Jumat, 15 Juli 2016

Terjebak Nostalgia 2



Di kampus kami, tembok pun bisa mendengar dan berbicara. Keesokan harinya, gosip mengenai Liz yang tidur di kamar kost-ku menyebar dengan cepat.
Beberapa teman cowok menyalamiku. “Selamat, gay insyaf!” kata mereka, sementara yang lain bertepuk tangan dan mengalungkan karangan bunga.
“Jay, maaf yo.. kemarin ane sudah salah paham.” Slamet menghampiriku saat pergantian dosen.
“Yo..” jawabku malas, pasti dia yang menyebarkan gosip ini.
Tapi nek kowe jadian karo Liz, ane mendukung 101% Mas Bro! Kalian cocok, sama-sama sableng, sama-sama eror!”
Halah, sok tahu banget Slamet ini, sebal aku jadinya. Namun aku tidak begitu peduli, karena kuliah pagi ini membuatku ngantuk nggak ketulungan, ditambah lagi tidur bersama Liz membuat tidurku nggak nyenyak, dag-dig-dug sepanjang malam.
Seharusnya bisa saja aku nitip absen sama Slamet atau KW, tapi karena KW bilang akan ada Quiz, terpaksa aku berangkat walau malas.

Aku mencari-cari Liz, kulihat ia juga sedang terkantuk-kantuk di sudut seberang, memperhatikan dosen yang makan gaji buta dan mengajar tidak jelas.
Lama aku memandangi wajah Liz dan rambut pendeknya, hingga tanpa sadar aku mencorat-coret di atas notebook.
Aku menggambar seorang cewek tomboy berambut pendek, mengenakan celana jins belel, dan tank-top, dengan lengan kiri yang dipenuhi Tatoo.
“Nyet, gambar siapa tuh? Liz?” tegur cewek yang duduk di sampingku.
“Mau-tahu-aja.” aku menyahut malas.
Namanya Grace, Gracia Anindhitia. Yep, seperti yang kujelaskan di depan, Grace adalah cewek paling seksi di kampus, bahan coli kedua setelah Ameri Ichinose, dan satu peringkat di atas Luna Maya.
Mukanya mirip artis panas Hongkong, Shu Qi, yang main bareng Jason Statham di The Transporter, bibirnya tebal, sensual. Ukuran cup-nya... fuck, memangnya aku dagang BH?! Yang jelas toketnya yahud gilak, lihat saja dia sekarang memakai kemeja ketat tipis, bh-nya warna hitam sampai nampak... aaah... tuh, kan malah konak.
“Jay, kamu beneran ML sama Liz? aku sih, masih nggak yakin kalau kamu suka cewek.”
Bajigur, pagi-pagi sudah nyari perkara. Grace ini benernya baik, cuma anaknya sengak dan sedikit bossy. Kali ini aku sedikit mangkel, maka aku pura-pura tidak mendengar, dan terus menggambar.
Namun Grace sepertinya kesal karena nggak kutanggapi, hingga dia kembali bertanya, “Jay, kamu naksir Liz, ya?”
“Mpret.”
“Halah, kalian itu nempel terus semenjak semester satu, kayak amplop sama perangko. Daripada sama Bang Igo Kampret, aku yakin dia lebih cocok sama kamu. Yang satu tomboy, yang satu maho. Fit and Propper,” tandas Grace mantap, sambil pura-pura mencatat.
Bajigur.
“Lagian, Liz naksir kamu dari dulu, tahu.”
Nguapusi tenan, cuk!
Grace melotot, mencubit tanganku, “Dikandani ngeyel. Tapi karena kamu nggak nembak-nembak, dan malah PDKT sama Senja. Liz akhirnya jadian sama Bang Igo,” ungkapnya, klise.
Aku menelan ludah, entah Grace serius atau tidak, tapi yang jelas jantungku kembali berdetak lebih cepat lagi saat tiba-tiba Liz menoleh dan melambai ke arah Grace.
Shit.... shit... shit... kenapa ane salah tingkah gini.

***

Episode 5
Could it Be?

Kuliah diakhiri tanpa aku sempat bertanya lebih jauh lagi, dan sekarang Liz sedang meng-copy power point kuliah dosen dari komputer. Anak itu melihatku, dan melambaikan tangannya.
“Weits sudah dipanggil tuh, wiz yo... tak tinggal dulu... eh, Jay.... sekarang dia lagi jomblo, lho.” kata Grace sambil ngeloyor pergi, dan segera aku menimpuknya dengan binder.
Aku mendekat menghampiri Liz, menyapanya gugup, “L-Liz... ehem... udah makan belum?”
“Makan apa? Makan hati udah.” Liz menyahut cuek.
“Sama dong, minumnya Teh Botol Sosro.” lelucon yang sama seperti tadi malam, garing. Akhir-akhir ini aku memang kehabisan bahan lelucon.
“Hahaha...” tawanya berderai sambil meninju lenganku.
“Makan apa nie?” kataku lagi.
“Temen ‘makan’ temen.”
“Haha, terus Minumnya Teh Botol Sosro.. ah seriuslah.. mau makan apa nie?”
Liz membereskan bukunya. “Hehehe... aku udah makan, Jay. Maaf, ya...”
“Yah...” aku menunduk lesu.
Shit... kenapa ane kecewa gini...
“Ntar malem aja, yah. Jemput aku.” ucap Liz lagi, sambil menonjok lenganku.

***

Siang itu amat terik, sudah beberapa bulan ini hujan tidak turun di Yogyakarta. Namun entah kenapa aku merasa sangat sejuk. Kami berjalan beriringan di bawah pohon Akasia yang ditanam sepanjang halaman kampus, dinaungi daun lebat yang menghalangi terik sinar matahari.
“Jay.. anu... umm...” Liz terdiam lama, “yang semalem, m-maaf..”
“I-iya.. aku juga khilaf, maafin aku ya..." Aku menelan ludah, "aaku... aku nggak mau... kalau dibilang mengambil kesempatan dalam kesempitan.”
“Enggak kok Jay, aku juga yang salah...” jawab Liz, menyenggol lenganku.
Kesempatan dalam kesempitan...” gumamku nggak jelas. “Tapi semalam memang benar-benar sempit... ckckck...“ aku menunjuk pada meki-nya yang memang ‘kesempitan’.
“Iiiiih... Jay, apaan sih,” Liz memukul-mukul dadaku.
“Hahaha..” aku tertawa sambil menghindar.
Siang itu Liz menggamit tanganku. Kami berjalan bergandengan menuju tempat parkir. Aku bisa melihat teman-teman kampusku yang memandangi kami dengan takjub: pasangan ter-gaib abad ini.
Wattaaaaaaaa!!!

***

Malam itu kami makan di lesehan di pinggir Jalan Kaliurang. Motor-motor lalu lalang di sepanjang jalan yang ramai dengan bangunan dan kedai makan. Kami duduk lesehan di tikar sambil menikmati sajian gudeg basah, nasi hangat dan potongan nangka manis yang disiram kuah santan yang mengepul hangat.
Pengamen berseliweran di sekeliling kami, dari yang berdandan banci, sampai yang bermodal 'kecrek-kecrek', namun ada satu yang berbeda: Bapak-bapak tua dengan potongan rambut model bob ala John Lennon, mengenakan celana bahan dan kemeja yang dimasukkan rapi.
Ia tidak bernyanyi, melainkan memainkan harmonika yang disangkutkan begitu rupa pada gitarnya, dan yang lebih unik lagi: di sepanjang jalan itu dia hanya memainkan lagu The Beatles.
Kuperhatikan mata Liz tak berhenti berbinar melihat si Bapak bermain gitar sambil meniup harmonika.
“Selamat malam. Mau lagu apa? Buat pacarnya, mungkin?” Si Bapak memberi preambulepada penampilannya.
Liz terkekeh, “Jay, kamu yang milih.”
Aku sejenak gelagapan, sebelum akhirnya memilih sebuah lagu.
“Pilihan yang bagus.” Si Bapak mengacungkan jempol, sebelum memainkan gitarnya. Lagu itu tak berlirik, hanya alunan harmonika dan iringan gitar, namun Liz dengan riang ikut bersenandung.

“Oh yeah, I'll tell you something
I think you'll understand
When I say that something

I want to hold your hand
I want to hold your hand
I want to hold your hand”

Liz tersenyum ke arahku, menggenggam tanganku erat-erat sepanjang lagu dinyanyikan. “Makasih.” bisik Liz sambil menatapku.
Aku balas menatap matanya, berucap hati-hati, “L-Liz...”
“A-apa, Jay.”
“Aku lupa bawa duit.”
“Kere.” Liz mengumpat pelan, sambil merogoh dompetnya.
Begitulah, semenjak hari itu ada yang berubah mengenai hubunganku dengan Liz. Sekarang ia lebih mesra kepadaku, kemana-mana ia selalu mengelendot manja di lenganku. Sekarang Liz jadi lebih perhatian padaku, dengan menanyakan: Jay, Udah makan belum? Udah minum belum? Jangan kebanyakan coli yah.. dll.
Mungkin aku yang terlambat menyadari, namun kuakui ada perasaan hangat menjalari hatiku, saat berada dekat dengan Liz.
Meskipun begitu, tak sedikit pun aku berani mengutarakan perasaanku. Apalagi memintanya jadi pacarku.
Sex doesn’t ruin friendship, It is Love that ruin friendship...

***

“Liz, Umm..”
“Apa?”
“Enggak.. ga jadi.. enggak apa-apa,”
“Huu, ngomong ga jadi..”
“Liz..”
“Yah?”
“Beha-nya bagus yah.” aku menunjuk ke jemuran kost-kostan cewek di sebelah.
Sore itu kami duduk di teras kost-kostan ku. Sebenarnya hari itu aku bertekad untuk mengungkapkan perasaanku kepada Liz.
Aku tahu, kami sudah berjanji nggak akan melibatkan perasaan dalam hubungan ini, namun aku juga sudah membaca banyak cerita tragis tentang Unrequited Love, cinta yang tak tersampaikan.
Adi dan Tania (Rasa Untuk Tania), Keenan dan Kugy (Perahu Kertas), mereka semua adalah orang yang memendam perasaan pada sahabatnya,- hanya karena takut persahabatan mereka rusak karena cinta.
Akibatnya? Perasaan tetap nggak bisa dibohongi, mereka sama-sama terluka saat masing-masing mendapat pasangan.
Maka hari ini, di hari berbahagia ini, aku mengumpulkan segenap keberanianku untuk berkata:
“Liz, sebenarnya....”
Liz menatapku dalam-dalam.
“Sebenarnya, weteng inyong kencot(perutku lapar, terj...) makan yuk...” aku berkata, kebetulan ada dagang nasi goreng lewat depan rumah. Kami membeli dua piring, sebelum aku melanjutkan kalimatku.
“Liz sebenarnya aku sayang sama kamu,” kataku pada akhirnya, sambil mengunyah nasi goreng.
“Hehehehe.. aku juga sayang kamu kok Jay,” Liz menyahut jenaka, dengan mulut yang penuh kerupuk.
Yak, peluang di depan gawang, sodara-sodara!
“Liz... ehem... k-kamu mau nggak, j-jadi pacar aku?”
Liz terdiam, menyelesaikan menelan kerupuknya. Lalu, “Aku pengen kita begini aja.”
“M-maksud... mu?”
“Jay, dari dulu aku sudah sayang sama kamu, tahu...“
Jantungku dag-dig-dug tak karuan.
“Pacaran itu…” ia terdiam sebentar, “… menyakitkan, Jay.”
Memang, tapi indah juga kan?
Liz menggenggam tanganku. “Jay, kamu itu spesial, lebih spesial dari Bang Igo atau yang lain... aku cuma nggak pengin kehilangan kamu kalau nantinya kita putus.”
“J-jadi.... a-ane d-ditolak?”
Nasib.... rekor hattrick, ditolak 3 kali berturut-turut...
Liz menggeleng dan tersenyum, diraihnya kepalaku pelan, hingga bibir kami yang penuh minyak dan kerupuk saling menempel.
“Mudah-mudahan ini bisa menjawab pertanyaanmu...” ucapnya sambil tersenyum, cantik sekali, dan Liz tidak menolak ketika aku kembali meraih dagunya, mengecup bibirnya lembut.
Kami berciuman di bawah langit sore, diiringi suara penjual Sari Roti yang lewat di depan rumah. "Tiroti roti sariroti."
Begitulah, akhirnya hubungan kami hanya berakhir sebagai TTM. Part Time Lover, Full Time Friend.

***

Episode 6
Part Time Lover, Full Time Friend


Sebenarnya aneh juga, aku dan Liz kini leluasa bermesraan meski tanpa embel-embel pacaran. “Buat apa sih status? Cuma sebagai papan nama doang? Buat gaya-gayaan di wall FB?” begitu kilah Liz. “Yang penting saling cinta, saling sayang,” tandasnya lagi.
Mungkin Liz ada benarnya juga, tanpa embel-embel status-pun, aku sudah sangat bahagia bisa bersama Liz. Seperti saat malam berikutnya kami berjalan-jalan ke Alun-alun Kidul Yogyakarta.
Seperti layaknya pasangan baru, kami berjalan dengan bergandengan erat. Liz menyandarkan kepalanya di lenganku, kami berputar-putar mengelilingi tempat itu, melewati penjual mainan dengan dekorasi lampu yang melingkar-lingkar membentuk hati.
"Jay, senyum!" ucap Liz, sambil mengambil foto kami dengan kamera ponsel-nya.
Malam itu kami menikmati hangatnya ronde di alun-alun kidul, sambil memandangi pohon beringin kembar dan kerlap-kerlip sepeda tandem yang dihiasi dengan lampu LED (Light Emitting Diode) sehingga lapangan itu dipenuhi dengan warna-warni yang indah.
Sampai di tempat yang menjual gula-gula, aku membelikan Liz setangkai gula-gula kapas yang besar.
Mata Liz berkaca-kaca saat aku menyodorkan manisan gula itu. “Jay... coba kamu nembak aku dari dulu...”
“Iya…”
“Coba kamu nembak aku... sebelum Bang Igo.” Liz menyebut nama mantan pacarnya yang memerawaninya. Ia menempelkan wajahnya di bahuku, terdiam lama. Selalu begini setiap ‘dia yang tidak boleh di sebut namanya’ itu disebut.
Mungkin aku yang terlalu banyak berharap, namun aku hanya berpikir, apa salahnya punya mimpi? Mungkin suatu saat Liz akan membuka hati, dan ia mau menjadi yang pertama dan terakhir untukku, dan selama itu pula aku akan menunggu.
Liz tidak pulang ke kost-nya malam itu. Setelah berganti dengan kaus longgar milikku, dengan santainya ia melompat santai ke atas kasur, persis seperti biasa.
Karena belum ngantuk, aku dan Liz menonton TV melalui TV tuner yang dihubungkan ke monitor PC-ku. Kalau tidak salah, waktu itu acaranya sinetron laga yang di-dubbing. Liz menggelendot manja di dadaku, lengannya yang mungil memeluk perutku, menyaksikan tayangan absurd tentang tongkat yang bisa berbicara, serta Puteri Kerajaan yang mengenakan behel.
“Jay, kamu tahu nggak? aku tuh naksir kamu dari semester satu, lho.” Liz berceletuk tiba-tiba.
“S-sama. A-aku juga naksir kamu dari dulu... he... he...”
“Bohong. Waktu itu kamu kan masih ngejar-ngejar Senja.”
“Hahahaha... ungkiiit teruuuuus.” ucapku sambil mencubit Liz, sekalian curi-curi mencium pipinya.
“Iiih... Jay genit aaah!” protesnya.
“Hehehe, habisnya kamu cantik banget sih.” aku mencubit pipinya yang lucu.
“Huuuuu gombal! Kain pel gombaaaal!!!" Liz meronta jenaka sambil tertawa-tawa. "Sekarang kutanya, cantik mana aku sama Senja?”
“Cantik kamu, lah!”
Liz mencubitku, “Kalau Senja yang nanya pasti beda lagi jawabannya," cewek tomboy itu memonyongkan bibirnya mengejekku, dan langung saja kusosor bibir itu.
Liz meronta, sambil terkikik-kikik, namun di detik-detik terakhir ia membalas ciumanku dengan tak kalah ganasnya. Kami berpagut, sambil melenguh dan membelai tubuh masing-masing.
Gawat, ‘Si Jay-Hok’ di bawah sudah tegang.
“Iiiih.. belum apa-apa udah berdiri!”
“Ya iyalah! Make out sama cewek seksi gini gimana nggak berdiri coba? Kalau nggak berdiri itu malah nggak normal!” ucapku sambil nyengir, memperbaiki posisi 'Si Jay-HO' sekilas kuperhatikan mata Liz tak berkedip memandangi tonjolan di balik celanaku.
“Besar juga ya,” Liz berceletuk pelan.
“SNI.” jawabku pendek.
“Apaan tuh?”
Standar Nasional Indonesia.
“Wkwkwkwkwk... emangnya helm?” Liz mulai nakal meraba kepala si Jay-Ho. “Standar Nasional Irlandia kali,” bisiknya setengah takjub.
“Eh, awas! Jangan digituin! Itu burung buas, kalau lepas, ntar masuk kemana-mana.”
“Hehehe..” Liz mengekeh jenaka, kembali memelukku.
Aku membelai wajah Liz, dan Ia hanya tersenyum sambil menatapku hangat, kembali menggelendot manja di dadaku. Tak bisa aku berhenti memandangi wajah itu, potongan rambutnya yang pendek itu membuatnya begitu seksi, mirip Emma Watson. Sementara pipinya menyembul gembil, seperti punyanya Gita Gutawa. Entah kenapa, sepertinya ia kelebihan zat kolagen di bagian itu.
“Waktu itu kita gila yah, Jay...”
“Ngapain ngomongin itu? Kamu pengin lagi?”
“Huuuu.. emang ya, dasar cowok.. maunya itu aja.”
“Hehe,” aku cuma nyengir, mengecup kening Liz.
“Kemaren kan bilang, enggak lagi-lagi, dosa katanya.”
“Iya.. iya ...”
Liz tersenyum, “Tapi enggak sekarang, ya Jay.” bisiknya sambil mencium pipiku, menangkupkan selimut ke atas tubuh kami.
Hah? Apa maksudnya dengan ‘enggak sekarang’
Malam itu Liz kembali menginap di Kamarku. Sepertinya aku harus mulai rajin memberi upeti kepada Slamet dkk, agar mereka tidak comel, dan cerita yang aneh-aneh.
“Kita sudah kayak suami istri ya,” Liz terkekeh, mengomentari posisi kami yang berpelukan mesra di bawah selimut.
“Iya, padahal baru bulan lalu masih becanda-becandaan sama Slamet, Buluk, Gugun, Heru..."
“Kok bisa ya, aku sama kamu... hehehe.”
“Hehehe, iya... berawal dari teman, berakhir di ranjang.” Kami saling bercekikikan sambil saling menggelitik. Lucu. “Eh, Liz...” ucapku lagi.
“Apa?”
“Pengin deh punya istri kayak kamu,” kataku tiba-tiba, entah kenapa.
Liz terdiam lama, wajahnya seperti berpikir.
“Iya, mudah-mudahan kamu dapat istri yang kaya aku, Jay sayang.”
Waktu itu aku belum memahami maksud tersirat dari kata-kata Liz ini.
Aku mendekatkan wajahku, sehingga hidung kami bersentuhan. Liz menggerak-gerakkan kepalanya, memainkan hidungku - dengan hidungnya, hingga Liz jadi tertawa sendiri, dan pipinya tampak semakin menggemaskan.
Aku hendak mengecup pipi Liz, namun ia menghindar sambil tertawa. Wajahnya tampak bahagia, pipinya merona merah muda saat aku membenamkan wajahku di sana.
“Aku sayang kamu, Liz,” bisikku sambil mendaratkan ciuman tipis di bibirnya. Lebih dari yang kamu tahu.
“Aku juga, Jay.”
Aku menatap mata Liz dalam-dalam, sebelum ia memejamkan mata, membiarkan aku mengecup bibirnya yang lembut, sangat lembut. Liz menyambut ciumanku, melumat bibirku pelan.
Suara lenguhan pelan terdengar samar di balik suara kipas angin busuk. Aku membelai wajah Liz, dan perlahan mulai tercium harum nafasnya yang memburu di wajahku seiring remasan yang kudaratkan di dadanya. Bibirnya yang tipis, membelai bibirku. Sayup namun samar, kurasakan lidahnya bergerak mencari jalan masuk.
"Mmmmhh... hhhh...." kembali kami melenguh, saat lidah kami saling membelai di dalam sana.
Aku meremas payudara Liz yang masih tertutup bra, membuat Liz mendesah dalam ciuman kami. Diremasnya pantatku, dan dibelai-belainya kejantananku dari balik celana seolah tak mau kalah, membuatku berani menyusupkan tangan ke balik celana batikku yang dikenakan Liz.
"Jay.... sssshhhh...." desahnya, sambil menggeliat resah. Jariku bergerak membelai kewanitaan Liz dari balik celana dalamnya, membelai belahan basah yang lembab di bawah situ. Kami saling meremas, dan saling membelai dengan buasnya. Tubuh kami bergesekan dengan liar, ditingkahi desahan dan erangan binal.
“L-Liz....” bisikku bergetar di telinganya.
“A-apa.. Jay...” Liz tersengal dengan nafas naik turun, karena tanganku membelai kewanitaannya dari balik celana.
“B-boleh, nggak?”
“B-boleh... a-apa?”
“ML.”
Liz tersenyum sayu, “Pelan-pelan ya.”
Sip, Lampu hijau menyala!
Bergemetaran, aku melepas kausku, dan Liz pun segera melepas kaus yang dikenakannya, sekaligus BH yang menutupi payudara indahnya. Satu persatu penutup tubuh kami berserakan di lantai. Sampai akhirnya hanya terdengar suara nafas kami dan suara kipas angin rongsokan di kamarku. Aku segera mencumbu Liz, dan mendelegasikan beberapa tugas khusus bagi anggota tubuhku. Waktu itu aku juga sudah mulai rajin membaca cerita panas untuk mendapatkan referensi cara bercumbu.
Berikut ini pembagian tugas-nya: Tangan kiri: memilin-milin puting kiri Liz. Mulut dan Lidah: Menghisap puting kanan Liz. Tangan Kanan: mengobel-gobel kewanitaan Liz.
Liz membalik badan, “Jay... kamu... bisa?” ucapnya dengan nada menggoda sambil menunggingkan pantat.
Aku menelan ludah, sepasang pantat Liz yang bulat sekal terpampang indah di depan mataku, dan kewanitaannya yang tembem nampak basah dan merekah.
“A-anal?” jawabku pelan.
“Dasar mantan homo.” Liz terkekeh.
Widih, doggy style boook....
Hati-hati aku berlutut di belakangnya. Mengarahkan kejantananku ke belahan Liz yang membuka, Liz melengguh pelan saat aku mendorong kejantananku. Licin, kejantananku terpeleset ke selangkangannya.
“Lho... eh?” Liz mengernyit.
Aku nyengir, mendorong lagi. Kejantananku menggesek di belahannya yang membanjir licin, hingga meluncur-luncur di bawah situ, menyundul klitorisnya, "Slllllph...... sleppppph....."
“Mmmh… oooh... masukin... Jay!”
“I-iya... Ummh....”
“Sssssssh.... Ohhh.. ohhh... eh... eh? eh?” Liz mengernyit, penisku terlepas lagi.
Aku mulai menyodok lagi, kali ini lebih mantap, dengan semangat 45.
“Aaaaaaaa!!!” Liz menjerit keras, ternyata salah lubang.
Para pembaca nan budiman, ternyata praktikum lebih sulit daripada teori. Kesimpulannya : posisi Doggy Style ini masih terlalu susah untuk seorang nubie.
Liz tersenyum, dan berbalik. Aku cuma nyengir, dan menjawab dengan jawaban standar: “Maklum masih nubie, hehe.”
Liz mendorong tubuhku sehingga telentang, ia menatapku dengan senyuman yang menggoda. Cewek berambut pendek itu kemudian duduk di atas perutku mengambil posisi WOT. Seperti biasa, aku hanya bisa menelan ludah.
Liz membimbing kejantananku memasuki kewanitaannya. Wajahnya menjengit sedikit saat batang kejantananku amblas ditelan vaginanya.
Liz tersenyum dengan wajah sayu, kejantananku tertancap di dalam tubuhnya. Malam itu wajahnya sangat cantik, tertimpa temaram lampu tidur, kedua payudaranya tergantung di atasku, indah. “Siap..?” matanya memejam sejenak, sebelum mamasang senyum termanis yang pernah kulihat.
Aku mengangguk gugup, menelan ludah.
Sungguh pemandangan yang kontras: rambut pendek seperti lelaki bersanding dengan tubuh seksi yang berada di atas badanku.
Liz mulai menggerakkan pinggulnya, otot perutnya yang rata terlihat berkontraksi saat ia menggoyangkan tubuhnya di atasku.
Liz tersenyum, tangannya bertumpu di atas dadaku. Liz mempercepat gerakannya, dadanya berguncang-guncang hebat, disertai erangan nikmat saat ia memejamkan matanya, dengan wajahnya merona merah, cantik sekali.
Aku jadi semakin bernafsu, kuremas-remas dua bongkahan indah di dadanya itu. Liz meringis, ia menggerakkan pinggulnya memutar seperti bur.
Liz menggerakkan pinggulnya maju mundur lagi, namun tiba-tiba Liz menggetarkan pinggulnya dalam ritme yang sangat cepat. Sebelum melambat, dan kemudian bergetar cepat lagi.
“A-anak setan... jangan. J-jangan. N-nanti ane...”
“Sssssssh...... oooooooh....” Liz menjambak rambutnya sendiri, menceracau seperti orang kesetanan, menunggangi tubuhku dengan garang.
“Liiiiiiiz!!! Aku mauuuu.... aaaaaah.....” aku menjerit panik, sudah hampir ngecrot di dalam karena bocah sableng itu sengaja mengkontraksikan otot kegelnya, hingga mekinya yang sempit ngempot tanpa ampun.
“Oooohh.... mmmmmhhhh...” Liz menceracau binal, menggoyang dengan lebih liar.
Mataku menatap nanar. Mulutku menganga tak bersuara.
“Lho.... eh... ehhhh?” Liz melotot melihatku yang berkelojotan tidak jelas. Cepat ia menarik tubuhnya, mengocok kejantananku.
Terengah-engah, Liz berlutut dan memasukkan kejantananku ke dalam mulutnya, aku merasakan bibir Liz yang lembut dan lidahnya memijat kejantananku yang hampir meledak. Aku melirik ke bawah, dan mendapati Liz tersenyum, sambil memaju-mundurkan kepalanya, cepat. Sedetik sebelum pandanganku mengabur, dan pinggulku terangkat penuh kenikmatan.
Terdengar suara tersedak, dan Liz cepat menarik kepalanya. Pinggulku mengejang lagi, menyemburkan semprotan kedua yang memuncrat membasahi wajah dan dada Liz.
Aku terengah, berucap lemah, “M-maaf...”
“Ng-nggak apa apa.“ Liz tersenyum kecil, dengan ceceran sperma yang meleleh dari sela bibirnya. "Jay... k-kamu mau ap-" Liz tidak sempat menyelesaikan kalimatnya, karena aku segera mendorong tubuhnya ke atas kasur. Liz sedikit meronta ketika aku membuka pahanya, menjilati kemaluannya. Ya, aku tidak ingin mengecewakan Liz. Aku harus memuaskannya, meski dengan cara lain.
“Oooh Jay.. Udaah.. nggak papaa.. aaah!” Liz mendekap kepalaku, menjambak rambutku sambil menggeleng-geleng panik.
Aku menjilati Klitoris Liz, sambil menghisap cairannya, sementara tanganku memijat bibir vagina Liz yang tembem, kemudian menyibaknya. Aku menjulurkan lidahku memasuki liang vagina Liz. Seperti yang kubaca, aku memasukkan dua jari ke dalam kewanitaan Liz, meraba bagian depan dekat tulang pelvic, mencari lokasi...
"Aaaaaaaaah...." Liz melotot, pinggulnya terangkat-angkat. Ia menjambak rambutku, sambil menceracau tidak jelas. “Jaay!! Ngapain kamu?! Aah! Aah!” Liz berteriak histeris. Aku merasakan pinggulnya bergerak liar.
Jariku mengocok g-spotnya, dan lidahku menjilati klitorisnya, membuat Liz menggelinjang heboh, menjerit jerit tidak karuan. "Ssssssh.... oooooh..... yeeeeesssss.... JAAAAAY... aaaku nyampeee..."
Paha Liz memeluk kepalaku, dan dibekapnya kepalaku ke arah kewanitaannya. membuatku tidak bisa bernafas. Liz melengguh kencang, dengan tubuh melengkung ke atas, sambil meremas payudaranya. Sesaat kemudian aku merasakan cairan menyemprot deras dari vagina Liz, membasahi wajahku.
Kalaulah ini game DOTA, maka tentu akan terdengar sound effet: Monster Kill!!!!
Terdengar suara kipas angin rongsokan. Terdengar suara nafas kami yang terenggah, sebelum kami sama terkikik-kikik bego, melihat wajah kami yang belepotan cairan cinta masing-masing.
“Sepasang orang tolol.”
“Hah...h.... h..... Haha..” Liz tertawa dengan wajahnya yang merah setelah orgasme, seksi sekali.
Liz menonjokku keras, "Nggak usah sampai sebegitunya, kali.... tapi.... thanks..... that was awesome," ucapnya dengan wajah memerah, dan senyum merekah.
“Liz…” ucapku ketika kami saling membersihkan wajah dengan tissue.
“Apa, Jay sayang?”
“Lapar nih.”
“Sama.”
“Cari makan yuk.”
“Yuk.”
Kami segera berpakaian, dan aku tidak bisa melupakan wajah Liz yang tersipu, saat aku memakaikan swaterku agar ia tidak kedinginan.
Saat itu hampir jam 1 malam. Jam-jam segitu, dagang makanan yang buka hanya Angkringan, Burjo, Gudeg Basah, McD, dan Circle K. Dua pilihan terakhir dicoret, karena tidak ekonomis bagi mahasiswa di akhir Bulan.
Akhirnya kami makan di Angkringan di daerah Seturan. Kami duduk bangku kayu, menikmati teh hangat, dan nasi kucing yang porsinya sekecil upil. Meski begitu, aku dan Liz saling menyuapi dengan mesra. Ah, senangnya.
Setelah makan, aku memasuki Circle K yang terletak tidak jauh di sana.
“Mau beli apa?”
“Kondom, kamu mau rasa apa?”
“Iiiih Jay mesum! Liz mencubit lenganku.
Aku menghindar dan berlari, kami hingga kami berkejaran di trotoar yang sepi.
“Jay!”
“Apa?”
“Aku mau rasa duren!”
Celanaku langsung sesak mendengarnya. “Rasa jengkol aja, Liz!”
Tawa Liz berderai keras, dan di mataku, malam belum pernah seindah itu.

***

Aku memarkir motorku hati-hati ketika kembali ke kostan.
“Jay, ngobrol di tempat lain, yuk.”
“Hah? Memang mau kemana?”
“Aku pengin ngobrol-ngobrol aja, kalau di kamar ntar jadinya yang aneh-aneh, hehe...” Liz mengekeh, sambil menggandeng tanganku.
Kali ini, aku mendapat ide yang bagus.
Aku mengambil gitar bolong murahan dari atas lemariku. Aku mengajaknya naik ke lantai 3 yang tak beratap - yang digunakan sebagai tempat jemuran - rooftop istilah kerennya.
“Yang romantis dikit napa lagunya?” kata Liz saat aku memainkan lagu ‘Iwak Peyek’.
Akhirnya aku memainkan lagu-lagu lama saja, seperti lagunya Barry Mannilow, The Carpenters, sampai Eric Clapton.
“Kamu ternyata jago juga maen gitar..” kata Liz.
“Hehe.. masa sih?”
“Iya, suaranya bagus lagi.” Liz memujiku.
Aku salah tingkah mendengarnya. Slamet dan teman-temanku memang mengatakan suaraku mirip John Mayer, tapi dengan logat ngapak.
Liz senyum-senyum melihatku yang salah tingkah. Ah, wajahnya cantik sekali.
Aku memandangi mata Liz lekat-lekat, meraih dagunya. Mata Liz terpejam, aku mengecup bibirnya. Lembut, sangat lembut.
Malam itu, aku dan Liz memandangi langit Jogja yang tak berawan. Milyaran bintang berkelap-kelip dengan indah di tengah belantara semesta. Liz bersandar di pundakku, ia tersenyum. Indah, jauh lebih indah dari semua bintang itu. Aku menghela nafas, belum pernah aku sebahagia ini.
“Liz, aku cinta kamu,” tanpa sadar, kata-kata ini keluar dari mulutku.
“Aku... juga.”
“Pengin deh, kayak gini terus,” kataku sambil memandangi wajah Liz dengan latar belakang bintang-bintang.
“Iya.” jawab Liz sambil tersenyum.
“Pengen deh, punya istri kayak kamu.”
Ya, dalam imaji-ku terkilas bayangan tentang aku, Liz dan anak-anak kami.
Liz terdiam, lama. Suasana mulai tidak enak.
“Liz?”
“Jay.. Aku… takut ngecewain kamu…” kata Liz akhirnya.
“Takut ngecewain… kenapa?”
“Jay.... sebenernya...”
“Sebenernya, dulu kamu cowok? Wah gawat!” aku mencoba melucu, untuk mencairkan suasana.
“Aku serius nie!” Nadanya terdengar tidak senang. “Jay.. kamu sebaiknya jangan terlalu berharap.”
Perih, mendengar jawabannya...
“Aku.. aku.. huk.. sebenarnya sayaaang banget sama kamu.. tapi.. tapi… huk huk..!” Liz malah menangis sesenggukan.
Aku mendekapnya. Sekali lagi, Liz menangis dalam pelukanku. Mencurahkan segala rasa sakit yang ada di hatinya.
Aku tahu, jauh di relung hati Liz tersimpan pilu yang sangat. Sembilu yang teramat, karena dikhianati oleh orang yang pernah dicintainya.
“Sampai kapan kamu mau kaya gini?”
Liz tidak menjawab, tetap menangis, dan membiarkan aku membelai rambutnya.
Sudahlah, aku tidak akan memaksanya lagi. Mungkin belum saatnya. Lama aku memeluknya sampai ia berhenti menangis. Ia terdiam, lama. Aku pun diam saja, bingung harus berkata apa lagi.
Malam semakin dingin.
Karena suasana tidak enak, aku berinisiatif memainkan gitar, menyanyikan lagu untuk Liz.
“Akademia jogja, Lagu berikut ini dikirim dari Jay buat TTM-nya tersayang.” kataku memberi preambule, meniru penyiar Radio ternama di Jogja.
Aku melirik Liz, ada senyum di sudut bibirnya yang tadinya mewek.
Jariku bergerak lincah pada fret-fret gitar, memainkan intro lagu “Time Like These” dari Foo Fighters.Temponya lambat, jauh lebih lambat dari versi full band-nya.
I.. I am a one way motorway… I'm the road that drives away.. Then follows you back home…” suaraku mengalun pelan, lirih.

“It's times like these you learn to live again…
It's times like these you give and give again…
It's times like these you learn to love again…
It's times like these time and time again…”


Pada bagian refrain pertama, suaraku begitu rendah. Mengulang-ulang kata, “It's times like these” seperti mantra.
Liz menutup mulutnya seperti hendak menangis.

I… I am a new day rising!
I'm a brand new sky!
To hang the stars upon tonight!


Aku menekankan intonasi pada kata ‘new day’ dan ‘brand new sky’. Ya, aku ingin menjadi hari yang baru, aku ingin menjadi langit yang baru bagi Liz!
Tempo kocokan gitarku semakin cepat.

“It's times like these you learn to live again!
It's times like these you give and give again!”


Pada refrain kedua, suaraku seperti setengah berteriak. Mengeluarkan segala emosi dari dalam dadaku.

“It's times like these you learn to love again!
It's times like these time and time again!”


Aku begitu emosional menyanyikan bagian ini, sampai-sampai bulu kudukku ikut merinding.
Liz sesengukan lagi, ia menutup mulutnya, terisak pelan, “Kamu jahat, Jay...”
“M-maksudmu?”
“Kamu jahat… kamu… kamu… huk.. huk..”
Aku meletakkan gitarku, dan memeluk Liz erat-erat. Mulai saat ini aku bersumpah akan mengobati luka di hatinya.
Ya, aku akan menjadi hari yang baru, aku akan menjadi langit yang baru bagi Liz!

BERSAMBUNG
Author : Jaya S.

Kamis, 14 Juli 2016

Desahan Tengah Malam 1



Sejak tadi suara itu mengganggunya. Suara seorang perempuan yang penuh desah kemanjaan itu, seakan memanggil Norman beberapa kali. Dahi Norman berkerut, hatinya bimbang dengan pendengarannya. Menurutnya, tak mungkin ada perempuan yang memanggilnya di tengah malam.
Norman sengaja melupakan suara itu. Ia mendengar langkah kaki di depan kamarnya, tapi ia tahu itu langkah kaki Susilo, teman satu pondokan. Ia bergegas membuka pintu kamarnya dan memanggil Susilo yang hendak masuk ke kamar sebelah.
"Sus... jam berapa ini?" tanya Norman.
"Setengah satu kurang," jawab Susilo sambil membetulkan celananya. Agaknya ia habis dari kamar mandi untuk buang air. Susilo justru berkata, "Kau sendiri kan punya arloji, masa' masih tanya aku?"
"Arlojiku mati! Eh, sebentar, Sus!" Norman keluar dari kamarnya, tidak sekadar melongokkan kepala. Ia mendekati Susilo yang berdiri di ambang pintu kamarnya sendiri. Dengan nada herbisik Norman bertanya, "Sus, kau tadi waktu ke kamar mandi melihat ada perempuan di sekitar sini?"

"Maksudmu?" Susilo berkerut dahi.
"Aku mendengar suara perempuan di samping kamar, ia seakan memangil-manggil aku."
"Perek, mungkin!" jawab Susilo seenaknya. Norman hanya mendesah.
"Aku serius, Sus. Dari tadi aku tidak bisa tidur karena mendengar suaranya."
Susilo berpikir sejenak, tubuhnya bersandar pada kusen pintu. Seingatnya, waktu ia ke kamar mandi, ia tidak melihat sekelebat manusia. Pondokan itu sepi. Maklum sudah lewat tengah malam. Beberapa mahasiswa yang kost di situ kebanyakan sudah tidur. Kalau toh ada, mereka pasti di dalam kamar menekuni bukunya.
"Menurutku, kau hanya terngiang-ngiang cewekmu saja," kata Susilo.
"Maksudmu, Arni? Ah, suara Arni tidak seperti itu."
"Kalau begitu, kau hanya mendengar suara hatimu saja. Halusinasi! Ah, ngapain repot-repot memikirkan suara, kau kan bukan penata rekaman!"
Susilo masuk, menutup kamarnya. Norman mengeluh dalam desah napas tipis. Ia berhenti sejenak ketika mau masuk ke kamarnya. Matanya memandang sekeliling. Oh, pondokan itu amat sepi. Lengang. Denni yang biasanya masih memutar kaset sampai jauh malam, kali ini agaknya sudah tidur. Lampu di kamarnya telah padam. Lampu-lampu di kamar lain pun padam. Hanya ada dua kamar yang lampunya masih menyala, kamar Mahmud dan kamar Tigor. Mungkin mereka sedang menekuni materi ujiannya untuk besok.
Tengkuk kepala meremang lagi, Norman bergidik. Badannya bergerak dalam sentakan halus. Karena, ketika ia masuk ke kainar dan hendak menutup pintu, ia mendengar suara perempuan dalam desah kemanjaan yang memanggilnya.
"Normaaan...! Normaaan..."
Lampu kamar Norman sengaja diredupkan. Ia menyalakan lampu biru 10 watt sejak tadi. Menurut kebiasaannya, tidur dengan nyala lampu biru yang remang-remang membuat kesejukan tersendiri dalam hatinya. Namun, kali ini, kesejukan itu tidak ada. Yang ada hanya kegelisahan dari kecamuk hati yang terheran-heran atas terdengarnya suara panggilan itu.
Angin malam lewat. Desaunya terasa menerobos dari lubang angin yang ada di atas jendela kamar. Suara itu terdengar lagi setelah dua menit kemudian. "Normaaan...! Datanglah...!"
Dengan berkerut-kerut dahi, Norman bangkit dari rebahannya. "Suara itu seperti berada di luar jendela," pikir Norman. Kemudian, ia mendekati pintu jendela. Ingin membuka jendela, tetapi ragu. Hatinya berkata, "Tidak mungkin ada perempuan di luar jendela. Dari mana ia masuk? Pintu pagar dikunci. Tidak mungkin ia memanjat pagar. Kalau memang ada perempuan yang memanjat pagar, itu nekat namanya."
Kemudian, telinga Norman agak ditempelkan pada daun jendela. Tapi yang didengar hanya suara desau angin, gemerisik dedaunan. Kamar Norman memang kamar paling ujung dari sederetan kamar kost-kostan itu. Di samping kamar, di seberang jendela itu, adalah sebidang tanah yang biasa dipakai olah raga. Ada lapangan bulu tangkis, dan meja ping-pong yang jika malam begitu dalam posisi miring, menempel dinding kamar Norman.
Tanah yang merupakan fasilitas olah raga itu dikelilingi oleh pagar tembok. Pada bagian atas pagar diberi kawat berduri sebagai penolak tamu tak diundang. Di seberang pagar tembok itu ada pohon rambutan milik tetangga belakang pondokan. Sebagian daun dan dahan pohon itu menjorok ke halaman pondokan, dan meneduhkan bagi mereka yang bermain pingpong jika siang hari.
Norman sudah tiga menit lebih berdiri di depan jendela, tetapi suara perempuan yang menggairahkan itu tidak terdengar lagi. Maka, ia kembali ke pembaringan dan merebahkan badan. Ia kelihatan resah. Batinnya bertanya-tanya, "Mengapa aku mendengar suara itu? Dan, sepertinya memang aku pernah mendengar suara itu. Suara siapa, ya?"
Ada gonggongan anjing dari rumah belakang pondokan. Gonggongan anjing itu mulanya hanya sesekali. Ditilik dari nada gonggongannya, anjing itu seakan sedang menggoda orang lewat. Tetapi, gonggongan anjing itu lama-lama jadi memanjang. Mangalun mendayu-dayu mirip irama orang merintih kesakitan. Suara anjing itu menyatu dengan suara perempuan yang kian jelas di pendengaran Norman.
"Normaaan...! Norrr...! Lupakah kauuu...? Lupakah kau padaku, Norman...!"
Norman segera melompat dari pembaringannya, dan membuka jendela. Jantungnya berdetak-detak ketika wajahnya diterpa angin yang berhembus membawa udara dingin. Sekujur tubuhnya merinding. Matanya melebar, karena ia tidak menemukan siapa-siapa di luar jendela kamarnya. Padahal suara tadi jelas terdengar di depan jendela, seakan mulut perempuan itu ditempelkan pada celah jendela supaya suaranya didengar Norman. Tetapi, nyatanya keadaan di luar kamar sepi-sepi saja.
"Brengsek!" geram Norman. Ia menunggu beberapa saat, sengaja membuka jendelanya, sengaja membiarkan angin dingin menerpa masuk ke kamar. Suara perempuan yang penuh desah menggairahkan itu tidak terdengar lagi. Norman mengeluh kesal sambil duduk di kursi belajarnya. Ia menyalakan lampu belajar yang ada di meja kamar. Kamar menjadi terang. Cermin di depan meja belajar menampakkan wajahnya yang sayu.
Pintu kamarnya tiba-tiba ada yang mengetuknya dengan lembut. Pelan sekali, seakan pengetuknya sengaja hati-hati supaya suara ketukan tidak didengar penghuni pondokan yang lainnya. Norman melirik ke arah pintu. Membiarkan ketukan itu terulang beberapa kali. Lalu, ia mendengar suara perempuan di seberang pintunya. "Nor...? Normaaan...!"
"Siapa...?!" tanya Norman dengan nada kesal, karena ia tahu, bahwa suara perempuan yang mengetuk pintu kamarnya itu sama persis dengan suara yang mengganggunya sejak tadi.
Tapi, karena tidak ada jawaban dari pengetuk pintu, Norman berseru lagi, "Siapa sih?! Jawab dong!"
"Aku...!"
"Aku siapa?! Sebutkan!" Norman sudah berdiri walau belum mendekat ke pintu.
"Kismi..."
Mata Norman jadi membelalak. Kaget. "Kismi...?!" desahnya dengan nada heran sekali. Ia mengenal pemilik nama itu, tapi ia sama sekali tidak menyangka kalau Kismi akan datang, apalagi lewat tengah malam begini. Norman pun akhirnya bergegas membukakan pintu setelah ia sadar, bahwa suara yang sejak tadi memanggilnya itu memang suara Kismi.
"Sebentar, Kis...!" kata Norman, yang kemudian segera membukakan pintu. Namun, "Hah...?!" Ia terperanjat dengan jantung berdetak-detak.
Di luar kamarnya, tidak ada siapa-siapa. Sepi. Hanya hembusan angin yang dirasakannya begitu dingin dan membuat tubuhnya merinding lagi. Dalam keadaan bingung dan berdebar-debar itu, Norman masih menyempatkan diri berpaling ke kanan-kiri, mencari Kismi yang menurutnya bersembunyi. Tapi, tak terlihat bayangan atau sosok seseorang yang bersembunyi. Di kamar mandi? Tak mungkin. Kamar mandi terlalu jauh dari kamar Norman jika akan digunakan seseorang untuk berlari dan bersembunyi. Sebelum orang itu sempat bersembunyi, pasti Norman sudah melihatnya lebih dahulu.
"Kismi...?!" Norman mencoba memanggil perempuan yang dikenalnya kemarin malam itu, tetapi tidak ada jawaban. Makin merinding tubuh Norman. dan semakin resah hatinya di sela debaran-debaran mencekam.
Karena ditunggu beberapa menit Kismi tidak muncul lagi, bayangannya pun tak terlihat, maka Norman pun segera menutup pintu kamarnya dengan hati bertanya-tanya: "Ke mana dia?"
Mendadak gerakan penutup pintu itu terhenti. Mata Norman sempat menemukan sesuatu yang mencurigakan di lantai depan pintu. Aneh, namun membuatnya penasaran. "Kapas...?!"
Hati semakin resah, kecurigaan kian mengacaukan benaknya. Segumpal kapas jatuh di lantai depan pintu. Sedikit bergerak-gerak karena hembusan angin. Ada rasa ingin tahu yang menggoda hati Norman. Maka. dipungutnya kapas itu. Ketika tubuh Norman membungkuk untuk mengambil kapas, tiba-tiba angin bertiup sedikit kencang. Kapas itu bergerak, terbang. Masuk ke kamar. Gerakan kapas sempat membuat Norman yang tegang terperanjat sekejap. Pintu ditutup, dan kapas itu dipungutnya. Ia segera melangkah ke meja belajarnya, mencari tempat yang terang. Ia memperhatikan kapas itu di bawah penerangan lampu belajarnya.
"Apakah kapas ini milik Kismi?" pikirnya sambil mengamat-amati segumpal kapas yang kurang dari satu genggaman. Ada aroma bau harum yang keluar dari kapas itu. Bau harum itu mengingatkan Norman pada jenis parfum yang baru sekali itu ia temukan. Parfum yang dikenakan pada tubuh Kismi.
"Aneh?! Mengapa Kismi tidak muncul lagi?" pikirnya setelah setengah jam lewat tak terdengar suara Kismi maupun ketukan pintu. " Mengapa ia hanya meninggalkan kapas ini? Lalu, kapas untuk apa ini? Apakah Kismi sakit? Apakah ia hanya bermaksud mengingatkan kenangan semalam?"
Norman tertawa sendiri. Pelan. Ia kembali berbaring dengan jantung yang berdebar takut menjadi berdebar indah. Kapas itu diletakkan di samping bantalnya, sehingga bau harum yang lembut masih tercium olehnya. Pikiran Norman pun mulai menerawang pada satu kenangan manis yang ia peroleh kemarin malam. Kisah itu, sempat pula ia ceritakan kepada Hamsad, teman baiknya satu kampus, dan Hamsad sempat tergiur oleh cerita tentang Kismi.

***

"Siapa yang mengajakmu ke sana?" tanya Hamsad waktu itu.
"Pak Hasan! Mungkin dia ingin men-service aku, supaya buku pesanann ya cepat kukerjakan. Wah, tapi memang luar biasa, Ham," ujar Norman berseri-seri. "Perempuan itu cantiknya mirip seorang ratu!"
"Kau yang memilih sendiri?" Hamsad tampak bersemangat.
"Bukan. Dia datang sendiri ke motel-ku. Kurasa, Pak Hasan yang memesankan cewek itu untukku. Atau, barangkali memang service dari motel itu sendiri, entahlah. Yang jelas, dia datang di luar dugaanku. Tak lama kemudian, setelah kami berbasa-basi sebentar, datang juga perempuan lain. Tapi, kutolak. Aku lebih memilih perempuan pertama. Mulus dan sexy sekali dia. Namanya, Kismi. Antik, kan?!"
"Terus...? Terus bagaimana?" desah Hamsad tergiur.
"Macan, Bro! Luar biasa romantisnya. Hebat. Baru kali ini aku menemukan perempuan cantik yang punya daya rangsang yang luar biasa! Tujuh malam bersama dia tanpa keluar dari kamar, aku akan betah! Kurasa kau sendiri tidak akan sempat mengenakan pakaianmu lagi kalau sudah bersamanya, Ham!"
Hamsad tertawa ngakak ketika itu. Apalagi setelah Norman melanjutkan, ia langsung mendengarkan dengan khusuk. ”Memang awalnya ada rasa tegang dan canggung berdua di kamar dengan orang asing, apalagi yang bertampang seperti Kismi, yang mirip sekali dengan ratu Mesir. Sungguh aku gugup dibuatnya. Untunglah Kismi mengetahui kecanggunganku, dan sebagai orang yang sudah berpengalaman, ia segera membimbingku. Dia tidak langsung main tubruk aja, Kismi cukup sabar dan telaten dalam mengajariku yang sudah hampir satu tahun ini belum pernah bercinta lagi.”
”Terus, terus,” tanya Hamsad penasaran.
“Setelah ngobrol beberapa saat untuk mencairkan suasana, Kismi mendekatiku, menuntunku ke ranjang. Jantungku berdetak keras ketika dia mulai memeluk dan mencium pipiku. Kupejamkan mataku saat dia mulai melumat bibirku. Kubalas ciumannya itu dengan menjamah buah dadanya perlahan, terasa begitu empuk dan besar sekali saat berada di dalam genggaman tanganku. Napasku mulai turun naik, terus kuremas gemas buah dada itu sementara Kismi menggerakkan tangannya menuju selangkanganku. Ia tersenyum saat merasakan ketegangan di balik celana panjangku, dengan mesra ia segera memegang dan mengusap-usap kejantananku yang sudah menegang sempurna.
”Tak lama, ciumannya sudah berpindah ke leherku. Kurasakan kegelian yang luar biasa saat ia melakukan itu. Kubalas dengan menurunkan salah satu tanganku ke pahanya. Gaun panjangnya yang berbelahan hingga ke paha sangat memudahkan jelajah tanganku, terus aku mengusap-usapnya, bahkan hingga sampai ke pangkalnya. Desis tertahan bercampur malu tak sadar keluar dari mulutku, aku sudah terhanyut dalam buaian lembut Kismi.
”Tangan kiriku yang dari tadi menjelajah di buah dadanya, kini sudah berhasil membuka resliting di punggungnya dan menarik gaunnya ke bawah hingga tampaklah bra putih berenda yang ia kenakan. Payudaranya sungguh sangat besar dan montok sekali. Pura-pura malu, Kismi berusaha menutupinya. Segera kutarik tangan itu dan kembali kubimbing agar mengusap-usap selangkanganku. Sambil tersenyum, kali ini Kismi berusaha membuka ikat pinggang dan reslitingku, sebelum tangannya kemudian masuk ke dalam celanaku hingga bisa menyentuh batang kejantananku yang sudah menegang keras. Kurasakan tangannya sedikit gemetar saat menyentuh kemaluanku.
”Kembali kami berciuman, tanganku juga sudah kembali menjelajah di bulatan buah dadanya, mengelus dan meremas lembut disana, sebelum menyelipkan ke balik bra-nya saat Kismi sudah mengijinkan. Akhirnya, kudapatkan yang aku cari, putingnya yang terasa kaku segera kupermainkan dengan dua jari sambil terus meremas-remas lembut bulatannya yang cukup besar. Kismi mendesis tertahan, tali bra-nya sudah melorot hingga ke lengan, dan tak lama kemudian terlepaslah bra itu dari tubuh sintalnya.
”Mukaku terasa panas memerah saat pertama kali melihatnya, buah dada gadis yang baru kukenal belum satu jam yang lalu itu sungguh sangat indah sekali. Sama sekali tidak kelihaan kendor meski ukurannya cukup besar. Kulitnya putih seperti pualam, dengan semburat nadi kebiruan tersebar merata di permukaannya yang licin bagai kaca. Putingnya mungil, dengan bulatan aerola yang juga sama-sama berwarna merah. Disana segera kulabuhkan ciuman dan jilatanku. Kismi langsung menggelinjang dan mendesah nikmat tertahan saat aku melakukannya.
”Ohh, Norman!” dia memanggil namaku sambil tangannya segera mencari batangku. Dia kelihatan sedikit terkejut saat meraih dan menggenggamnya, ”Begitu besar rasanya, sepertinya jauh lebih besar dari semua lelaki yang pernah kukenal.” dia berkata.
Usapan dan remasan tangannya terasa begitu nikmat, dia berhasil menghanyutkanku ke dalam buaiannya semakin jauh lagi, hingga tak kusadari saat ia sudah berhasil menarik keluar batang kejantananku dan mengocoknya dengan begitu lembut. ”Ahh... ” sambil mengerang keenakan, kuluman dan remasan tanganku di buah dadanya kubuat semakin menggairahkan, dengan begitu semakin cepat pula ia mengocok batang penisku.
Jujur saja, inilah kocokan tangan ternikmat yang pernah kuterima. Kismi melakukannya dengan begitu lembut tapi juga mantab. Agak gugup juga aku berpikir, ini baru tangannya, terus bagaimana dengan vaginanya yang sempit itu. Ah, membayangkannya membuatku jadi tak tahan. Cepat kurebahkan tubuh gadis itu ke ranjang dan kulepas gaunnya hingga hanya menyisakan celana dalam warna putih yang sangat minim. Aku juga melepas pakaianku hingga telanjang.
Memang masih ada rasa risih bertelanjang di kamar berdua dengan orang asing. Namun melihat Kismi yang tak berkedip memperhatikan batang penisku yang menggantung tegang di antara kedua kakiku, aku jadi sedikit percaya diri. Segera aku beringsut menghampirinya, menciumi kedua pipinya, juga menjilati putingnya yang mungil kemerahan sambil tanganku menyelip ke balik celana dalamnya untuk mempermainkan daerah vaginanya sekaligus melepas celana dalam yang masih menempel itu.
Setelah sama-sama telanjang, kini jilatanku sudah menyusuri perutnya yang ramping dan seksi. Targetku cuma satu; belahan vaginanya yang mungil dan indah itu. Aku ingin menjilatinya. Kismi yang mengerti keinginanku, segera membuka kedua kakinya lebar-lebar, memamerkan belahan vaginanya yang masih nampak utuh dan sempurna kepadaku. Tanpa membuang waktu, langsung kubenamkan kepalaku disana. Lidahku dengan cepat bekerja menyentuh klitoris dan bibir vaginanya. Terus kupermainkan dengan begitu bergairah sambil kembali kuremas-remas tonjolan buah dadanya. Kurasakan kenikmatan yang belum pernah kualami, bahkan kubayangkan seumur hidupku, bisa menjilati kemaluan seorang gadis yang luar biasa cantik dan seksi seperti Kismi. Dulu aku hanya membayangkan kalau itu cuma bisa terjadi di film-film porno Jepang, tapi nyatanya kini aku mengalaminya sendiri.
“Ssh… hhh… s-sudah, Norman! Ahh...” desah Kismi tak tahan. Ia menarik rambutku ke atas untuk menghentikan permainan lidahku dan telentang di sampingnya. Kini ganti dia yang ingin memanjakan diriku.
Tanpa rasa jijik ia langsung mencaplok dan mengulum batang kejantananku. Ia menjilati ujungnya yang basah sambil berulang kali meludahinya agar semakin mudah lagi dalam melakukannya. Semakin  lama semakin dalam penis itu masuk ke dalam mulutnya. Berkali-kali Kismi menjilati cairan yang keluar dari ujungnya.
”Hihi, rasanya asin.” dia berkata, namun tetap mencucup dan menelannya dengan begitu rakus. Seringkali juga kurasakan gigi-giginya menggesek lembut kedua bolaku, hingga membuatku semakin mendesah penuh gairah. Sementara Kismi terus memperlakukan penisku dengan begitu pintarnya, menggerakkan keluar masuk di dalam mulutnya sambil menggesek-gesek lembut batangnya yang sudah memerah dengan menggunakan bibir dan terkadang lidahnya.
Saat aku sudah sangat tak tahan, akhirnya dia menghentikan perbuatannya. Kismi lalu berjongkok di antara kedua kakiku. Kembali jantungku berdegup kencang, ada perasaan tidak karuan berkecamuk di dadaku ketika dia mulai mengusapkan penisku ke belahan bibir vaginanya, terasa sangat basah dan lembab sekali disana.
”Ughh...” kami menggeram secara bersama-sama saat perlahan-lahan kejantananku menembus lorong vaginanya.
Kurasakan sedikit rasa nyeri ketika penisku semakin masuk ke dalam, begitu sempit dan ketatnya benda itu hingga laksana seperti mencekikku. Aku jadi teringat saat pertama kali berhubungan seks dengan Winda, pacar pertamaku yang kuambil perawannya. Dengan penis besarku, rasanya vagina itu akan sobek. Namun nyatanya tidak, malah makin lama makin dalam penisku ambal ke lorong kewanitaan Kismi hingga tak lama, semua sudah tertanam mantab disana.
Kismi memejamkan mata sambil menggigiti bibirnya, tak berani menggerakkan kakinya saat batang penisku memenuhi lorong vaginanya. Begitu besarnya hingga seolah mengganjal kuat disana. Untungnya dia cukup berpengalaman, setelah mendiamkannya sejenak sambil menyuruhku untuk meraba dan meremas-remas buah dadanya untuk memberikan perasaan santai, pelan-pelan dia mulai menarik keluar lalu pelan pula dia mendorong masuk kembali. Begitu terus berkali-kali hingga akhirnya rasa nyeri yang melingkupi selangkangan kami berdua berubah menjadi rasa nikmat. Setiap gerakan penisku di lorong vaginanya kini menimbulkan rasa yang begitu luar biasa.
Apalagi vagina Kismi juga sudah semakin basah hingga membuatku bisa mempercepat kocokan. Dari mulutku juga mulai keluar desisan dan desahan penuh kenikmatan, sungguh perasaan yang sudah lama tidak kurasakan dan akan sangat sukar untuk dilupakan. Dengan lihainya Kismi memberiku rangsangan kenikmatan yang lain; tangannya mengelus pahaku, meremas-remas kedua bolaku, mengulum putingku, menciumi bibirku, mengulum telingaku. Semua dilakukannya tanpa menghentikan kocokan, membuatku jadi semakin menggeliat dan mengaduh-aduh dalam kenikmatan.
Kismi kini tengkurap di atas tubuhku, dia memelukku erat. Sambil merasakan nikmat kocokannya, kubalas ciuman bibirnya dengan penuh gairah. Kakiku sudah melingkar di pinggulnya, membuat penisku semakin dalam melesak ke lorong vaginanya. Keringat Kismi sudah membasahi sekujur tubuhku. Waktu juga seolah berjalan begitu lambat, sepertinya sudah setengah jam kami saling mengocok, hingga tanpa sadar aku sudah terbawa nikmat ke dalam puncak kenikmatan.
Namun sebelum aku mendapatkannya, Kismi sudah orgasme duluan. Tubuhnya terasa menegang saat aku memeluknya, sementara otot-otot vaginanya terasa berdenyut dengan begitu kerasnya. Ia menjerit dalam kenikmatan, matanya terpejam. Sesaat aku menghentikan gerakanku, tapi kemudian mengocok lagi dengan tempo sedikit lebih cepat.
”Auw! Ahh!” tak lama, aku sudah mengikutinya orgasme. Kulesakkann penisku sedalam-dalamnya ke lorong gua vaginanya. Kurasakan penisku mengembang membesar saat menyemprotkan cairan spermanya. Denyutan dan semprotan itu begitu kuat menghantam dinding-dinding vagina Kismi hingga menimbulkan kenikmatan tersendiri bagiku.
Terus kunikmati denyutan demi denyutan itu sambil memeluk tubuh telanjang Kismi yang penuh peluh di atas tubuhku. Napas kami berpacu dalam kenikmatan. Kurasakan bulatan payudaranya yang besar menekan kuat dadaku hingga membuatku jadi agak kesulitan bernapas. Maka segera kudorong dia hingga telentang di sampingku. Kami berdua terdiam dengan pikiran masing-masing.
“Gila, seperti bercinta dengan perawan saja. Punyamu kencang sekali.” kataku memecahkan kebisuan.
“Bukan, punyamu yang kegedean. Bikin vaginaku jadi lecet.” dia tertawa.

***

”Tanpa malu kuakui kalau aku begitu menikmati bercinta dengannya.” kata Norman mengakhiri ceritanya.
Hamsad yang mendengarnya jadi benar-benar terperangah. Khayalannya melambung tinggi ketika Norman menceritakan detail kehebatan Kismi. "Berapa anggaran untuknya?" tanyanya dengan gaya kelakar.
"Aku tidak tahu. Mungkin Pak Hasan-lah yang mengurus soal itu. Antara pukul 4 atau 5 pagi, dia pamit. Dia tidak minta bayaran padaku. Ketika kutanya tentang uang taksi, dia hanya tersenyum, lalu pergi."
"Kurasa dia perempuan panggilan kelas atas, Nor!"
"Menurut dugaanku juga begitu! Tapi, itu kan urusan Pak Hasan. Aku mau tanya tentang tarif argo untuk perempuan semacam Kismi, ah... nggak enak. Riskan."
"Beruntung sekali kau mendapat service seperti itu!"
"Makanya konsekuensinya aku harus segera menyelesaikan naskah pesanan Pak Hasan itu! Siapa tahu selesai itu aku dibawanya ke motel tersebut. Kalau ke sana lagi, aku tidak ingin mencari perempuan lain. Hanya Kismi yang kubutuhkan, dan aku juga menghendaki Motel Seruni, tidak mau Motel Mawar, Kenanga, atau yang lainnya. Karena, kenanganku bersama Kismi yang pertama kali ada di Motel Seruni itu!"

***

Malam semakin mengalunkan kesunyian, dan kesunyian itu sendiri menaburkan perasaan cemas. Sedangkan perasaan cemas itu membawa desiran indah bagi sebaris kenangan bersama Kismi. Bau harum dari parfum pada kapas semakin menggoda khayalan Norman. Khayalan itulah yang menumbuhkan rasa rindu, rasa ingin bertemu dan rasa ingin bercumbu. Maka, Norman pun menggeliat dengan gelisah. Darahnya dibakar oleh khayalannya sendiri. Nafsunya menghentak-hentak jantung, menuntut suatu perbuatan nyata dari birahi yang ada. Norman menjadi bernafsu sekali untuk bertemu dengan Kismi.
"Kismiii...!" erangnya dari sebuah rintih dari kerinduan. Dan, kerinduan itu akhirnya menjadi racun pada jiwa Norman.
Emosinya meluap, meletup-letup, bahkan tak bertakaran lagi. Emosi itu bukan hanya sekadar luapan gairah bercinta saja, melainkan kebencian, kemarahan, kesedihan, semuanya bercampur aduk dan menyiksa jiwa Norman. Ia sempat meremas bantalnya kuat-kuat dengan tubuh gemetar, lalu ditariknya remasan itu dan robeklah kain bantal. Isinya berhamburan, diremas pula dalam suara yang menggeram.
Tubuh berkeringat, urat-urat menegang, gemetar dan ia menggemeletukkan gigi kuat-kuat dengan mata mendelik. Perubahan itu aneh sekali, namun tidak disadari oleh Norman. Napasnya terengah-engah seperti orang habis lari jauh. Matanya menjadi liar, ia menggeram beberapa kali, bahkan mengerang seperti seekor monyet buas yang hendak mengamuk.
Sementara itu, sisa kesadarannya sesekali tumbuh, dan membuat Norman mampu meredam gejala anehnya itu. Ia sempat bertanya dalam hati, "Mengapa aku jadi begini? Mengapa aku benci pada diri sendiri?"
Masa kesadarannya hilang lagi, kembali ia dalam amukan jiwa yang tak terkontrol. Ia mengamuk, berguling-guling di ranjangnya. Tangannya mencakar-cakar kasur, membuat seprei menjadi tercabik-cabik. Bahkan guling pun diremas, digigitnya kuat-kuat bagai beruang lapar. Sampai beberapa saat hal itu dilakukan di luar kesadarannya, kemudian ia terkulai lemas sambil terengah-engah.
"Apa sebenarnya yang kualami ini...?! Oh, badanku sakit sekali...!" keluhnya lirih, nyaris tanpa suara.
Plakkk ...!
Norman terkejut. Tiba-tiba ia memukul kepalanya sendiri dengan keras. Ia merasa heran, mengapa tangan kanannya bergerak sendiri menampar wajahnya. Bahkan kini tangan kanan itu mengejang-ngejang, jarinya membentuk cakar yang kokoh.
"Oh, kenapa tanganku ini?!" Norman menjadi tegang dengan mata melotot, memandangi tangan kanannya. Hanya tangan kanannya.
Tangan itu sukar dikendalikan. Norman ingin melemaskan otot-ototnya, namun tidak berhasil Bahkan sekarang tangan kanannya yang membentuk cakar itu bergerak ke atas. Mendekati wajahnya. Norman melawannya, berusaha mengendalikan gerakan itu, tetapi tidak berhasil. Tiba-tiba gerakan tangan itu begitu cepat menghampiri wajahnya dan mencakar wajah itu sendiri.
"Aaaow...!" Norman berteriak, namun tidak begitu keras, karena hanya luapan rasa kagetnya saja. Ia masih memandang tangan kanannya dengan mendelik. Tangan itu terasa ingin bergerak lagi mencakarnya, dan Norman berusaha melawan kekuatan yang ada pada tangan tersebut.
"Gilaaa...!" Norman berteriak keras dan semakin ketakutan oleh tangannya sendiri. Ia benar-benar panik dan tak mengerti, mengapa tangannya bergerak di luar kemauannya?