Kamis, 14 Juli 2016

Desahan Tengah Malam 1



Sejak tadi suara itu mengganggunya. Suara seorang perempuan yang penuh desah kemanjaan itu, seakan memanggil Norman beberapa kali. Dahi Norman berkerut, hatinya bimbang dengan pendengarannya. Menurutnya, tak mungkin ada perempuan yang memanggilnya di tengah malam.
Norman sengaja melupakan suara itu. Ia mendengar langkah kaki di depan kamarnya, tapi ia tahu itu langkah kaki Susilo, teman satu pondokan. Ia bergegas membuka pintu kamarnya dan memanggil Susilo yang hendak masuk ke kamar sebelah.
"Sus... jam berapa ini?" tanya Norman.
"Setengah satu kurang," jawab Susilo sambil membetulkan celananya. Agaknya ia habis dari kamar mandi untuk buang air. Susilo justru berkata, "Kau sendiri kan punya arloji, masa' masih tanya aku?"
"Arlojiku mati! Eh, sebentar, Sus!" Norman keluar dari kamarnya, tidak sekadar melongokkan kepala. Ia mendekati Susilo yang berdiri di ambang pintu kamarnya sendiri. Dengan nada herbisik Norman bertanya, "Sus, kau tadi waktu ke kamar mandi melihat ada perempuan di sekitar sini?"

"Maksudmu?" Susilo berkerut dahi.
"Aku mendengar suara perempuan di samping kamar, ia seakan memangil-manggil aku."
"Perek, mungkin!" jawab Susilo seenaknya. Norman hanya mendesah.
"Aku serius, Sus. Dari tadi aku tidak bisa tidur karena mendengar suaranya."
Susilo berpikir sejenak, tubuhnya bersandar pada kusen pintu. Seingatnya, waktu ia ke kamar mandi, ia tidak melihat sekelebat manusia. Pondokan itu sepi. Maklum sudah lewat tengah malam. Beberapa mahasiswa yang kost di situ kebanyakan sudah tidur. Kalau toh ada, mereka pasti di dalam kamar menekuni bukunya.
"Menurutku, kau hanya terngiang-ngiang cewekmu saja," kata Susilo.
"Maksudmu, Arni? Ah, suara Arni tidak seperti itu."
"Kalau begitu, kau hanya mendengar suara hatimu saja. Halusinasi! Ah, ngapain repot-repot memikirkan suara, kau kan bukan penata rekaman!"
Susilo masuk, menutup kamarnya. Norman mengeluh dalam desah napas tipis. Ia berhenti sejenak ketika mau masuk ke kamarnya. Matanya memandang sekeliling. Oh, pondokan itu amat sepi. Lengang. Denni yang biasanya masih memutar kaset sampai jauh malam, kali ini agaknya sudah tidur. Lampu di kamarnya telah padam. Lampu-lampu di kamar lain pun padam. Hanya ada dua kamar yang lampunya masih menyala, kamar Mahmud dan kamar Tigor. Mungkin mereka sedang menekuni materi ujiannya untuk besok.
Tengkuk kepala meremang lagi, Norman bergidik. Badannya bergerak dalam sentakan halus. Karena, ketika ia masuk ke kainar dan hendak menutup pintu, ia mendengar suara perempuan dalam desah kemanjaan yang memanggilnya.
"Normaaan...! Normaaan..."
Lampu kamar Norman sengaja diredupkan. Ia menyalakan lampu biru 10 watt sejak tadi. Menurut kebiasaannya, tidur dengan nyala lampu biru yang remang-remang membuat kesejukan tersendiri dalam hatinya. Namun, kali ini, kesejukan itu tidak ada. Yang ada hanya kegelisahan dari kecamuk hati yang terheran-heran atas terdengarnya suara panggilan itu.
Angin malam lewat. Desaunya terasa menerobos dari lubang angin yang ada di atas jendela kamar. Suara itu terdengar lagi setelah dua menit kemudian. "Normaaan...! Datanglah...!"
Dengan berkerut-kerut dahi, Norman bangkit dari rebahannya. "Suara itu seperti berada di luar jendela," pikir Norman. Kemudian, ia mendekati pintu jendela. Ingin membuka jendela, tetapi ragu. Hatinya berkata, "Tidak mungkin ada perempuan di luar jendela. Dari mana ia masuk? Pintu pagar dikunci. Tidak mungkin ia memanjat pagar. Kalau memang ada perempuan yang memanjat pagar, itu nekat namanya."
Kemudian, telinga Norman agak ditempelkan pada daun jendela. Tapi yang didengar hanya suara desau angin, gemerisik dedaunan. Kamar Norman memang kamar paling ujung dari sederetan kamar kost-kostan itu. Di samping kamar, di seberang jendela itu, adalah sebidang tanah yang biasa dipakai olah raga. Ada lapangan bulu tangkis, dan meja ping-pong yang jika malam begitu dalam posisi miring, menempel dinding kamar Norman.
Tanah yang merupakan fasilitas olah raga itu dikelilingi oleh pagar tembok. Pada bagian atas pagar diberi kawat berduri sebagai penolak tamu tak diundang. Di seberang pagar tembok itu ada pohon rambutan milik tetangga belakang pondokan. Sebagian daun dan dahan pohon itu menjorok ke halaman pondokan, dan meneduhkan bagi mereka yang bermain pingpong jika siang hari.
Norman sudah tiga menit lebih berdiri di depan jendela, tetapi suara perempuan yang menggairahkan itu tidak terdengar lagi. Maka, ia kembali ke pembaringan dan merebahkan badan. Ia kelihatan resah. Batinnya bertanya-tanya, "Mengapa aku mendengar suara itu? Dan, sepertinya memang aku pernah mendengar suara itu. Suara siapa, ya?"
Ada gonggongan anjing dari rumah belakang pondokan. Gonggongan anjing itu mulanya hanya sesekali. Ditilik dari nada gonggongannya, anjing itu seakan sedang menggoda orang lewat. Tetapi, gonggongan anjing itu lama-lama jadi memanjang. Mangalun mendayu-dayu mirip irama orang merintih kesakitan. Suara anjing itu menyatu dengan suara perempuan yang kian jelas di pendengaran Norman.
"Normaaan...! Norrr...! Lupakah kauuu...? Lupakah kau padaku, Norman...!"
Norman segera melompat dari pembaringannya, dan membuka jendela. Jantungnya berdetak-detak ketika wajahnya diterpa angin yang berhembus membawa udara dingin. Sekujur tubuhnya merinding. Matanya melebar, karena ia tidak menemukan siapa-siapa di luar jendela kamarnya. Padahal suara tadi jelas terdengar di depan jendela, seakan mulut perempuan itu ditempelkan pada celah jendela supaya suaranya didengar Norman. Tetapi, nyatanya keadaan di luar kamar sepi-sepi saja.
"Brengsek!" geram Norman. Ia menunggu beberapa saat, sengaja membuka jendelanya, sengaja membiarkan angin dingin menerpa masuk ke kamar. Suara perempuan yang penuh desah menggairahkan itu tidak terdengar lagi. Norman mengeluh kesal sambil duduk di kursi belajarnya. Ia menyalakan lampu belajar yang ada di meja kamar. Kamar menjadi terang. Cermin di depan meja belajar menampakkan wajahnya yang sayu.
Pintu kamarnya tiba-tiba ada yang mengetuknya dengan lembut. Pelan sekali, seakan pengetuknya sengaja hati-hati supaya suara ketukan tidak didengar penghuni pondokan yang lainnya. Norman melirik ke arah pintu. Membiarkan ketukan itu terulang beberapa kali. Lalu, ia mendengar suara perempuan di seberang pintunya. "Nor...? Normaaan...!"
"Siapa...?!" tanya Norman dengan nada kesal, karena ia tahu, bahwa suara perempuan yang mengetuk pintu kamarnya itu sama persis dengan suara yang mengganggunya sejak tadi.
Tapi, karena tidak ada jawaban dari pengetuk pintu, Norman berseru lagi, "Siapa sih?! Jawab dong!"
"Aku...!"
"Aku siapa?! Sebutkan!" Norman sudah berdiri walau belum mendekat ke pintu.
"Kismi..."
Mata Norman jadi membelalak. Kaget. "Kismi...?!" desahnya dengan nada heran sekali. Ia mengenal pemilik nama itu, tapi ia sama sekali tidak menyangka kalau Kismi akan datang, apalagi lewat tengah malam begini. Norman pun akhirnya bergegas membukakan pintu setelah ia sadar, bahwa suara yang sejak tadi memanggilnya itu memang suara Kismi.
"Sebentar, Kis...!" kata Norman, yang kemudian segera membukakan pintu. Namun, "Hah...?!" Ia terperanjat dengan jantung berdetak-detak.
Di luar kamarnya, tidak ada siapa-siapa. Sepi. Hanya hembusan angin yang dirasakannya begitu dingin dan membuat tubuhnya merinding lagi. Dalam keadaan bingung dan berdebar-debar itu, Norman masih menyempatkan diri berpaling ke kanan-kiri, mencari Kismi yang menurutnya bersembunyi. Tapi, tak terlihat bayangan atau sosok seseorang yang bersembunyi. Di kamar mandi? Tak mungkin. Kamar mandi terlalu jauh dari kamar Norman jika akan digunakan seseorang untuk berlari dan bersembunyi. Sebelum orang itu sempat bersembunyi, pasti Norman sudah melihatnya lebih dahulu.
"Kismi...?!" Norman mencoba memanggil perempuan yang dikenalnya kemarin malam itu, tetapi tidak ada jawaban. Makin merinding tubuh Norman. dan semakin resah hatinya di sela debaran-debaran mencekam.
Karena ditunggu beberapa menit Kismi tidak muncul lagi, bayangannya pun tak terlihat, maka Norman pun segera menutup pintu kamarnya dengan hati bertanya-tanya: "Ke mana dia?"
Mendadak gerakan penutup pintu itu terhenti. Mata Norman sempat menemukan sesuatu yang mencurigakan di lantai depan pintu. Aneh, namun membuatnya penasaran. "Kapas...?!"
Hati semakin resah, kecurigaan kian mengacaukan benaknya. Segumpal kapas jatuh di lantai depan pintu. Sedikit bergerak-gerak karena hembusan angin. Ada rasa ingin tahu yang menggoda hati Norman. Maka. dipungutnya kapas itu. Ketika tubuh Norman membungkuk untuk mengambil kapas, tiba-tiba angin bertiup sedikit kencang. Kapas itu bergerak, terbang. Masuk ke kamar. Gerakan kapas sempat membuat Norman yang tegang terperanjat sekejap. Pintu ditutup, dan kapas itu dipungutnya. Ia segera melangkah ke meja belajarnya, mencari tempat yang terang. Ia memperhatikan kapas itu di bawah penerangan lampu belajarnya.
"Apakah kapas ini milik Kismi?" pikirnya sambil mengamat-amati segumpal kapas yang kurang dari satu genggaman. Ada aroma bau harum yang keluar dari kapas itu. Bau harum itu mengingatkan Norman pada jenis parfum yang baru sekali itu ia temukan. Parfum yang dikenakan pada tubuh Kismi.
"Aneh?! Mengapa Kismi tidak muncul lagi?" pikirnya setelah setengah jam lewat tak terdengar suara Kismi maupun ketukan pintu. " Mengapa ia hanya meninggalkan kapas ini? Lalu, kapas untuk apa ini? Apakah Kismi sakit? Apakah ia hanya bermaksud mengingatkan kenangan semalam?"
Norman tertawa sendiri. Pelan. Ia kembali berbaring dengan jantung yang berdebar takut menjadi berdebar indah. Kapas itu diletakkan di samping bantalnya, sehingga bau harum yang lembut masih tercium olehnya. Pikiran Norman pun mulai menerawang pada satu kenangan manis yang ia peroleh kemarin malam. Kisah itu, sempat pula ia ceritakan kepada Hamsad, teman baiknya satu kampus, dan Hamsad sempat tergiur oleh cerita tentang Kismi.

***

"Siapa yang mengajakmu ke sana?" tanya Hamsad waktu itu.
"Pak Hasan! Mungkin dia ingin men-service aku, supaya buku pesanann ya cepat kukerjakan. Wah, tapi memang luar biasa, Ham," ujar Norman berseri-seri. "Perempuan itu cantiknya mirip seorang ratu!"
"Kau yang memilih sendiri?" Hamsad tampak bersemangat.
"Bukan. Dia datang sendiri ke motel-ku. Kurasa, Pak Hasan yang memesankan cewek itu untukku. Atau, barangkali memang service dari motel itu sendiri, entahlah. Yang jelas, dia datang di luar dugaanku. Tak lama kemudian, setelah kami berbasa-basi sebentar, datang juga perempuan lain. Tapi, kutolak. Aku lebih memilih perempuan pertama. Mulus dan sexy sekali dia. Namanya, Kismi. Antik, kan?!"
"Terus...? Terus bagaimana?" desah Hamsad tergiur.
"Macan, Bro! Luar biasa romantisnya. Hebat. Baru kali ini aku menemukan perempuan cantik yang punya daya rangsang yang luar biasa! Tujuh malam bersama dia tanpa keluar dari kamar, aku akan betah! Kurasa kau sendiri tidak akan sempat mengenakan pakaianmu lagi kalau sudah bersamanya, Ham!"
Hamsad tertawa ngakak ketika itu. Apalagi setelah Norman melanjutkan, ia langsung mendengarkan dengan khusuk. ”Memang awalnya ada rasa tegang dan canggung berdua di kamar dengan orang asing, apalagi yang bertampang seperti Kismi, yang mirip sekali dengan ratu Mesir. Sungguh aku gugup dibuatnya. Untunglah Kismi mengetahui kecanggunganku, dan sebagai orang yang sudah berpengalaman, ia segera membimbingku. Dia tidak langsung main tubruk aja, Kismi cukup sabar dan telaten dalam mengajariku yang sudah hampir satu tahun ini belum pernah bercinta lagi.”
”Terus, terus,” tanya Hamsad penasaran.
“Setelah ngobrol beberapa saat untuk mencairkan suasana, Kismi mendekatiku, menuntunku ke ranjang. Jantungku berdetak keras ketika dia mulai memeluk dan mencium pipiku. Kupejamkan mataku saat dia mulai melumat bibirku. Kubalas ciumannya itu dengan menjamah buah dadanya perlahan, terasa begitu empuk dan besar sekali saat berada di dalam genggaman tanganku. Napasku mulai turun naik, terus kuremas gemas buah dada itu sementara Kismi menggerakkan tangannya menuju selangkanganku. Ia tersenyum saat merasakan ketegangan di balik celana panjangku, dengan mesra ia segera memegang dan mengusap-usap kejantananku yang sudah menegang sempurna.
”Tak lama, ciumannya sudah berpindah ke leherku. Kurasakan kegelian yang luar biasa saat ia melakukan itu. Kubalas dengan menurunkan salah satu tanganku ke pahanya. Gaun panjangnya yang berbelahan hingga ke paha sangat memudahkan jelajah tanganku, terus aku mengusap-usapnya, bahkan hingga sampai ke pangkalnya. Desis tertahan bercampur malu tak sadar keluar dari mulutku, aku sudah terhanyut dalam buaian lembut Kismi.
”Tangan kiriku yang dari tadi menjelajah di buah dadanya, kini sudah berhasil membuka resliting di punggungnya dan menarik gaunnya ke bawah hingga tampaklah bra putih berenda yang ia kenakan. Payudaranya sungguh sangat besar dan montok sekali. Pura-pura malu, Kismi berusaha menutupinya. Segera kutarik tangan itu dan kembali kubimbing agar mengusap-usap selangkanganku. Sambil tersenyum, kali ini Kismi berusaha membuka ikat pinggang dan reslitingku, sebelum tangannya kemudian masuk ke dalam celanaku hingga bisa menyentuh batang kejantananku yang sudah menegang keras. Kurasakan tangannya sedikit gemetar saat menyentuh kemaluanku.
”Kembali kami berciuman, tanganku juga sudah kembali menjelajah di bulatan buah dadanya, mengelus dan meremas lembut disana, sebelum menyelipkan ke balik bra-nya saat Kismi sudah mengijinkan. Akhirnya, kudapatkan yang aku cari, putingnya yang terasa kaku segera kupermainkan dengan dua jari sambil terus meremas-remas lembut bulatannya yang cukup besar. Kismi mendesis tertahan, tali bra-nya sudah melorot hingga ke lengan, dan tak lama kemudian terlepaslah bra itu dari tubuh sintalnya.
”Mukaku terasa panas memerah saat pertama kali melihatnya, buah dada gadis yang baru kukenal belum satu jam yang lalu itu sungguh sangat indah sekali. Sama sekali tidak kelihaan kendor meski ukurannya cukup besar. Kulitnya putih seperti pualam, dengan semburat nadi kebiruan tersebar merata di permukaannya yang licin bagai kaca. Putingnya mungil, dengan bulatan aerola yang juga sama-sama berwarna merah. Disana segera kulabuhkan ciuman dan jilatanku. Kismi langsung menggelinjang dan mendesah nikmat tertahan saat aku melakukannya.
”Ohh, Norman!” dia memanggil namaku sambil tangannya segera mencari batangku. Dia kelihatan sedikit terkejut saat meraih dan menggenggamnya, ”Begitu besar rasanya, sepertinya jauh lebih besar dari semua lelaki yang pernah kukenal.” dia berkata.
Usapan dan remasan tangannya terasa begitu nikmat, dia berhasil menghanyutkanku ke dalam buaiannya semakin jauh lagi, hingga tak kusadari saat ia sudah berhasil menarik keluar batang kejantananku dan mengocoknya dengan begitu lembut. ”Ahh... ” sambil mengerang keenakan, kuluman dan remasan tanganku di buah dadanya kubuat semakin menggairahkan, dengan begitu semakin cepat pula ia mengocok batang penisku.
Jujur saja, inilah kocokan tangan ternikmat yang pernah kuterima. Kismi melakukannya dengan begitu lembut tapi juga mantab. Agak gugup juga aku berpikir, ini baru tangannya, terus bagaimana dengan vaginanya yang sempit itu. Ah, membayangkannya membuatku jadi tak tahan. Cepat kurebahkan tubuh gadis itu ke ranjang dan kulepas gaunnya hingga hanya menyisakan celana dalam warna putih yang sangat minim. Aku juga melepas pakaianku hingga telanjang.
Memang masih ada rasa risih bertelanjang di kamar berdua dengan orang asing. Namun melihat Kismi yang tak berkedip memperhatikan batang penisku yang menggantung tegang di antara kedua kakiku, aku jadi sedikit percaya diri. Segera aku beringsut menghampirinya, menciumi kedua pipinya, juga menjilati putingnya yang mungil kemerahan sambil tanganku menyelip ke balik celana dalamnya untuk mempermainkan daerah vaginanya sekaligus melepas celana dalam yang masih menempel itu.
Setelah sama-sama telanjang, kini jilatanku sudah menyusuri perutnya yang ramping dan seksi. Targetku cuma satu; belahan vaginanya yang mungil dan indah itu. Aku ingin menjilatinya. Kismi yang mengerti keinginanku, segera membuka kedua kakinya lebar-lebar, memamerkan belahan vaginanya yang masih nampak utuh dan sempurna kepadaku. Tanpa membuang waktu, langsung kubenamkan kepalaku disana. Lidahku dengan cepat bekerja menyentuh klitoris dan bibir vaginanya. Terus kupermainkan dengan begitu bergairah sambil kembali kuremas-remas tonjolan buah dadanya. Kurasakan kenikmatan yang belum pernah kualami, bahkan kubayangkan seumur hidupku, bisa menjilati kemaluan seorang gadis yang luar biasa cantik dan seksi seperti Kismi. Dulu aku hanya membayangkan kalau itu cuma bisa terjadi di film-film porno Jepang, tapi nyatanya kini aku mengalaminya sendiri.
“Ssh… hhh… s-sudah, Norman! Ahh...” desah Kismi tak tahan. Ia menarik rambutku ke atas untuk menghentikan permainan lidahku dan telentang di sampingnya. Kini ganti dia yang ingin memanjakan diriku.
Tanpa rasa jijik ia langsung mencaplok dan mengulum batang kejantananku. Ia menjilati ujungnya yang basah sambil berulang kali meludahinya agar semakin mudah lagi dalam melakukannya. Semakin  lama semakin dalam penis itu masuk ke dalam mulutnya. Berkali-kali Kismi menjilati cairan yang keluar dari ujungnya.
”Hihi, rasanya asin.” dia berkata, namun tetap mencucup dan menelannya dengan begitu rakus. Seringkali juga kurasakan gigi-giginya menggesek lembut kedua bolaku, hingga membuatku semakin mendesah penuh gairah. Sementara Kismi terus memperlakukan penisku dengan begitu pintarnya, menggerakkan keluar masuk di dalam mulutnya sambil menggesek-gesek lembut batangnya yang sudah memerah dengan menggunakan bibir dan terkadang lidahnya.
Saat aku sudah sangat tak tahan, akhirnya dia menghentikan perbuatannya. Kismi lalu berjongkok di antara kedua kakiku. Kembali jantungku berdegup kencang, ada perasaan tidak karuan berkecamuk di dadaku ketika dia mulai mengusapkan penisku ke belahan bibir vaginanya, terasa sangat basah dan lembab sekali disana.
”Ughh...” kami menggeram secara bersama-sama saat perlahan-lahan kejantananku menembus lorong vaginanya.
Kurasakan sedikit rasa nyeri ketika penisku semakin masuk ke dalam, begitu sempit dan ketatnya benda itu hingga laksana seperti mencekikku. Aku jadi teringat saat pertama kali berhubungan seks dengan Winda, pacar pertamaku yang kuambil perawannya. Dengan penis besarku, rasanya vagina itu akan sobek. Namun nyatanya tidak, malah makin lama makin dalam penisku ambal ke lorong kewanitaan Kismi hingga tak lama, semua sudah tertanam mantab disana.
Kismi memejamkan mata sambil menggigiti bibirnya, tak berani menggerakkan kakinya saat batang penisku memenuhi lorong vaginanya. Begitu besarnya hingga seolah mengganjal kuat disana. Untungnya dia cukup berpengalaman, setelah mendiamkannya sejenak sambil menyuruhku untuk meraba dan meremas-remas buah dadanya untuk memberikan perasaan santai, pelan-pelan dia mulai menarik keluar lalu pelan pula dia mendorong masuk kembali. Begitu terus berkali-kali hingga akhirnya rasa nyeri yang melingkupi selangkangan kami berdua berubah menjadi rasa nikmat. Setiap gerakan penisku di lorong vaginanya kini menimbulkan rasa yang begitu luar biasa.
Apalagi vagina Kismi juga sudah semakin basah hingga membuatku bisa mempercepat kocokan. Dari mulutku juga mulai keluar desisan dan desahan penuh kenikmatan, sungguh perasaan yang sudah lama tidak kurasakan dan akan sangat sukar untuk dilupakan. Dengan lihainya Kismi memberiku rangsangan kenikmatan yang lain; tangannya mengelus pahaku, meremas-remas kedua bolaku, mengulum putingku, menciumi bibirku, mengulum telingaku. Semua dilakukannya tanpa menghentikan kocokan, membuatku jadi semakin menggeliat dan mengaduh-aduh dalam kenikmatan.
Kismi kini tengkurap di atas tubuhku, dia memelukku erat. Sambil merasakan nikmat kocokannya, kubalas ciuman bibirnya dengan penuh gairah. Kakiku sudah melingkar di pinggulnya, membuat penisku semakin dalam melesak ke lorong vaginanya. Keringat Kismi sudah membasahi sekujur tubuhku. Waktu juga seolah berjalan begitu lambat, sepertinya sudah setengah jam kami saling mengocok, hingga tanpa sadar aku sudah terbawa nikmat ke dalam puncak kenikmatan.
Namun sebelum aku mendapatkannya, Kismi sudah orgasme duluan. Tubuhnya terasa menegang saat aku memeluknya, sementara otot-otot vaginanya terasa berdenyut dengan begitu kerasnya. Ia menjerit dalam kenikmatan, matanya terpejam. Sesaat aku menghentikan gerakanku, tapi kemudian mengocok lagi dengan tempo sedikit lebih cepat.
”Auw! Ahh!” tak lama, aku sudah mengikutinya orgasme. Kulesakkann penisku sedalam-dalamnya ke lorong gua vaginanya. Kurasakan penisku mengembang membesar saat menyemprotkan cairan spermanya. Denyutan dan semprotan itu begitu kuat menghantam dinding-dinding vagina Kismi hingga menimbulkan kenikmatan tersendiri bagiku.
Terus kunikmati denyutan demi denyutan itu sambil memeluk tubuh telanjang Kismi yang penuh peluh di atas tubuhku. Napas kami berpacu dalam kenikmatan. Kurasakan bulatan payudaranya yang besar menekan kuat dadaku hingga membuatku jadi agak kesulitan bernapas. Maka segera kudorong dia hingga telentang di sampingku. Kami berdua terdiam dengan pikiran masing-masing.
“Gila, seperti bercinta dengan perawan saja. Punyamu kencang sekali.” kataku memecahkan kebisuan.
“Bukan, punyamu yang kegedean. Bikin vaginaku jadi lecet.” dia tertawa.

***

”Tanpa malu kuakui kalau aku begitu menikmati bercinta dengannya.” kata Norman mengakhiri ceritanya.
Hamsad yang mendengarnya jadi benar-benar terperangah. Khayalannya melambung tinggi ketika Norman menceritakan detail kehebatan Kismi. "Berapa anggaran untuknya?" tanyanya dengan gaya kelakar.
"Aku tidak tahu. Mungkin Pak Hasan-lah yang mengurus soal itu. Antara pukul 4 atau 5 pagi, dia pamit. Dia tidak minta bayaran padaku. Ketika kutanya tentang uang taksi, dia hanya tersenyum, lalu pergi."
"Kurasa dia perempuan panggilan kelas atas, Nor!"
"Menurut dugaanku juga begitu! Tapi, itu kan urusan Pak Hasan. Aku mau tanya tentang tarif argo untuk perempuan semacam Kismi, ah... nggak enak. Riskan."
"Beruntung sekali kau mendapat service seperti itu!"
"Makanya konsekuensinya aku harus segera menyelesaikan naskah pesanan Pak Hasan itu! Siapa tahu selesai itu aku dibawanya ke motel tersebut. Kalau ke sana lagi, aku tidak ingin mencari perempuan lain. Hanya Kismi yang kubutuhkan, dan aku juga menghendaki Motel Seruni, tidak mau Motel Mawar, Kenanga, atau yang lainnya. Karena, kenanganku bersama Kismi yang pertama kali ada di Motel Seruni itu!"

***

Malam semakin mengalunkan kesunyian, dan kesunyian itu sendiri menaburkan perasaan cemas. Sedangkan perasaan cemas itu membawa desiran indah bagi sebaris kenangan bersama Kismi. Bau harum dari parfum pada kapas semakin menggoda khayalan Norman. Khayalan itulah yang menumbuhkan rasa rindu, rasa ingin bertemu dan rasa ingin bercumbu. Maka, Norman pun menggeliat dengan gelisah. Darahnya dibakar oleh khayalannya sendiri. Nafsunya menghentak-hentak jantung, menuntut suatu perbuatan nyata dari birahi yang ada. Norman menjadi bernafsu sekali untuk bertemu dengan Kismi.
"Kismiii...!" erangnya dari sebuah rintih dari kerinduan. Dan, kerinduan itu akhirnya menjadi racun pada jiwa Norman.
Emosinya meluap, meletup-letup, bahkan tak bertakaran lagi. Emosi itu bukan hanya sekadar luapan gairah bercinta saja, melainkan kebencian, kemarahan, kesedihan, semuanya bercampur aduk dan menyiksa jiwa Norman. Ia sempat meremas bantalnya kuat-kuat dengan tubuh gemetar, lalu ditariknya remasan itu dan robeklah kain bantal. Isinya berhamburan, diremas pula dalam suara yang menggeram.
Tubuh berkeringat, urat-urat menegang, gemetar dan ia menggemeletukkan gigi kuat-kuat dengan mata mendelik. Perubahan itu aneh sekali, namun tidak disadari oleh Norman. Napasnya terengah-engah seperti orang habis lari jauh. Matanya menjadi liar, ia menggeram beberapa kali, bahkan mengerang seperti seekor monyet buas yang hendak mengamuk.
Sementara itu, sisa kesadarannya sesekali tumbuh, dan membuat Norman mampu meredam gejala anehnya itu. Ia sempat bertanya dalam hati, "Mengapa aku jadi begini? Mengapa aku benci pada diri sendiri?"
Masa kesadarannya hilang lagi, kembali ia dalam amukan jiwa yang tak terkontrol. Ia mengamuk, berguling-guling di ranjangnya. Tangannya mencakar-cakar kasur, membuat seprei menjadi tercabik-cabik. Bahkan guling pun diremas, digigitnya kuat-kuat bagai beruang lapar. Sampai beberapa saat hal itu dilakukan di luar kesadarannya, kemudian ia terkulai lemas sambil terengah-engah.
"Apa sebenarnya yang kualami ini...?! Oh, badanku sakit sekali...!" keluhnya lirih, nyaris tanpa suara.
Plakkk ...!
Norman terkejut. Tiba-tiba ia memukul kepalanya sendiri dengan keras. Ia merasa heran, mengapa tangan kanannya bergerak sendiri menampar wajahnya. Bahkan kini tangan kanan itu mengejang-ngejang, jarinya membentuk cakar yang kokoh.
"Oh, kenapa tanganku ini?!" Norman menjadi tegang dengan mata melotot, memandangi tangan kanannya. Hanya tangan kanannya.
Tangan itu sukar dikendalikan. Norman ingin melemaskan otot-ototnya, namun tidak berhasil Bahkan sekarang tangan kanannya yang membentuk cakar itu bergerak ke atas. Mendekati wajahnya. Norman melawannya, berusaha mengendalikan gerakan itu, tetapi tidak berhasil. Tiba-tiba gerakan tangan itu begitu cepat menghampiri wajahnya dan mencakar wajah itu sendiri.
"Aaaow...!" Norman berteriak, namun tidak begitu keras, karena hanya luapan rasa kagetnya saja. Ia masih memandang tangan kanannya dengan mendelik. Tangan itu terasa ingin bergerak lagi mencakarnya, dan Norman berusaha melawan kekuatan yang ada pada tangan tersebut.
"Gilaaa...!" Norman berteriak keras dan semakin ketakutan oleh tangannya sendiri. Ia benar-benar panik dan tak mengerti, mengapa tangannya bergerak di luar kemauannya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar