Senin, 17 Agustus 2015

Eksistensi Sekte Wais̩n̩awa di Bali

Eksistensi Sekte Wais̩n̩awa di Bali

Untuk dapat menyelusuri tentang keberadaan sekte Wais̩n̩awa di Bali, kita kembali pada Maharesi Markandya sebagai orang pertama yang datang ke Bali dan menyebarkan ajaran Hindu bagi orang-orang Bali. 
Cerita tentang Maharesi Markandya tersebut adalah demikian:

Ketika orang-orang Bali Mula belum beragama, mereka Cuma menyembah leluhur yang mereka sebut Hyang. Dari pandangan spiritual, mereka masih hampa. Oleh karenanya Pulau Bali ketika itu oleh Purana-purana Bali dikatakan masih kosong. Keadaan yang demikian itu berlangsung sampai abad ke empat sesudah masehi.


Melihat keadaan Pulau Bali yang masih terkebelakang itu, maka para penyiar Agama Hindu berdatangan ke Pulau Bali ini. Di samping untuk mengajarkan agama juga memajukan Bali dalam segala sektor kehidupan. Maka untuk kepentingan itu datanglah seorang Resi ke Bali, yang bernama Resi Markandya.

Menurut Purana, Maharesi Markandya berasal dari India, seperti dinyatakan dalam pustaka sebagai berikut “Sang Yogi Maharkandya Kawit hana sakeng Hindu” yang artinya : “Sang Yogi Maharkandya bukan nama perorangan melainkan adalah nama Perguruan atau Pasrama, seperti halnya juga nama Agastya. Perguruan atau Pasraman ini adalah lembaga yang mempelajari dan mengembangkan ajaran-ajaran gurunya, yaitu Sang Resi Penumbuh ajaran itu. Kebiasaan secara tradisi, setiap generasi ada yang diangkat menjadi Guru dari Pasraman atau Perguruan itu, dengan gelar yang sama. Garis perguruan ini namanya Param-para. Masing-masing perguruan menyusun pokok-pokok ajaran, yang umumnya disebut Purana yakni buku suci yang memuat ajaran dan cerita kuno. Demikianlah akhirnya ada pustaka suci yang bernama Markandya Purana, Agastya Purana dan lain-lain.

Jadi Sang Resi Maharkandya adalah seorang Resi dari perguruan maharkandya di India, beliau datang ke Indonesia adalah untuk menyebarkan Agama Hindu dari Sekte Wais̩n̩awa.

Di Jawa Sang Resi mula-mula berasrama di gunung wilayah pegunungan Dieng. Lalu beliau berdharmayatra ke Timur sampailah akhirnya di gunung Raung di Jawa Timur. Di sini beliau membuka asrama dengan murid-murid dari Wong Aga. Dari Pasraman Gunung Raung ini, beberapa tahun kemuadian beliau pergi ke Timur, ke Pulau Bali, yang ketika itu konon di Bali masih kosong. Kosong dalam artian spiritual. Beliau berangkat dengan diiringi murid beliau sebanyak 800 orang. Kedatangan Sang Resi dengan murid-muridnya adalah untuk menyebarkan ajaran Agama Hindu di Pulau Bali, ketyika itu orang-orang Bali Mula belum beragama. Di samping ajaran agama, juga beliau ingin mengajarkan teknik pertanian dan bidang-bidang lainnya. Untuk itu beliau mengajak murid-muridnya ke Bali untuk memberikan contoh cara-cara bertani yang teratur, cara membuat peralatan Yajña dan lain sebagainya.

Perjalanan beliau ke Bali pertama menuju Gunung Agung. Di sanalah beliau dan murid-muridnya membuka hutan untuk pertanian. Tapi sayang, murid-muridnya kena penyakit, banyak diantaranya yang meninggal. Akhirnya beliau kembali ke Pasraman beliau di Gunung Raung. Di sanalah beliau beryoga, ingin tahu sebabnya bencana menimpa murid-muridnya itu. Akhirnya beliau mendapat pawisik bahwa terjadinya bencana itu, karena beliau tidak melaksanakan upacara keagamaan sebelum membuka hutan itu.

Setelah mendapat pawisik, beliau pun pergi kembali ke gunung Tolanhkir Bali. Kali ini beliau mengajak peserta sebanyak 400 orang. Sebelum mengambil pekerjaan, beliau lebih dahulu menyelenggarakan upacara ritual, dengan menanam Pañcadhatu di lereng Gunung Agung itu. Demikianlah akhirnya semua pengikut beliau selamat. Oleh karena itu wilayah ini lalu dinamai Besuki, kemudian menjadi Besakih, yang artinya selamat. Tempat beliau menanam Pañcadhatu, lalu menjadi Pura, yang diberi nama Pura Besakih.

Entah berapa lamanya beliau berada di sana, lalu Resi Markandeya pergi menuju arah Barat, dan sampai di suatu daerah yang datar dan luas, di sanalah beliau merabas hutan. Wilayah yang datar dan luas ini lalu diberi nama Puwakan. Kemungkinan dari kata Puwakan ini lalu menjadi Swakan dan terakhir menjadi Subak.

Di tempat ini beliau menanam jenis-jenis bahan pangan. Dan semuanya bisa tumbuh dan menghasilkan dengan baik. Oleh karenanya tempat ini disebut Sarwada yang artinya serba ada. Keadaan bisa terjadi karena kehendak Sang Yogi, Kehendak bahasa Balinya Kahyun atau adnyana. Dari kata kahyun menjadi kayu. Kayu bahasa Sanskertanya taru, kemudian menjadi Taro. Taro adalah wilayah ini kemudian.

Di wilayah Taro ini Sang Yogi mendirikan sebuah pura sebagai kenangan terhadap pasraman beliau di Gunung Raung. Pura ini disebut pura Gunung Raung sampai sekarang. Di sebuah bukit tempat beliau beryoga juga didirikan sebuah pura yang kemudian dinamai Pura Payogan, yang letaknya di campuan Ubud. Pura ini juga disebut Pura Gunung Lebah.

Berikutnya Resi Maharkandya pergi ke Barat dari Payogan itu, dan sampai di sana juga membagun sebuah pura yang diberi nama Pura Murwa dan wilayahnya diberi nama Pahyangan, yang sekarang menjadi Payangan.

Orang-orang Aga, murid Sang Yogi, menetap di desa-desa yang dilalui beliau. Mereka becampur baur dengan orang-orang Bali Asli. Mereka mengajarkan cara-cara bercocok tanam yang baik, menyelenggarakan yajña seperti yang diajarkan Sang Resi Maharkandya. Dengan demikian Agama Hindu pun dapat diterima dengan baik oleh orang-orang Bali Asli itu.

Sebagai Rohaniawan (Pandita), orang Aga dan Bali Mula, adalah keturunan Maharesi Markandya sendiri yang disebut Warga Bujangga Waisnawa.

Dalam zaman raja-raja berikutnya, Bujangga Waisnawa ini selalu menjadi Porohita mendampingi raja, ada yang berkedudukan sebagai Senapati, Kuturan. Beliau-beliau antara lain Mpu Gawaksa dinobatkan menjadi Senapati Kuturan oleh Ratu Adnyanadewi tahun 1016 Masehi, sebagai pengganti Mpu Rajakerta (Mpu Kuturan). Ratu ini pula yang memberikan kewenangan kepada Sang Guru Bujangga Waisnawa untuk melakukan pecaruan Waliksumpah ke atas. Karena beliau mampu membersihkan segala noda di bumi ini. Lalu Mpu Atuk, di dalam masa pemerintahan Sri Sakala Indukirana (1098 M), dinobatkan sebagai senapati Kuturan dari keturunan Bujangga Waisnawa pula yang berleluhur Resi Markandya.

Pada pemerintahan Suradhipa (1115-1119 M), yang dinobatkan sebagai Senapati Kuturan dari keturunan Sang Resi Markandya adalah Mpu Ceken, kemudia diganti oleh Mpu Jagathita.

Kemudian ketika pemerintahan Raghajaya tahun 1077 M, yang diangkat sebagai Senapati Kuturan adalam Mpu Andonamenang, dari keluarga Bujangga Waisnawa. Demikianlah seterusnya untuk selalu ada salah seorang Purohita Raja atau Dalem yang diambil dari keluarga Bujangga Waisnawa, keturunan Maharesi Markandya. Sampai terakhir masa pemerintahan Dalem Batur Enggong di Bali. Ketika itu yang menjadi Bhagawanta Dalem, mewakili sekte Waisnawa, adalah dari Bujangga Waisnawa pula dari Griha Takmung. Namun sayang dan mungkin sudah kehendak Dewata Agung, terjadi kesalahan Sang Guru Bujangga, di mana beliau selaku Ācārya (Guru) telah mengawini sisyanya sendiri yakni putri Dalem yaitu Dewa Ayu Laksmi. Atas kesalahan ini Sang Guru Bujangga Waisnawa akan dihukum mati. Tapi beliau segera menghilang dan kemudian menetap di wilayah Tabanan.

Semenjak kejadian itulah Dalem tidak lagi memakai Bhagawanta dari Bujangga Waisnawa keturunan Sang Resi Markandya. Dari sejak itu dan setelah kedatangan Danghyang Nirartha di Bali, posisi Bhagawanta diambil alih oleh Brahmana Siwa dan Budha. Selesailah sudah peranan Bujangga Waisnawa sebagai pendamping raja di Bali. Bahkan setelah strukturisasi masyarakat Bali ke dalam sistem Wangsa Oleh Danghyang Nirartha atas restu Dalem, keluarga Bujangga Waisnawa tidak dimasukkan lagi sebagai Warga Brahmana.

Namun sisa-sisa kebesaran Bujangga Waisnawa dalam peranannya sebagai pembimbing masyarakat Bali, terutama di kalangan Bali Mula dan Bali Aga masih dapat kita lihat sampai sekarang. Pada tiap-tiap pura dari masyarakat Bali Aga atau Bali Mula itu selalu ada Palinggih sebagai Sthana Bhatara Sakti Bujangga. Alat-alat pemujaan selalu siap pada Palinggih itu. Orang-orang Bali Aga/Mula, cukup nuhur tirtha, tirtha apa saja, terutama tirtha pengentas adalah melalui palinggih ini. Dan sampai sekarang para warga ini tidak berani mempergunakan atau nuhur Pedanda Siwa.

Warga Bujangga Waisnawa, keturunan Maharesi Markandya sekarang telah tersebar di seluruh Bali. Pura Padharmannya di sebelah Timur Penataran Agung Besakih, sebelah Tenggara Padharman Dalem. Demikianjuga pura-pura Kawitannya tersebar di seluruh Bali, seperti Takmung Kabupaten Klungkung, Batubulan Kabupaten Gianyar, Jatiluwih Kabupaten Tabanan dan lain-lain tempat lagi.

Demikianlah Maharesi Markandya, leluhur Warga Bujangga Waisnawa penyebar Agama Hindu di Bali, dan warganya sampai sekarang ada saja yang melaksanakan Dharma Kawikon dengan gelar Resi Bujangga Waisnawa. Sedangkan keturunan orang Aga dari Gunung Raung telah membaur denganBali Mula penduduk asli Pulau bali, mereka menjadi orang Bali Mula/Bali Aga (dipetik dari Leluhur Orang Bali dari Dunia Babad dan Sejarah oleh I Nyoman Singgih Wikarman, 1998 : 14-19).

Dari kutipan cerita diatas, diketahui bahwa adanya sebutan Bali Mula/Bali aga adalah untuk membedakan orang-orang yang leluhurnya datang belakangan ke Bali, umumnya mereka dari Jawa. Perbedaan orang Bali mula dengan orang Bali yang datang belakangan tampak sekali pada upacara kematiannya. Orang Bali mula melaksanakan upacara kematiannya dengan cara mendem atau menanam, yang disebut beya tanem. Banyak interpretasi yang berkembang di masyarakat, mengapa orang-orang menyelenggarakan beya tanem, tidak beya bakar.

Śāstra-śāstra lontar mengatakan, karena mereka penganut sekte Wais̩n̩awa dan Bayu. Tradisi sekte Wais̩n̩awa adalah beya tanem. Tapi di India, justru penganut sekte Wais̩n̩awalah yang paling konsisten melaksanakan beya bakar. Sedangkan sekte Bayu di India tidak jelas keberadaannya. Tafsir lain muncul, agar abu sawa yang dibakar tidak mencemari kahyangan-kahyangan yang ada di gunung-gunung. Tapi yang namanya abu pastilah akan meninggi ke atas melampaui pura-pura yang ada.

Dalam (Wikarman, 1998 : 12) kedua alasan di atas dikatakan kurang tepat. Dan alasan yang tepat yaitu, mereka orang Bali Mula keturunan orang-orang Austronesia dari zaman perundagian (Megalithikum), tradisi mereka dalam upacara kematian adalah menguburkan. Kalau ketua kelompok mempergunakan peti batu. Tradisi ini begitu mendarah daging sulit untuk diubah. Kemudian datang agama Hindu, mereka terima dengan tetap melanjutkan tradisinya. Ngaben mereka terima tapi bakar mayat tidak. Mereka hanya menerima upacara dan upakaranya saja, lalu muncullah istilah beya tanem. Sistem beya tanam sampai sekarang dilaksanakan oleh orang-orang Bali Mula. Demikian juga ada satu ada satu ciri lagi untuk mengingati keturunan orang-orang Austronesia dari zaman Megalithikum ini. Bila mereka ngaben, mereka tidak berani menghias wadahnya dengan kertas, Parasbaan, kapas dan lain-lainnya. Mereka hanya mempergunakan bahan-bahan lokal seperti ambu, padang-padang, plawa dan lain-lainnya.

Mereka semua dikelompokkan sebagai warga Bali Mula. Para ketua kelompok, kemudian disebut Pasek Bali. Di antaranya mereka adalah Pasek Taro (Wikarman, 1998 : 12). Demikianlah sekilas tentang eksistensi Sekte Wais̩n̩awa di Bali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar