Sabtu, 16 Juli 2016

Wasiat Harta Warisan 3



Hak Cipta © Ganes TH.

Waktu berjalan terus, lima belas tahun telah berlalu. Kini Giran dan Mirta sudah sama-sama tumbuh jadi pemuda-pemuda dewasa. Watak serta fisik Mirta makin mirip Samirun. Namun tak seorang pun berani menggunjingi persoalan itu, karena tak sampai hati menyudutkan wibawa Tuan Tanah yang sangat bijaksana itu. Mirta sebagai putra kesayangan nyonya Tuan Tanah yang berkuasa, tiap hari cuma keluyuran menggoda gadis-gadis desa. Mandor Sarkawi merupakan pengawalnya yang sama brutalnya, makin menambah resahnya para penduduk desa Kedawung.
Sebagai anak orang mampu, apalagi ayahnya adalah seorang berpendidikan, Giran dan Mirta disekolahkan di sebuah sekolah cukup terpandang saat itu. Letaknya cukup jauh, di Tangerang. Samolo-lah yang setiap hari mengantar dengan delman pribadi. Namun Mirta sering bolos. Ada saja alasannya, sakit kepala atau sakit bisul paling sering dijadikan alasan untuk tidak masuk sekolah. Ayahnya selalu memarahi dan menegur kemalasan putra bungsunya itu. Namun sang ibu senantiasa memanjakannya hingga lama-kelamaan Tuan Tanah pun memasa-bodohkannya. Tak heran akhirnya Mirta jebol sekolah karena berkali-kali tidak naik kelas. Makin liarlah pemuda ini, berkeliaran sepanjang hari bersama mandor Sarkawi. Tuan Tanah makin sering mengurut dada melihat kelakuan ’putra’ bungsunya kini.

Sebaliknya prestasi sekolah Giran sungguh membanggakan hati ayahnya. Namun pemuda tampan ini tak pernah menjadi manja, apalagi besar kepala. Ia selalu bersikap wajar dan lugu. Penampilannya sangat sederhana sebagai putra seorang Tuan Tanah yang sangat kaya raya dan berpengaruh di desa itu. Giran pun sangat berbakti dan patuh kepada kedua orang-tuanya. Ia sangat sayang kepada Mirta. Setiap pulang sekolah selalu ada saja makanan yang dibeli untuk adiknya itu.
Untuk melanjutkan sekolahnya Giran terpaksa harus pindah ke Batavia. Tinggal di asrama sekolah. Pada masa liburannya yang pertama, Giran pulang menengok orang tuanya di Kedawung. Namun betapa sedih hatinya, ternyata ayahnya sedang dalam keadaan sakit. Ketika baru saja ia turun dari delman, Samolo sudah menyambutnya dan memberi tahu tentang keadaan kesehatan sang ayah kepadanya.
Giran bergegas masuk ke dalam kamar orang tuanya. Dilihatnya orang tua itu terbaring dengan wajah pucat di pembaringan. Ibunya dengan berseri-seri masuk juga ke dalam kamar itu. Giran mencium lengan ayah-ibunya, duduk di sisi pembaringan.
“Mengapa ibu tidak memberi kabar kalau ayah sakit?” tanya Giran.
Subaidah agak gugup. Ayahnya cepat berkata sambil tersenyum. “Ibumu tak mau mengganggu sekolahmu, Giran. Lagi pula sakit ayah tak seberapa. Dokter cuma menasihati agar banyak istirahat. Tidak apa-apa, beberapa hari lagi pasti sembuh.”
Namun Giran merasa cemas juga, hampir setiap hari ia merawat dan menjaga ayahnya. Sementara itu, pertemuan Subaidah dan Samirun makin kerap terjadi. Malam itu kedua insan tak bermoral itu bermesraan di dalam gudang, tempat pertemuan rahasia mereka.
“Bagaimana dengan keadaan tua-bangka itu hari ini? Hati-hatilah dengan anaknya itu.” terdengar suara Samirun. Begitu erat ia mendekap tubuh Subaidah seakan tak mau berpisah
“Jangan khawatir. Bocah itu terlalu polos dan sangat patuh kepadaku. Si tua-bangka itu lambat laun pasti pessss...!” kata Subaidah sambil tertawa terkikih-kikih. Tubuhnya yang indah terlihat begitu menggairahkan dan penuh daya tarik tersendiri. Buah dadanya yang masih dilapisi gaun tidur itu terlihat membusung, laksana bukit salju yang lembut, kulitnya bersih dan mulus. Pinggulnya padat dan berisi. Kedua pahanya juga putih, laksana kain sutra kalau disentuh.
Segera saja Samirun melepaskan semua pakaiannya dan mendekap tubuh mulus Subaidah. Ia peluk dengan gemas sambil melumat mesra bibir ranumnya. Tangannya juga meraba seluruh tubuh perempuan itu. Sambil memegang puting susunya, Samirun meremas-remas buah dada Subaidah yang kenyal. Ia mengusap-usap dan meremas-remasnya dengan penuh nafsu. Batang kemaluannya yang sudah menegak keras menyentuh pinggang Subaidah, Samirun segera mendekatkannya ke tangan perempuan itu.
“Bubuk obat yang Abang berikan itu, telah kucampur dalam buburnya setiap pagi. Itu sudah berlangsung setengah tahun, tapi kok belum apa-apa...!?” Subaidah meraih dan menggenggamnya erat-erat lalu mengusap-usapnya dengan begitu mesra.
“Sabar saja. Bubuk itu memang kerjanya lambat tapi pasti...!” kata Samirun tenang sambil mengarahkan liang kewanitaan Subaidah yang terbuka ke wajahnya. Dapat ia lihat liang kewanitaan Subaidah yang tidak dihiasi oleh bulu sehelai pun, bersih dan mulus sekali. “Agar kematiannya nanti terlihat wajar.” sambungnya dingin sambil menaikkan pantat perempuan itu sedikit, sehingga makin jelas terlihat liang kewanitaannya.
Subaidah yang tahu maksud laki-laki itu, dengan perlahan melengkungkan tubuhnya sehingga terbenamlah wajah Samirun di liang kewanitaannya. Samirun langsung menciumi bibir luarnya yang memerah, dapat ia hirup aroma khas yang keluar dari liang sempit itu. Dengan jari tengahnya ia buka bibir luar itu, lalu memasukkan lidahnya ke dalam dan dimainkan lembut disana.
"Eeghh... shh... aah... terusin, Bang!" Subaidah menggelinjang kuat, namun tetap berusaha menghisap dan menjilati batang kemaluan Samirun yang berada dalam genggaman tangannya.
Sementara Samirun terus mengecup dan menggigit, juga menarik-narik kelentit Subaidah dengan menggunakan lidah dan bibirnya. Dapat ia rasakan cairan kewanitaan Subaidah mulai mengalir keluar membasahi liang kewanitaannya. Wanita itu mengejang saat Samirun menghisap semakin keras dan menjilat serta memilin-milin klitorisnya dengan semakin kuat.
"Ohh... arghh... terusin, Bang... ohh..." rintih Subaidah.
Samirun merasakan batang kemaluannya digigit oleh perempuan itu. "Eeghh... sshh... Sayang!!" iapun menggeliat.
Subaidah melepaskan batang itu dari mulutnya, lalu mengangkat dan memutar badannya, dan ganti menciumi bibir Samirun dengan begitu ganasnya. Bahkan sampai membuat nafasnya jadi terengah-engah. Kemudian ia berjongkok persis menghadap penis Samirun yang terlihat masih mengkilap basah. Dipegangnya batang kemaluan itu dan mulai menurunkan posisi jongkoknya sambil menuntun batang kemaluan Samirun perlahan memasuki liang kewanitaannya.
"Aaahh... gghh!" mereka berdua mengerang secara bersamaan. Tanpa membuang waktu, Subaidah mulai menggerakkan pinggulnya naik turun, liang kewanitaannya sangat banyak berair sampai berbunyi saat alat kelamin mereka saling bergesekan. Sesekali dia menggelinjang dan meletakkan tangannya ke belakang memegangi kedua paha Samirun, sambil terus diputarnya pinggulnya ke kiri dan ke kanan.
”Ahhh...” kali ini giliran Samirun yang menggeliat, ia tarik tangan Subaidah ke bawah sehingga wanita itu jadi telungkup di atas tubuhnya. Ia ciumi bibirnya dengan hangat, Subaidah membalas dengan memeluk badannya sambil terus memutar-mutar pinggulnya.
"Shh... aghh..." Samirun kembali mengerang. Memang nikmat bersetubuh dengan istri majikannya ini. Subaidah begitu pintar memanjakan dirinya.
"Enak, Bang?" bisik perempuan itu.
Samirun tak menjawab, tapi kembali menciumi bibir Subaidah sementara tangannya mencoba untuk meraba bulatan payudaranya, meremasnya, dan sesekali menghisap puting susunya kalau Subaidah menurunkan tubuh ke arahnya.
"Ohh... argh... terusin Bang! Oohh..." wanita itu mendesah dan mempercepat gerakan naik turun pinggulnya. Puting payudaranya yang mungil merekah berulangkali dijilat oleh Samirun sambil digigit perlahan-lahan, membuatnya jadi mengkilap dan basah oleh air liur. Samirun juga memperkuat remasan tangannya di payudara Subaidah, sementara Subaidah hanya bisa merebahkan badannya dengan tetap menggerakkan pinggulnya, yang dibalas oleh Samirun dengan gerakan menusuk pelan dari bawah.
"Aahh..." Subaidah menggeliat mengikuti irama goyangan pinggulnya dan tusukan batang kemaluan Samirun.
"Eeghh.." sementara Samirun merasakan ada sesuatu yang siap keluar dari batang kemaluannya. Iapun mempercepat gerakan pinggulnya, bahkan sampai membuat tubuh Subaidah terhentak-hentak sambil tangannya terus meremasi kedua payudara perempuan cantik itu.
Subaidah juga mempercepat gerakan pinggulnya, sampai dalam hitungan sepersekian detik, tiba-tiba Samirun melepaskan batang kemaluannya dan meledak mengeluarkan cipratan air maninya yang selama hampir dua minggu ini ia pendam. Subaidah terperangah, kemudian dia mencubit perut laki-laki itu.
"Cepat sekali, Bang?!" bisiknya memprotes karena belum mendapatkan klimaksnya.
Samirun tersenyum malu, "Maaf, habis tubuhmu sangat menggairahkan sekali." jawabnya enteng sambil membersihkan sisa-sisa air mani dari tubuh Subaidah.
Wanita itu terlihat cemberut, apalagi ketika melihat penis Samirun yang mulai mengkerut lunglai. "Curang... mentang-mentang udah enak trus nyantai gitu, aku gimana dong? masih tanggung nih!" kata Subaidah dengan nada kesal-kesal manja.
Samirun segera menarik badan perempuan itu agar rebahan di sebelahnya. Ia ambil tangan Subaidah lalu dibelaikan perlahan di sekitar batang kemaluannya; mulai dari paha, memutar ke bagian perut untuk memainkan bulu kemaluan, lalu ke paha lagi, kemudian ke kedua biji pelirnya, juga ke batang kemaluannya yang mulai meringkuk, dan balik lagi ke paha yang pertama. Begitu terus berulang-ulang hingga lama-kelamaan, penis Samirun jadi tegang kembali akibat rabaan tangan Subaidah yang begitu lembut dan nikmat.
Subaidah melemparkan senyum nakal kepada laki-laki itu, yang dibalas oleh Samirun dengan lumatan gemas di bibir. Kini Subaidah kembali bersemangat, apalagi saat dilihatnya batang kemaluan Samirun yang sudah berdiri tegak, siap untuk kembali digunakan. Perempuan itu lalu bangkit dari posisi rebahannya dan mulai menggenggam batang kemaluan Samirun, diusapnya benda itu perlahan-lahan sambil sesekali menjilati ujungnya yang tumpul dan berlendir.
Setelah menjilatinya sebentar, Subaidah segera menaiki tubuh laki-laki itu kembali. Tetapi Samirun cepat-cepat menghadangnya dengan bangkit dan menghempaskan tubuh Subaidah ke kasur. Wanita itu terlihat ingin memprotes, tapi kemudian tersenyum begitu melihat Samirun merenggangkan kedua kakinya dan mulai meraba-raba daerah liang kewanitaannya yang tidak dihiasi bulu selembarpun itu.
"Sekarang ganti aku yang di atas." bisik Samirun sambil mengambil posisi di hadapan Subaidah. Belum sempat wanita itu menganggukkan kepala, ujung batang kemaluan Samirun sudah mulai menusuk liang kewanitaannya.
"Eghhhh...!" Subaidah mendesah berat dengan badan menggelinjang hebat.
Samirun terus membenamkan batang kemaluannya sampai habis ke dalam liang kewanitaan perempuan cantik itu, membuat Subaidah jadi semakin menggelinjang keenakan. "Shshsh... terus, Bang!!" desahnya, kali ini suaranya tak tertahankan.
Kembali Samirun menarik batang kemaluannya dan membenamkannya lagi, lalu mulai mengocoknya keluar masuk di dalam liang kewanitaan Subaidah yang sudah melebar basah. Nafas perempuan itu mulai terengah-engah mengikuti gerakan batang kemaluannya. "Enak... lagi... masukkan semua, Bang... tekan terus... tekan yang kuat... ahh... lagi... tekan lagi... ahh..." jerit Subaidah berkali-kali dengan mata merem melek keasyikan.
Samirun terus mempertahankan irama kocokannya. Ia tahan pinggul perempuan itu dengan kedua tangannya, memeganginya erat-erat. Nafas mereka bersahut-sahutan sambil sesekali diselingi suara Subaidah yang mendesah panjang, "Ssh... aku mau keluar, Bang..."
Dan tak beberapa lama,  tiba-tiba liang kewanitaan perempuan itu seperti menghisap-hisap batang kemaluan Samirun, sampai akhirnya... ia bisa merasakan semprotan cairan Subaidah pada batang penisnya, namun tetap ia menusuk keras-keras ke dalam sana. Subaidah yang kelelahan langsung jatuh lunglai ke atas tempat tidur. Namun sesaat ia tersenyum seakan memberi tanda kepuasan pada Samirun.
Samirun membalas senyuman itu sambil memperlambat gerakan pinggulnya. Subaidah mengikutinya dengan memutarkan bokongnya ke kiri dan ke kanan.
"Uugh... eekh..." Samirun mendesah keenakan menikmatinya.
"Kamu hebat, Bang..." senyum manis menghiasi wajah Subaidah yang bersemu merah, pertanda ia telah mengalami orgasme yang begitu hebat.
Mereka begitu menikmati saat-saat indah itu hingga tidak menyadari sesosok bayangan tinggi besar yang tegak terpaku di luar jendela. Wajahnya tampak berkilat karena basah oleh peluh. Gerahamnya bergemeletuk menahan geram. Hampir saja ia mendobrak daun jendela itu, menyeret kedua manusia keji tersebut dari dalam gudang lalu melumatnya tanpa ampun. Namun Samolo berusaha menekan gejolak amarahnya. Ia harus berbuat sesuatu untuk menyelamatkan kehormatan majikannya.
Tiba-tiba tubuhnya berkelebat bagaikan kucing. Ringan dan gesit tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Beberapa detik kemudian ia sudah mengetuk jendela emper bilik Nyi Londe. Pengasuh Giran ini keluar dan Samolo segera memberi tahu tentang rencana busuk Subaidah dan Samirun yang berhasil didengarnya tadi. Kening Nyi Londe yang mulai keriput ini tampak makin berkerut.
“Keji! Betul-betul keji!” gumamnya.
“Kedua setan itu harus dilenyapkan sekarang juga.” bisik Samolo sambil mengeretakkan giginya. Sinar matanya tajam berkilat penuh dendam.
“Itu justru akan menambah parahnya sakit Den-Besar. Beliau sangat mencintai perempuan durjana itu. Itulah sulitnya.”
“Tapi nyawa Den-Besar harus diselamatkan, Nyi!”
“Tentu! Tapi masih ada cara lain!”
“Cara bagaimana?”
“Menukar bubur itu sebelum disajikan kepada Den Besar. Ini memang merepotkan dan sulit. Karena Subaidah-lah yang selalu menyajikan bubur itu.” kerut-kerut di kening Nyi Londe tampak semakin nyata. “Yang penting, kalau saja aku bisa menciri penyimpan bubuk racun itu,” katanya perlahan.
“Jika caramu tak berhasil, terpaksa carakulah yang digunakan!” kata Samolo mantap.
Esok paginya, Nyi Londe sudah siap dengan bubur panasnya, tatkala Subaidah mengambil sepiring untuk disajikan kepada suaminya. Pada saat Subaidah membubuhi ’bumbu’ pada bubur tersebut, Nyi Londe diam-diam sudah siap dengan sepiring bubur lainnya. Ia pura-pura sibuk tapi matanya memperhatikan gerak-gerik nyonya majikannya itu.
Subaidah mengambil sebuah botol kecil dari balik pending emasnya, lalu isinya yang berupa bubuk putih itu ditaburkan sedikit ke dalam bubur. Botol kecil itu lalu dimasukkan kembali ke dalam pendingnya. Mata Nyi Londe memperhatikan semuanya. Tepat ketika Subaidah menuang minuman dari poci di atas meja teh itu, Nyi Londe segera menukar piring bubur itu dengan piring bubur yang telah dipersiapkan olehnya.
Tanpa curiga Subaidah membawa piring bubur tersebut ke dalam kamar tidur Tuan Tanah. Nyi Londe bernapas lega, lalu membuang bubur yang telah dibubuhi serbuk racun berdaya lambat itu ke dalam selokan. Demikianlah pertolongan Nyi Londe dalam usaha menyelamatkan nyawa majikannya, yang dilakukan setiap pagi dan sore hari. Itu berlangsung terus sampai berbulan-bulan lamanya.
Tiga bulan kemudian, Giran pulang liburan sekolah untuk kedua kalinya. Dilihatnya sang ayah masih terbaring sakit, namun keadaannya tidak seburuk dulu lagi. Wajah orang tua itu nampak merah dan segar. Yang dikeluhkannya cuma rasa perih di perut, yang kadang-kadang menyerang dengan hebatnya. Menurut Dokter yang khusus datang dari Batavia seminggu sekali itu, ayah Giran menderita radang usus dan lambung yang cukup akut. Namun kini keadaannya sudah mulai berangsur membaik. Kecuali tekanan darah tingginya, perlu pengawasan terus menerus. Terutama penyakit lemah jantung-nya itu.
Giran benar-benar merasa terharu melihat ketelatenan ibunya merawat ayahnya. Selama Giran berada di rumah, ibunya seakan-akan tak pernah beranjak dari sisi pembaringan, merawat serta mengurus ayahnya dengan penuh kesetiaan dan kasih sayang yang nampaknya begitu tulus. Hal itu membuat Giran makin menghormati dan menambah tebal perasaan kasihnya terhadap ibu tirinya itu. Bahkan menganggap ibunya adalah cermin dari tipe seorang istri yang begitu agung dan sempurna. Di hatinya selalu berangan-angan, bila kelak ia beristri, gadis itu haruslah mirip denga sikap serta perilaku ibunya.
Betapa pandainya Subaidah berperan dalam sandiwara yang skenarionya dibuat secara matang oleh Samirun, kasir yang cerdik dan amat pandai mengatur taktik dan strategi, dalam usahanya merebut kekuasaan serta seluruh harta kekayaan Tuan Tanah berpengaruh di Kedawung itu.
Sebenarnya keadaan ayahnya yang kini sudah nampak tua dan berpenyakitan, telah membuat Giran banyak berpikir. Ia merasa dibebani tanggung jawab sebagai putra sulung, untuk membantu meringankan penderitaan ayahnya itu. Kini sudah waktunya bagi Giran untuk bertindak sebagai wakil sang ayah mengurus seluruh usahanya. Sebuah pabrik penggilingan beras di Mauk milik ayahnya itu kini nyaris terbengkalai. Sejak ayahnya sakit, usaha tersebut tak terawasi lagi, hingga pihak Pemerinta Hindia Belanda yang mengontrak hasil beras dari penggilingan tersebut sudah beberapa kali menegurnya dan yang terakhir ingin menyitanya pula.
Pengurus yang diserahkan tugas untuk mengelola Pabrik penggilingan beras itu pun ternyata kurang cakap, bahkan diketahui kemudian, pengurus itu telah memakai uang kas pabrik untuk mengawini seorang gadis setempat dan membelikan perhiasan yang mahal sebagai maskawinnya. Mendengar laporan tersebut, ayah Giran benar-benar naik pitam, dan penyakit jantungnya kumat lagi. Samirun diperintahkan untuk mengurus kasus korupsi tersebut dan agar si pengurus itu diseret kepada yang berwajib untuk diadili. Tapi di luar tahunya, rupanya Samirun telah memanfaaatkan kejadian itu dengan memeras si pengurus. Akibatnya kasus korupsi tersebut tetap membeku. Dan pabrik penggilingan beras terus berjalan tersendat-sendat.
Giran segera mengambil alih persoalan pabrik penggilingan beras itu. Pada suatu hari dengan diiringi Samolo, ia pergi ke pabrik itu dan memeriksa seluruh pembukuannya. Diketahuinya secara pasti serta dengan bukti-bukti yang nyata tentang penyelewengan karyawannya itu. Maka kasus yang amat merugikan perusahaan serta nama baik ayahnya itu, segera dilimpahkan kepada pihak yang berwajib. Si pengurus yang korup itu telah ditindak melalui pengadilan yang cukup bertele-tele dan makan waktu. Akibatnya Giran pun terpaksa harus berhenti sekolah. Dan hal ini pun sebenarnya yang diharapkan Giran, agar bisa sepenuhnya membantu ayahnya.
Namun Samirun yang licik itu dapat lolos dari libatan tali hukum berkat kecerdikannya, dan tanpa menimbulkan prasangka serta curiga siapapun. Di hadapan mata Giran, kasir ini tetap adalah seorang pegawai yang berpredikat baik. Samolo hampir saja melucuti kedok kasir licik ini, kalau saja ia tidak mau berpikir panjang, khawatir buntut persoalan ini akhirnya akan mengungkap masalah kehormatan keluarga majikannya. Centeng ini terpaksa harus menelan segala kedongkolan hatinya sendiri.
Giran kini secara serius mengambil alih pengurusan seluruh perusahaan ayahnya. Merombak segala sesuatu yang selama ini terbengkalai. Maka dalam waktu yang relatif singkat, perusahaan penggilingan berasnya sudah mulai berjalan lancar lagi. Juga beberapa perkebunan milik keluarganya itu turut dibenahi dengan tuntas. Ia tak segan-segan lagi memecat karyawan yang tidak disiplin, apalagi yang terbukti berlaku tidak jujur. Tenaga-tenaga baru pun ditambah dari para penduduk desa Kedawung, dengan upah yang cukup memadai. Kebijaksanaannya itu mendapat sambutan simpatik dari para penduduk, yang selama ini hidup dalam kemiskinan, karena mereka kebanyakan memang para penganggur.
Perubahan besar itu sangat menggembirakan ayahnya. Tuan Tanah ini merasa bahagia mempunyai seorang putra yang patut dibanggakan. Sebaliknya bagi Samirun dan Subaidah, kemunculan Giran sebagai penerus dinasti Tuan Tanah yang penuh kharisma itu, justru menjadi duri di dalam dagingnya. Mereka mulai berkasak-kusuk secara rahasia, merencanakan suatu taktik baru untuk menyingkirkan sang penerus yang jadi penghalang ini.
Dalam waktu-waktu senggang, Giran selalu memanfaatkannya untuk bercengkerama dengan para penduduk. Di antara yang sering dikunjunginya adalah Ki Kewot. Petani tua ini sekarang lebih banyak berada di gubuknya, hanya kadang-kadang saja turun ke sawah untuk mencangkul dan mengurus sawah milik Tuan Tanah. Giran tak pernah lupa mencangking bungkusan bila berkunjung ke gubuk orang tua itu. Sekedar oleh-oleh untuk Ki Kewot dan Ratna, putri cilik yang kini telah tumbuh menjadi seorang gadis yang sangat rupawan.
Mungkin inilah salah satu sebab mengapa akhir-akhir ini Giran sangat rajin bertandang ke gubuk orang tua itu. Samolo yang selalu setia mengawalnya, kadang-kadang suka tersenyum sendiri melihat tingkah majikan mudanya yang masih serba rikuh bila berhadapan dengan gadis rupawan itu. Namun sikap canggung dan salah tingkah itu menjadi hilang setelah hubungan kedua muda-mudi tersebut semakin intim. Dan senyum Samolo pun berganti dengan sebuah harapan serta doa di hatinya. Semoga putra sulung majikannya ini bisa mewarisi sifat serta keluhuran budi sang ayah. Kecuali nasib buruk sang ayah sebagai suami yang dikhianati istrinya itu, tidak menurun kepadanya.
Perkembangan perilaku Giran yang agaknya mulai diresapi getaran cinta remaja itu, selalu diberi tahu Samolo kepada Nyi Londe. Pengasuh yang amat setia itu selalu berbinar bola matanya, mendengar kisah asmara putra asuhannya yang teramat disayanginya itu. Hati kedua abdi yang setia ini senantiasa berdebar, menanti perkembangan asmara itu dengan penuh perhatian. Seakan-akan mereka berdualah yang akan mengambil menantu.
Pada suatu hari, sepulangnya Giran mengantar dokter yang merawat ayahnya ke Batavia, ia berpapasan dengan Ratna yang baru saja pulang dari sungai mencuci baju. Gadis ini berjalan beriringan dengan teman-temannya sambil bercanda. Melihat Giran datang, teman-teman Ratna segera menggoda.
“Ratna, Arjunamu datang tuh. Hi... hi... hi...” sambil tertawa terkikih-kikih gadis-gadis desa itu berlalu sambil berlenggang-lenggok dengan bakul cucian di pinggulnya masing-masing. Ratna tertawa lalu tertunduk dengan wajah memerah jambu.
Giran menghentikan kuda keretanya. “Ratna, habis mencuci baju?”
Ratna mengangguk, masih tertunduk.
“Bagaimana keadaan ayahmu?” tanya Giran lembut.
“Baik,” jawab Ratna perlahan dengan masih tertunduk.
Giran mengambil sebuah bungkusan dari dalam keretanya, ditaruhnya di dalam bakul cucian Ratna. “Ada sedikit oleh-oleh untukmu dan ayahmu,” ujar Giran sambil tersenyum memandang gadis ayu ini.
“Terima kasih, Den...” kata Ratna tersipu, mengangkat wajahnya memandang Giran sejenak lalu tertunduk lagi. Ia tersenyum manis, pipinya tampak semakin merah seperti bunga mawar. Kemudian sambil mengempit bakul cuciannya ia melangkah pergi.
Giran memandangi tubuh semampai yang molek itu, lalu naik ke atas kereta, menarik tali les kudanya dan berangkat pulang. Tidak jauh dari situ, tampak Mirta ditemani mandor Sarkawi memandangi pertemuan Giran dan Ratna itu dari balik pohon. Mata Mirta tampak merah membara. Sarkawi segera mengipasi bara api kebencian yang sudah lama mencekam di mata dan hati pemuda ini.
“Rupanya abang Den Mirta ada hasrat juga terhadap ‘anak ayam’ Aden yang botoh itu. Kalau kalah cepat, bisa-bisa diserobot lebih dulu sama dia.” ujar Sarkawi memanasi.
“Kurang ajar! Dia memang selalu memuakkan aku.” geram Mirta sambil memukul batang pohon dengan tinjunya. Lalu dengan langkah lebar mengejar Ratna yang berjalan di atas pematang sawah. Sarkawi berjingkrak mengikuti pemuda brandal itu.
Cepat sekali Mirta sudah berada di sisi Ratna. Gadis itu dengan wajah cemberut berusaha menghindar. Ia merasa muak melihat pemuda binal ini yang sering kali mengganggunya. Mirta tertawa sambil mencolek bahu Ratna yang menghindar dengan mempercepat langkahnya.
“Ke udik membawa lembing, Ke kota membopong senapan, Jika adik merasa berat menjinjing, Biar abang tolong bawakan... “ Mirta menggoda dengan rayuan pantunya. Sarkawi tertawa terbahak sambil lompat menghadang Ratna yang lari menghindar.
Mandor bertubuh gempal ini pun ikut-ikutan berpantun sambil mencegat Ratna. “Et... Et! Kelapa muda, kelapa cengkir, Jangan ditaruh di atas tatakan. Kenapa Nona pergi menyingkir? Jangan bikin hati Den Mirta berantakan!”
Mirta nyengir sambil menepuk bahu sang Mandor. “Bagus, Wi! Lusa gua persen se-gobang lu!”
Sarkawi tertawa lagi sambil terus berusaha mencegat Ratna. Mirta mendekati gadis ini yang mulai makin ketakutan dan hampir menangis. “Berliku-liku sungai Ciliwung. Anak dara berdayung sampan. Jikalau Adik menjadi burung, Biarlah Abang menjadi dahan.” Mirta berpantun lagi.
Mata Ratna mulai berkaca-kaca karena cemas dan marah. Mirta malah makin berani dan lancang tangan. Dipegangnya lengan Ratna yang meronta ketakutan. “Kenari si burung Kenari, Kenari terbang ke hutan lebat. Mari, marilah jantung hati, Hati abang aduh... sudah ngebet.” dengus Mirta dengan pantunya sambil mencoba mencium pipi gadis itu.
Ratna melempar bakul cuciannya ke tubuh Mirta, lalu lari menelusuri galangan sawah. Mirta tercengang sejenak, kemudian lari mengejar. Sarkawi hendak ikut mengejar tapi matanya tiba-tiba tertumbuk pada bungkusan oleh-oleh dari Giran yang tercecer di antara cucian Ratna itu. Dipungutnya bungkusan tersebut dan dibukanya. Matanya nanar memandang sehelai kain sutera berwarna hijau muda. Dan sebuah cangklong tembakau terbuat dari gading gajah yang semuanya tampak berharga sangat mahal. Sarkawi tertawa kegirangan, segera menyimpan barang-barang itu ke dalam bajunya. Kemudian dengan berlompatan ia menyusul Mirta.
Saat itu, Ki Kewot masih berada di tengah sawah sedang mencangkul. Lengannya tiba-tiba tampak jadi makin gemetar ketika dilihatnya putrinya berlari-lari ke arahnya sambil menangis. Sementara di belakangnya tampak dua laki-laki mengejarnya. Dari jauh jeritan Ratna memanggil-manggil ayahnya sudah terdengar. Sebelum rasa heran dan bingung kakek ini lenyap, putrinya sudah merangkul tubuh tuanya dengan gemetar lalu menyelinap di belakangnya. Mirta dengan napas memburu tiba di tepi sawah, disusul kemudian oleh Sarkawi.
“Oh, Den Mirta dan Bang Mandor...!” sapa Ki Kewot dengan hormatnya. “Ada apa? Maafkanlah kalau anak ini telah berlaku kurang tahu adat. Maklumlah kami orang bodoh. Maafkan, Den.”
Mirta dengan angkuh berdiri bertolak pinggang di atas pematang sawah. Matanya jalang menatap Ratna yang berdiri ketakutan di belakang tubuh ayahnya. Sarkawi yang berdiri di samping Mirta segera berkata, “Hei, Ki! Ente patut mengucap syukur ke Gusti yang kuasa. Karena nasib kalian bakal ketiban rejeki nomplok. Bolehnya Den Mirta bisa nyungsep hatinya begitu melihat Ratna. Berapa banyak anak-anak perawan pada ngantri ingin jadi mantu Tuan Besar tapi dilirik pun kagak sama Den Mirta.”
Mirta tersenyum bangga mendengar sesumbar si Mandor. Ki Kewot mendengus kecil berusaha menyembunyikan kemuakannya melihat tingkah kedua orang yang selalu membuat onar itu. Dituntunnya tangan Ratna. Sambil memanggul cangkulnya petani tua itu beranjak dari tengah sawah naik ke atas tanggul untuk pulang. Mirta tampak tak senang, ia memberi tanda dengan kerlingan matanya kepada Sarkawi. Serta-merta Mandor ini segera lompat menghadang si Kakek serta putrinya itu.
“Nanti dulu! Mau apa sih buru-buru pulang, Ki? Tahu diri sedikit, ah.” tegur Sarkawi dengan gaya menggertak.
“Maaf mandor, kami orang bodoh. Takut nanti berbuat salah lagi. Ijinkanlah kami pulang.” kata Ki Kewot memohon.
Mirta tiba-tiba menarik lengan Ratna dan diseretnya dengan paksa ke arah sebuah dangau tempat berteduh para petani yang dibangun di tepi tanggul itu. Ratna menjerit minta tolong kepada ayahnya sambil meronta berusaha melepaskan diri. Ki Kewot jadi panik, namun sebelum ia sempat berbuat sesuatu, lengan Sarkawi telah memiting lehernya dan sebelah lengannya dipelintir lalu tubuhnya dibanting ke tanah. Tanpa kenal kasihan mandor itu segera menduduki tubuh petani tua yang sia-sia meronta tak berdaya. Lebih celaka lagi kaki Sarkawi dengan seenaknya menginjak kepala orang tua itu, hingga mulutnya terbenam penuh lumpur, tak mampu bersuara.
“Lepaskan...! Lepaskan... Tolooooongg...!” jerit Ratna sambil terus meronta dan berpegangan kuat-kuat pada tangga dangau.
Mirta bagaikan hewan lapar berusaha menyeret mangsanya ke dangau itu. Ki Kewot mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk membebaskan diri dari tindihan tubuh Sarkawi yang gempal itu. Namun usaha kakek renta ini sia-sia. Malah kaki Sarkawi makin keras menginjak kepalanya.
“Tenang, Ki, tenang! Kenapa sih lu suka ngalang-ngalangi kesenangan anak-anak muda. Ente kan pernah muda dulu!” bentak Sarkawi dengan kurang ajar.
Tepat pada detik itu, sebuah tendangan telak menghantam punggung mandor, hingga tubuhnya terlontar dan terguling ke dalam sawah. Sesosok tubuh tinggi besar yang tiba-tiba sudah tegak di situ, segera membangunkan Ki Kewot. Kakek ini segera memburu ke arah dangau untuk menolong putrinya. Tarik-menarik terjadi. Namun akhirnya Mirta kalah tenaga, langsung jatuh ke dalam lumpur sawah. Ki Kewot segera menarik lengan Ratna lari meninggalkan tempat itu. Sarkawi dengan menahan sakit merayap naik ke atas tanggul sawah, matanya nanar mencari si pembokong tadi. Punggungnya terasa remuk seperti diseruduk kerbau.
Tiba-tiba sebuah suara berat terdengar menegurnya. “Jangan membuat keonaran, Wi! Den Besar sedang sakit. Kau tahu itu, bukan?”
Sarkawi terkejut, karena ia kenal benar dengan suara berat itu. Kemudian dilihatnya sesosok bayangan tinggi besar berkelebat dari bawah pohon, dan lenyap di tikungan jalan yang ditumbuhi semak-semak. Sarkawi meludah sambil mengumpat dengan geramnya, “Bangsat! Awas lu, Samolo. Gua hirup darah lu.”
Dengan tertimpang-timpang ia bangkit, menghampiri Mirta yang masih meronta-ronta terbenam di dalam lumpur. Ketika tubuh pemuda itu diangkat, Sarkawi hampir tak dapat menahan tawanya. Wajah dan tubuh Mirta hitam legam berlumur lumpur sawah, persis seekor lutung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar