Sabtu, 23 Juli 2016

Kenangan Hitam Masa Lalu 8



Jam setengah lima sore, Gatot pergi lagi. Ia sengaja tidak membangunkan Murti yang masih tertidur pulas. Ia juga sangat hati-hati saat mengambil kunci pintu kamar dari sela paha Murti, lalu melangkah perlahan-lahan tanpa suara. Aman. Gatot kembali menutup pintu kamar dan langsung ke garasi. Ia tidak menghidupkan mobil, tapi mendorong mobil itu sampai ke jalan raya. Barulah ia menyalakan mesin. Gatot sudah akan melaju tapi ada yang menghalangi mobilnya.
Persis di depannya tiba-tiba ada sebuah motor melintang di jalan. Motor itu tidak juga menyingkir meski sudah di klakson berkali-kali. Gatot hilang kesabaran. Iapun keluar dari mobil dan melangkah cepat menghampiri motor itu. Belum sempat ia menegur, pengendara motor itu mendahului membuka helm dan mengurai rambut panjangnya, lalu berbalik memandang Gatot dengan senyuman yang menghanguskan kemarahan. Emosi Gatot yang siap meledak jadi jinak. Sekarang pengendara motor itu menepi.
“Masih ingat aku?” kata pengendara motor.
“Ya Tuhan! Ningsih?!” seru Gatot senang.
“Benar, Tot. Lama sekali kita tidak jumpa.” kata Ningsih.

“Iya.” Gatot mengangguk. ”malah kupikir kamu sudah punya anak banyak.” candanya.
Ningsih tertawa, “Boro-boro beranak, nikah aja belum. Kamu mau kemana?” tanyanya kemudian.
“Jemput majikanku. Kamu sendiri?” tanya Gatot.
“Mau jalan-jalan ke komplek. Aku kan juga lahir di sini, Tot.” jawab Ningsih. ”Gimana si murti?” ia bertanya lagi.
“Kamu langsung ke rumahnya aja.” sahut Gatot. ”Maaf ya, Ning, aku buru-buru.” serunya.
“Baiklah. Sampai ketemu lagi, Tot.” Ningsih tersenyum.
Mereka berjabat tangan sebelum berpisah. Sayang sekali waktu tidak mengijinkan, padahal Gatot sangat ingin ngobrol lama dengan Ningsih. Iapun tancap gas dan ngebut karena sudah jam lima sore lewat sedikit. Berarti ia sudah terlambat menjemput Pak Camat. Semoga Pak Camat tidak marah, batinnya.
Sesampainya di tujuan, Gatot disambut senyum ramah sang pemilik rumah; seorang wanita yang cantik dan seksi. Pak Camat belum menampakkan batang hidungnya, yang nampak hanya hidung mancung wanita pemilik rumah. Gatot mengedarkan mata dan berharap Pak Camat segera muncul, tapi harapannya sia-sia. Daripada menunggu lama, tidak ada salahnya bertanya.
“Pak Joko ada, mbak?” tanya Gatot pada wanita muda itu.
“Masuk saja dulu. Ayo,” ajak wanita tersebut.
Gatot ikut masuk sampai ruang tamu, lalu duduk di kursi yang empuk dan berhadapan dengan si wajah ayu. Inilah wajah wanita idaman lain Pak Camat. Gatot mulai dilanda gelisah karena yang ia tunggu tak juga muncul. Ia tidak mau bertanya dua kali. Sesekali ia memandang sebentar ke tuan rumah. Ia memandang hanya ke bagian wajah saja karena kalau memandang lebih ke bawah ia takut imannya goyah. Wanita itu duduk serampangan, begitu juga pakaiannya yang melekat sembarangan. Gatot ingin secepatnya keluar dari ruang tamu ini, tapi si wanita malah menyuguhkan segelas susu hangat. Keinginan Gatot pun tertahan.
“Mana Pak Joko, mbak?” tanyanya lagi dengan terpaksa.
“Sudah pulang,” kata wanita itu dengan gaya centil dan suara mendayu.
“Sudah pulang? Kok Mbak Ayu tidak bilang dari tadi?” Gatot merasa ditipu. ”Naik apa Pak Joko pulang?” tanyanya sengit.
Rentetan pertanyaan Gatot dijawab oleh Ayu dengan kerling mata merayu. Gatot jadi serba salah, serba tak tahu harus berkata apa lagi dan tak tahu harus berbuat apa menghadapi situasi yang sangat berbahaya ini. Gatot sudah terbiasa menghadapi berbagai jenis marabahaya, tetapi menghadapi bahaya berupa wujud wanita, ia seringkali kalah. Contohnya; ia sudah kalah dan takluk di pelukan Murti. Ini ada tanda-tanda ia akan kalah lagi di hadapan Ayu.
“Baiklah, Mbak. Saya pulang dulu,” Gatot mencoba untuk pamit.
“Jangan buru-buru.” Ayu mencegah. ”Nanti aku bantu cari alasan ke Pak Joko,” ia tersenyum lagi.
“Terima kasih, Mbak.” sahut Gatot. ”tapi saya masih punya banyak kerjaan di rumah Pak Camat.” katanya. ”selamat sore,” ia pamit kembali.
“Yah, mau gimana lagi.” Ayu tampak kecewa, tapi tidak bisa lagi mencegah. ”Habiskan dulu susunya sebelum pulang,” ia meminta.
Gatot menenggak habis susu itu tanpa tersisa barang setetespun. Setelah itu ia pamit pulang dan menjabat tangan mulus Ayu. Sungguh terlalu, sungutnya setelah berada dalam mobil. Gatot masih terbayang-bayang segala bentuk tingkah laku Ayu. Memang wajar kalau ia menyumpahinya, wanita itu memang benar-benar terlalu. Gatot tak habis pikir, betapa Ayu tidak sedikitpun merasa malu mempertontonkan diri, menampakkan berbagai gaya dan aksi yang mengundang birahinya.
Tiba-tiba Gatot merasakan kepalanya nyeri. Ia mencoba untuk bertahan, tetapi nyeri itu semakin keras menghantam, membuat kepalanya serasa dipukul-pukul, pusing sekali. Konsentrasinya pun buyar dan ia tak sadar telah mengemudikan mobil ke jalur yang tak semestinya. Sekuat tenaga ia terus mencoba kembali fokus, namun pandangannya malah ikut-ikutan kabur.
Ketika sampai di sebuah perempatan, Gatot sudah tak bisa lagi membedakan yang mana rem yang mana pedal gas. Dalam keadaan tak sepenuhnya sadar, mobil melaju kencang menerobos lampu merah, tepat di saat sebuah tronton melintas. Dalam panik, Gatot tak bisa lagi berbuat apa-apa. Ia masih sempat melihat dan merasakan benturan sebelum semuanya menjadi sangat gelap. Bahkan ia tidak sempat melihat darah mengucur deras, darahnya sendiri. Gatot pingsan di dalam mobilnya yang ringsek.

***

“Praaaangg...!!!”
Murti terkaget-kaget ketika mendengar suara gaduh dari dapur. Ia melompat dari tempat tidur dan berlari ke asal suara. Ia berdiri tercenung. Tidak ada siapapun di dapur, baik itu manusia ataupun hewan. Pintu dapur juga tertutup rapat, pun demikian dengan jendela. Aneh. Tidak ada angin tidak ada badai, tiba tiba piring sudah pecah, berserakan di lantai.
Perasaan Murti seketika menjadi galau. Ia ingat petuah dari para orang tua bahwa jika ada barang atau apa saja jatuh dan pecah tanpa sebab, berarti akan ada hal-hal buruk yang akan terjadi. Semacam firasat. Murti memungut pecahan piring dengan hati kalut. Ia berharap tidak terjadi apapun yang menimpa diri dan keluarganya. Ia maghsul. Perasaannya makin tak nyaman, membuatnya gelisah. Ada apa ini? batinnya.
“Mur, cepat pakai baju dan ikut aku,” seru sebuah suara.
“Mas Joko! Bikin kaget saja!” Murti sama sekali tidak menduga suaminya sudah berdiri di belakangnya. Dalam hati ia bersyukur suaminya pulang dalam keadaan selamat dan sehat wal afiat. Berarti kekhawatirannya tidak terbukti. “Ikut kemana, Mas?” tanya Murti kemudian.
“Ke rumah sakit. Gatot kritis!” jawab Pak Camat.
“Apa?!!” Murti berteriak dengan mulut menganga dan wajah penuh tanda tanya. “A-apa yang terjadi dengan Gatot, Mas?” tanyanya dengan suara bergetar.
“Kecelakaan.” jawab Pak Camat pendek. ”Waktu kita sedikit. Cepatlah.” desak laki-laki itu.
Kalau menyangkut Gatot maka Murti tak mau terlambat. Ia berlari cepat menyambar pakaian dan tanpa make up langsung menyusul suaminya di mobil. Tak lama merekapun melesat. Murti gelisah. Ternyata piring pecah itu memang sebuah firasat buruk. Petuah dari para orang orang tua itu benar. Terjadi hal-hal yang sangat tidak diharapkan. Gatot kecelakaan dan sekarang tengah kritis di rumah sakit. Murti ingin segera sampai di rumah sakit.
“Cepat dikit, Mas.” ia meminta.
“Ini sudah cepat, Murti.” jawab Pak Camat. ”Kamu mau kita kecelakaan juga?” tanyanya mengingatkan.
Murti mencubit perut suaminya dengan wajah merengut. Tentu ia tidak ingin mengalami kecelakaan. Masih banyak keinginannya yang belum tercapai dan ia tak ingin mati sekarang. Murti merasa mobil terlalu lambat padahal jarum speedometer sudah menunjuk angka seratus lebih. Berarti suaminya memang ngebut, sama-sama ingin segera sampai di rumah sakit. Dan akhirnya memang sampai juga.
“Yang mana kamarnya, Mas?” tanya Murti sedikit panik.
“Sabar, kita tanya dulu,” sahut Pak Camat.
Murti paling benci birokrasi, tapi kalau mau tahu kamar pasien memang mau tidak mau harus bertanya ke bagian administrasi. Setelah informasi didapat, iapun berkelebat cepat mendahului Pak Camat menuju ruang perawatan. Pak Camat cuma tersenyum samar lalu menyusul istrinya. Kini mereka sudah berada di instalasi gawat darurat. Murti ingin masuk, tapi perawat yang berjaga melarang. Ia cuma bisa mengintip dari lubang pintu. Murti langsung pucat begitu tahu apa gerangan yang terjadi di dalam ruangan. Buru-buru ia berbalik dan menyandarkan kepala di bahu suaminya, duduk berdua dengan suaminya di bangku depan IGD. Perawat yang berseliweran keluar masuk tidak bersedia memberi pernyataan.
“Kita tunggu dokter saja. Sabar ya,” kata Pak Camat.
“Bagaimana bisa terjadi, Mas?” tanya Murti.
“Entahlah, Mur. Aku sendiri tidak tahu. Malah polisi yang memberitahuku tadi.” jawab Pak Camat.
“Mas Joko bagaimana sih? Memangnya Mas nggak pulang bareng Gatot?” ketus Murti dengan curiga.
“Tidak.” jawab Pak Camat. ”Tadinya aku memang minta dijemput. Tapi karena Gatot lama, terpaksa aku pulang bareng Pak Hasan. Ternyata malah kecelakaan gini,” gumamnya.
“Mas Joko rapat dimana?” tanya Murti, masih tak percaya.
“Ya di kantor dong, sayang.” jawab Pak Camat, mencoba untuk tersenyum.
“Bohong.” potong Murti. ”Orang kecamatan bilang Mas Joko tidak ngantor sama sekali hari ini.” terangnya.
“Aku memang tidak ngantor, tapi rapat di gedung DPRD.” kilah Pak Camat, berusaha tetap bersikap tenang. ”Jangan curiga, ah!” katanya kemudian.
“Gimana nggak curiga kalau tiap hari Mas Joko lupa sama istri.” ketus Murti.
“Aku tidak melupakanmu, Mur. Aku sibuk.” kata Pak Camat. ”Sudahlah, ini rumah sakit, bukan tempat untuk berdebat.” tutupnya.
Mulut Murti langsung mengatup rapat, tidak bicara lagi. Tapi dalam hati ia yakin ada yang tidak beres dengan suaminya. Pak camat memang mengalami perubahan besar, itu yang dirasakan oleh Murti, mengingat suaminya yang akhir-akhir ini jarang di rumah. Liburpun Pak Camat tidak di rumah. Kepercayaannya pada sosok suami perlahan luntur, digerus oleh kecurigaan yang semakin hari semakin tak terbendung lagi. Satu-satunya orang yang tahu betul adalah Gatot. Sayang Gatot tidak berani membuka rahasia, malahan kini Gatot tengah menghadapi maut.
Teringat Gatot, lagi-lagi Murti mendesah. Padahal tadi siang ia masih bersama Gatot, melewati masa-masa bahagia dan suka, menghiasi siang dengan tumpahan kasih dan mesra. Tapi di sore menjelang petang ini, Gatot tak bisa lagi diajak bercanda dan tertawa. Murti jadi gelisah.
“Maafkan aku, Mas.” ia akhirnya berkata.
“Tidak apa, Mur. Aku tidak pernah menganggapmu bersalah. Kita berdoa saja buat keselamatan Gatot.” sahut Pak Camat bijak.
Tanpa diminta, Murti memang sudah berdoa sejak mendapat firasat tadi. Kini doanya semakin ia perbanyak, tak peduli Tuhan masih sudi mendengar doanya atau tidak. Yang pasti sebagai makhluk penuh dosa, ia tak pernah berhenti berdoa. Terlebih ini menyangkut hidup mati seorang pria yang sangat melekat kuat dalam hatinya. Pria yang sejak kecil telah menjadi idaman yang abadi, dan setelah dewasa menjadi tempatnya melipur duka.
“Bagaimana pelantikan tadi pagi?” tanya Pak Camat.
“Baik-baik aja, Mas.” sahut Murti. ”Tapi aku dimutasi ke SMA 3. Jadi jauh kerjaku sekarang.” tambahnya.
“Tidak apa. Sementara biar aku antar kamu sampai Gatot sembuh.” kata Pak Camat.
“Tidak usah, Mas. Aisyah bersedia berangkat bersamaku,” tolak Murti halus.
“Kasihan Aisyah, Mur. Sudah jauh dari Cemorosewu, masih harus jemput kamu.” kata Pak Camat.
“Aisyah berencana pindah ke komplek kita, Mas. Dia lagi nyari kontrakan atau kos-kosan.” terang Murti.
“Bagaimana kalau kita tawarkan rumah Gatot saja?” usul Pak Camat.
“Sudah. Aisyah sendiri yang ngomong langsung ke Gatot. Tapi Gatot masih pikir-pikir.” jawab Murti.
“Itu bisa diatur,” sahut Pak Camat.
Seorang dokter keluar dari ruangan. Murti dan Pak Camat serempak berdiri dan memburu dokter itu.
“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Pak Camat. Murti yang ada di sebelahnya berusaha untuk ikut mendengarkan.
“Masih koma. Tapi tidak usah khawatir. Dia tidak mengalami luka fatal.” jawab sang dokter.
“Syukurlah.” Pak Camat menghela nafas lega. ”Bagaimana dengan tulang-tulangnya?” tanyanya lagi.
“Baik.” jawab dokter itu. ”Memang ada beberapa tulang kaki yang retak. Tapi kami usahakan tidak diamputasi,” lanjutnya.
“Bisakah kami masuk ke ruangan itu?” tanya Murti.
“Silahkan. Tapi jangan terlalu dekat dengan pasien,” pesan dokter.
“Terima kasih, Dok.” Murti mengangguk.
Mereka bergegas masuk dan berdiri agak jauh dari tempat dimana Gatot terbaring koma. Tidak ada yang berani bersuara. Hanya mata mereka saja yang berkaca-kaca menyaksikan Gatot dikelilingi beragam jenis peralatan medis yang serba canggih. Selang infus menempel di sana-sini dan perban membalut hampir seluruh bagian wajah dan kaki. Belum ada tanda-tanda kehidupan sama sekali. Alat pendeteksi detak jantung masih menampilkan garis lurus.
“Maaf, adakah diantara bapak dan ibu yang bergolongan darah AB?” seorang perawat bertanya.
“Saya, Mbak. Silahkan kalau mau ambil darah,” sahut Murti cepat.
“Baik. Silahkan ibu berbaring di kasur itu.” kata si perawat.
Murti tidak menunggu persetujuan Pak Camat. Ia mematuhi perintah si perawat untuk berbaring dan menjalani pemeriksaan kesehatan sebelum mendonorkan darah. Ia rela dan ikhlas, bahkan biar darahnya tersedot sampai habis ia rela demi kesembuhan Gatot.
“Kami sangat butuh pendonor untuk memenuhi persediaan darah.” kata perawat itu sambil terus bekerja.
“Mas Joko, cari dong orang kantor yang bergolongan darah AB.” seru Murti pada suaminya.
“Baiklah. Kamu tunggu sebentar ya,” Pak Camat keluar dari ruangan dan menelepon beberapa pegawai kecamatan. Wajahnya tampak kecewa karena hanya satu yang punya golongan darah AB.
“Dewi, bisakah kamu datang ke rumah sakit?” tanya Pak Camat.
“Baik, Pak. Saya langsung kesana,” jawab Dewi dari seberang telepon. Pak Camat tidak pernah tahu kalau Dewi menjawab sambil tubuhnya berada di dalam pelukan seorang laki-laki.
”Siapa?” tanya laki-laki itu yang rupanya adalah Pak Rahmad, bapak kost Dewi.
”Atasan saya, Pak. Ada yang kecelakaan, saya disuruh cepat ke rumah sakit.” jawab Dewi, tubuhnya sedikit menggelinjang saat Pak Rahmad kembali menggerakkan penisnya. Mereka memang sedang bersetubuh saat itu. Seperti biasa, setiap kali ibu kos tidak ada, Pak Rahmad akan pergi ke kamar Dewi untuk mengambil jatahnya. Termasuk malam ini.
”Sekarang?” tanya Pak Rahmad dengan mimik muka kecewa. Baru saja dapat enak, masa harus diputus di tengah jalan.
”Bapak selesaikan aja dulu,” Dewi tersenyum. Ia berhitung, paling lama permainan ini berlangsung 5 menit lagi, itu sebentar untuk ukuran seorang wanita.
Pak Rahmad pun kembali menggerakkan penisnya, sambil tangannya membelai rambut dan payudara Dewi yang bulat membusung. Kecepatan tusukannya mulai bertambah, dari yang semula pelan kemudian berubah menjadi semakin cepat. Nafsu laki-laki itu rupanya kembali memuncak, hingga setelah beberapa menit, ia berbisik mesra di telingan Dewi, ”Wi, aku sudah nggak tahan lagi, mau orgasme.”
”Iya, Pak. Akan Dewi temani sampai ke puncak sama-sama.” sahut Dewi sabar.
Pak Rahmad makin mempercepat gerakannya, ia tampak berkonsentrasi ke tubuh Dewi yang mulus dan sintal. Sambil terus menggenggam dan meremas-remas payudara Dewi, ia pun menyemprotkan air maninya kuat-kuat; creet… creet… creet… berkali-kali penis tuanya berkedut kencang, menumpahkan segala isinya memenuhi lorong vagina Dewi hingga jadi terasa begitu basah dan lembab.
“Ahh... bapak sampai, Wii,” rintih Pak Rahmad sambil memeluk dan mendekapkan kakinya ke pinggul Dewi, dengan begitu batang penisnya bisa tertanam sangat dalam di belahan vagina gadis cantik itu.
Dewi membelai tubuh gendut bapak kos-nya itu. Tidak ada cinta disana, cuma pelampiasan nafsu. ”Cabut ya, Pak. Dewi harus lekas pergi ke rumah sakit,” ia berbisik.
”Ah, i-iya.” Pak Rahmad segera mencabut penisnya.
Dewi buru-buru bangun dan mengambil kertas tissue yang ada di atas meja, ia lap penis Pak Rahmad dengan hati-hati sekali. Setelah itu bibir vaginanya yang basah ia lap juga, lalu ia pergi ke lemari untuk mengambil baju ganti.
”Kamu nggak mandi dulu?” tanya Pak Rahmad sambil rebahan di ranjang, tubuhnya masih telanjang. Penisnya yang tadi menegang, kini sudah mengkerut kembali ke ukuran semula.
Dewi tersenyum saat melihatnya, ”Nanti nggak keburu, Pak.” jawabnya singkat dan lekas pergi meninggalkan kamar.

***

Pak Camat masih berusaha menghubungi siapa saja yang dikenalnya. Sungguh repot mencari, dan sampai habis pulsa, tidak ada yang cocok dengan permintaan si perawat. Murti juga sibuk menelpon dan mengirim sms pada rekan-rekannya sesama guru, juga kawan-kawannya, siapapun yang ia kenal segera ditelponnya. Tapi Murti ragu untuk menelpon Aisyah karena malam ini adalah acara tujuh hari meninggalnya ayah Aisyah. Tapi demi Gatot, ia menepis keraguan itu dan coba untuk menghubunginya. Beberapa kali belum juga diangkat. Murti paham Aisyah pasti sibuk. Sekali lagi ia coba, dan kali ini langsung tersambung.
“Assalamu’alaikum, Aisyah.” sapa Murti.
“Wa’alaikum salam, Bu Murti. Ada apa?” tanya Aisyah.
“Begini, Aisy. Kami sangat butuh pendonor. Apa golongan darahmu?” tanya Murti.
“AB.” jawab Aisyah, yang langsung memberi kelegaan di hati Murti. ”Buat siapa, Bu? Siapa yang sakit?” tanya Aisyah kemudian.
“Buat Gatot. Tadi sore dia kecelakaan dan sekarang masih koma.” sahut Murti.
“Astaghfirullah.” Aisyah berseru kaget. ”Ada di rumah sakit kan? Saya segera kesana, Bu.” janjinya.
“Terima kasih, Aisyah.” Murti mempersilahkan. ”Assalamualaikum...” ia kemudian menutup pembicaraan.
Murti lega. Setidaknya ada empat orang termasuk dirinya sendiri yang bersedia menjadi pendonor. Tiga orang yang lain adalah Aisyah, Ningsih, dan Dewi. Tidak sampai setengah jam, Ningsih dan Dewi sudah berada di rumah sakit. Pak Camat mengantar keduanya ke ruang gawat darurat. Murti menyambut mereka dengan jabat tangan dan ucapan terima kasih. Pengambilan darah berlangsung cepat. Meski sudah selesai, tapi Ningsih dan Dewi tetap bertahan di rumah sakit bersama Murti. Pak Camat ijin pulang untuk mengambil beberapa kebutuhan Gatot.
Sepeninggal Pak Camat, Aisyah datang dengan keringat bercucuran. Murti maklum, pasti Aisyah naik angkot sampai keringetan begitu. Semua berlangsung sama dengan tadi. Dalam sekejap tiga kantong darah sudah siap. Mereka memang memaksa perawat untuk mengambil darah sebanyak-banyaknya.
“Terima kasih, kalian semua mau membantu kami.” kata Murti.
“Saya juga senang bisa membantu.” sahut Ningsih. ”Padahal tadi sore aku bertemu Gatot. Katanya sih dia mau jemput suamimu,” tambahnya.
“Iya, Mbak Murti. Aku juga sempat lihat mobil Pak Camat di perumahan Residence. Pasti gatot yang bawa mobil itu,” kata Dewi.
“Perumahan Residence?” tanya Murti mulai berpikiran curiga. Ia tidak lagi tertarik pada obrolan ketiga tamunya. Ia lebih tertarik pada penjelasan yang disampaikan oleh Dewi; mobil suaminya kedapatan memasuki perumahan Residence.
Selama bertahun-tahun berumah tangga, belum pernah sekalipun Pak Camat  membawanya ke perumahan mewah itu. Suaminya juga tidak pernah menyinggung kawasan elit itu. Tapi yang dibilang Dewi membuatnya berpikir seribu kali. Ada apa gerangan dengan keberadaan mobil suaminya di sana? Apakah itu berhubungan dengan perubahan suaminya? Siapa yang ditemui oleh suaminya disana? Kenapa Gatot tidak bilang apa-apa? Pertanyaan-pertanyaan itu bergentayangan merasuki alam pikirannya, membuat Murti semakin yakin dengan gosip yang dihembuskan di arisan darma wanita.
“Kok Bu Murti malah diam?” tanya Aisyah.
“Tidak apa, Aisy.” jawab Murti. ”Kamu serius mau tinggal di komplek?” tanyanya kemudian untuk mengalihkan pembicaraan.
“Benar, Bu. Ini saya malah bawa seragam kerja. Rencana saya malam ini mau menginap di rumah Bu Murti.” kata Aisyah.
“Nanti bilang sama Pak Camat dulu ya,” sahut Murti.
“Baik, Bu.” Aisyah mengangguk.
“Oh ya, Mur, aku lupa sampaikan kalau keluargaku berencana kembali ke komplek,” kata Ningsih memberitahu.
“Benarkah? Dimana keluargamu mau tinggal, Ning?” tanya Murti gembira.
“Ya di rumah yang dulu.” jawab Ningsih. ”Abah sudah membeli kembali rumah itu. Kami tidak betah di tengah kota, berisik.” terangnya.
“Syukurlah, kita bisa berkumpul lagi, Ning.” jawab Murti.
“Harapanku juga begitu, Mur. Bukan cuma dengan kamu, tapi aku berharap bisa berkumpul dengan teman-teman kecil yang dulu.” kata Ningsih.
“Sepertinya komplek sangat menarik buat dihuni ya, Mbak Murti?” tanya Dewi yang sedari tadi cuma diam mendengarkan.
“Kamu juga mau pindah ke komplek?” tanya Murti penasaran.
“Melihat antusias kalian, terus terang membuat saya tertarik, Mbak.” jawab Dewi.
“Sayang sekali komplek sudah penuh, Dewi. Si Aisyah saja masih bingung cari kontrakan.” kata Murti.
“Sayang sekali.” Dewi kelihatan kecewa. ”Aku juga mulai nggak kerasan di kos-kosan yang sekarang, tidur sering nggak nyenyak.” Bagaimana bisa tidur nyenyak kalau Pak Rahmad terus menyatroninya setiap malam.
“Nantilah kutanyakan ke tetangga,” janji Murti.
Ada-ada saja. Kenapa semua orang ingin tinggal di komplek yang tersohor sebagai kawasan buram itu? Tapi siapa yang bisa menebak isi hati orang. Murti hanya bisa menebak isi hatinya sendiri.
Jam sepuluh malam Pak Camat kembali ke rumah sakit. Murti dan Aisyah membantu membawakan empat tas besar berisi pakaian dan kebutuhan Gatot selama dirawat, sementara Dewi dan Ningsih setengah jam yang lalu sudah meninggalkan rumah sakit karena jam besuk sudah berakhir.
“Mur, kamu tahu kemana Gatot mau pergi?” tanya Pak Camat.
“Maksud Mas Joko?” tanya Murti tak mengerti.
“Begini, tadi aku masuk ke rumah Gatot. Aku lihat satu setel baju koko dan kopiah seperti sudah disiapkan olehnya. Makanya kutanya kamu, tau dia kondangan dimana?” jelas Pak Camat.
Murti dan Aisyah berpandangan. Aisyah lalu memandang Pak Camat dengan wajah sedih. “Mungkin Mas Gatot mau tahlilan ke rumah saya, Pak. Tadi siang saya memang undang dia.” jawabnya.
“Ooh begitu.” Pak Camat manggut-manggut. ”Saya juga mohon maaf kalau tidak bisa hadir ya, Aisyah. Saya sibuk.” tambahnya.
“Tidak apa-apa, Pak. Saya memahami kesibukan Pak Camat.” kata Aisyah.
“Sudah malam. Ayo kita pulang. Aisyah mau ikut?” tanya Pak Camat.
“Iya, Pak.” Aisyah mengangguk. ”Saya harap bapak tidak keberatan menerima saya semalam saja. Terlalu malam kalau saya pulang ke Cemorosewu.”
“Saya malah senang. Ayo,” jawab Pak Camat sambil tersenyum.
Merekapun meninggalkan rumah sakit dengan hati berat, terutama Murti. Ia sangat ingin lebih lama di rumah sakit, bahkan kalau perlu menginap untuk memastikan keadaan Gatot baik-baik saja. Sayangnya semua itu tak mungkin karena ia bersuami. Cukup doa saja yang ia panjatkan bersama mekarnya seribu harapan.

***

Di dalam kamar, Dewi memekik kaget saat seseorang tiba-tiba memeluk tubuhnya dari belakang. ”Auw! Pak Rahmad... saya kira sudah tidur.” gelinjangnya.
Laki-laki tua itu tertawa, ”Tadi belum puas,” bisiknya sambil mengendus leher jenjang Dewi.
Si cantik yang baru pulang dari rumah sakit itu tersenyum, ”Dasar, bapak ini nggak ada bosan-bosannya ya!”
”Sama gadis secantik kamu, masa aku bisa bosan?” balas Pak Rahmad, mulutnya perlahan mencari dan memagut pelan bibir Dewi yang tipis mungil, lalu mengulumnya lembut.
Mereka saling berciuman, lidah Pak Rahmad dijulurkan ke dalam rongga mulut Dewi, yang diterima Dewi dengan senang hati. Langsung saja mereka saling melumat dengan penuh gairah. Tangan mereka juga saling meraba. Dewi yang saat itu mengenakan hem agak longgar, mulai dibuka kancingnya satu persatu oleh Pak Rahmad. Dadanya pun akhirnya terbuka, menampakkan sepasang payudara indah miliknya yang terlihat begitu mulus dan menggiurkan.
Dewi tak berkutik saat Pak Rahmad menggiringnya naik ke atas ranjang, laki-laki itu merebahkannya ke tempat tidur tanpa melepaskan lumatannya, sambil tangan kanannya mulai meremas-remas payudara Dewi yang bulat besar dengan penuh nafsu.
Dewi yang sudah mulai horny langsung melucuti sisa pakaiannya hingga telanjang bulat, ia juga membantu Pak Rahmad untuk melepas kain sarungnya. Setelah sama-sama bugil, mereka kembali berpelukan dan saling bertindihan di atas ranjang. Dengan gemas Dewi memegang dan meremas-remas batang kemaluan Pak Rahmad yang pendek tapi sangat besar, cepat sekali benda itu ereksi. Kini sudah terasa sangat keras dan tegang sekali.
Tangan kanan Pak Rahmad terus meremas-remas payudara Dewi, bibirnya juga tak henti melumat dan menghisap mulut perempuan cantik itu, bahkan kini ciumannya turun ke arah leher Dewi yang jenjang. Ia menghisap lembut disana sambil memberikan gigitan-gigitan kecil yang sangat diinginkan oleh Dewi.
”Ah, Pak...” gadis itu merintih, paha kanannya ditumpangkan ke paha kiri Pak Rahmad, sementara lututnya ia gesek-gesekkan ke atas pinggul laki-laki tua itu hingga alat kelamin mereka bisa saling bersentuhan.
Pak Rahmad memindahkan tangannya, kini ia menggesek naik turun tepat di bagian luar vagina Dewi yang sudah mulai basah berlendir, sementara bibirnya terus menciumi bagian-bagian tubuh Dewi yang sensitif. Dengan piawai Pak Rahmad memainkan ujung jarinya di belahan vagina Dewi, sambil sesekali menyentuh dam merangsang klitorisnya. Dengan sengaja ia menyentil-nyentil daging mungil itu hingga Dewi sampai menghentak-hentakkan tubuhnya karena saking gelinya.
Pelan ciuman Pak Rahmad juga mulai turun ke bawah dan berhenti di payudara Dewi yang bulat besar, dengan lembut lidahnya menggelitik puting susu Dewi yang ranum dan berwarna merah kekuningan. Buah dada itu habis dilumatnya, Pak Rahmad sudah hafal dimana titik-titik sensitif di tubuh Dewi, dan semuanya habis ia kerjai.
Sekarang tinggal yang bawah. Dewi melenguh saat merasakan nikmatnya belaian tangan Pak Rahmad di lubang vaginanya. Jari laki-laki itu yang besar menggosok-gosok bagian luar vaginanya, berkali-kali sengaja mengenai bulatan klitorisnya, sambil jari tengahnya seperti dimain-mainkan di lorongnya yang sempit sehingga vagina Dewi dengan cepat menjadi basah dan becek. Terdengar bunyi kecipak keras saat Pak Rahmad terus merangsangnya.
Tak ingin kalah, Dewi mengulurkan tangan. Kembali ia meremas dan mengocok-ngocok batang kemaluan laki-laki tua itu. Ia terus melakukannya saat dengan telapak tangannya, Pak Rahmad mendorong lutut Dewi ke atas dan mengangkangkan pahanya lebar-lebar sehingga bagian vagina Dewi yang mungil terpampang jelas.
Pak Rahmad lalu mengarahkan kepalanya ke situ, dengan rakus mulutnya langsung menyerbu mulut vagina Dewi, semua cairan yang ada disana dijilat dan langsung ditelannya sampai habis. Seakan tidak puas, laki-laki itu terus menjulurkan lidahnya, menjilat belahan pantat Dewi hingga lubang anusnya juga. Tak ketinggalan liang vagina Dewi yang sempit juga jadi sasaran lidahnya, Pak Rahmad mengorek dan menusuk-nusuknya hingga dalam sekali.
”Augh... Pak!” diperlakukan seperti itu, nafsu Dewi jadi semakin memuncak. ”Ooo... ampun, Pakk... aduh... aduduh... uhh... bapak gila! Aah...” rintihnya kesetanan.
Pak Rahmad yang tidak ingin memberi Dewi kesempatan untuk menarik nafas, segera merangkak naik mencium bibirnya, sambil tangan kanannya kembali meremas-remas puting susu perempuan cantik itu.
”Ahh...” Dewi melenguh saat merasakan benda lunak padat menempel di bibir vaginanya.
Dengan tangan kirinya Pak Rahmad menuntun batang kemaluannya agar tepat berada di pintu masuk vagina Dewi. Setelah tepat, segera didorongnya dengan sepenuh tenaga. Sleepp... bleessh! Masuklah batang gemuk itu, memenuhi lorong vagina Dewi dengan segala pesonanya.
”Arghh...!” Dewi mengernyit, tapi terlihat menikmatinya. Apalagi saat Pak Rahmad mulai memompa penisnya maju-mundur, mengocok lubang vaginanya, rasanya bukan main. Dewi jadi semakin menggelinjang keenakan dibuatnya.
”Aduh... enak banget, Pak... terus!” rintih Dewi penuh kepuasan, karena sambil tetap mengocok batang kemaluannya, ibu jari tangan kanan Pak Rahmad ditempelkan ke klitorisnya dan digesek-gesekkan dengan lembut disana, sementara tangan kirinya meremas-remas payudara Dewi sambil juga memilin-milin puting susunya.
”Ooo... ooh! Dewi, aku sudah mau keluar lagi.” rintih Pak Rahmad tiba-tiba. Seperti biasa, laki-laki itu tidak bisa tahan lama.
”Sebentar, Pak! Kita keluarkan sama-sama.” kata Dewi sambil ikut menggerakkan pinggulnya, dengan begitu ia berharap rangsangan pada tubuhnya akan lebih nikmat lagi.
Pak Rahmad hanya bisa menggeleng-geleng dan menyusupkan kepalanya  ke belahan payudara Dewi yang besar saat menerima semua itu. ”Ooh... s-sudah, Dewi... aku nggak tahan!” jerit laki-laki tua itu, dan akhirnya ia orgasme sambil memeluk tubuh montok Dewi erat-erat.
Dengan selangkangan masih basah dan belepotan oleh cairan sperma Pak Rahmad yang sedikit kental, Dewi meneruskan genjotannya. Mumpung penis laki-laki itu masih belum melemah, ia membatin. Dan akhirnya bisa juga menjemput orgasmenya tak lama kemudian. Cairannya memancar keluar banyak sekali, begitu deras, bahkan hingga sampai membasahi bantal dan sprei. Pak Rahmad tersenyum saat melihatnya.
”Enak?” tanya laki-laki tua itu, tangannya kembali meremas-remas payudara Dewi yang begitu putih dan montok.
”He-em,” Dewi mengangguk. ”Bapak juga enak kan?” tanyanya balik.
Pak Rahmad tersenyum, ”Kalau nggak enak, nggak mungkin aku bisa ketagihan sama tubuh kamu.” jawabnya diplomatis.
Mereka saling berangkulan dan akhirnya tertidur pulas tak lama kemudian, sama-sama puas dan kelelahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar