Tampilkan postingan dengan label Agnihotra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Agnihotra. Tampilkan semua postingan

Kamis, 14 April 2016

Siapa yang Wajib Melaksanakan Agnihotra?

Siapa yang Wajib Melaksanakan Agnihotra?

dengan merebaknya trend melaksanakan ritual homa yadnya atau agnihotra di bali, mengundang polemik, pro dan kontra terus bergulir....
belakangan, ada beberapa pemuda yang memiliki keinginan yang besar untuk mengetahui, apakah agnihotra itu wajib? trus, siapa saja yang boleh dan wajib melaksanakan ritual Agni hotra ini? apa dasar sastranya?

nah... untuk menjawab hal tersebut, tyang sebagai salah satu pemuda asli bali mencoba mencari-cari dasar sastra yang merujuk pada pertanyaan diatas.
sebelum lebih jauh lagi, lewat artikel ini akan kembali tyang ulas tentang agni hotra secara umum yang nantinya akan berusaha mencari jawaban atas pertanyaan diatas

Agni Hotra

Dasar sastra pelaksanaannya:

  1. Reg Veda I.1.1 Agnimile Purohitam, yajnasya devam rtvijam Hotaram ratnadhatanam Arti : “oh deva Agni, Engkau sebagai Pendeta Utama, dewa pelaksana upacara yajna, kami memuja-Mu, Engkau pemberi Anugrah berupa kekayaan yang utama”
  2. Kitab Aitareya Brāhmaṇa (V.26) menghubungkan upacara ini dengan seluruh dewa (Viśvedeva) yang diharapkan memberi perlindungan dan kesuburan ternak, 
  3. kitab Kausītaki Brāhmaṇa (II.1) mengidentifikasikan persembahan Agnihotra adalah persembahan kepada dewa Sūrya
  4. Rgveda I.115.1 Sūrya adalah jiwa atau Ātma dari seluruh alam semesta, yang bergerak dan yang tidak bergerak (sūrya ātmā jagatas tasthusaś ca). 
  5. Śatapatha Brāhmaṇa (II.3.1.1) dinyatakan bahwa Agnihotra diidentikkan dengan Sūrya: Agnihotra tidak lain adalah (pemujaan kepada) Sūrya. Karena ia muncul dari depan (agra) dari segala persembahan, oleh karena itu Agnihotra adalah Sūrya. 
  6. Kitab Mahābhārata menyatakan: Seperti seorang raja di antara umat manusia, seperti Gāyatrī mantram di antara seluruh mantram, demikian pula upacara Agnihotra adalah upacara yang sangat penting di antara semua upacara-upacara Veda ( Ganga Ram Garga, 1992: 217). 
  7. Aitraiyabrahmana, 5,31,2 bahwa jika dia melakukan persembahan sebelum matahari terbit, ini seperti memberikan pada seseorang seekor gajah, ketika tangannya tidak menjulur keluar. Tetapi jika mempersembahkan setelah matahari terbit, ini seperti memberikan sesuatu pada seseorang seekor gajah setelah ia menjulurkan tangannya. Oleh karean itu, harus dilakukan pada saat matahari terbit yang akan membawanya pada Surga. 
  8. Satapathabrahamana 2.3.1.6 bahwa seperti seekor ular bisa bebas dari kulitnya, demikian pula ia membebaskan dirinya dari kejahatan malam hari, demikian pula halnya yang mengetahui dengan melakukan persembahan Agnihotra ia akan bebas dari kejahatan. 
  9. Regveda I.164.35 Iyam vedih paro antah prthivya ayam yajno bhuvanasya nabhih, ayam somo Vrishno asvasya reto brahmayam vacah paramam. Arti : ”Altar (kunda pemujaan) adalah tempat tertinggi di bumi, tempat yajna (kunda) adalah putsat alam semesta. Persembahan berupa daun-daun atau rerumputan akan menyuburkan bumi dengan jatuhnya hujan secara teratur, Oh Tuhan, Engkau adalah Mahakuasa dan tersuci diantara semuanya”
  10. Śīlakrama, lamp.41. Śuddha ngaranya eñjing-eñjing madyus, aśuddha śarīra, masūrya sewana, mamuja, majapa, mahoṁa – Bersihlah namanya, tiap hari membersihkan diri, sembahyang kepada Sang Hyang Sūrya , melakukan pemujaan, melakukan Japa dan melaksanakan Hoṁa yajña. 
  11. kakawin Rāmāyana 25, Lumekas ta sira mahoṁa , pretadi pisaca raksasa minantram, bhuta kabeh inilagaken, asing mamighna rikang Yajña. artinya: Mulailah beliau melangsungkan ūpacāra korban api (Agnihotra), roh jahat dan sebagainya, pisaca dan raksasa dimentrai. Bhuta Kala semuanya diusir, segala yang akan menggangu ūpacāra korban itu. 
  12. Atharvaveda XXVIII.6. Yatrā suhārdāṁ sukṛtam – agnihotrahutaṁ yatrā lokaḥ, taṁ lokaṁ yamniyabhisambhuva sā no ma hiṁsit puruśān paśuṁūca – Di mana mereka yang hatinya mulia bertempat tinggal, orang yang pikirannya damai dan mereka yang mempersembahkan Agnihotra, di sanalah majelis (pimpinan masyarakat) bekerja dengan baik, memelihara masyarakat, tidak menyakiti mereka dan binatang ternaknya. 
  13. Canakya Nitisastra, Adhyaya V. Sloka 1: Guru Agnir Dvijatinam, Varnanam Brahmana Guruh, Patireva Guruh Strinam, Sarvasya Bhayagato Guruh". Dewa Agni adalah Guru bagi para Dwijati (Sang Sadaka), Varna Brahmana adalah Guru bagi Varna Ksatria, Waisya dan Sudra, Guru bagi seorang istri adalah suami, dan seorang tamu adalah Guru bagi semuanya. 

Jenis-jenis Api Suci (Homa)

Kitab Sarasamuccaya 59. ...manglelana amuja ring Sang Hyang Tryagni ngaranira Sang Hyang Apuy Tiga, praktyakanya, ahawaniya, grhaspatya, citagni, ahanidha ngaranira apuy ring asuruhan, rumateng I pangan, grhyapatya ngaranira apuy ring winarang, apam agni saksika kramaning winarang ikalaning wiwaha, citagni ngaranira apuy nring manusawa, nahan ta sang hyang tryagni ngaranira sirata puja...
artinya:
taat memuja kepada tiga api suci yang digelari Tryagni; yaitu ahawanya, grhaspatya dan citagni.
  1. Ahawanya artinya pemasak makanan, 
  2. grhaspatya artinya api upacara perkawinan, sebagai saksi, 
  3. citagni artinya api pembakar jenazah. Itulah tiga api suci, api itu harus dihormati dan dipuja.

Pelaksanaan Agnihotra

  1. Kitab Katakasamhita;6,5;54-4 disebutkan “ dia hendaknya melaksanakan agnihotra di sore hari ketika saat matahari terbenam, pagi hari ketika matahari belum terbit” 
  2. Maitrayanisamhita I.8,7 ; 129-9 disebutkan “agnihotra hendaknya dilaksanakan pada saat malam tiba dan pagi hari setelah matahari terlihat bersinar terang”

Jejak Sejarah Agni Hotra di Bali

Agnihotra atau Hoṁa Yajña dilaksanakan pula di Indonesia (Bali) dan sebagai pendukung data ini kita masih dapat mengkajinya melalui peninggalan purbakala (arkeologi) dan tradisi yang hidup dalam masyarakat. Salah satu peninggalan purbakala adalah adanya lobang api (Yajñaśala atau Vedi) tempat dilaksanakan-nya ūpacāra Agnihotra. Tempat atau lobang api ini dapat pula kita saksikan di salah satu Gua Pura Gunung Kawi yang diyakini oleh penduduk sebagai Geria Brahmana terdapat sebuah lobang dalam sebuah altar di tengah-tengah gua, yang rupanya dikelilingi duduk oleh pelaksana ūpacāra Agnihotra. Peninggalan berupa lobang tempat api unggun itu adalah Yajñakunda (Yajñaśala) dikuatkan pula dengan adanya lobang api di bagian atap sebagai ventilasi keluarnya asap dari tempat dilangsungkannya ūpacāra Agnihotra. Nama-nama seperti Keren, Kehen, Hyang Api Hyang Agni (Hyang geni) dan Śala menunjukkan tempat yang berkaitan dengan dilangsungkannya ūpacāra Agnihotra.

Sumber tradisi di antaranya adalah penggunaan pasepan oleh para pamangku, dedukun atau sedahan desa, menunjukkan pula pelaksanaan Agnihotra dalam bentuknya yang sederhana, sayang tradisi menggunakan pasepan dengan mempersembahkan darang asep atau kastanggi kini nampaknya semakin memudar, pada hal yang penting dalam mempersembahkan pasepan adalah mempersembahkan darang asep tersebut.

berdasarkan informasi lisan, yang perlu dikaji kembali lebih seksama, bahwa ūpacāra Agnihotra terakhir terjadi pada masa kerajaan Klungkung di bawah raja Dalem Dimade. Konon saat itu, ketika pelaksanaan ūpacāra Agnihotra berlangsung, panggung tempat ūpacāra terbakar, dan sejak itu raja memerintahkan untuk melaksanakan ūpacāra Agnihotra yang kecil dan sederhana dengan menggunakan pasepan (padupan) saja. Bila informasi tersebut benar, maka sejak itulah tradisi melaksanakan ūpacāra Agnihotra mulai memudar di Bali.

Siapa yang WAJIB melaksanakan Agni Hotra?

  1. Warna Brahmana
  2.  Warna Ksatria
berikut ini dasar sastra tetang kewajiban menjalankan Agnihotra tersebut:
  1. Wrespati Tattwa: sakweh ning papa nika sang yogiswara, lawan ikang wasana kabeh, yateka tinunwan de Bhatara ning siwagni, ri huwusnya hilang ikang karmawasana, tanmolah alanggeng samadhi nira, tanmolah Bhatara ri sira yan mangkana, ya ta matangyan cintamani sira, asing sakaharep nira teka, sakahyunira dadi, ndah wyaktinya kapanggih ikang kastaiswaryan de nira, seluruh dosa beserta karmawasana seorang yogiswara dimusnahkan oleh Tuhan dalam siwagni. bila pemusnahan karmawasana telah selesai, maka konsentrasinya menjadi kokoh dan kuat. tuhan selalu ada dalam dirinya. karena itu ia dikatakan cintamani, segala yang ia inginkan terpenuhi, sebagai manifestasiNYA ia mendapatkan delapan aiswatya. 
  2. Lontar Kala Tattwa: ...tingkah ing yajna madana dana, kasukan sarwa mulya saraja yogya maka dulurin bhojana mwang sarwa phala mula, maka saksi Sang Hyang Siwaditya, pinuja denira sang siddhayogi, sang natha ratu juga wenang amanguna yajna mangkana.... Tatacara yajna adalah dengan membagi-bagikan dana kesenangan, segala yang mulai seperti isi kerajaan, disertai persembahan hidangan dan umbi-umbian dan buah-buahan, sebagai saksi Sang Hyang Siwaditya, yang dipuja oleh sang pendeta yang mempunyai pengetahuan sempurna, seorang raja dapat melaksanakan/menyelenggarakan yajna yang demikian. 
  3. Kitab Sarasamuscaya 58; Adapun kerja yang menjadi kewajiban sang ksatria adalah : mepelajari weda, selalu melaksanakan agnihotra, melaksanakan yadnya, menjaga perdamaian dunia(negara), mengenal bawahan dan sanak keluarga, dan beramal sedekah , bila berprilaku demikian, kamu akanh memperoleh surga kelak
demikianlah sekilas tentang Agni Hotra, yang menyimpulkan bahwa...
Agni Hotra itu PENTING.... dan kewajiban warna Brahmana bersama Warna Kesatrya untuk melaksanakannya.  

apakah boleh warna sudra dan wesya melakukan Agnihotra?

coba perhatikan sloka berikut ini, yang intinya... lakukan dan selesaikan dahulu kewajibanmu sebelum kamu melakukan hal yang lainnya.
śreyān svadharmo vigunah, para-dharmāt svanusthitāt svabhāva-niyatam karma, kurvan nāpnoti kilbisam.” (Bhagawadgita.XVIII.47)
Lebih baik swadharma (kewajiban) diri sendiri meskipun kurang sempurna pelaksanaannya. Karena seseorang tidak akan berdosa jika melakukan kewajiban yang telah ditentukan oleh alamnya sendiri.