di balik pembokongan Si Mbah. Lalu siapa?
”Baiklah, Pak Lurah,” Candi bicara, ”Kami hargai keterbukaan Pak Lurah. Kami kepalang basah. Atas ijin Pak Lurah, kami ingin bantu mengusut sampai tuntas masalah desa ini. Kami tak punya tujuan buruk. Kami hanya ingin membantu agar uang hibah itu sampai ke tangan yang berhak menerimanya.”
Pak Lurah mengangguk-anggukkan kepala, bahkan sebelum Candi tuntas bicara. ”Baiklah, adik-adik,” kata Asromo perlahan, ”Sebetulnya sejak awal saya senang kalian berada di desa ini. Saya merasa mendapat dukungan. Sejak peristiwa penganiayaan Si Mbah, saya kehilangan kepercayaan pada staf saya. Saya curiga salah satu di antara mereka adalah kaki-tangan kelompok misterius ini,” mata Asromo menarawang jauh. ”Saya berharap persoalan tuntas sebelum utusan yayasan itu datang di Kemiren. Dan saya minta bantuan serta dukungan kalian.”
Candi dan Rio mengangguk. Mereka bisa dengan mudah membaca ketulusan Asromo lewat matanya. Kini, untuk sementara Asromo lebih tampak sebagai lelaki tua yang bijaksana, pengertian dan perlu bantuan. Rio dan Candi berharap agar ini bukan merupakan taktik lain Pak Lurah untuk menyingkirkan mereke. Mudah-mudahan Asromo tidak berubah lagi.
Melenggang dari kantor desa, Rio menyikut Candi. ”Kau tadi bilang siap membantu Pak Lurah mengusut sampai tuntas misteri ini. Memang kita bisa?” tanya Rio.
Candi menyeka hidung. ”Memang kita bisa?” ulang Candi. ”Entah ya! Kayaknya sih nggak bakal gampang. Kita pikir nantilah!” katanya.

***

Rio dan Candi berjalan balik ke rumah Si Mbah. Di sepanjang jalan, kedua anak muda ini menjadi sumber tatapan yang tiada habisnya. Entah apa yang diperbincangkan orang-orang itu. Mereka sempat memesan tiga bungkus nasi pecel pada seorang perempuan penjual pecel keliling, lengkap dengan rempeyek kacang.
Ketika sampai di rumah Si Mbah, beberapa orang Hansip masih berjaga, dan beberapa orang lain yang tanya ini-itu ingin tahu kejadian dini hari tadi. Rio tak menemukan Danica di kamarnya. Ia mendapati secarik kertas pesan dari Danica di atas meja. Danica ternyata harus ke kota kabupaten untuk membeli menukar uang. Dia bilang di pesannya dia akan balik sore nanti.
Sebungkus nasi pecel yang tadinya disediakan buat Danica langsung disantap sendiri oleh Rio. Rempeyeknya dikunyah Candi.
Candi kemudian balik ke rumah Bu Parmi untuk membersihkan diri. Pak Mantri baru saja pulang dari rumah Si Mbah. Ia bilang Si Mbah baik-baik saja. Istri Sujarno masih menjagai Si Mbah. Kata istri Sujarno, Sujarno sendiri pagi tadi sudah berangkat ke kota kecamatan. Pada hari Senin dan Rabu, Sujarno mengajar pelajaran Bahasa Inggris dan ketrampilan di satu SMP swasta di kota kecamatan.
Rio menebar pandangan ke seantero ruang museum Si Mbah yang berukuran 7 x 8 meter itu. Foto Si Mbah semasa muda bersama von Weissernborn yang dipajang di atas pintu ruang tengah nyaris tak dapat dilihat dengan jelas; kekuning-kuningan dan kertasnya rontok. Kayu pinggiran pigoranya pun merapuh.
Pandangan Rio kini menebar ke arah benda-benda koleksi purbakala Si Mbah. Adakah barang-barang ini yang bisa disebut sebagai bukti itu? Apakah bukti itu satu dari onggokan barang-barang ini? Apa wujud bukti itu? Bongkahan batu? Sehelai foto? Poster-poster tua kusam yang bergelantungan dengan pigora seadanya? Di manakah bukti itu disimpan Si Mbah? Apakah disimpan di rumah ini? Atau sudah diamankan oleh Sujarno barangkali?
Rio kemudian melangkah ke bale-bale bambu di depan rumah dan merebahkan diri dan terpejam sesaat.

***

Candi mengamati Bu Parmi yang sibuk membersihkan kamar dan membuang jauh-jauh bantal dan guling yang sudah tercabik-cabik. Bu Parmi memerciki seluruh ruangan dengan air kembang dan berkomat-kamit dengan suara yang sama sekali tak dipahami oleh Candi. Kata Bu Parmi, ini adalah cara menghindarkan diri dari mara bahya.
”Nak Candi sudah terhindar dari malapetaka. Doa dan percikan bunga ini akan menghindarkan nak candi dari dari malapetaka lain,” ujar Bu Parmi ketika ia bertanya kenapa Bu Parmi melakukan ritual itu.
Candi tersenyum, ”Dengan doa Bu Parmi, saya akan selalu terhindar dari mara bahaya,”
”Ya, tapi nak Candi harus tetap waspada. Bahaya itu ada terus kalau orang tidak waspada,” ujar Bu Parmi.
”Terimakasih, Bu. Saya akan ingat itu terus,” kata Candi, meraih handuk dan pergi ke kamar mandi.
Ketika ia selesai berpakaian, Rio sudah berada di pintu belakang Bu Parmi. Sudah pula bersih dan segar. ”Banyak orang di sekitar sini. Aku bosan ditanya-tanya soal kejadian dini hari tadi. Kita perlu menjauh beberapa saat dari rumah Si Mbah pagi ini. Enaknya kemana?” tanya Rio.
”Aku mau kembali ke rencanaku yang belum tuntas : jalan-jalan, memotret, dan menyelidik,” kata Candi.
”Tidak takut akan adanya serangan kedua?” tanya Rio.
”Aku tidak takut, mau serangan kedua, ketiga, keempat. Kita waspada saja, demikian pesan Bu Parmi,” tutur Candi.
”Siplah. Aku juga pingin jalan. Mau jalan ke mana?” kata Rio.
”Selagi masih bisa, aku mau tengok bekas lokasi penggalian. Letaknya di pinggiran Kali Randu,” Candi mengencangkan tali sepatu.
”Dadamu baik-baik saja?” tanya Rio.
”Nggak ada masalah. Obat dari Bu Parmi cespleng,” kata Candi. Ringan ia melangkah mendahului Rio. Makin kagum Rio pada gadis muda enerjik dan tak kenal takut ini.
Tapi benarkah mereka tak perlu takut? Sepertinya tidak seluruhnya benar. Mereka sebenarnya harus lebih dari sekadar waspada, setidaknya memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan aksi lanjutan kelompok penjahat itu.
Gerakan orang-orang jahat itu pasti tak akan lama lagi terulang.

***

Kali Randu ternyata tidak dekat, sekitar 3 kilometer dari pusat desa. Kali Randu adalah salah satu dusun yang terletak di pinggiran selatan desa Kemiren, menghadap ke sebuah bukit paling tinggi di Kemiren. Dari pusat desa, orang biasanya naik ojek untuk menuju ke Kali Randu.
Tak sulit mencari jalan ke Kali Randu, sebab satu-satunya jalan berbatuan ke arah selatan itu langsung menuju cabang jalan yang berupa jalan setapak, satu kilometer lagi ke Kali Randu.
Memasuki jalan setapak, kesunyian benar-benar lengkap. Yang terlihat hanya ladang-ladang miring kering kerontang. Tak banyak tanaman di ladang. Para peladang, pada musim kemarau seperti ini lebih suka bekerja di rumah mengukir barang keajinan atau menggali batuan di lokasi penggalian lain di hilir Kali Randu.
”Lihat, segugus pepohonan kaliandra di bawah sana. Aku suka melihatnya,” tunjuk Candi. ”Dan di bawah sananya lagi,” Candi menunjuk dengan sebatang ranting kering, ”adalah lokasi galian. Kamu lihat beberapa potong bambu malang melintang di sana?”
”Ya, bambu-bambu itu untuk menahan terpal atau kain pelindung sinar matahari bagi penggali,” kata Rio, menyapukan pandangan berkeliling. Cukup elok pemandangan di sini. Kemilau air dari Kali Randu yang nyaris surut terlihat dari jauh. Kelok-kelok sungai lebih diwarnai batuan besar-besar yang mencuat dari permukaan air yang sangat dangkal.
”Jalan ini pasti menuju ke lokasi galian,” Candi menunjuk sebuah jalan setapak menurun di dekatnya. Ia meloncat ringan ke jalan itu dan mulai menyusuri. Di kanan kiri jalan setapak, pohon-pohon kecil berjajar meneduhi jalan. Rio menyusul Candi berjalan di jalan setapak itu. Tapi langkah Candi sekonyong-konyong berhenti. Soerang lelaki, entah muncul dari mana, tiba-tiba menghadang mereka. Berkacak pinggang ia menghalangi langkah Rio dan Candi. Lelaki itu kumisnya melintang, berkulit hitam dan berwajah jebah.
Candi terhenyak. Ia ingat betul siapa lelaki itu. Bulu kuduk Candi merinding. Itu laki-laki yang hampir membunuhnya dini hari tadi.
”Mau apa?” Rio melewati Candi dan berdiri di hadapan laki-laki itu. Jelas terlihat Rio lebih tinggi dan tegap. Orang itu tak menjawab. Mukanya beringas mirip macam lapar yang siap mencaplok musuh.
Candi mundur beberapa langkah. Agak sulit gerakan mundur itu karena jalanan di belakangnya yang miring ke atas. Rio mencium gelagat yang kurang baik. Ia mengisyaratkan agar Candi pergi menjauh. Tapi, belum sempat Candi bergerak, tiba-tiba muncul satu orang lagi dari arah semak-semak. Orang ini berwajah tak kalah bengis dari wajah di jebah. Jelas orang ini sekongkol si jebah.
Candi hendak bergerak menjauh ketika tiba-tiba kedua tangan si jebah mendekap Candi dari belakang. Candi meronta-ronta. Tapi dekapan itu terlalu kuat.
”Lepaskan! Lepaskan dia!” Rio, mencoba memecah dekapan itu. Tapi sigap teman si jebah menarik kerah jaket Rio dari belakang dan membuat Rio nyaris terjengkang.
”Kalian ini siapa?” protes Rio atas perlakuan kasar itu, sambil berusaha melepaskan dekapan teman si jebah.
”Jangan banyak mulut. Kami orang-orang yang tak suka kehadiranmu di desa ini,” tutur teman di jebah, yang bercelana panjang longgar itu.
Candi masih meronta-ronta mencoba melepaskan dekapan si jebah yang makin erat. Rio mundur beberapa langkah saat si celana longgar merangsek maju dengan gumam-gumam bahasa Jawa yang tidak difahami Rio. Pada saat mundur itu, cepat Rio membuat suatu keputusan. Ia mempergunakan kepalan tangan kanan untuk memukul tengkuk si jebah dari belakang. Si jebah terkejut. Dekapannya pada Candi merenggang karena secara refleks si jebah ingin membalas serangan Rio.
Rio mendengar si jebah meracau. Si celana longgar memberi isyarat si jebah dengan gerakan tangan melintas leher, yang mungkin artinya adalah ’habisi gadis itu segera’. Si jebah menjawab dengan racauan tidak jelas. Tahulah Rio si jebah itu bisu. Sebelum sempat si jebah mengencangkan dekapannya, Candi mempergunakan kaki kanannya untuk menjejak lutu di jebah dari depan. Si jebah terlolong kesakitan. Dekapan terlepas.
”Lari, Can! Lari! Berpencar!” teriak Rio.
Mereka lari sekuat tenaga menyingkir. Si jebah mengejarnya dan si celana longgar mencoba menerkam Rio agar tak kehilangan buruannya yang mulai lari ke arah lain. Rio bergerak lebih cepat. Terkaman si celana longgar menangkap angin. Secepat kilat ia mengejar Rio yang melesat ke arah semak-semak. Si celana longgar kalah beberapa tapak di belakang.
Candi berusaha menggerakkan kaki sekuat tenaga. Meski bertubuh pejal, si jebah ternyata pandai berlari kencang. Namun sekencang-kecangnya ia berlari, gadis yang berlari hanya beberapa depa itu tak kunjung terjamah.
”Oke, jebah, kejar terus. Lihat apa kau bisa menandingi cewek kota yang rajin jogging sejam sehari,” teriak Candi, meliuk-liuk di antara pepohonan, akar-akar melintang dan perdu-perdu liar.
Si jebah mulai tersengal-sengal, tapi Candi malah enak saja meloncat ke kanan dan kiri. Kadang ia cuma berputar-putar di sekeliling beberapa pohon dan gundukan bersemak, kadang berlari lurus dan belok tiba-tiba, membuat si jebah nyelonong mengejar angin.
Dan ini membuat si jebah jengkel. Ia mencari-cari potongan kayu di rerumputan dan berhasil menemukan selonjor kayu sepanjang satu setengah meter, sebesar pentungan Hansip. Dengan kayu di tangan, si jebah memutar otak. Dia tak akan bisa terus-terusan adu cepat dengan gadis yang punya simpanan nafas panjang ini. Kini si jebah punya taktik; setiap kali ia tertinggal jauh, ia menggunakan kelihaiannya memintas jalan dengan cara melompat. Untuk urusan melompat, ternyata di jebah mahir juga.
Candi tak tahu ke mana ia berlari. Ia hanya berlari dan menghindar meski tas pinggang dan kamera yang digayutkan di leher cukup mengganggu larinya. Jalanan setapak sudah jauh tertinggal di belakang, dan sepanjang pengetahuan Candi jalanan yang ia tempuh untuk adu lari itu menurun terus.
Si jebah makin jengkel. Sudah beberapa kali lompatan dan kibasan kayu pentungan, tetap saja ia menghantam angin. Saat ini si jebah punya posisi yang bagus untuk meloncat. Ia berada pada sebuah gundukan, dan Candi beberapa meter di bawahnya. Ia menggenjotkan kakinya dengan pentungan terpegang di kedua tangan; meloncat dengan gerakan siap menghantam gadis di dataran di bawahnya.
Candi berhenti sesaat dan sadar si jebah sedang meloncat bak terbang ke arahnya dengan kayu pentungan siap hantam. Tak akan ada kesempatan bagi Candi kecuali merunduk. Candi merunduk dan ajaib, tanah tempatnya berpijak tiba-tiba bergerak turun persis ketika si jebah mendarat tak jauh dengan pentungan melesat ke arah kepala Candi. Lagi-lagi si jebah menghantam angin dan tubuhnya bergulung di rerumputan karena ternyata satu kaki si jebah mendarat di akar melintang, terpeleset dan terjatuh. Namun ia segera bangkit dan menerkam Candi.
”Sialan!” teriak Candi. Tiba-tiba ia sulit bergerak karena tanah di kakinya terus bergerak turun serasa tak kuat menahan berat tubuhnya. Ia tahu si jebah berhasil meraih kerah kemeja denimnya. Candi merasa kali ini ia tak berkutik.
Namun ajaibnya, tapi tiba-tiba saja cengkeram si jebah pada kerahnya tak lagi punya kekuatan. Itu karena tubuh Candi melorot terus ke bawah mengikuti gerak turun tanah.
Cengkeraman itu akhirnya terlepas. Si jebah heran bagaimana mungkin ia bisa kehilangan cengkeraman itu. Heran pula ia melihat tanah tempat Candi berpijak menjadi berlubang dan gadis buruannya itu melesak tersedot ke bawah. Si jebah melongok ke lubang itu dan dia jadi bergidik dan tak melihat apa-apa selain lubang berbau apek.
Jurang itu memang merupakan salah satu dari sekian tempat di Kemiren yang tak pernah diperhatikan dan dikunjungi orang dan ketika si jebah melihat berkeliling, sadarlah ia kini sedang berada di sebuah tebing yang curam. Pemandangan jauh ke bawah memampangkan hamparan lembah kering yang pada musim hujan merupakan bagian aliran sungai Kali Randu.
Lama si jebah memperhatikan seputarnya sembari mencari pegangan, takut kalau ia pun terseret ke longsoran curam. Setelah yakin ia tak lagi mungkin melihat gadis itu, si jebah perlahan naik ke dataran lebih tinggi. Tugasnya telah selesai. Gadis itu pasti terperosok jurang dan bisa dipastikan kepalanya terantuk bebatuan di bawah sana. Ia pasti tewas dan tak seorang pun akan tahu.

***

Rio tak mampu lagi berlari lebih cepat. Dadanya seperti mau meledak. Si celana longgar ini bukan lawan sebanding untuk adu lari. Setelah hampir tiga perempat kilometer ia mencoba menghindar dari sergapan si celana longgar, ia lunglai. Dengan mudah si celana longgar melingkarkan lengannya yang kekar ke leher Rio dari belakang dan mengunci lehernya. Panik Rio menahan kuncian yang makin rapat itu, dan bukan hal yang gampang menggerakkan tangan dengan nafas tersengal-sengal seperti itu.
”Kamu harus modar!” teriak orang itu, juga tersengal-sengal.
Rio mencoba bertahan dan mengatur posisi kaki untuk menendang ke belakang. Tapi agaknya si celana longgar mampu membaca gerakannya. Si celana longgar menggunakan lututnya untuk mendorong punggung Rio dan melumpuhkan pemuda itu. Rio tak berkutik. Ia hanya bisa menantikan musuh memuntir lehernya. Kalau masih bisa selamat, Rio yakin ia akan bangun di rumah sakit dengan leher tersangga, pikirnya.
Tapi puntiran leher itu tidak juga terjadi. Pada saat Rio berusaha mati-matian memompa udara di antara tangan musuh yang terhimpit ke lehernya, sekonyong-konyong ia mendengar suara langkah seseorang melintas tak jauh.
”Ladhalah. Apa pula yang kau lakukan itu? Menyerang pemuda yang tidak berdaya!” terdengar suara orang itu.
Serta merta cekikan si celana longgar mereda. Si celana loggar bahkan melepaskan Rio dan berdiri takut di hadapan orang itu. Rio bangkit dan mengusap lehernya yang serasa mau putus. Seorang tua pejalan kaki berpakaian batik necis lengan panjang berdiri tak jauh di hadapannya. Semua rambutnya putih uban dan ia bertongkat kayu pelituran dengan ujung melengkung. Orangtua kurus berkacamata itu memandangi si celana longgar dengan geram.
”Pergilah kau sebelum aku melaporkan kelakuanmu ini pada pihak yang berwajib,” tenang sekali orangtua itu menuding si celana longgar dengan tongkatnya.
Tanpa suara si celana longgar berbalik dan pergi begitu saja, mendengus pun tidak. Kelihatan ia segan sekali pada orangtua itu.
”Anak tampaknya bukan orang sini?” orang tua itu berkata pada Rio yang sedang menepuk-nepuk jaketnya dari debu.
”Saya Rio, mahasiswa yang sedang bertamu di rumah Si Mbah Parto Sumartono. Terimakasih Bapak telah menolong saya. Kalau tidak ada Bapak, saya pasti tewas dicekik orang itu,” kata Rio.
Orangtua itu memperhatikan Rio baik-baik. ”Oh, ya, saya dengar ada tiga tamu desa. Kau, wartawan perempuan dan seorang rambut jagung,” ujar orangtua itu. ”Nama saya Kuntoro. Saya penduduk desa ini. Saya kebetulan baru tadi pagi tiba di desa ini. Selama seminggu saya tetirah di rumah cucu di Jogja. Saya dengar Si Mbah dicederai orang, dan tadi malam Saidun tertusuk belati?” kata orangtua itu.
”Betul, Pak!” tukas Rio.
”Kok macam-macam saja kejadian jaman sekarang,” Kuntoro melepas kacamata dan menyimpannya di saku baju batik. ”Bagaimana ceritanya kau bertemu orang jahat itu?”
”Tadinya saya sedang jalan-jalan dengan Candi, teman wartawati itu di jalan setapak di bawah sana. Tiba-tiba dua orang menghadang kami. Yang satu mengejar Candi dan yang Bapak lihat tadi mengejar saya. Oh, astaga! Candi!” Rio mendelik. Ia ingat Candi masih belum jelas kabarnya.
”Maaf, Pak. Sekali lagi terimakasih bantuannya. Saya harus mencari Candi. Ia dalam bahaya,” Rio melesat kembali ke jalan setapak beberapa ratus meter di bawah sana.
Kuntoro menggeleng-gelengkan kepala. Ia kemudian berjalan perlahan dengan bantuan tongkatnya, kembali menikmati suasana perbukitan.

***

Rio berlari kencang kembali ke jalan setapak tempat mereka dihadang, dan menebak ke arah mana Candi lari tadi. Tapi tak mudah mengenali sejumlah jalan setapak diantaras emak-semak yang tak pernah ia kenali. Ia mencoba mengingat-ingat dan meneliti perdu-perdu di sekitar jalan setapak itu. Tapi rumput kering dan perdu-perdu itu tak bisa memberinya petunjuk.
Apa yang terjadi pada Candi? Rio berteriak-teriak keras memanggil nama Candi. Tapi tak ada jawaban. Hutan berperdu liar itu demikian sunyi, terlalu sepi.
Rio terus berjalan tanpa tujuan yang jelas sampai tiba si sebuah jalan setapak yang lebih lebar dengan jajaran pohon kaliandra di kanan dan kiri. Jajaran pohon itulah yang tadi tampak dari atas sana. Pohon-pohon itu rapat mengurung jalan setapak sehingga kalau orang melintas jalan setapak itu, ia seperti tengah berjalan di sebuah lorong berdinding kaliandra. Sunyi tapi indah.
Rio perlu duduk sebentar. Ia baru menyadari ada tetesan darah segar di bajunya. Baru ia ketahui lehernya tersayat ranting pohon manakala ia berduel dengan si celana longgar tadi. Ia memlilih sebuah teduhan di bawah pohon kaliandra dan menyeka lehenya. Tenggorokan kering dan panas. Kakinya pegal akibat dipaksa lari.
Tanpa sadar ia rebah dan memejamkan mata di rerimbunan pohon kaliandra yang cabang-cabangnya berjuntai hampir menyentuh tanah. Istirahat sedikit mungkin bisa memulihkan kesegaran dan akalnya.
Rio tersentak tatkala ia mendengar bunyi gesekan kaki melintas dedaunan tak jauh dari jalan setapak itu. Ada orang! Sekilas Rio menangkap harum rempah. Ketika ia membuka mata dan terduduk, seutas suara menyapa.
”Lho, Dik Rio? Kok tiduran di sini?” Bu Lurah sudah bersimpuh persis di hadapannya, memperhatikan.
”Bu Lurah?” ujar Rio heran.
”Dik Rio sakit?” tanya Bu Lurah.
”S-saya…” Rio menyeka lehernya yang berdarah.
”Astaga. Itu ada darah di leher. Dik Rio jatuh, ya?” Bu Lurah memperhatikan leher Rio lebih dekat. Harum rempah tubuh Bu Lurah menyundut hidung Rio. Terlalu dekat wajah perempuan matang itu ke wajahnya.
Bu Lurah membuka tas plastik yang tergolek di sampingnya. ”Kok bisa begini, Dik Rio?” Bu Lurah mengambil sebotol air dari tas plastik. ”Ini, minum dulu!”
Rio meraih botol itu dan meneguk airnya. ”Bu Lurah dari mana?” tanya Rio setelah puas minum.
”Dari rumah kakaknya Marni, pembantu rumah itu. Kakak si Marni baru melahirkan. saya barusan menjenguknya dan ambil bibit bunga di rumah kakak Marni,” Bu Lurah menunjukkan gumpalan-gumpalan tanah dengan bibit-bibit tanaman kecil di tengahnya.
”Lukamu itu harus dibersihkan, biar tidak infeksi,” kata Bu Lurah. Ia mengais sehelai saputangan yang ia simpan di antara dua gundukan dada. Lumayan besar juga gundukan dada itu, juga kelihatan padat sekali.
Saputangan itu kemudian dibasahi dengan air minum. Tanpa banyak bicara Bu Lurah menyeka leher Rio dengan saputangan basah. Sapuan itu lembut dan beraroma rempah yang menebar dari saputangan Bu Lurah.
”Jatuh di mana, Dik Rio?” tanya Bu Lurah lembut, selembut sekaan di leher yang seperti tak berkesudahan itu, dengan tatap mata yang tak pernah luput ke mata Rio.
”Tak jauh dari sini. Saya tersandung akar-akar liar,” Rio berbohong. Dibiarkannya sekaan di leher itu terus berlangsung. Rio amat menikmati sekaan segar itu. Ia juga suka menatap bibir Bu Lurah yang maju mundur dan sesekali dekat benar dengan pipinya. Tetes keringat yang mengalir di kening dan kuduk Bu Lurah juga tampak indah.
Ketika sekaan itu selesai, Bu Lurah melipat kembali saputangan dan menaruhnya di pangkuan. Rio mengikuti gerakan saputangan itu sampai ke pangkuan Bu Lurah. Bentuk tubuh Bu Lurah amat elok dalam posisi bersimpuh seperti itu, dalam balutan setelan kebaya dengan kain bawahan batik bermotif parangtritis. Rio juga tidak menyia-nyiakan tatapan Bu Lurah yang tak pernah terputus ke matanya yang dilengkapi dengan sungging senyum kecil yang membuat bibir Bu Lurah penuh gerakan magis yang menawan.
Tiba-tiba Bu Lurah merasa belum selesai dengan sekaan lehernya. Dengan telapak tangan, ia mengusap leher Rio. ”Sudah bersih, sekarang. Nanti tinggal olesi obat merah,” tertahan nafas Bu Lurah, suaranya menjadi lirih. Telapaknya tetap mengusap leher Rio.
Rio amat menikmati ini. Telapak tangan itu menyalurkan getar hangat, apalagi ketika telapak Bu Lurah mulai bergerak ke pipinya. Rio tahu persis usapan di pipi bukan bagian dari pembersihan luka di leher. Tapi ia suka sekali itu dan membiarkan telapak itu yang ibu jarinya mulai sesekali mengusap ujung-ujung bibir Rio.
Telapak tangan itu makin membawa bara. Tanpa sadar Rio menggerakkan tangannya sendiri dan meraba tangan Bu Lurah. Entah bagaimana caranya tiba-tiba tangan Bu Lurah yang tadi di seputaran pipi Rio kini beralih ke bagian kepala Rio dan menarik kepala itu mendekat ke kepalanya sendiri.
”Dik Rio,” desah Bu Lurah, dekat sekali bibir wanita itu ke bibirnya. Di mata Rio, bibir itu seperti telaga, seperti warna-warni bunga, sesejuk embun pagi.
”Bu Lurah,” Rio mengikuti helaan tangan di kepalanya. Dia mendongkak, nafsu birahinya seperti meledak keluar. Dadanya berdegub kencang.
Bu Lurah memejamkan mata, menampakkan bulu mata yang lentik. Rio terhenti sesaat. Namun agaknya Bu Lurah mengira Rio terlalu mengulur-ulur waktu. Ia tarik kepala Rio dan ia desakkan bibirnya ke bibir pemuda itu. Rio tak kuasa untuk menolak, ia balas ciuman itu. Hangat. Harum. Indah.
Lidah Bu Lurah menari-nari di bibirnya dan sesekali menantang lidah Rio untuk beradu. Satu menit keadaan itu bertahan, sampai akhirnya Bu Lurah bergeser merapat. Sekarang dia berada di pangkuan Rio.
“Dik Rio,” kata Bu Lurah sambil mendesah. “Berikan aku kenikmatan yang selama ini aku rindukan!” rengeknya.
“B-bu...” belum selesai Rio menjawab, bibir Bu Lurah yang liar kembali mengoyak bibirnya yang masih tertegun dengan apa yang sedang terjadi.
Jari Bu Lurah yang lentik mulai mempreteli satu per satu kancing baju Rio, sambil bibirnya memagut bibir pemuda itu tiada henti. Batang Rio kontan terpicu, mulai memberontak, ingin lepas dari dinding cd yang membatasi. Ditambah goyangan pantat Bu Lurah di atas pangkuan, maka makin teganglah batang penis itu.
Rio terhanyut sehingga lupa jika saat itu mereka sedang berada di luar ruangan, tepat di tepi jalan desa! Tangannya bergerak bagaikan tak terkontrol, mulai ikut menggerayangi punggung mulus Bu Lurah. Sesekali jarinya juga menjarah ke buah dada, meremasnya dengan gemas, merasakan betapa kenyal dan empuknya benda bulat itu.
“Ssh... Dik Rio! Oohh...” desah Bu Lurah dengan wajah terbenam ke permukaan dada Rio. Tangannya meremas, menjambak rambut Rio yang sedikit gondrong. “Beri aku kenikmatan.” rintihnya.
Rio sudah tak sabar ingin melihat bongkahan daging di balik dada Bu Lurah. Dengan mudah ia melepas kebaya perempuan itu, juga kaitan behanya, dan alamak... sepasang bongkahan daging besar milik Bu Lurah langsung terpampang jelas di depan mata. Terlihat begitu besar dan menantang, dengan kedua puting berwarna merah kecokelat. Tanpa dikomando, Rio menyentuh permukaannya yang halus dan mulus dengan menggunakan bibir.
“Uggh... Dik Rio! Terus... ughh!!” Tubuh Bu Lurah menggeliat saat lidah Rio mulai bekerja menjilati putingnya.
Geliatan tubuh itu membuat Rio semakin berani dalam mengoyak. Selain meremas, puting Bu Lurah yang sudah mengeras juga ia hisap dalam-dalam. Lidahnya dengan liar menjilat, mengulum, dan sesekali menggigit-gigit ringan. Keadaan Bu Lurah yang setengah bugil membuatnya jadi sangat bernafsu sekali.
Bu Lurah membalas dengan buru-buru menelanjangi. Ia lorotkan celana panjang pemuda itu, lalu lekas menunduk, tak sabar untuk mulai menyerang. Hanya sedikit membungkukkan tubuh, bibirnya sudah tepat berada di depan selangkangan Rio. Lidahnya yang panjang mulai menjilati permukan cd Rio yang sudah ditembus oleh cairan pre-cumnya.
“Aoow... Bu! G-geli...” desah Rio keenakan.
Bu Lurah memegangi erat pinggulnya, berharap Rio tidak kabur kemana-mana. Wajahnya kini benar-benar menempel di selangkangan pemuda itu. Jilatan lidahnya di permukaan cd Rio terbukti sanggup menghentak-hentakkan birahi si pemuda. Rio dengan gerakan tubuhnya yang sedikit kayang terlihat kian menggelinjang.
Bu Lurah tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Lekas ia lepas cd Rio untuk memudahkannya dalam beroperasi. Batang penis Rio langsung meloncat, terlihat sangat jelas. Benda itu berwarna cokelat kehitaman, ujungnya yang tumpul lengket oleh cairan lendir, dan ditumbuhi rambut-rambut keriting yang berombak rimbun, membuat birahi Bu Lurah spontan merasuk ke seluruh tubuh. Lidahnya yang sedari tadi ingin menikmati batang itu, langsung mendarat dengan cepat dan lugas.
“Ohh... Bu!” kembali Rio menggelinjang hebat. “Yah... terus! Jilat di situ! Oughh...” Sesekali tubuhnya terangkat, dengan kedua tangan digunakan menopang di atas tanah. Bokongnya bergoyang naik turun, ke kanan dan ke kiri, bergerak tidak beraturan mengiringi setiap jilatan Bu Lurah.
“Mmm...” Bu Lurah menghisap seluruh cairan yang mengalir dari ujung penis Rio. Dia menelannya rakus, sambil tangannya melesat-lesat mengelus paha, bokong, dan lubang anus si pemuda.
“Bu Lurah! A-ampun... mulut Ibu... arghhh nikmat!!” desah Rio berkali-kali. Sampai akhirnya Bu Lurah menangkup kedua bolanya yang sebesar telur puyuh.
Dengan lembut Bu Lurah memagut. Dia menyentuhkan lidahnya ke sana hingga membuat tubuh Rio jadi bergetar hebat. “Bu! A-aduh... saya nggak tahan! Uuuhh..” rintihnya berkali kali.
Penis Rio nampak semakin memerah karena hisapan Bu Lurah. Sudah tidak terhitung lagi berapa kali tubuh pemuda itu menggelinjang dan bergetar kuat.
“Terus, Bu! Terus! Ughhh...” Detik-detik orgasme sepertinya akan diraih oleh Rio. Bu Lurah tahu persis indikasi itu, terlihat dari posisi pantat Rio yang semakin tinggi dan tegang. Ia membantu dengan menahan tubuh pemuda itu menggunakan tangan.
“B-Bu! S-saya... aarghhhhmmshhh!!” Seiring rintihan panjang tersebut, tubuh Rio  mengejang. Cairan kental keluar dari lubang penisnya. Sangat banyak dan kental sekali. Berwarna putih pekat.
Bu Lurah tidak melewatkan barang setetes pun. Lidahnya terus berputar-putar di atas penis Rio, dihisapnya semua cairan itu, lalu dengan lahap ia telan tanpa ragu. Walaupun tahu kalau Rio sudah orgasme, Bu Lurah dengan nakal terus menggerakkan lidahnya. Ia cicipi ujung penis Rio yang terasa asin, atau sesekali menjepit kedua telurnya.
“Hhh... hhh...” Tubuh Rio terkulai lemas di atas tanah, kakinya masih terbuka lebar dan kepalanya terjuntai di bahu mulus Bu Lurah. Ia mencoba bangkit untuk duduk, dan saat itulah teringat kenapa dia berada di tempat ini.
”Astaga! Candi! Candi!’ Rio berdiri seketika, meninggalkan tubuh montok Bu Lurah yang terkaget-kaget.
Bu Lurah terperangah, mengusap bibir dengan lidahnya sendiri. ”Ada apa?” tanyanya gusar.
”Saya tadi bohong. Saya sebenarnya tidak jatuh. Saya dan Candi dihadang dua penjahat. Candi masih belum jelas kabarnya. Saya sendiri diselamatkan Pak Kuntoro.” Rio mengais celana dan memakainya kembali.
“Pak Kuntoro?” ulang Bu Lurah, kurang bersemangat.
”Ya, saya harus mencari Candi sekarang,” Rio melihat berkeliling. ”Maaf, saya harus pergi sekarang!”
”Dik Rio!” panggil Bu Lurah. Ia perlahan bangkit dari simpuhnya dan melihat Rio hilang di balik perdu-perdu liar, terhalang barisan Kaliandra. ”Dik Rio!” sekali lagi panggil Bu Lurah. Suaranya tertelan angin. Ia menggenggam celana dalam Rio yang tertinggal dengan wajah memerah.
Sejenak kemudian ia membenamkan celana basah itu ke wajahnya dan menciumi kain segitiga itu sepenuh hati, sepenuh raga, yang menambah rona merah di hidungnya. Ia kemudian meraba kemaluannya sendiri dan bibirnya bergerak dengan senyum kecil tertahan.
“Sabar ya. Lain kali, pasti penis Rio bisa masuk ke sini!”