Minggu, 10 Juli 2016

Wanita Lain Ayah 1

Untuk terakhir kali mama menyuruhku memeriksa isi koper. “Jangan sampai ada yang tertinggal. Nanti kamu repot di sana,” katanya untuk keseribu kali. Dia selalu begini kalau aku hendak bepergian tanpa dia.
Aku memeriksa isi tas yang akan kubawa. Aku yakin tidak ada yang tertinggal. Kalaupun ada, aku pun gembira, karena bisa jadi alasan untuk pulang lebih awal.
Mama mempersiapkan berkas kerjanya, lalu berdandan apa adanya. Dia memang tidak suka menghabiskan waktu berlama-lama di muka cermin. “Banyak hal lebih penting yang harus dikerjakan daripada mengurusi penampilan,” katanya sambil membusungkan dada. Dan tentu saja mataku tak lepas dari situ, indahnya belahan dada itu.
"Ar, Ari... Mama disini lho," dia memegang daguku, dinaikkan sebatas matanya.
"Hehe... habisnya, tetek Mama montok banget sih!" godaku.
"Montak-montok,” protesnya pura-pura marah. “Nanti didengar orang bisa bahaya, tahu!”
"Iya-iya, Mamaku yang montok dan cantik." godaku lagi.

Tak lagi berkata, tangan Mama langsung maju mencubit pangkal pahaku.
"Aduh! Sakit, Ma!” aku menjerit. Kupegangi telapak tangannya.
Mama kini memegangi selangkanganku, dan tertawa cekikikan. "Ini nih yang selalu bikin Mama ketagihan. Besar, gede, nggak ngebosenin!"
"Ah, masa sih, Ma?” Sambil berkata, kuelus-elus pahanya dengan tanganku, kuusap perlahan dari balik rok span yang ia kenakan.
Mama melebarkan kakinya. “Kamu mau apa, Ar?” tanyanya lirih, padahal sudah tahu jawabannya.
Hanya tersenyum, kedua tangan kunaikkan hingga jemariku menyelusup ke pangkal pahanya yang hangat dan kenyal. Kuremas lembut di sana.
Mama mendesis, "Sssh... hhhh... Ar!"
Ia membungkuk dan meraih wajahku, lalu ditariknya hingga menengadah. Kami berciuman, pelan dan begitu nikmat. Kedua tangan Mama menyusuri dadaku. Namun karena posisi ini agak sedikit menyulitkan, Mama tiba-tiba saja berdiri, lalu duduk di pangkuanku. Ciuman demi ciuman, pagutan demi pagutan, terus kami lakukan. Sebuah perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan oleh ibu dan anak yang masih memiliki hubungan darah.
“Arr...” Mama mulai menggerakkan pinggulnya. Dia merasakan penisku yang mulai membesar di bawah sana. Mata indahnya sedikit terpejam, sayu.
"Ssshh..." Mama memandangku sambil menggigit bibir bawahnya, sebelum kemudian tangannya merogoh ke bawah, mencari batang kontolku yang masih terbungkus celana. Ditariknya keluar, lalu dikocoknya lembut.
Sementara itu, aku juga tak mau kalah dengan mulai bermain di selangkangannya yang masih tertutup rok span.
”Auhhh...” Mama semakin mendesah saat kubuka kancing bajunya, hingga tersembullah dada kirinya yang membulat indah. Segera kuremas-remas benda empuk itu sambil menciumi lehernya. Mama nampak semakin bernafsu, goyangannya semakin tak menentu.
"Ssssh... Arii... Mama... ssshh..." Dia menghentikan gerakan tangannya, nampak sekali kalau ingin dipuaskan.
Kubiarkan dia berdiri, lalu mengangkat kaki kirinya ke ranjang untuk mendekatkan selangkangannya ke wajahku. ”Pengen dijilat, Ma?aku bertanya.
Dia mengangguk. Perempuan cantik yang sudah melahirkanku itu segera melepas kain celana dalamnya dan membiarkan memeknya yang membukit kupandangi. “Cepat aja, Ar. Mama sudah harus ke kantor, dan kamu harus mengejar pesawat.”
Aku mengangguk. Dia serta merta menggelinjang begitu aku mulai menyantap lubang senggamanya. Kulirik, kedua tangannya menarik-narik putingnya sendiri ke atas. Mama nampak begitu keenakan. Kuraih bulatan pantatnya, kudorong semakin dalam ke arahku. Lidahku bermain dari ujung klitorisnya, bahkan sampai turun ke kubang anusnya. Kulakukan berulang-ulang, membuat Mama semakin menggelinjang tak terkendali.
"Aahh... aaahh... aarrgghhhh..." Dia mengejang-ngejang tanda sudah orgasme. Kakinya tiba-tiba melemas, Mama kemudian jatuh di pangkuanku. Dia memagut bibirku dengan ganas sembari menunggu getaran orgasme itu hilang.
"Ssshh... enak sekali, Ar... ssshh..." bisiknya, sementara kontolku masih tegak, terselip di antara belahan pantatnya yang putih mulus.
Kurengkuh pantat bulat itu, kuangkat untuk memberi ruang. Ketika kurasa sudah pas, kuturunkan pelan-pelan. "Hmmmhh..." sambil kucium bibirnya, perlahan-lahan kuturunkan pantat Mama hingga batang penisku masuk sempurna ke dalam liang senggamanya.
Tanpa perlu kuminta, perlahan dia mulai bergerak; naik turun, makin lama semakin cepat, sampai peluh menetes membasahi wajah cantiknya. Kembali kami berpagutan; kukulum bibir tipis Mama yang sekarang menekan pinggulnya dalam-dalam, sambil sesekali bergerak maju mundur menyamping. Goyangannya benar-benar bikin aku tak tahan.
"Aarghhh... memek Mama... enak sekali," bisikku vulgar di depan hidungnya.
Mama kembali memagut bibirku dan menggoyangkan pinggulnya lebih keras. Sampai tak lama kemudian, aku hampir mendekati puncak. "Aarrghhh... sshhh..." pinggul Mama kutahan sebentar, lalu... "Aaarrgghhh...!!!" Kuisi rahimnya yang haus akan belaian itu dengan semburan spermaku.
Mama tampak masih berusaha menggoyangkan pinggulnya. Hanya beberapa detik, ia menyusul mengejang dengan keras. Gerakan pinggulnya jadi patah-patah. "Ssshh... Ariii... ssssh..." Senyum manis dengan lesung pipit yang menggoda menghiasi wajah cantiknya. Dia kembali orgasme.
Kami terus berpelukan, dan berciuman, sampai perlahan penisku mulai terlepas dari liang kenikmatannya.
“Sudah, Ar. Nanti kita kesiangan.” Mama menggeliat, berusaha melepaskan pelukanku.
Kuremas sekali lagi bulatan payudaranya. “Aku pasti akan merindukan Mama,” bisikku manja.
Dia tersenyum dan merapikan bajunya kembali. “Mama juga, Ar.”
Kami keluar tepat pada saat Pak Yono, sopir pribadi Mama, mengetuk pintu kamar. “Semua sudah siap, Bu,” ujar lelaki sepuh itu.
Aku dan Mama keluar beriringan, dengan diikuti tatapan kagum Pak Yono pada sosok mamaku yang cantik dan seksi. Aku hanya tersenyum melihatnya. Sepeninggalku nanti, mungkin akan ada affair di antara mereka berdua. Aku yakin sekali.
Setengah jam kemudian, aku sampai di depan bandara tepat waktu. Pak Yono membantuku menurunkan koper. Mama menghampiri, kupeluk dan kucium dia. Tapi cepat-cepat Mama melepaskan diri dari rangkulanku.
“Sudah, Ar. Dilihat orang tuh,” katanya. Malu-malu matanya menyapu ke sekeliling kami.
“Ari masuk sekarang saja ya, Ma, supaya bisa memilih tempat duduk yang dekat jendela,” aku berkata.
“Ini bukan bus, Ar. Kamu tak bisa memilih tempat duduk. Petugas yang menentukan tempat dudukmu.”
Tapi aku tidak menghiraukan. Setelah iseng-iseng meremas bokong bulat Mama, aku segera memasuki ruang check-in. Mama melambai kepadaku sebelum aku masuk ke dalam antrean. Dia seperti ingin memastikan aku tidak akan berpura-pura ketinggalan pesawat karena tidak ingin berpisah dengannya, seperti yang pernah kulakukan saat harus menghadiri pernikahan Papa.
Masih ada waktu dua puluh menit sebelum aku harus naik ke pesawat. Aku tidak mau menunggu di ruang tunggu yang membosankan itu.Jadi kuputuskan untuk membeli minuman di salah satu coffee shop, sambil membaca majalah. Gaya sekali. Sempat terlintas dalam benakku kembali berpura-pura ketinggalan pesawat karena terlalu asyik membaca. Tapi Mama tidak akan percaya. Lagipula, sebentar lagi aku akan berulang tahun yang ke-15. Sudah saatnya aku bersikap dewasa.
Aku teringat peristiwa ketika aku baru masuk SMP. Kegembiraan memasuki dunia remaja luluh lantak ketika ayahku menelepon, mengabarkan pernikahannya dengan Tante Yang-Namanya-Tak-Akan-Kusebut.
 Tadinya aku mengira Mama akan mendukung penolakanku memenuhi undangan Papa. Nyatanya dia justru marah besar. Aku tidak mengerti mengapa Mama menuduhku membuatnya malu. Aku merasa dia hanya peduli pada pendapat Papa daripada perasaanku. Dia tidak mau Papa mengira Mama menghasutku untuk memusuhinya.
Kurasa Mama ingin menunjukkan dia sanggup bersikap anggun dan dewasa. Kepura-puraannya membuatku kesal. Perselingkuhan Papa, aku tahu betul, telah sangat memukul batin Mama. Mama wanita menarik, cerdas, pandai dan sukses dalam karier. Satu-satunya yang tidak dapat dia lakukan adalah mempertahankan perkawinannya.
Dan itu merupakan keuntungan tersendiri buatku, karena setelah kepergian papa, hubungan kami jadi semakin dekat. Kini aku sudah tak sungkan lagi minta nenen kepadanya, satu hal yang dulu dilarang keras oleh Papa.
“Kamu itu sudah besar, Ar. Masak sudah SD masih aja netek!” kata Papa.
Mama meledekku dengan sebutan ‘Bayi Besar’ tapi tidak keberatan saat payudaranya kucium dan kuhisap. Malah dia kasihan ketika aku demam dan sakit panas karena dilarang netek oleh Papa. Jadi, dia menyusuiku secara diam-diam di kala Papa tidak ada di rumah, atau ketika Papa tidak melihat.
Kami melakukan perbuatan itu selama hampir 2 tahun, sampai aku naik ke SMP. Dan saat itulah Papa ketahuan berselingkuh, lalu menggugat cerai mama. Kini kami hanya tinggal berdua di rumah, dan Mama meneruskan menyusuiku. Aku tidak perlu khawatir lagi ada yang melarang karena Papa sudah tidak ada.
Dalam sehari, aku bisa beberapa kali menyusu pada Mama. Kami juga tidur seranjang karena Mama takut tidur sendirian. Aku suka bau Mama saat baru bangun, agak masam tapi entah kenapa itu malah membuatku ingin menyusu kepadanya. Setelah puas, biasanya Mama bersiap-siap pergi ke kantor, sedangkan aku harus ke sekolah.
Sore harinya, ketika Mama sudah pulang, aku juga suka minta menyusu lagi. Biasanya sambil nonton tivi atau tidur-tiduran di kamar. Tubuh Mama yang berkeringat membuat nafsu menyusuku sangat besar. Apalagi payudara Mama juga cukup besar, tanganku tidak bisa menangkup semua gundukannya. Bentuknya yang bulat dan rasanya yang begitu kenyal juga begitu memanjakan nafsuku.
Saat malam sebelum tidur, aku juga kembali menyusu. Mama selalu menurunkan dasternya sedada dan membiarkan aku menghisap putingnya sampai aku tertidur pulas. Seringkali aku tertidur dengan puting Mama masih berada di dalam mulutku. Jika malam-malam terbangun, aku juga akan selalu menyusu kepadanya untuk melampiaskan nafsu.
"Ahh..." jerit Mama.
"Kenapa, Mah?"
"Pelan-pelan aja, Ar. Jangan kamu gigit puting Mama. Sakit, tau!"
"Hehehe... iya, Mah. Habisnya, Ari gemes banget sih."
"Memangnya kamu nggak bosen netek ke Mama?"
Malam ini, Mama mengenakan daster batik tanpa lengan dan bagian atasnya sudah kupelorotkan ke bawah. Mama tidur menyamping menghadapku, membiarkan buah dadanya yang kanan kuhisap. Sambil netek, buah dada yang sebelah kiri iseng kuremas-remas sambil kumainkan putingnya dengan jariku.
"Ar, jangan begitu. Payudara Mama jadi ngilu."
"Hmm... hmm..." Aku tidak menjawab karena mulutku sibuk melumat puting susunya, dan aku juga tak menghentikan remasan tanganku. Puting Mama terlihat basah berlumuran air liur. Melihatnya membuat batang kontolku semakin mengeras tajam.
“Itu mau kamu kocok sendiri,” Mama menunjuk batang kontolku, “Atau Mama bantu kocokin?” tanyanya.
“Engh... Mama aja deh.” Aku tersenyum. “Lebih enak kalau Mama yang ngocokin,”
“Huh, dasar kamu ini.” Mama perlahan menurunkan celana kolorku. Penisku langsung mengacung tegak keluar dari sarangnya. Memang tidak panjang, hanya sekitar 13 cm. Tapi penisku cukup tebal diameternya dan kali ini ereksinya sangat kuat. Ada sedikit cairan bening yang keluar di ujungnya. Kulihat wajah Mama, dia sempat seperti menelan ludah dan memandang penisku dengan sangat serius.
Aku sebenernya agak canggung karena baru tiga kali ini dikocok sama Mama. Yang pertama adalah kemarin pagi tadi ketika dia memergokiku sedang onani di kamar mandi.
“Lho, Ar... apa yang kamu lakukan?” dia kaget sebentar. Namun bukannya marah, dia malah mendekat dan entah berpikir apa, tiba-tiba saja memegangi batang penisku.
“J-jangan, Mah!” Aku ingin menghindar, tapi tangan Mama lebih cepat. Dia berhasil menangkap dan mulai mengocok batang kontolku.
Sebentar saja, aku sudah langsung muncrat. Spermaku berhamburan mengotori tangannya. Aku tertegun, sementara Mama hanya tersenyum. “Sudah, kamu balik sana. Ini biar Mama yang bersihkan.”
Bagai orang linglung, aku hanya bisa mengangguk dan melangkah gontai menuju kamar. Kupikirkan peristiwa itu seharian, dan ketika malamnya Mama menawari lagi, aku tidak dapat menolak. Habis enak sih. Siapa juga yang bisa tahan dikocokin sama perempuan secantik dirinya, sambil menyusu pula?
Sekali lagi spermaku muncrat mengotori tangannya, dan Mama lagi-lagi hanya tersenyum saja. Dan malam ini, kembali kami melakukannya. Dengan aku mencucupi kedua puting susunya, Mama kembali mengurut-ngurut penisku.
“Ini kontol kamu kok sudah kaku begini? Mikiran apa, hayo?!” canda Mama.
Dia menggenggam penisku dengan tangan kanannya. Pijatannya agak keras, berganti-ganti turun naik di sepanjang batangku. Saat memegang kepala penis, ujung jempolnya memijat lubang kencingku dan mengurut bagian sensitif yang ada di bawahnya.
“Hemm… hemm... ahh…” hanya itu yang bisa kukeluarkan, sambil diiringi deru nafas yang kian berat.
“Gimana, Ar, enak kan? Begini cara mijat yang benar biar kontol kamu jadi tambah besar.”
“Iya, Mah. Enak,” Mataku merem melek.
Mama terus mengocok. Lalu kemudian tangannya turun dan meremas buah zakarku. Seketika itu juga air maniku mengalir deras, dan aku pun klimaks.
“Mah... sudah, Mah!” ucapku dengan suara bergetar, mencoba menahan agar air maniku tidak muncrat kemana-mana.
“Keluarkan aja, Ar. Jangan ditahan-tahan.” bisiknya.
“Aaaah…” Badanku menggelinjang. Penisku berkedut-kedut saat memuncratkan segala isinya. Pejuhku yang kental meledak mengenai payudara Mama, sisanya lumer membasahi kedua tangannya.
“Hah... hah... hah...” Aku masih gemetar merasakan nikmat orgasme barusan. Dan tangan Mama juga masih meremas dan memijat-mijat batang penisku yang sudah mulai layu. Kali ini air maniku membuat tangan Mama jadi terasa licin.
“Pejuh kamu banyak banget, Ar. Tuh sampai kena dada Mama, berceceran juga ini di seprei.” ucap Mama sambil melepaskan kocokannya.
“Iya, Mah. Habis pijatan Mama enak sih.” jawabku malu-malu.
Mama hanya tersenyum saja, terlihat bangga oleh pujianku.
Rasanya masih tidak percaya dengan apa yang barusan terjadi. Aku baru saja dibantu onani oleh Mama sendiri. Rasanya aku masih bisa merasakan kehangatan pijatan tangannya di batang kontolku. Penisku sudah menciut. Dan lelehan air mani membuatnya jadi lengket. Tapi entah kenapa, rasanya gairahku belum tuntas.
Mama mengambil tisu untuk digunakan mengelap jari-jarinya. Tapi sepertinya dia lupa dengan cipratan air maniku yang mengenai buah dadanya. Aku masih bisa melihat tetesan cairan kental itu saat Mama mulai berbaring di sampingku.
“Sudah ya,” dia berkata. “Tidur yuk,”
“Iya, Mah. Tapi sambil netek ya,”
“Ya udah sini.” Mama menyodorkan payudaranya yang sebelah kiri. “Ngisepnya pelan-pelan aja, Ar. Mama sudah ngantuk, mau tidur.”
Aku langsung saja menyambut puting yang berdiri tegak itu dengan bibirku. Kujilat-jilat dan kumainkan dengan lidahku. Mama mulai memejamkan kedua matanya. Aku terus menghisap; dari yang kanan, kemudian beralih ke yang kiri. Nafas Mama kudengar mulai tenang. Sepertinya dia mulai terlelap. Rasa payudaranya yang begitu nikmat membuat kontolku kembali ereksi.
Namun sepertinya hisapanku terlalu kuat hingga Mama jadi terbangun dari tidurnya. “Eeeeh… pelan-pelan aja, Ar!”
Aku tidak menghiraukan. Dan tanpa sengaja, penisku yang sudah ereksi menyenggol tangannya. Mama langsung refleks melihat ke arah kontolku yang tepat berada di telapak tangannya.
“Kok itumu bangun lagi? Memang tadi belum keluar semua?”
“Nggak tahu nih, Mah.” Aku sangat bergairah mencumbui kedua payudaranya. “Boleh nggak, Mah... Ari pengen dikocok lagi.”
Tanpa menjawab apa-apa, Mama langsung mengenggam batang kontolku dengan satu tangan dan mulai mengocoknya naik-turun. Untung masih ada sisa-sisa sperma sehingga masih terasa licin. Mama menaik-turunkan genggaman tangannya sambil jempolnya memijat-mijat lembut ujung penisku. Sesekali dengan gerakan memutar.
“Ughhh... enak, Mah! Terus! Ari suka! Mama pinter ngocoknya!”
Aku yang semakin bernafsu, kian buas menyantap kedua payudaranya. Kumainkan putingnya dengan telunjuk dan jempolku. Kuputar-putar sambil sesekali kucubit pelan. Lalu aku dorong putingnya ke arah dalam. Mulutku juga terus menghisap sambil sesekali menggigit pelan.
“Sshhh... ahhhh...” terdengar Mama seperti merintih, kocokannya jadi semakin cepat.
Sama seperti tadi, keenakan bermain dengan payudaranya membuat pertahananku menjadi lemah. Kantong zakarku sudah berkedut-kedut ingin mengeluarkan air mani lagi. Refleks, kumajukan punggungku sampai ujung penisku menekan paha Mama, lalu kumuncratkan semua air maniku. Kali ini tidak sebanyak yang tadi. Keluarnya juga tidak deras karena kutekan ke paha Mama.
“Gimana, sudah puas?” Mama tersenyum dan melepaskan penisku.
Aku mengangguk. “Terima kasih, Mah.”
“Ya udah, Mama mau tidur dulu ya. Kamu juga langsung tidur, nanti kesiangan.” Dia membalikkan badannya, memunggungiku. Mama tidak membersihkan air maniku yang berceceran di pahanya, mungkin dia sudah sangat mengantuk.
Aku pun berbaring lemas. Dua kali aku keluar di tangan Mama. Kontolku mulai menciut. Aku pun sudah mengantuk. Aku tertidur tanpa memakai apapun. Sejuk sekali rasanya penisku. Kupejamkan kedua mata. Rasanya ada perasaan sangat lega dan tak sabar menunggu hari esok. Menunggu pijatan Mama di batang kontolku.
Atau, mungkin lebih dari itu…

***

Sudah seminggu ini tiap malam kontolku selalu diurut oleh Mama. Kami melakukannya di atas kasur saat menjelang tidur. Sambil aku menyusu kepadanya, Mama dengan telaten mengocok penisku sampai aku klimaks. Dalam semalam, bisa dua atau tiga kali aku keluar di tangan Mama. Kadang air maniku membasahi tangannya, atau sengaja kutempelkan di paha, perut, dan payudaranya. Ranjang jadi berbau masam karena banyaknya air maniku yang berceceran di kasur.
Dengan bimbingan Mama, kontolku jadi bertambah keras saat ereksi. Dan juga bulu-bulu kemaluanku menjadi semakin lebat hingga mulai naik ke arah perut.
Malam ini, seperti biasanya aku dan Mama sudah berbaring di ranjang. Mama belum mengganti seprai selama beberapa hari, sehingga bau spremaku sangat tercium jelas. Hal ini membuat nafsuku langsung naik dan ingin segera minta dikocok lagi olehnya. Aku sudah telanjang dan Mama hanya memakai daster pendek yang bagian dadanya sudah aku turunkan agar bisa menyusu.
“Mah, lagi ya yang seperti kemarin?” ucapku sambil memberikan kontolku kepadanya.
“Ya udah, sini.”
Aku langsung melahap payudara Mama dan dia mulai mengusap-usap batangku. Mungkin karena hari ini aku terlalu lelah di sekolah, baru sebentar saja hampir aku ejakulasi. Langsung kujauhkan pinggulku dari Mama hingga tangannya lepas dari penisku.
“Kenapa, Ar?” Mama bertaya agak kaget.
“Tidak apa-apa, Mah. Nggak tahu nih, baru sebentar sudah mau keluar.” jawabku malu.
“Kamu kecapekan mungkin.” kata Mama. “Ya sudah, netek aja dulu. Nanti kalau sudah segeran, Mama kocok lagi.”
Aku langsung mendekati lagi Mama dan mulai menyusu. Lama-kelamaan ternyata penisku keras lagi. Dengan perlahan kumajukan pinggulku hingga ujungnya mengenai paha Mama yang dilapisi daster. Dengan perlahan kugesek-gesekkan ke sana, kucoba menggeser bagian daster yang menutupi paha itu hingga bagian kepala penisku bisa langsung bergesekan dengan pahanya.
“Sudah siap dikocok lagi, Ar?” tanya Mama.
“Gini aja dulu, Mah.” jawabku sambi masih asyik menggesek-gesekkan penis.
Mama hanya diam saja.
“Mah, dasternya dilepas aja. Takut nanti kotor kena pejuh.” kataku beralasan.
“Ah, jangan, Ar! Masak Mama telanjang di depan kamu.” dia keberatan.
Aku langsung menghentikan gesekan penisku. “Kenapa, Mama malu? Ari tiap malam telanjang, nyantai aja. Masak Mama malu?”
“Tapi, Ar...”
“Ayolah, Ma. Kita kan bukan orang lain, masak Mama keberatan?”
Dia nampak berpikir sejenak, kemudian mengangguk. “Baiklah,”
Perlahan Mama melepaskan dasternya melalui bagian atas kepala. Sekarang dia hanya mengenakan celana dalam saja. Kupandangi seluruh tubuhnya. Walaupun sebenernya aku sudah sering melihat Mama telanjang saat aku mengintipnya mandi, tapi ini rasanya berbeda. Mama hanya mengenakan celana dalam tepat di depan mataku.
Kulihat perut Mama, masih ramping dan rata. Lalu kuturunkan pandanganku. Mama memakai celana dalam berwarna krem yang agak tipis. Aku bisa melihat samar-samar bulu kemaluannya yang menutupi selangkangan. Sangat lebat dan hitam, mungkin Mama tidak pernah mencukurnya. Bahkan dari bagian samping celana, ada beberapa bulu yang menyempil keluar.
“Kamu lihat apa, Ar?” Mama berusaha menutupi pangkal pahanya.
“Ah, enggak, Mah. Bukan apa-apa,” Kubaringkan tubuhku perlahan, lalu kujamah kembali bulatan payudara Mama sambil mulai kugesek-gesekkan penisku ke pahanya.
Rasanya nikmat sekali. Hangat, lembut, empuk, dan mulus, bercampur menjadi satu. Sambil menghisap payudara Mama kuat-kuat, kunaik-turunkan badanku. Paha Mama sudah mulai agak licin karena cairan pre-cum yang kukeluarkan. Kulihat Mama hanya memejamkan kedua matanya. Kurasa dia juga menikmatinya. Saat rasa-rasanya air maniku sudah mau keluar, kuhentikan gesekan. Aku tidak mau orgasme dulu. Aku mau sesuatu yang lebih malam ini.
“Mah... Ari boleh cium memek Mama?” ucapku sambil mengelus payudaranya.
Mama membuka matanya. “Ih, kok kamu aneh-aneh aja? Nggak boleh ah. Jijik.”
“Tapi Ari pengen, Mah. Penasaran sama bau memek Mama.”
Mama terdiam sambil menatap kedua mataku. “Gimana kalau begini saja,” Dia memasukkan tangannya ke balik celana dalam dan menggeseknya sebentar di selangkangan, lalu mengeluarkannya lagi dan mengarahkannya kepadaku. “Kamu cium ini aja.”
 Kulihat jari tengah dan jari telunjuknya basah, seperti ada lendir yang melapisi. Kudekatkan hidungku. Ah, baunya sangat nikmat. Persis sama seperti celana dalamnya yang sering kucium, tapi ini jauh lebih menyengat, lebih fresh. Kupegang tangan Mama dan kuhirup aromanya kuat-kuat. Lalu refleks, kujilati kedua jari itu, kumasukkan ke dalam mulutku.
“Ih, Ari... kok dijilat sih? Jijik, tau!” ucap Mama sambil mau menarik tangannya, tapi genggamanku lebih kuat sehingga dia tidak bisa berbuat apa-apa.
“Enak, Mah. Lagi dong!” Kukeluarkan jari Mama yang kini sudah bersih.
“Kamu itu, Ar. Aneh-aneh aja yang diminta!” kata Mama, namun kembali memasukkan jari-jarinya ke balik celana dalam. Dia gesek-gesek agak lama lalu dia berikan lagi kepadaku. Kali ini sepertinya lebih banyak cairan yang menempel di sana.
Langsung kulahap lagi. Sambil menikmatinya, terpikir sesuatu olehku. Aku ingin mencoba lebih jauh. “Mah, pakai jari Ari ya. Boleh kan?” aku bertanya.
Mama hanya diam memandangi. Lalu tiba-tiba dia memegang telunjuk tangan kananku dan diarahkan ke celana dalamnya. Aku menurut saja sambil terdiam. Jariku dimasukkan ke celana dalamnya. Aku bisa merasakan bulu jembut Mama yang agak kasar dan lebat itu.
“Pelan-pelan ya, Ar,” ucap Mama sedikit mendesah.
Telunjukku mengenai sesuatu yang agak basah dan lembab. Kutekan perlahan hingga jariku serasa dijepit oleh kulit yang lengket dan berlendir. Ah.. sepertinya jariku sudah masuk ke celah vagina Mama. Rasanya begitu lembab dan hangat. Jariku juga seperti dipijat-pijat oleh gerakan otot-otot memek Mama yang dibuat seperti mengempot-empot.
“Sudah, Ar. Sudah masuk semua,”
Kulihat wajah Mama. Nafasnya terengah-engah. Matanya agak menyipit. Wajahnya berkeringat. Kuseka keringat di dahi Mama dengan tanganku yang menganggur. Perlahan kugerakkan telunjukku maju-mundur di liang vaginanya. Kubengkokkan telunjukku hingga seperti ingin mencongkel sesuatu.
“Ehmmm... mmmm...” hanya itu yang keluar dari mulut Mama.
Tanpa bertanya lagi, perlahan kuselipkan juga jari tengahku ke celah vaginanya. Kini sudah dua jari yang masuk. Begitu basahnya memek Mama hingga aku bisa leluasa dalam menerobos. Kumaju-mundurkan jari-jariku sambil kucongkel-congkel dinding-dindingnya yang licin. Mama sepertinya keenakan karena terus menggoyang-goyangkan pinggulnya. Karena gerakannya itu, celana dalamnya jadi turun ke paha, hingga aku bisa melihat vaginanya dengan sangat jelas.
Kuambil posisi berlutut di depan celah sempit itu. Sambil tetap menusuk-nusukkan jari, kuperhatikan vagina Mama. Kusibakkan bulu jembutnya yang lebat hingga aku bisa melihat belahannya yang sudah sedikit bergelambir. Warnanya agak coklat kehitaman, kontras dengan kulit Mama yang putih dan mulus.
“Ahhh... Arii,” Kulihat Mama terus menggerak-gerakkan seluruh tubuhnya seperti sedang menahan kenikmatan, sambil tangannya memelintir kedua puting susunya bergantian.
Kupercepat gerakan jariku di liang vaginanya. Penisku juga sudah sangat keras. Kukocok sambil tanganku terus mengobok-obok memek Mama. Mama hanya bisa pasrah saja melihatnya.
“Ar... sudah, Ar! Mama nggak kuat...” tiba-tiba Mama menjerit. Tangannya berusaha menghentikan gerakan jariku di liang vaginanya, tapi tenaganya kurang kuat.
Aku malah memaju-mundurkan jari lebih cepat. Sampai jariku rasanya dijepit oleh liang vaginanya. Seperti ada cairan yang mengguyur, bersamaan dengan tubuh Mama yang kejang-kejang. Matanya terpejam. Dan dadanya membusung indah. Sepertinya Mama sudah orgasme.
Beberapa saat kubiarkan jariku tetap disana sambil merasakan sisa-sisa kedutan dari vagina Mama. Tubuh Mama sudah tenang dan sepertinya terkulai lemas. Kukeluarkan jariku dari liang vaginanya. Banyak sekali cairan yang ikut di jariku. Sangat lengket, kental dan berlendir, tapi warnanya agak bening. Kuoleskan cairan itu ke penisku sambil tetap mengocok-ngocoknya. Kumasukkan lagi jariku ke celah memek Mama untuk mengambil cairannya kembali, lalu kugosokkan lagi ke penisku. Sampai penisku jadi basah dan mengkilat sepenuhnya.
Karena cairan Mama, penisku rasanya jadi sangat licin dan enak saat dikocok. Aku teruskan onani sambil sesekali memijat-mijat bulatan payudara Mama yang teronggok indah. Mama hanya diam melihat kelakuanku.
Saat hampir orgasme, kuremas payudara Mama kuat-kuat lalu kutekan kepala penisku ke selangkangannya. Aaah... cairan maniku muncrat sangat kuat. Begitu banyak dan kental, tepat mengenai belahan vaginanya.
Jalan tempat aku lahir itu kini terlihat sangat berantakan. Bulu-bulu jembut Mama jadi sangat basah oleh cairan pejuhku, juga tetesan-tetesan air maninya sendiri. Mama cepat-cepat mengusap spermaku yang jatuh di memeknya, seperti tidak ingin cairan itu masuk ke dalam.
Napasku masih terengah-engah karena orgasme tadi, tapi batangku masih lumayan tegak. “Mah, Ari boleh...”
“Jangan, Ar. Nggak boleh begituan sama Mama sendiri.” dia memotong, kemudian merapatkan pangkal pahanya dan menutupi vaginanya dengan telapak tangan. “Jangan lebih dari ini, Ar. Mama mohon.”
Sebenarnya aku ingin sekali menyetubuhi Mama malam ini. Aku ingin merasakan penisku dijepit dan diempot-empot oleh liang vaginanya. Tapi aku juga tidak tega melihat Mama. Kulihat di ujung matanya ada bening yang jatuh. Wajahnya terlihat sedih dan lemas.
“I-iya, Mah. Maaf, Ari khilaf.” Aku bergeser ke sampingnya.
“Tidak apa-apa, Ar. Mama juga khilaf tadi.” jawab Mama sambil mengenakan kembali dasternya lalu kembali berbaring di sampingku.
“Mama nggak marah kan?”
“Tidak, Ar. Tapi Mama mohon, kamu jangan minta macem-macem ya. Cukup nenen sama ngocok aja, jangan sampe kamu kebablasan mau begituan sama Mama.”
“Iya, Mah. Ari nggak bakal minta lagi. Tapi, kalo kayak tadi, masih boleh kan?”
“Kayak tadi yang mana?”
“Ari pegang memek Mama pakai tangan. Masak Ari melulu yang dibikin enak, sekarang kita gantian, Mah.”
Mama terdiam sejenak. “Ya udah, nggak apa-apa.”
Aku tersenyum dan memeluknya. Kecapekan karena saling memuaskan dengan tangan tadi, membuat kami tertidur lelap sampai pagi.
Kini hubunganku dengan Mama sudah semakin jauh. Yah, meski Mama menolak untuk aku setubuhi, tapi kurasa aku bisa membawa keintiman ini ke tahap yang lebih tinggi lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar