Tampilkan postingan dengan label Wayang Sukawati. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Wayang Sukawati. Tampilkan semua postingan

Jumat, 14 Agustus 2015

Kedudukan Wayang Sapuleger dalam Seni Pertunjukan Upacara di Bali

Kedudukan Wayang Sapuleger dalam Seni Pertunjukan Upacara di Bali

Fungsi Pertunjukan Wayang Sapuleger Dalam Ruwatan yang dalam Masyarakat Bali disebut Nyapuleger.


Mpu Dalang (puppeteer) sebagai Perantara dalam Upacara Ruwatan Dalang (puppeleer) menurut Hinzler ada tiga macam yaitu ;
  1. Dalang karena keturunan,
  2. Dalang karena permohonan desa atau lewat perantara dan
  3. Dalang karena kemauan sendiri. 
Pada umumnya jenis Dalang yang pertama dan ketiga lebih dominan dalam tradisi pedalangan di Bali. seorang Dalang adalan orang yang telah ditasbih (didiksa), sehingga berhak menyelesaikan suatu rangkaian upacara keagamaan di Bali seperti nglukat dan sebagainya oleh karena itu beliau bergelar Mpu dalang atau mangku dalang. I Made Bandem mengatakan seorang dalang sebelum boleh melaksanakan pementasan, ia diwajibkan untuk menyucikan diri baik secara lahir maupun bathin dengan cara yang disebut “mawinten”. Upacara ini dilakukan dihadapan masyarakat dan biasanya dilaksanakan di sebuah pura kahyangan tiga yang berada di desa dimana dalang itu dilahirkan (1993:172). Dalang  juga melakukan upacara “masakapan” (pernikahan) dengan wayang dan semua perlengkapannya yang dapat menumbuhkan jiwa kesatuan antara dalang dengan wayangnya ltulah sebabnya pertunjukan wayang dianggap pertunjukan “Utameng Lungguh” atau mempunyai kedudukan tertinggi/terhormat (dalam Rota,I996:57).


Menurut Lontar Dharma Pawayangan yaitu sebuah lontar yang berisi tentang aturan-aturan bagi seorang dalang khususnya di Bali, menyebutkan syarat-syarat menjadi seorang dalang yaitu :
  1. Menguasai “Dharma pawayangan” secara benar dan mantap
  2. Menguasai cerita dan lakon untuk menyusun plot atau alur
  3. Pandai bercerita; menguasai bahasa Kawi dan bahasa Bali untuk menyusun dialog dan menolog
  4. Mampu memberikan perwatakan wayang melalui dialog, menyuslun suara yang tepat pada masing-masing tokoh
  5. Pandai membuat “tetikesan” atau sikap wayang (gerak tarian)
  6. Menguasai musik iringan dan lagu-lagu penwayangan
  7. Seorang dalang juga harus mampu memainkan tabuh gamelan
  8. Mampu “mekakawin”/melapalkan bait-bait tertentu
  9. Mampu memainkan “capala" yang baik sebagai ritme
  10. Menguasai ilmu kebathinan untuk menangkal kekuatan magis
  11. Mampu membuat dinamika dalam pertunjukan wayang, seperti sedih, gembira, lucu, horor dan sebagainya. Dengan demikian seorang dalang akan mampu menghidupkan peran-peran yang terdapat dalam pertunjukan (Sugriwa, 1976:39; Bandem, 1993:172).
Seorang dalang tidak hanya cukup dalam pengusaan teknis, tetapi yang paling penting adalah telah menguasai secara lahir-bathin dharma pewayangan itu sendiri. Untuk memperjelas uraian ini kita lihat kutipan berikut :
"Ah ah Amangku dalang, dadi kita angringgit, siapa kita nugraha ?, weruh kita ring Dharma pewayangan? Yan tan kita weruh, ku tadah kita mangke!
“Singgih Pauka Bhatara Kala, nimitani hulun wani angringgit, sakeng panugrahan I Sang Hyang lcwara. Weruh hulun ring Dharma pewayangan (I Gde Soerya, 1941 ;7).
Artinya:
“Hai .. Mangku Dalang, jadi kamu berani mempertunjukan wayang, siapa yang memberi restu (nugraha), apakah kamu tahu tentang Dharma-pewayangan ? jika kamu tidak tahu sekarang kamu akan saya makan.
“Ampun Paduka Bhatara Kala, yang menyebabkan hamba berani mempertunjukan wayang, oleh karena restu (nugraha), Sang Hyang Icwara dan hamba paham yang namanya Dharma-pawayangan.
Jika kita simak percakapan di atas, maka seorang Dalang tidak hanya dituntut berhasil memuaskan selera penonton, tetapi yang lebih penting adalah hubungan bathin kepada Tuhan, agar apa yang dilakukan mangku Dalang memiliki “Taksu” (inner power). “Taksu” itu sendiri dijelaskan sebagai sesuatu daya yang merupakan anugrah dari alam adikodrati (Sedyawati, 1994;11). Dharma-pawayanagan itu sendiri lebih cenderung dikatakan sebagai pengetahuan yang bersifat spiritual (niskala), dibandingkan pengetahuan material (skala).

Makna Wayang Sapuleger Berkaitan dengan Ajaran Agama Hindu

Lakon Dalam Pementasan Wayang Lemah/Sapuleger

Lakon yang digunakan sesuai dengan upacara yang dilaksanakan misalnya upacara Dewa Yadnya mengambil lakon Mandara Giri atau Samudra Mantra dan Semara Dhana, upacara Pitra Yadnya-mengambil lakon Bima Swarga dan Sudamala, upacara Rsi Yadnya mengambil lakon Sapta Rsi, sedangkan upacara Bhuta Yadnya menggunakan lakon Bima Dadi Caru (wawancara tanggal 11 Mei 2001).

Lakon yang akan dibahas adalah lakoni Sapuleger karena berkaitan dengan penelitian ini. 
"Dikisahkan setelah Batara Ciwa mempunyai dua orang anak yakni Batara Kala dan Betara Kumara, keduanya lahir dalam wuku wayang. Batara Kala telah mendapat perintah dari Dewa Siwa untuk melahap setiap orang yang lahir pada wuku Wayang (tumpek wayang). Akhimya adiknya yang bernama Kumara lahir pada wuku wayang, sehingga serta merta Betara Kala ingin memangsanya, tetapi Siwa selalu punya akal, sampai akhimya karena merasa jengkel dengan Dewa Siwa, Betara Kala mengejar adiknya sampai kemana pun Kumara lari. Sampailah pada sebuah pementasan Wayang, dimana si dalang sedang memainkan wayang ketika Kumara bersembunyi di dalam pelawah gender wayang, sambil menunggu adiknya muncul Betara Kala secara tidak sengaja menyantap sesajen si Dalang. Berdasarkan hal tersebut, si dalang bertanya kepada betara Kala seraya mohon sesajen yang dimakan oleh Betara kala di ganti, saat itulah Betara Kala memberi panugrahan kepada si dalang kelak kalau ada yang lahir pada  wuku Wayang, si dalang berhak meruwat si bayi dan sebagai gantinya Batara kala tidak akan memangsa si bayi asalkan disajikan sesajen seperti yang dialkukan oleh si dalang saat itu. Sejak inilah selalu dilakukan upacara ngwatekin bagi bayi yang lahir pada wuku wayang atau tumpek wayang (wawancara dengan dalang). Di samping itu mitosnya menurut versi dalang Ida Made Rai Sogata, adalah demikian: “Sanghyang Kumar Yang lahir dalam minggu Wayang, dianggap pantas oleh Betara Kala untuk dimangsa sesuai dengan ijin yang diberikan oleh Siwa. Padahal Kumara dan Kala sebenamya bersaudara, karena keduanya adalah putra Siwa. Pada suatu siang. Kala sudah hampir berhasil menangkap Kumara ketika tiba-tiba Siwa dan Dewi Uma muncul berwujud sepasang petani yang sedang menunggangi lembu. Mengetahui apa yang sedang diperbuat oleh putranya, Kala, maka Siwa mencari akal dengan mengajaknya bemiain teka-teki.
Sementara itu Kumara berusaha menyelamatkan diri dengan berlari masuk ke sebuah pekarangan orang yang kebetulan sedang mengadakan pertunjukan wayang; kemudian ia bersembunyi dengan cara masuk ke dalam lubang resonator gamelan gender wayang itu. Setelah menyadari bahwa Kumara lenyap, Kala dengan penuh amarah pergi mencarinya kembali; walaupun berhasil ke pekarangan tempat diadakannya peltunjukan wayang itu, tetapi ia tidak berhasil menemukan yang dicarinya.
Akhimya, karena rasa marah dan lapar yang tak tertahankan maka disantaplah semua sesajen yang sedang digelar berkaitan dengan pertunjukan wayang itu. Lalu sebagai reaksi ki Dalang (sebenamya tidak lain dari Siwa sendiri) dia memberitahu Kala bahwa sesajen yang telah disantap itu adalan sama nilainya dengan daging Kumara yang dikejar-kejar itu, maka dari itu kala tidak berhak lagi utuuk memangsa Kumara, adiknya sendiri. Dengan demikian selamatlah Kumara dari Kala” (Ramseyer, 1977:209-214).

Nilai Ritual Pementasan Wayang Sapuleger

Kepercayaan masyarakat yang bersifat feticisme, animisme, dan dinamisme merupakan warisan budaya dari kepercayaan nenek moyang nusantara. Kepercayaan seperti ini masih dimiliki oleh masyarakat Bali yang diwujudkan dalam membuatkan upacara segala sesuatu sebagai pendukung hidup seperti upacara terhadap buku-buku, kendaraan, tumbu-tumbuhan, uang, dan berbagai macam alat yang mampu menunjang hidupnya.

Kebudayaan Bali telah tumbuh dan berkembang melalui suatu perjalanan sejarah yang cukup panjang, melewati beberapa zaman dari zaman prasejarah berlanjut sampai dengan tercapainya integrasi dalam kerangka sistem kebudayaan nasional dan zamanmodern. Secara khusus, fenomena yang mempunyai arti sangat mendalam bagi eksistensi dan perkembangan lanjut kebudayaan bali adalah terjalinnya kebudayaan Bali dengan agama Hindu sejak permulaan tarikh masehi yang kemudian menumbuhkan vitalitas dan kreativitas budaya di kalangan masyarakat Bali.

Struktur kebudayaan dari sudut pandang makro, kekudayaan Bali merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia. Secara mikro, kebudayaan Bali terdiri dari berbagai pariasi, namun ragam pariasi itu tetap merupakan satu kesatuan budaya yang dikokohkan oleh adanya kesatuan bahasa dan agama. Secara esensial struktur kebudayaan Bali dibangun oleh konfigurasi budaya ekspresif (dominannya nilai solidaritas, estetis dan religius). Kebudayaan Bali adalah suatu kebudayaan yang hidup, dihayati dan dikembangkm karena berfungsi sangat mendasar bagi pemenuhan kebutuhan orang Bali dalam mendukung eksistensinya sebagai manusia sosial, estetis, ekonomis, adatif, dan religius.
Nilai religius dalam kehidupan manusia dapat dilihat dari segi :
  1. Pemujaan yaitu suatu kegiatan kepercayaan menyembah Tuhan atau Dewa.
  2. Pengukuhan adalah disahkannya suatu aktivitas dalam suatu masyarakat religius.
  3. Persaudaraan yaitu adanya adanya hubungan rasa persaudaraan diantara sesama masyarakat religius.
  4. Kepastian adalah mempercayai bahwa segala yang ada di dunia ini diciptakan dan diatur oleh Tuhan.
  5. Harapan yaitu adanya suatu perasaan secara optimis bahwa dalam melakukan kegiatan keagamaan akan mendapat pahala dari yang di puja (Butler, 1951:33). 
Masyarakat Bali jika ditinjau dari pendapat di atas menampakan aktivitasnya di bidang religius seperti penyembahan terhadap Dewa merupakan perwujudan tindakan pemujaan, segala aktivitas masyarakat Bali dikukuhkan melalui upacara dalam komunitas masyarakat yang religius, dalam melaksanakan upacara Bhuta Yadnya tidak lepas dari ikatan persaudaraan, agar upacara dapat diselenggarakan dengan baik, pelaksanaan upacara Bhuta Yadnya merupakan perwujudan rasa bakti yang mendalam terhadap Tuhannya, dan tujuan yang ingin dicapai oleh masyarakat bali dalam melaksanakan upcara Bhuta Yadnya adalah tercapainya keselarasan hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan hidupnya dan manusia dengan Tuhan.

Pentingnya relegi dalam suatu masyarakat sangat terkait dengan tingkah laku, moral dalam hubungan interaksi masyarakat itu sendiri. Kehadiran relegi dalam masyarakat Bali akibat ketaatan dan pengabdian yang besar terhadap ajaran agama yang dianutnya. Peter Salim dalam The Contemporary English Indonesian Dictionary mendefinisikan religius adalah kesalehan, ketaatan pada agama dan pengabdian yang besar terhadap agama (Sali Peter, 1991 :1620-1621). Religius timbul dari sifat-sifat alami manusia yang diekspresikan dalam wujud tingkah laku ritual dan disiplin moral yang berdampak terhadap pengendalian egoisme.

Masyarakat Bali melaksanakan upacara Manusai yadnya dalam hal ini melakukan ruwatan merupakan perwujudan rasa baktinya dalam menjalankan ajaran agama yang dianutnya menunjukan perilaku sifat religius. Hal ini tercermin dalam, upacara pemelaspasan terhadap segala sesuatu yang akan digunakan sebagai pemujaan sebelum dilangsungkan upacara persembahan. Upacara pemelaspasan bertujuan untuk melekatkan nilai religius magis pada perangkat sarana upacara sebelum dipersembahkan, Sarana dan prasarana upacara setelah dibuatkan upacara pemelaspas, bukan lagi dianggap sebagai benda biasa seperti benda-benda lainnya, melainkan sudah mengandung nilai religious magis yang dianggap sebagai benda suci untuk sarana memohon keselamatan dalam menjalankan keserasian hidup.

Manusia memiliki kemampuan untuk mencapai kebahagiaan atas dasar kekuatan manusiawinya sendiri secara terbatas. Menyadari keterbatasannya tersebut, maka manusia menjalankan usaha religius dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Tampaklah disini bahwa akhirnya manusia menyerahkan dirinya pada sesuatu yang mutlak dan yang berkuasa atas dirinya. Hal ini menunjukan bahwa manusia adalah mahluk religius, mahluk yang ingin mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam kitab Chandogia upanisad yang merupakan filsafat ketuhanan menjelaskan tentang hubungan Brahman (Tuhan) dengan Atman (jiwa manusia), menyebutkan dengan istilah Sarwa idam khalu Brahman yang artinya segala yang ada ini tidak lain adalah Brahman (Tuhan) (Sadia, 1982;14). Keyakinan terhadap adanya Tuhan inilah yang mendorong manusia untuk melaksanakan hal-hal yang religius dalam mencapai kestabilan jiwanya, yang dalam hal ini masyarakat Bali mulaksanakan Panca Yadnya sebagai wujud nyatanya. Tetapi dalam penelitian ini Lanya membahas Manusa Yadnya (upacara ngruwat atau nyapu leger).
Wayang jika ditelusuri dari sejarahnya yang sangat panjang itu terungkap pula bahwa kelahiran Wayang kulit bermula dari upacara pemujaan kepada leluhur. Menurut Sri Muljono dalam bukunya, Wayang: Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya, menyebutkan bahwa teater Wayang semula merupakan upacara yang berhubungan dengan kepercayaan untuk memuja “Hyang”. Upacara ini dilaksanakan oleh seorang medium (yang kemudian disebut shaman) atau dilaksanakan sendiri oleh kepala keluarga. Dalam kurun waktu berikutnya pekerjaan ini dilaksanakan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus yang kini dikenal dengan sebutan “Dalang”. Upacara itu dimaksudkan untuk memanggil atau berhubungan dengan roh nenek moyang untuk diminta pertolongan dan restunya apabila dalam keluarga itu akan dimulai atau telah selesai menunaikan suatu tugas (Rota, 1992:2).

Dalam perkembangannya yang terakhir, lahirlah berbagai jenis pertunjukanwayang kulit di Bali dari yang sakral sampai yang jenis sekuler. Menurut seorang pakar sastra daerah (Bali), yakni Wayan Simpen, AB., jenis pertunjukan wayang kulit Bali dapat dikelompokan berdasarkan fungsinya masing-masing sebagai berikut : (a) Wayang Sapuleger; (b) wayang Lemah; (c) wayang Sudamala; dan (d) wayang Biasa atau hiburan (Listibya Daerah Bali, 1974:4). Masing-masing dari keempat kelompok ini memiliki unsur ritus yang tidak persis satu sama lainnya. Hal ini berkaitan dengan fungsinya masing-masing.

Wayang Sapuleger (Samirana) seperti yang telah di singgung di atas adalah pertunjukan wayang kulit Parwa yang bersifat sakral untuk upacara manusa yadnya. Pertunjukan ini dipentaskan dalam upacara manusa yadnya. Pertunjukan ini diperuntukan bagi anak yang lahir dalam wuku (minggu) Wayang (yaitu minggu ke 27 menurut kalender Bali yang terdiri dari 210 hari) terutama sekali yang lahir persis pada hari Sabtu Kliwon Wuku Wayang (Tumpek Wayang). Tujuannya adalah untuk melenyapkan atau mencegah mala petaka yang mungkin akan menimpa anak bersangkutan dari pengaruh buruk (kecemaran) wuku wayang. Tradisi ini masih begitu kuat berlaku bagi keluarga- keluarga Hindu di Bali, karena mereka begitu percaya dengan apa yang termuat dalam lontar Sapu-Leger.

Menurut isi lontar Sapu-Leger, Dewa Siwa memberi ijin kepada Sang Betara Kala untuk memangsa anak-anak yang lahir dalam minggu (Wuku) Wayang (etah, 1974;7). Wayang Sapu Leger hanya boleh dipergelarkan oleh seorang dalang yang telah disucikan dan sudah memahami isi lontar Dharma Pewayangan di samping lontar Sapu-Leger maupun mantram sakralisasi diri dan sesajen-sesajen serta menguasai beberapa Dewastawa yang ada hubungannya pembuatan air-suci (pangruatan).

Dalam tugasnya ini dalang bersangkutan bergelar Ki Mangku Dalang atau Sang Empu Leger. Melalui pergelarannya Ki Mangku Dalang mengucapkan puja mantram sakralisasi diri, mempersembahkan sesajen dan memanjatkan Dewastawanya untuk mendapatkan restu Dewata, terutama dari Dewa Siwa dalam pembuatan air suci pangruatan bagi orang yang diupacarai karena lahir pada wuku wayang, agar ia terhindar dari gangguan (buruan) Betara Kala (Listibiya Daerah Bali, 1974:7).

Menurut dalang I Made Sija, dalam melaksanakan wayang Sapu-Leger, setelah selesai pementasan, diambillah tiga buah wayang (bonekanya) yaitu Sanghyang tunggal, Sanghyang Siwa dan Malen (twalen) lalu dihaturkan segala sesajen berkaitan dengan upacara Sapu-Leger itu dengan mantram-mantram tertentu. Setelah selesai segala upacaranya, ketiga tangkai wayang tadi dicelupkan ke dalam lampu (blencong) untuk memperoleh minyaknya yang kemudian dicampur dengan air suci (sukla) guna diberikan kepada orang yang sedang diupacarai itu (Sika, 1986:11).

Dari uraian masing-masing jenis wayang kulit yang telah dijelaskan di atas, nampak jelas bahwa setiap jenis pertunjukan wayang kulit tersebut selalu disertai dengan suatu situs keagamaan dalam bentuk sesajen dan matra-mantra pemujaan tertentu. Yang lebih istimewa lagi adalah bahwa ketiga jenis pertama, yaitu Wayang Sapu-Leger, Wayang Lemah, Wayang Sudhamala, bukan hanya disertai upacara ritus tetapi bahkan merupakan bagian penting dari upacara yang dilakukan.

Dengan demikian unsur ritus keagamaan dalam pertunjukan wayang kulit Bali adalah sangat dominan. Ditambah lagi dengan adanya bukti autentik tentang dipakainya kata wayang sebagai nama salah satu wuku Wayang yang merupakan Wuku ke-27 dari 30 Wuku yang ada. Hal ini jelas menunjukan bahwa Wayang sudah merupakan bagian integral dari kehidupan keagamaan masyarakat Bali yang beragama Hindu. Untuk lebih jelasnya aspek upacara dalam pementasan wayang Sapuleger di atas, maka akan dikutipkan jenis upakara yang dipakai dalam pementasan wayang sapuleger sebagai bagian dari upacara pengruwatan atau nyapu leger sebagai berikut.
Malih upakaran wayang sampun tiga luire : Suci asoroh maulam bebekputih, ajuman, canang gantal madaging jinah kespeha satus jinah bolong.Sesantun gede roh pat, medaging jinah 1132 bidang. Malih ring arepan dalange, sampun cumawis payuk medaging toya metatakan wanci, tur sampun medaging sekar di samping payuke 11 warna. Puput upakaran wayang kadi ring arep.
 Mangkin sang nunas toya panyapuhleger, angadengaken sanggar tawang(tuntun) taler mategul antuk benang tukelan medaging jinah 250 bidang.
Bebantene munggah ring sanggar tawang: suci asoroh maulam bebekputih, ajuman putih kuning maulam ayam putih siungan pinanggang.
Malih bebantene ring arepan kelire, luwire: sorohan babangkit asoroh, nasi barak maulam ayam biying mapukang-pukang miwah winangun urip sampian antuk don endong. Tatebasan sungsang sumbel duang tanding; tumpeng abungkul maulam ayam mapanggang 2, ngapit tumpenge; tendas siape meliatang menek aukud, meliatang tuun aukud, kacang komak mewadah tamas. Malih tatebasan sapuhleger, tumpeng abungkul matusuk carang bingin maulam ayam, majaja tabangan biyu galahan. Malih talebasan tadah kala, nasi polpolan bucu telu metaledan don candung, matatakan sapul poleng, sirah nasine bucu telu medaging getih bawi, maulam urab barak urab putih.
Malih tatebasan lara malaradan, nasi kuning mewadah takir, maulam balung, taluh medadar sami, Sami dadi adulang.
Malih tatebasan penulak baya, tatebasan pangenteng baju, tatebasanpengalang ati.
Malih daksine panebusan baya, medaging beras 8 patan, nyuh 8, taluh 8bungkul, gu.. 8 bungkul, medaging jinah kutus tali nanggu salus.
Malih buah bancangan, base gulungan wadah Sok, matanceb busungakatih madaging tuak, arak, berem, beras. Puput bebanlene penyapuhleger punika.
Demikian jenis upakara yang digunakan di dalam sebuah upacara ngruwat atau nyapuleger, tentu setiap saat ada yang menggunakan konsep utama, madia dan nista. Namun Secara umum apa yang tercantum dalam kutipan di atas, merupakan sajen (banten) yang umumnya berlaku. Setelah, dikeiahui jenis banten yang digunakan, maka selanjutnya akan dikutipkan mengenai tata cara pengruwatan atau nyapuleger beserta mantranya sebagai berikut:

Dalang raris nginkinang jagi makarya toya panyapuhleger.

Dalang ngawiten nguncarang aji kembang tur ngambil sekar putih. Yanpaing marep mangidul, astuti Betara Brahma, kapulang sekare ring payuke.

Dalang ngambil sekar ireng, yan wage marep utara, astuti Betara Wisnu,kapulang sekare ring payuke.

Dalang ngambil sekar mancawarna, yan klion ana ring tengah, astutiBetara Siwa, kapulang sekare ring payuke.

Dalang ngambil sekar 11 warna, 
mantra: 
Ong nada ya sama nada ya, sama malakwa dulur aditia, angruwatane dasamala, sakaluwiraning larawigne sumalaba de nire Sang Hiang Biksa tuwi, ulun angruwatane dasamala, mala pataka nire sang linukat, ong nada ya sama nada ya, sama nakagana, angruwatane lara raga nire sang linukat, sakaluwiring sapata upadrawa, sumalaha de nire Sang Hiang Biksa tuwi. Ulun angruwatane dasamala kapulang sekare ring payuke.
Dalang nguncarang mantra agni anglayang: 
Ong agni anglayang murubsaking wetan, sakalangan urubire, mijil de nire Batara Iswara, anglukat ujarkadung-kadung kapalisah, anggadakaen tan ana, angliyok sama-sama tumuwul agni anglayang ulun asalah mala pata nire jatma manusa kabeh, wastu sidi puning ulun ong Sri ya wenama nama swaha.
Ong agni anglayang murub saking kidul, kalangan urubire, mijil de nire Batara Brahma anglukat wong angental, andura-dura sadu, ngenda wong tan padosa amateni wang tan padosa nuduk, anumbak, anulup, amaling, ambaak, anumpung, agni anglayang ngonaning ulun, asolah mala pataka nire jatma manusa kabeh, wastu sidi pujaning ulun, ong sri ya wenama nama swaha.
Ong agni anglayang murub saking kulon, sakalangan urubire, mijil denireBatara Mahadewa. wong angreh rabining rabi, angambah marga larangan,anglayani gurune, anglayani kadang-warga, anglayani wong atua, anglayaniawiku, agni anglayang ngonanaing ulun asalah mala patakaning jatma manusakabeh, wastu sidi pujaning ulun, ong sri ya wenama nama swaha.
Ong agni anglayang murub saking lor, sakalangin urubire, mijil denireBatara Wisnu, anglukat wong aneluh amaranjana, angleak, amokpok, anesti,angupas, angracun, agni anglayang nggonaning ulun asalah mala patakaningjatma manusa kabeh, wastu sidi pujaning ulun, ong sri ya wenama nama swaha.
Ong agni anglayang murub saking madia, sakalangan urubire, mijildenire Batara Siwa, anglukat wong angikik gudig, kores, parang, udug, bujan, rumpuh, ayan, buta, tuli, bisu, cekehan, bunglon, bengkuk, kepek, sengkok, perot, gondong, borok, satus dosa lapan malaning jatma agni anglayang nggonaning ulun asalah palakaning jatma manusa kabeh, wastu sidi pujaning ulun, ong sri ya wenama nama swaha.  
Puput agni anglayang, dalang nguncarang astapungku.
Ong ang aslapungku dangascarjva Siwamret anglusrana sakwehing metu .   uku sungsang carik, katadah Kala, katitihaning bawa, Batara Siwa  angilangakena sarwa klesa upadrawa, upataning bapa-ibu, geleh-gelehing sarira tuju telung taranjana, desti prakasa, kalukat wijiling jalma, ring dina carik, carik sinambar dening carik binaksa dening mrega, pesu carik, ngengkadadak, tunggak waring, kerang-kerang macen, saluwirning klesa samangka, kalukat denire Batara Siwa, anglebur moksah saking tan ana, ong sidirastu tat astu ya namah swaha.
Panangkeb panyapuh leger.
Ong ang mang ung, sastra para atmaning wigna suda tastra sukma yanamah.
Mangkin pinih rahina kaambil kayonan punika katikne kaanyudang ringsuare ping tiga, raris kaancebang kapayuke. Mantra: "Ang ah", raris kayonanpunika kagenahang kapenpen ring kropake.

Malih kaambil acintia, taler katikne kaanyungang ring suare ping tiga raris kaencebang ring payuke, mantra: Mang.

Malih kaambil Siwa, taler katikne kaanyungang ring suare ping tiga raris kaencebang ring payuke, mantra: Ang.

Malih kaambil tualen, taler katikne kaanyungang ring suare ping tiga raris kaencebang ring payuke, mantra: Ung.

Puput mantra panyapuhleger kadt ring ajeng, samaliha wayange sami sampun mapenpen ring krapake, tur upakara sampun katurang. Raris i dalang nyimpen wayang, mantra: 
Ong ang ung yang, tatua caritam rem sanjiwaya namah.
Dalang nyaruning kelir antuk peras madaging alam ayam kuku rambut, mantra: 
Ih buta prasapa, kala wigraha, nihan sajinire sowang-sowang, ang ang amretaya namah. Raris kaelus kelir punika.
Mangkin dalang nabdabang pacang ngalukat ring wang anunas taya  panyapuhleger.
Yan lanang sang kalukat, mangda matatakan prabot lanang, luwire: lampit wiadin tenggale.
Yan istri matatakan prabot tunun.
Dalang ngetisen toya, mantra: 
Ang ung mang Siwa yogi parama sidiyam,gangga sarayu sarwatiam, amarnama manda suda ya namah. Puput.
Malih babanlen sane ring sanggar tawange (tuan) kalur ring Ida BataraSurya wireh Ida maraga saksi dijagate.


Berdasarkan hasil Pembahasan di atas, maka ada beberapa hal yang perlu di garis bawahi yang dapat ditarik sebagai sebuah simpulan. Adapun hal-hal yang dimaksud adalah sebagai berikut:
  1. Seni dan agama Hindu di Bali khususnya dapat dikatakan seperti mata uang, meskipun memiliki dua dimensi, namun memiliki kesatuan yang tak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Hal ini bukan saja pada zaman sekarang, namun tradisi pertunjukan Wayang telah dibuktikan berabad-abad yang lalu baik yang termuat dalam prasasti maupun tradisi tulis-menulis lainnya. Oleh karena itu pertunjukan wayang kulit di Bali berkaitan dengan sistem upadaca yang dianut dalam agama Hindu, khususnya seni pertunjukan wayang yang berakitan dengan siklus hidup manusia Hindu.
  2. salah satu dari seni pertunjukan wayang yang sangat kental dengan nilai siklus hidup manusia yang telah disebutkan di atas adalah wayang Sapuleger. Wayang Sapuleger adalah berkaitan dengan sistem perhitungan kalender Bali (wewaran), bagaimana sesorang memaknai hidupnya berdasarkan sistem hari baik dan hari buruk dalam kelahiran anak manusia. Pantangan dalam kelahiran seperti apa yang disebut di Bali dengan istilah lekad di Tumpek Wayange sebagai indikasi seseorang perlu melakukan penyupatan atau upacara ruwatan.
  3. Di Balik pertunjukan wayang Sapuleger tersebut, ternyata sarat akan nilai-nilai ajaran agama Hindu yang terkadung di dalamnya, meskipun bingkainya berdasarkan sebuah mitos. Pengungkapan makna di Balik mitos inilah diperlukan sebuah analisis untuk mengungkapkan nilai-nilai ajaran agama Hindu dalam berbagai aspek seperti, nilai simbolik, filsafat, seni atau estetika, upacara, mitologi, nilai magis dan sebagainya.
Terakhir tentu saja pengungkapan nilai-nilai ini tidak akan mampu memberikan nilai praktis, manakala tidak kembali direnungkan di dalam benak kita masing-masing, akan hakikat dari kekuatan Maha Tunggal yang disimbolkan oleh figur-figur kedewataan dalam pementasan wayang Sapuleger tersebut.

Sekilas Tentang Pewayangan di Bali

Sekilas Tentang Pewayangan di Bali

Wayang kulit Sebagai sebuah karya seni klasik, termasuk karya seni yang bermutu tinggi dan hidup terus sepanjang zaman. Kata Wayang artinya “bayang-bayang atau bayangan”. Oleh karena variasi fonem awal /w/ dan /b/ seperti yang terdapat pada “Wayang dan bayangan”. Pada bahasa-bahasa nusantara kita dapati juga pada kata “wesi” dan “besi”, “wintang dan bintang” (Monograii Bali,1976:111).
Gusti Bagus Sugriwa (1971:1) mengatakan “pewayangan” asal katanya “Wayang” yang artinya sama dengan bayang-bayang, mendapat awalan pa- dan akhiran -an yang mengandung pengertian perihal dan seluk-beluk wayang terutama diantaranya pertunjukan wayang yang dibuat dengan kulit sapi dipahat, ditatah, yang merupakan bentuk-bentuk khayalan, dewa-dewa, raksasa binatang pohon-pohonan dan sebagainya. Dilihat oleh penonton adalah bayangannya semua ini disebut “pewayangan”.
Wayang juga berarti :
  1. bayangan : Wayangan-bayangan,
  2. Pertunjukan Wayang ‘’mewayang’’ memainkan (Pertunjukan) wayang; Pewayangan Pe(r)wayangan atau pertunjukan wayang (Mardiwarsito,1990:670). 
Wayang dapat juga berarti :
  1. Wayang; ngwayang memainkan wayang; 
  2. mapawayangan (bhs. Bali alus) menjelma (Warna dkk,1991:795). 
Selain itu kata wayang di Bali sering juga disebut ringgit  dan dalam konteks ilmu astronomi (wariga) khususnya dalam perhitungan pawukon menurut kalender Bali kata Wayang juga disebut sebagai nama wuku yang ke-27 dari 30 wuku.

Menurut perhitungan hari raya keagamaan di Bali, pada hari Sabtu (Saniscara) keliwon, wuku wayang disebut tumpek ringgil atau tumpek wayang. Pada hari itu para dalang mengadakan upacara penghormatan terhadap wayang atau istilah Bali weton wayang. Iambat laun kata wayang menjadi nama suatu pertunjukan bayang-bayang, dan kemudian menjadi nama atau istilah bagi suatu cabang seni pertunjukan misalnya: orang berbicara tentang wayang topeng, Wayang golek, wayang beber, Wayang wong, semuanya itu tidak ada hubungannya dengan bayang-bayang atau bayangan (Hari Yanto,1981;10).  

Menurut James Brandon, seorang ahli teater dari USA. Memberi tafsiran wayang sebagai berikut wayang literally means “shadow " althougth to day it has come to mean a dramatic performance a play, shadow, whether the actor be puppets or human beings (Wayang secara harafiah berarti “bayangan” meskipun untuk sekarang ia (Wayang) dapat berarti sebuah pertunjukan drama, sebuah permainan, sesosok bayangan, yang ditokohi baik oleh aktor-aktor yang berupa boneka maupun orang (Bandem,1972:6). Pendapat yang senada juga dikemukakan oleh Miquel Covarrubias (1972:236) “the shadow plays-a performance by marionettes (wayang) that cast there shadows on a screen and are manipulated by a mystic story teller, the dalang“ (permainan Wayang kulit adalah sebuah pertunjukan dengan para pelakunya adalah Wayang pada sebuah layar atau kelir dan mereka digerakkan oleh tukang cerita yang memiliki kekuatan batin yang disebut dalang).
Berbagai pengertian wayang telah dikemukakan di atas, namun pada zaman sekarang pengertian wayang yang mengacu pada arti bayangan atau bayang-bayang telah “bergeser”. Demikian juga jika kita amati penonton sebuah penunjukan wayang kenyataannya banyak yang menonton dari belakang, sehingga yang disaksikan bukan bayangannya tetapi wayangnya secara langsung. Mungkin bayangan itu sendiri dapat diberi makna secara lebih luas dalam hubungannya dengan “makrokosmos dan mikrokosmos” atau bhuwana agung dan bhuwana alit yaitu dalam hubungan dengan alam makro adalah apa yang digambarkan dalam pertunjukan wayang adalah bayangan dari kehidupan alam ini, sedangkan dalam hubungannya dengan alam mikro (manusia) menggabarkan sifat-sifat manusia itu sendiri (Duija,1995:3).

Sejarah Seni Pewayangan di Bali

J.L.A Brandes mengatakan sesungguhnya jauh sebelum masuknya agama Hindu ke Nusantara, para leluhur kita telah memiliki 10 unsur kebudayaan asli. Kesepuluh unsur kebudayaan itu adalah:
  1. Wayang, 
  2. gamelan, 
  3. ilmu irama sajak, 
  4. membatik, 
  5. mengerjakan logam,
  6. sistem mata uang, 
  7. ilmu pelayaran, 
  8. astronomi, 
  9. bercocok tanam, 
  10. birokrasi pemerintahan yang teratur (Rata 1996:85).
Berdasarkan pendapat Brandes tersebut dapat diperkirakan bahwa “kebudayaan wayang” di Indonesia telah berkembang sejak zaman prasejarah. 
Catatan yang paling tua yang menyebutkan adanya pertujukan wayang di Jawa Tengah terdapat dalam prasasti Jaha yang berangka 840 M, pertunjukan wayang pada waktu itu disebut dengan “aringgit” (Monografi Bali, 1976:112). = “ringgit” = “ringgi” bahasa Jawa Kuno artinya gerak, “haringgit” artinya permainan wayang. 
Kemudian pada zaman Raja Dyah Balitung ada batu bertulis yang menyebutkan kata “mawayang” yang berarti pertunjukan wayang. Batu bertulis ini berangka tahun 907 M, Bagaimana dengan perkembangan wayang di Bali, menurut prasasti tertua yang menyebutkan adanya pertunjukan wayang di Bali terdapat pada prasasti Bebetin AI berangka tahun 818 caka atau 896 M, baris 5: 
".... pande mas, pande besi, pande tembaga, pemukul (tukang gamelan), pagending (biduan), perpadaha (tukang kendang, pabangsi (juru rebab), patapukan (topeng), parbwayang (wayang), prasasti ini dibuat pada zaman pemerintahan Ugrasena.." (Goris,1954:54). 
Pada prasasti Tengkulak A tahun caka 945 yang menyebut nama Raja Sri Dharmawangsawardhana Marakatha Pangkajastanottunggadewa. Pada baris 7A.5. ada disebutkan kata 
".... pirus ménménatapukan abanwal aringgita...."
 Artinya pemain badut, sandiwara, topeng, dagelan, wayang. 
Kemudian pada prasasti Blantih/Sangsil A. Tahun caka 980 yang menyebut nama raja Anak Wungsu, pada bagian Vb ada disebutkan:
"...hana banwa, atapukan, aringgit, pirusménmén...",
artinya ada pemain dagelan, pemain topeng, wayang, badut, pemain sandiwara. 
Masih dalam pemerintahan Anak Wungsu pada prasasti Manikliu AII. Pada bagian III A.4 disebutkan 
".... yan atapukan abanwal, aringgit..."
artinya kalau pemain topeng, pelawak, wayang. 
Kemudian Pada prasasti Manikliu BII tanpa tahun pada bagian Iib.6 ada disebutkan
"...yan atapukan, abanwal, aringgit..."
Artinya kalau pemain topeng, pelawak, wayang (Sedyawati dkk,1977:149-163).
Dr. Van Callenfels, dalam buku Efigraphia Balica I bagian Vbl-Vb2, menyebutkan bahwa, berdasarkan turunan dari Prasasti Gurun Pai Desa Pandak Badung yang antara lain berbunyi :
"...yan amukul (juru tabuh), sinuling (suling), atapukan (topeng), abanwol (banyol), pirus (badut), menmen (tontonan), aringgil (Wayang)..."
prasasti ini dibuat pada zaman pemerintahan raja Anak Wungsu tahun Caka 993 atau 1045 M (Callenfels, 1926:17, Wayan Simpen, l974:3). 
Pada Prasasti Sawan A II = Bila II, berangka tahun Caka 995 yang menyebutkan nama raja Anak Wungsu, pada bagian Vb.5. ada disebutkan 
"....._awayang atalitalyanjuran I haji ku 2 pawehnya..."
Artinya Pemain wayang (wayang orang), “tali-tali bangjuran” istana supaya diberi 2 ku (Op. cit, 1977:169-170).
Berdasarkan beberapa prasasti di atas, maka sementara dapat diduga bahwa pertunjukan wayang di Bali telah ada sejak abad ke - 8 akhir atau abad ke - 9 awal. Sedangkan Brandes dan Van Der Tuuk menyimpulkan berdasarkan kalimat “hanabanwal atapukan aringgit” yang terdapat pada sebuah prasasti tembaga yang ditemukan di Bali, bahwa di Bali sudah ada pertunjukan wayang pada tahun 980 Caka atau 1085 M (Haryanto, l99l:l0). Perkiraan adanya wayang berdasarkan prasasti dapat kita telusuri secara pasti, namun sampai di sini kita belum mendapat gambaran mengenai bentuk, sumber lakon, dan fungsi dari pertunjukan wayang itu sendiri.

Jenis-Jenis Wayang di Bali
Wayang Bali secara garis besar dapat dikelompokan menjadi dua golongan yaitu :
  1. Wayang Sakral (sacred shadow play)
  2. Wayang Profan (secural shadow play)
Wayang Sakral (sacred shadow play) dapat dibedakan berdasarkan sumber lakon menjadi:
  1. Wayang Sapuleger : sumber lakon dari cerita “Sapuleger atau dari karya sastra gegurilan Sapuleger”.  Cerita ini merupakan cerita ruwat untuk orang yang lahir pada wuku wayang.
  2. Wayang lemah : sumber lakonya dikutip dan kitab Mahabrata Ramayana Mitologi dan kitab atau kakawin Jawa Kuno yang lainnya.
  3. Wayang Sudamala : sumber lakonya dikutip dari Kidung Sudamala atau hampir sama dengan lakon pada Wayang Lemah atau wayang gedod
Wayang Profan (seculer shadow play) terdiri dari :
  1. Wayang Parwa : sumber lakonya diambil dari Epos Mahabrata atau yang biasa disebut Astadasa Parwa (1 8 pam/a)
  2. Wayang Ramayana : sumber lakonya diambil dari Kitab atau kakawin Ramayana. Di Bali wayang ini dikena\ dengan nama wayang “ngrameyana”.
  3. Wayang Calonarang  : sumber lakonya diambil dari cerita/kitab Calonarang yang sangat populer di Jawa Timur dan di Bali menjadi cerita horor yang berkaitan dengan ilmu hitam (black magic).
  4. Wayang Gambuh : sumber lakonya diambil dari celita Panji Bali yaitu kitab Kidung Mala! (Malai Rasmi).
  5. Wayang Arja : sumber lakonya sama dengan wayang gambuh, oleh karena Arja itu sendiri merupakan bentuk pengembangan dari tarian gambuh. Di samping mengambil lakon Panji wayang arja juga mementaskan lakon yang diambil dari cerita cina yaitu Shan Phiek Ing Thai dan juga mengambil dari khazanahj kesusastraan Bali seperti gegurigan tamtam.
  6. Wayang Tantri : sumber lakonya diambil dari kitab kidung Tantri atau tantri kamandaka yaitu yang menceritakan perihal kehidupan binatang yang berlaku seperti manusia
  7. Wayang Cupak : sumber lakonya diambil dari cerita rakyat Bali yaitu berjudul “Cupak Granlang”.
  8. Wayang Sasak : sumber lakonya diambil dari serat menak dengan bahasa sasak/Bali. wayang ini merupakan pengaruh dari Lombok Barat dan di Bali berkembang di daerah sekitar Karangasem.
  9. Wayang Wong : sumber lakonya diambil dari Mahabrata dan Ramayana dan wayang ini satu-satunya jenis wayang yang tidak menggunakan boneka kulit (skin puppets), tetapi aktor manusia. Wayang ini sangat langka keberadaannya di Bali, hanya di daerah sekitar Singaraja dan beberapa daerah lainnya di Bali dan sudah jarang di pentaskan (Duija,l996:5;Wicaksana,2000;127)

Fungsi Pertunjukan Wayang dalam masyarakat bali

Keberadaan wayang (kulit) pada masyarakat Bali, tidak terlepas dari kehidupan sosial budaya dan keagamaan yang dianut oleh masyarakat Bali. semenjak datangnya pengaruh agama Hindu, makin mengukuhkan keberadaan Wayang itu sendiri yang dikaitkan dengan sistem upacar keagamaan. Di samping itu kehadiran dua epos besar Mahabrata dan Ramayana memperkaya lakon-lakon pewayangan di Bali. Pada golongan masyarakat Bali seperti itu, wayang (kulit) diyakini memiliki arti dan makna :
  1. sebagai penggugah rasa keindahan dan kesenangan,
  2. sebagai pemberian hiburan,
  3. sebagai media komunikasi,
  4. sebagai Pefsembahan simbolis,
  5. sebagai penyelenggaraan keserasian norma-norma masyarakat,
  6. Sebagai pengukuhan institusi sosial dan keagamaan, 
  7. sebagai koritribusi terhadap kelangsungan dan stabilitas kebudayaan dan 
  8. sebagai pencipta integritas masyarakat (Bandem,1993:171).
Setiap orang dalam masyarakat di Bali memiliki alasan-alasan yang berbeda untuk nanggap wayang atau ngupah wayang (Bahasa Bali) . hal ini telah dibuktikan oleh H. I. R. Hinzler dalam penelitian yang berjudul Bina Swarga In Balinese Wayang.
Menurut Hinzler alasan-alasan orang Bali mengadakan pertunjukan wayang sebagai berikut :
  1. Vow (sesangi = kaul) ini biasanya pada saat otonan atau weton atau dewa yadnya,
  2. request (tetagihan = permintaan) khususnya untuk bayi berumur tiga bulan, kelahiran pertama atau pada saat ngaben,
  3. custom in desa or Fami1y (adat= kebiasaan) ada hubungannya dengan upacara yadnya,
  4. desire (demen-demen = kesenangan saja),
  5. obligation (kewajiban) misalnya ngruwat atau ngwatekin orang lahir Pada wuku wayang (1981 :20-22).
Menurut I Gusti Bagus Sugriwa, untuk umat Hindu (Bali) pewayangan itu memiliki 2 fungsi yaitu :
  • Untuk menyertai pelaksanaan upacara agama, yakni : manusa yajna (korban suci kepada manusia), Pitra yajna (korban suci kepada leluhur), Bhuta yajna (korban Suci kepada bhuta kala atau mahluk yang lebih rendah), dan Dewa yajna (korban suci kepada Tuhan) atau disebut Catur yajna.
  • Untuk pertunjukan biasa, untuk bersenang-senang dan nasihat-nasihat(1976:13)- Lebih lanjut I Gusti Bagus Sugriwa menjelaskan bahwa, pertunjukkan Wayang dalam kaitannya dalam upacara keagamaan dapat dirinci lagi menjadi 2 :
    1. Pada Manusa Yajna diadakan pertunjukan wayang pada waktu umur anak 3 bulan atau hari lahir (0tonan). Lakon-lakon yang dipentaskan diambil dari Mahabrata atau Ramayana seperti : lahir Panca Pendawa, lahirnya Sutasoma, lahirnya Rama Laksana dan sebagainya. Untuk upacara perkawinan biasanya mengambil lakon Swayembara Drupadi, Arjunawiwaha, Kresnayana, Ramayana dan sebagainya. Jika anak lahir wuku wayang, maka upacara pertunjukan wayang ini dinamai “sapuleger” dengan lakon yang khusus yakni “sapuleger” juga yang berfungsi untuk membersihkan (ngruwal) seseorang dari kekotoran bathin.
    2. Pada Pitra Yajna diadakan pertunjukan wayang pada waktu` pembakaran jenazah. Pertunjukan ini dilakukan pada malam hari. Lakon yang diambil disesuaikan dengan penyucian roh untuk dapat mencapai moksa, seperti misalnya lakon ; Cudamala, Bima swarga. Untuk upacara setelah ngaben yang disebut memukur (yaitu upacara peralihan dari Pitra Yajna ke Dewa Yajna), apabila diadakan pertunjukan wayang, maka pertunjukannya diadakan pada siang hari (lemah Iawan kata peteng = malam), sehingga dikenal dengan istilah wayang lemah. Pertunjukan wayang ini tidak memakai layar (kelir), tetapi hanya menggunakan benang yang direntangkan pada cabang pohon dap-dap yang dipancangkan pada pohon pisang (gedebong) di ujung kiri dan ujung kanan. Lakon yang diambil misalnya Dewa ruci.
    3. Dewa Yajna adalah persembahyangan kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Persembahyangan ini dilakukan di sanggah, merajan, pura dan sebagainya. Pelaksanaanya sama dengan wayang pada Pitra Yajna di atas, yakni pada waktu siang hari. Lakon yang diambil misalnya ; Smaradhana, Samudramanthana.
    4. Bhuta Yajna yaitu upacara pembersihan alam semesta, biasanya pada upacara-upacara besar seperti ; Ekadasa-rudra, Pancawali-krama, Tawur Agung. Di samping itu diadakan pula pada saat upacara yang kecil, baik di lingkungan rumah tangga maupun di lingkungan desa. Pertunjukan pada waktu siang hari.
Di samping dalam kaitan dengan upacara agama, pertunjukan wayang juga untuk semata-mata sebagai hiburan rohani (1976:13-20). Biasanya. pertunjukan wayang seperti ini dikaitkan dengan hari-hari tertentu seperti ulang tahun Karang Taruna, hari besar Nasional dan sebagainya.
Di samping I Gusti Bagus Sugriwa, yang membahas fungsi pewayangan di Bali H. I. R. Hiniler juga memperkuat pendapat I Gusti Bagus Sugriwa. Menurut Hinzler, (1981:25-28) pertunjukan wayang dalam kaitanya dengan upacara keagamaan adalah sebagai berikut :
  1. Manusa Yajna (Offering of Human)
  2. Pitra Yajna (Offering of ancestors spirit)
  3. Dewa Yajna (Offering of god)
  4. Bhuta Yaj na (Offering of soft creature or “Bhutakala”)
  5. Rsi Yajna (0ffering of religion teacher)
  6. Upacara yang lain (Other Ceremonies)
sistem keagamaan secara tidak langsung sebagai pengikat kelangsungan hidup wayang itu sendiri. Antara agama dengan wayang saling menunjang dalam aktivitasnya. Wayang juga dapat digunakan sebagai media untuk mengajarkan nilai-nilai fisafat keagamaan kepada masyarakat pendukungnya.

Pertunjukan Wayang dan Perlengkapannya

Wayang kulit Bali memerlukan waktu antara 3 atau 5 jam dalam sebuah pertunjukan. Waktu pertunjukan adalah malam hari, kecuali wayang lemah yang dipentaskan pada siang hari (lemah Bhs. Bali artinya slang hari). Adapun perlengkapan yang diperlukan untuk sebuah pertunjnkan wayang kulit Bali adalah sebagai berikut :
  1. Gedebong (banana tree) pohon pisang yang tua memanjang
  2. Lelujuh (Long wood) kayu untuk membentangkan kelir
  3. Blencong (oil lamp) lampu sumbu minyak kelapa
  4. Tali Kelir (screen of string) untuk mengencangkan kelir
  5. Dua orang kelengkong (asisten of puppeteer) Asisten dalang kanan-kiri
  6. Empat orang juru gender atau pemain gamelan (wayang parwa)
  7. Dalang (puppeteer) mangku dalang yang memainkan wayang
  8. Kotak wayang (woodem box) kotak tempat menyimpan wayang
  9. Wayang (puppets) satu kotak terdiri dari 150-175 buah wayang
  10. Kelir (screen) layar yang berukuran 1.75 X 2,5 meter
  11. Racik (nail of bamboo) paku dari bambu yang diruncingkan
  12. Sesajen (offering) banten wayang
  13. sound system or (loud speaker) pengeras suara
  14. Panggung (stage) tidak harus

Makna Simbolik dari Pertunjukan Wayang Kulit di Bali

“Wayang bukan saja sekedar hiburan, tetapi juga merupakan karya seni yang mengandung fisafat yang dalam seperti yang diungkapkan oleh Mangkunogoro VII sebagai berikut : Bahwa peperangan antara ksatria putih (berdarah putih) dengan raksasa dari berbagai macam warna, pada hakikatnya bukan merupakan peperangan antara mahluk-mahluk dengan segala keaktlannya, tetapi merupakan peperangan di dalam bathin (hati) manusia itu sendiri, antara perasaan yang baik atau suci dengan yang bururk, yang selalu mengganggu kesadaran manusia, Suatu peperangan yang merupakan dinamika dari kehidupan manusia yang menimbulkan keindahan yang luar biasa (1957 :11).
Menurut “Dharma Pawayangan” yang dikutip dari lakon “Sapuleger” oleh I Gede Soerya tahun 1941 dan dikumpulkan oleh Gedong Kertiya Singaraja.
Adapun perlengkapan pertunjukan wayang kulit itu memiliki makana simbolik sebagai berikut :
  • Gedebong (pohon pisang) sebagai simbol “Siti.Pertiwi (tanah)
  • Kelir (layar) sebagai simbol kekosongan (sunya = sunyi)
  • Blencong (lampu sumbu) sebagai simbol Dewa Surya/matahari (bhuwana agung) atau alam semesta, Jiwatma (roh) manusia atau bhuwana alit. selain itu Api blencong sebagai simbol dewa Agni.
  • Sanan Kropak yang diikat di atas kelir sebagai simbol langii
  • Kropak Wayang sebagai simbol alam semesta atau Bhuwana Agung
  • Lelujuh sebagai simbol tulang
  • Racik sebagai simbol jeriji
  • Sarwa Tali sebagai simbol otot/urat
  • Dalang sebagai simbol Tuhan Yang Maha Kuasa
  • Wayang sebagai simbol mahluk Tuhan (Bhuwana Agung), nafsu pada manusia (Bhuwana Alit)
  • Gender sebagai simbol irama zaman (Bhuwana Agung) suara sukma pada manusia (Bhuwana Alit) Empat juru gender sebagai simbol saudara empat yakni :
    1. Anggapati - Yeh nyom (air ketuban) ada pada nafsu
    2. Mrajapati - Darah merah sebagai penunggu perapatan/kuburan
    3. Banaspati -ari-ari ada di hutan, sungai, batu besar
    4. Banaspati Raja ~ Klamad (lapisan kulit bayi yang tipis ada pada pohon yang besar. Itulah yang disebut saudara empat atau kanda pai sebagai benteng diri pada si Dalang itu sendiri
  • Dua orang Ketengkong sebagai simbol akasa (bapak) dan bumi (ibu).

Makna Filsafat Kiwa-Tengen dalam Wayang Bali

Kita mengetahui bahwa wayang-Wayang dalam pertunjukannya dikeluarkan ke kelir sebagai pelaku cerita dipancangkan bertimpi-timpi di kanan-kiri kelir. Yang dipancangkan di sebelah kiri adalah golongan Kurawa dan Raksasa dan yang dipancangkan di sebelah kanan adalah golongan Pandawa, Dwarawati, Pancala dari Dewa-dewa. Yang keluar dari kiri adalah para Kurawa, dan yang keluar dari kanan adalah para Pandawa sedangkan para Dewa-dewa keluar dari bagian kanan atas.

Secara filosofis dalam kebudayaan Bali dikenal dengan istilah “pengiwa-penengen” atau kiri-kanan, atau dharma-adharma, dewa-asura dan sebagainya. Yang kanan termasuk ‘penengen” (tengen=kanan) memiliki semangat, karakter kebathinan putih (white magic) menaruh sifat-sifat dharma (kebenaran) percaya pada Tuhan, berperikemanusiaan, setia, jujur dan adil serta pelindung kebenaran. Sedangkan yang kiri termasuk ‘'pengiwa” (kiwa = kiri), mempunyai semangat, karakter atau spirit kawicesan hitam (black magic), bersifat adharma (jelek), atheis, kejam, bengis, pemarah, pengacau kadilan dan kebenaran. Sedangkan yang keluar dari atas kanan adalah sebagai penengah, seimbang tidak cenderung ke kanan dan tidak cenderung ke kiri (Sugriwa, 1971 :224).

Dua kekuatan hitam-putih (black and white magic) yang Secara umum disebut dengan “rwa-bhineda” yaitu dua sifat yang berbeda yang selalu kontradiksi tetapi tidak pernah akan hilang salah satunya dan menjadi satu dalam kehidupan manusiai Ada laki-perempuan, siang-malam, baik-buruk dan sebagaianya. ‘

I Wayan Karji mengatakan konsep “kiwa-lengen” dalam budaya Bali menyatakan; pengiwa berasal dari kata kiwa (kiri) yang mengandung arti buruk, kasar. Sedangkan tengen (kanan) berarti kebaikan, halus dan semacamnya. Konsep ini mengacu pada prinsip bipolar (dua kutub) yang disebut rwa-bhineda; setiap hal memiliki sisi baik-buruk, positif-negatif. Gambaran visual tentang ajaran ini nampak pada kain poleng yang sering terampir pada patung-patung di Bali (1993:13). Yang dimaksud kain poleng di Sini adalah kain kotak-kotak hitam putih, bukan merah-putih atau warna lainnya. Putih sebagai simbol kesucian, kebajikan sedangkan hitam sebagai simbol kekotoran, kejahatan

Nilai Estetika Gender (Musik) Wayang Bali

Pada umumnya Wayang kulit Bali menggunakan iringan musik gamelan berupa “gender” yang memiliki nada selendro. Setiap pertunjukan Wayang umumnya terdiri dari empat buah “gender”, 2 buah gender “pengumbang" dan 2 buah gender “pengisep”. Namun pada beberapa jenis wayang yang lain mempunyai kekhususan seperti : Wayang Ramayana menggunakan 4 buah "gender", 2 buah kendang lanang-wadon, sebuah cengceng, kelenang, kajar, kempur dun suling. Wayang Gambuh menggunakan gamelan ; suling besar, kendang, rehab, cengceng, kajar, kelenang, kempur. Wayang Calonarang menggunakan gamelan ; 4 buah gender, dua buah kendang, cengceng, kelenang dan kempur.

Gending-gending yang umum digunakan dalam pewayangan di Bali adalah :
  • Pemungkah yaitu tabuh gender waktu mulai membuka “gedog”, tutup “gedog” ditebah-tebah dengan tapak tangan si dalang 3 kali.
  • Paguneman pada waktu para tokoh Wayang mengadakan musyawarah
  • Pamahbah pada saat ini Ki dalang tidak menyanyi tapi mengucapkan kata-kata yang isinya mohon ijin kepada Tuhan
  • Tampak Silir pada saat Ki dalang mengucapkan kalimat-kalimat dalam rangka persiapan musyawarah dengan bahasa Kawi
  • Babaluran selesai nyanyian tampak silir Ki dalang mengucapkan wayang musyawarah yang isinya apa maksud diadakan musyawarah
  • Angkalan setelah selesai musyawarah para tokoh Wayang berangkat melaksanakan tugas masing-masing. Tabuh ini terdiri dari :
    1. Cakra gelar, lebah sepasar, abhimanyu, sekarginotan untuk goiongan kanan yang bemata segitiga.
    2. srikandi, Bima Krodha untuk golongan kanan yang bermata bulat dan golongan kurawa.
    3. Patra rubuh untuk golongan raksasa
    4. Lor-loran untuk mengeluarkan wayang wanita ksatria.
    5. Tunjang untuk durgha dan kalika.
    6. Mesem untuk tetangisan.
    7. Batel untuk perang.
    8. Rundah untuk musyawarah kedua.
    9. Pamempen untuk memasukan wayang ke dalam peti.
    10. Penganteb.

Nilai Seni dan Nilai Agama Hindu

Seni adalah merupakan penciptaan dari segala macam bentuk atau benda yang karena keindahan bentukuya/suaranya, orang akan senang melihat atau mendengarnya (Musium Bali,l979:1). Orang yang menghasilkan karya seni disebut seniman. Gaya yang nampak pada ciptaan Seorang seniman berhubungan erat dengan dunia kebudayaan yang berkembang dalam lingkungan hidupnya dan seni mampu berkembang dengan baik jika seorang seniman mampu memenuhi kepuasan bathin penikmat seni. Mutu seni dapat menggambarkan taraf kehidupan suatu bangsa dan melalui seni dapat diketahui keperibadian bangsa. `

Fungsi kesenian sebagai alat komunikasi adalah memperkuat keyakinan, nilai-nilai, norma-norma yang membawa masyarakat kesuatu kemungkinan untukberkomunikasi dengan hakekat tertinggi secara lebih tenang dan tepat (daeng, 1992:198).

Nilai-nilai yang terkandung dalam seni pertunjukan di Bali adalah nilai agama, nilai logika, nilai estetika dan nilai etika (Atmaja, 1988:25). Nilai-nilai ini diolah oleh para pencipta seni pertunjukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Bali dibidang upacara, seperti misalnya pementasan Wayang Sapuleger bersifat religius, magis, dan spiritual.

Seni merupakan pengungkapan cita, rasa dan karsa manusia sehingga menimbulkan rasa indah, senang dan kagum. Seorang seniman mempunyai kemampuan untuk menarik perhatian orang lain dengan mempergunakan keahliannya dibidang seni. Kreativitas masyarakat Bali dibidang seni tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan. yang bernafaskan agama, karena untuk memuja Tuhan didominasi oleh seni. Seni direalisasikan dalam pelaksanaan agama pada umumnya bersifat religius sebagai penunjang semangat keagamaan yang dapat mendorong pikiran ke arah keindahan, ketenangan dan akhimya menuju pada kesucian.

Estetika berasal dari bahasa Yunani yaitu kata “Aesthetis'’ yang berarti perasaan atau sensitivitas. Keindahan sangat erat hubungannya dengan selera dan perasaan, akan tetapi saat ini diartikan sebagai segala pemikiran filosofis tentang “seni” (Wadjiz Anwar, 1980:9).

Aktivitas estetis masyarakat Bali pada mulanya berfungsi untuk memenuhikebutuhannya dalam upaya memelihara keserasian hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan lingkungan hidupnya, dam manusia dengan sesamanya sehingga terwujud kesejahteraan yang seimbang antara material spritual yang dikenal dengan istilah Tri Hita Karana (Geriya, 1993:93). Atas dasar konsep tersebut muncul kreativitasnya di bidang kesenian sebagai pendukung upacara seperti seni ukir diwujudkan dalam membuat patung-patung sebagai sesembahan, seni suara yang diwujudkan dalam tembang-tembang yang disebut dengan kekawin, seni tabuh sebagai pengiring upacara, seni pertunjukan dengan dipentaskannya Wayang Gedog sebagai pengiring upacara dan berbagai macam perlengkapan upacara sebagai alat persembahan.

Nilai estetika atau keindahan merupakan perwujudan dari cita, rasa, dan karsa manusia, sehingga tidak dapat dipisahkan dari kehidupannya. Bagi masyarakat Bali nilai estetika yang dimilikinya dituangkan pada aktivitas untuk memuja Tuhan, karena disadaria bahwa segala sesuatu yang didapat untuk pendukung hidupnya merupakan karunia Tuhan dan manusia diberikan kemampuan untuk mengolah unsur-unsur alam yang tersedia, Penataan banten mulai dari reringgitan, anyam-anyaman, bentuk jajan, buah-buahan ditata sedemikian rupa untuk dipersembahkan merupakan perwujudan rasa seni. Selain dari persembahan banten juga dipersembahkan berbagai macam seni seperti seni tari, Seni tabuh, seni pewayangan dan seni suara.

The Liang Gie, (1996:43) mengutip pendapat Beardsley yang menyatakan bahwa ada tiga unsur sifat-sifat yang membuat suatu karya disebut estetis yaitu pertama, Kesatuan yaitu suatu karya itu tersusun Secara baik atau sempurna bentuknya, kedua, Kerumitan adalah suatu karya yang rumit dan mengandung perbedaan-perbedaan yang halus, ketiga, Kesungguhan, adalah suatu karya yang mempunyai kualitas tertentu yang menonjol. Pementasan Wayang Gedog dalam upacara Bhuta Yadnya dan pembuatan alat-alat upacaranya jika diruntut dari pembuatannya mengandung ketiga unsur tersebut seperti, unsur Kesatuan, pembuatan banten yang ditata sedemikian rupa untuk dipersembahkan merupakan satu kesatuan antara berbagai macam jenis bahan seperti daun-daunan, buah-buahan, dan berbagai jajan yang ditata dengan rapi, sehingga terbentuk, dan tersusun secara sempurna. Kerumitan, membuat seperangkat sarana upacaranya merupakan suatu karya yang sangat rumit dan merangkai sampai penataannya sehingga selesai dengan sempurna. Kesungguhan, suatu yang menonjol dalam pelaksanaan upacara Bhuta Yadnya dan alat-alat upacaranya adalah kerapian dan keunikan penataan bahan-bahan sesaji, sehingga menjadi satu kesatuan bentuk yang khasa.

Setiap orang mempunyai rasa keindahan terhadap sesuatu yang dilihatnya, Alam dengan aneka ragam isinya mempunyai nilai keindahan tergantung pada cara manusia memandangnya dan tergantung pada budaya yang merupakan hasil cipta, rasa dan karsa suatu masyarakat.

Rasa seni yang dimiliki oleh masyarakat Bali dituangkan dalam berbagai bentuk seni sebagai sesembahan dan alat-alat upacara sebagai persembahan untuk mewujudkan rasa baktinya kepada Tuhan (Raka, 1996:104).

Masyarakat Bali dalam menuangkan rasa bakti kepada Tuhan tidak akan puas hanya dengan sembahyang, tanpa ada wujud baktinya untuk mengungkapkan semua perasaannya (wawancara tanggal 8 Mei 2001). Segala perasaan baktinya diwujudkan dalam bentuk banten (sesaji) yang bahannya berasal dari alam, sebagai wujud sesembahannya, sehingga perasaan dan pikiran yang abstrak dapat dikonkritkan. Aliran naturalisme berpendapat bahwa watak etis dan estetis manusia berakar dari fenomena alam sehingga manusia dapat hidup Secara koperatif dan bahagia (Tim Penulis Rosda,1995:219-220).

Pelaksanaan berbagai macam upacara merupaka perwujudan rasa seni, sehingga setiap aktivitas keagamaan menghasilkan suatu seni tersendiri yang bertujuan untuk menghibur sesembahnya agar memberikan keselamatan baik lahir mapun bathin. Seni dari segi mitologi diciptakan oleh Dewa Brahma yang pada suatu saat sedang menciptakan patung-pagatung wanita terbuat dari tanah liat. Karena rasa kagumnya terhadap ciptaannya, akhirnya patung itu dihidupkan menjadi Bidadari. Pada suatu hari dimana matahari baru muncul dari upuk timur para bidadari beterbangan di atas laut sambil menari-nari sehingga menambah kekaguman Dewa Brahma yang kemudian menciptakan berbagai macam kesenian untuk hiburan di sorga. Para raja yang ada di dunia mengetahui hal itu dengan bathinnya kemudian menciptakan juga berbagai macam kesenian sebagai persembahan Sujud baktinya kepada Tuhan (Pandji, 1971:2). Mitologi ini menjelaskan bahwa setiap kegiatan memuja Tuhan untuk mendapatkan keselamatan baik lahir mapun bathin diwujudkan dengan seni.
  Seni dan agama khususnya di Bali tidak dapat dipisahkan seperti senipewayangan yang bersumber dari ajaran agama Hindu merupakan tradisi yang dipertahankan sebagai pelengkap dalam suatu upacara atas dasar kepercayaan yangmendalam yang beraspirasikan rasa keagamaan. Pertunjukan wayang Sapuleger di satu sisi sebagai curahan rasa seni, dan disisi lain untuk memenuhi rasa baktinya yang méndalam demi keselamatan umat manusia itu sendiri.

Pelaksanaan upacara-upacara dengan dipentaskannya Wayang Sapuleger tidak seperti yang disebutkan oleh aliran utilitarianisme, karena dalam melaksanakan upacara tersebut masyarakat Bali tidak menghitung-hitung kesusahan baik material maupun fisik dan mental dalam melaksanakan sujud baktinya kepada Tuhan. Kebahagiaan yang ingin dicapai dalam melaksanakan upcara Bhuta Yadnya adalah kebahagiaan spiritual yang bersifat batiniah dikenal dengan islilah eudamonisme yaitu kebahagiaan batin merupakan tujuan utama manusia.

Nilai etis dari segi upacara lebih mengarah pada nilai eudamonisme karena upacara yang dilaksanakan lebih menekankan kepuasan batin dari pada kepuasan lahir sedangkan nilai etis dalam pementasan Wayang Sapuleger lebih bersifat ketaatan terhadap Orang tua dalam menanamkan sifat kesucian dan ketakutan terhadap hokum alam. Panugrahan yang muncul dari Batara Kala kepada si dalang mendorong pikirannya untuk selalu waspada dan taat pada putaran hukum alam atau hukum waktu (Kala).

Upacara-upacara di Bali di samping bertujuan mengadakan keselarasan hubungan dengan Tuhan juga bertujuan untuk mengadakan keselarasan hubungan dengan alam, seperti yang disebutkan dalam Lontar Puja Gebogan berupa mantra (doa) pada Saat melakukan upacara Macaru (upacara yang dilaksanakan untuk keseimbangan alam semesta) :
Pakulun paduka Bhatara, sunggana mrtabhumi ningulun, luwaraken sarwamarana ring jagal, nugraha sarwa jagat. Paripurna sarwa tinandurpahalabungkah, pahalaganlung, anandhihaken tahun, wiryaning sarwa tumuruh ring jagat. Om, siddhirastu ya namah (Lonlar Puja Gebogan:5).
Terjemahan:
Ya Tuhan, anugrahilah hamba sumber hidup, enyahkanlah segala penyakit yang mengganggu dunia. Anugrahkanlah segala yang ada di dunia, sempurnakanlah hidup segala yang ditanam: buah-buahan, padi, semoga atas rahmat-Mu segala yang tumbuh di dunia hidup subur. Semoga berhasil atas berkat-Mu.
Puja mantra (doa) di atas menunjukan betapa pentingnya pelestarian terhadap alam bagi kelangsungan hidup manusia di bidang estetis, yang dalam hal ini masyarakat Bali menggunakan upacara ngruwat (nglukat=anyupat) sebagai media untuk melestarikannya.

Nilai estetik dalam hal ini lebih ditekankan pada pembuatan alat-alat upacara Caru Balik Sumpah sebagai persembahan yang bertujuan mengadakan keselarasan hubungan dengan alam.

Rasa estetis masyarakat Bali Iebih banyak digunakan untuk memenuhi rasabaktinya kepada Tuhan, yang diwujudkan dalam membuat alat-alat upacara, patung-patung, dan segala bentuk seni sebagai curahan rasa baktinya yang mendalam kepada sesembahannya.

demikian sekilas tentang Sekilas Tentang Istilah Pewayangan di Bali, semoga beranfaat.