Kamis, 02 Juni 2016

Vanquish 5

Chapter 7
Being Watched

POV Ara

Yupz, sudah selesai aku memoles wajah. Sebenarnya cuma dipoles bedak yang tipis saja sih, dan juga lipstik tipis dengan warna natural. Aku memang nggak terlalu suka bersolek, mendandani wajahku seperti wanita kebanyakan. Aku merasa sudah cukup nyaman dengan sedikit polesan make up tipis seperti ini.
Suamiku juga lebih menyukai aku berpenampilan seperti ini, katanya aku sudah cukup cantik walaupun tanpa make up. Senang rasanya menerima pujian seperti itu dari suamiku. Aku nggak begitu peduli dengan komentar orang lain, meskipun kebanyakan mengatakan hal yang sama seperti suamiku, yang terpenting adalah bagaimana tanggapan suamiku kepadaku, itu saja.

Pagi ini aku akan langsung berangkat ke Kaliurang. Kemarin Pak Dede sudah menyuruhku seperti itu, nggak perlu ke kantor dulu. Padahal menurut jadwal, para peserta rapat baru akan sampai kemari siang hari, tapi Pak Dede menyuruhku untuk memeriksa kembali persiapan disana, dia mau semua berjalan dengan lancar, dan kalau ada kekurangan segera dipenuhi, sehingga saat tamu datang nggak perlu lagi mengurusi hal-hal yang mengganggu kenyamanan mereka.
Ya sudahlah, pasti pekerjaanku di kantor sudah ada yang membereskan. Setelah selesai sarapan aku pun segera berangkat. Saat keluar dari gerbang rumah, aku melihat seseorang yang nggak kukenal sedang jogging melintas di depan rumah. Aneh juga orang ini jogging di sekitar sini, seingatku nggak pernah aku melihat ada orang joggingdi daerah ini selama beberapa bulan aku tinggal disini.
Sekitar 40 menit kemudian aku sampai di villa yang akan kami gunakan di Kaliurang. Masih sepi kondisinya. Tentu saja, karena acara baru akan dimulai siang nanti. Aku kemudian mencari Pak Risman yang mengurusi villa ini. Setelah berputar-putar aku belum menemukan orang itu, tapi aku melihat kondisi villa ini sudah cukup rapi. Mungkin Pak Risman sedang mempersiapkan yang lainnya, pikirku.
Villa ini cukup luas, memiliki banyak kamar, entah berapa jumlahnya aku nggak tahu pasti. Disini juga ada aula yang biasa digunakan untuk pertemuan-pertemuan atau kegiatan yang lainnya. Halaman dan tamannya juga cukup luas, jadi untuk kegiatan outdoorpun bisa dilakukan disini. Dengan fasilitas yang cukup lengkap, villa ini sering disewa oleh kalangan mahasiswa maupun orang kantoran seperti kami.
Sejenak aku memandangi taman yang asri ini, nggak lama berselang muncul seorang gadis dari dalam villa. Masih cukup muda, aku belum pernah ketemu sama gadis ini, meskipun sudah beberapa kali menyewa villa. Penampilannya sedikit acak-acakan seperti baru bangun tidur, aku hanya tersenyum saja melihatnya. Kemudian aku memanggilnya.
“Dek, sini bentar, dek,” panggilku.
“Eh, iya, bu. Ibu yang mau nyewa villa ini?” tanyanya.
“Iya, kamu kerja disini? Pak Risman dimana ya?” tanyaku.
“Iya, bu. Saya Diah, saya baru sebulan kerja disini, saya tetangga Pak Risman di kampung. Itu Pak Risman masih di dalam, bu, barusan sama saya kok,” jawabnya.
“Ya udah kalau gitu, saya mau ketemu sama dia dulu, dek,” ujarku.
“Iya, silahkan, bu. Kalau gitu saya permisi dulu,” pamitnya.
Aku pun masuk ke arah yang ditunjuk Diah tadi untuk mencari Pak Risman. Rupanya dia masih duduk menonton tv sambil menikmati kopi hitamnya dan kepulan asap dari rokok kreteknya. Dia hanya memakai celana pendek saja tanpa memakai baju, terlihat perutnya yang mulai dipenuhi oleh lemak, dan dadanya yang sedikit berbulu. Dia menyadari kehadiranku, menoleh dan sedikit terkejut.
“Eh, Bu Ara. Sudah disini, bu? Maaf, saya ganti baju dulu, bu,” ujarnya kemudian buru-buru meninggalkanku. Tak lama kemudian paruh baya sudah kembali, sudah berpakaian rapi. “Maaf, bu, saya nggak tahu kalau ibu sudah datang. Saya pikir masih nanti siang,” ujarnya.
“Iya, nggak papa kok, pak. Saya juga sebenernya mau ke sininya siang, tapi sama Pak Dede disuruh pagi ini langsung kesini. Gimana persiapan buat nanti, pak?” tanyaku.
“Sudah beres, bu, kamar-kamar dan aula semua sudah disiapkan. Untuk makan siang nanti juga sudah disiapkan, tinggal nanti dimasak sekitar jam 10an. Kalau untuk makan malam tadi saya suruh si Diah belanja dulu,” terangnya.
“Oh ya sudah, pak. Saya minta kamar 1 ya, pak, rencana saya mau nginep sini selama acara,” ujarku.
“Silahkan pilih sendiri, bu. Saya nggak ngerti soalnya, mana yang mau dipakai peserta dan mana yang mau dipakai panitia,” jawabnya.
“Ya udah kalau gitu, saya ke kamar dulu, pak,” pamitku.
“Silahkan, bu,” jawabnya.
Aku lalu menuju sebuah kamar, yang memang biasa aku gunakan jika ada acara dan harus menginap disini. Sebuah kamar yang tidak terlalu besar, dengan 2 tempat tidur kecil dan sebuah lemari kecil. Setelah merapikan barang-barang, aku duduk di salah satu ranjang. Aku malah jadi bingung mau ngapain, semuanya sudah beres, nggak ada lagi yang dilakuin. Mau menghubungi suamiku, tapi dia sedang ada training, apa aku tiduran saja ya? Hehe.
Suasana disini memang nyaman, udaranya sejuk, aduh kalau begini terus bisa-bisa tidur beneran ini. Aku merebahkan diri di kasur, memainkan ponsel baruku, membalas pesan di beberapa akun media sosial. Kemudian melihat ponsel lamaku, tidak ada pesan apa-apa. Karena bosan, aku memainkan game di ponsel, sampai nggak terasa aku malah ketiduran, dan aku lupa pintu kamar belum dikunci, belum tertutup rapat malah.

***

Sayup-sayup aku mendengar suara orang yang sedang bercakap-cakap. Mataku terbuka, terbangun dari tidurku. Kulihat jam di ponselku, ya ampun, sudah hampir 3 jam aku tertidur. Aku memperhatikan kondisiku, rokku sedikit tersingkat sampai betisku kelihatan, dan bajuku agak acak-acakan terutama di bagian dada dan perut. Waduh, semoga nggak ada yang melihatku dalam kondisi seperti ini, lagipula kulihat ternyata pintu kamarku nggak tertutup rapat.
Aku segera mematut diri di cermin lemari, membersihkan wajah, kemudian merapikan pakaian dan kerudungku. Setelah itu aku keluar untuk melihat siapa yang sedang berbincang tadi. Ternyata kudapati Pak Risman sedang berbicara dengan Pak Dede, sudah datang juga dia rupanya.
“Pak Dede udah datang tho? Udah lama, pak?” tanyaku.
“Eh, Ara, udah bangun?” tanyanya tersenyum. Duh, aku jadi malu ketahuan tidur sama atasanku, padahal kalau dipikir-pikir ini kan masih jam kerja. Atau malah Pak Dede sempat melihat kondisiku saat tertidur dengan pakaian berantakan seperti tadi itu?
“Hehe... maaf, pak, saya tadi ketiduran,” jawabku tersipu.
“Haha, udah nggak papa. Sini duduk dulu,” kata Pak Dede.
“Udah lama, pak?” tanyaku lagi.
“Yaa udah sekitar 2 jam bapak disini, kamunya lagi tidur. Untung ada Pak Risman yang nemenin ngobrol, nggak enak mau bangunin kamu, kayaknya nyenyak gitu tidurmu,” jawabnya membuatku makin tersipu malu.
“Iya, digoyang sama Pak Dede sampe nggak bangun ya, pak? Haha,” timpal Pak Risman.
“Haha, Pak Risma juga ikut nggoyangin tadi juga nggak kebangun kamu, Ra,” ujar Pak Dede.
Hah? Digoyangin? Digoyangin gimana maksudnya? Berarti mereka tadi sempat masuk ke kamarku? Aku terbengong-bengong mendengar candaan mereka, entah candaan atau memang betulan. Seingatku memang sebelum ketiduran tadi bajuku masih rapi, tapi begitu bangun kok berantakan, apalagi yang berantakan di bagian dada dan perut, bahkan rokku juga sedikit tersingkap, apa mungkin? Ah, tapi aku nggak merasakan apa-apa waktu bangun tadi, nggak, nggak, nggak mungkin lah.
Tak lama kami ngobrol bertiga, Pak Risman minta ijin untuk ke belakang melihat apa untuk makan siang sudah disiapkan apa belum. Sejenak sebelum meninggalkan kami, aku sempat menangkap lirikannya yang aneh kepadaku, yang aku nggak tahu apa maksudnya. Aku melanjutkan obrolan dengan Pak Dede, saat itu kami duduk berdampingan.
“Kamu jadi nginep sini, Ra?” tanyanya.
“Iya, pak, jadi. Suami saya kemarin maksain buat nginep sini,” jawabku.
“Lha, kok malah maksain?”
“Iya, pak, kan dia juga lagi keluar kota, besok kamis baru pulang. Makanya saya disuruh nginep sini, biar ada teman katanya.”
“Oh gitu, saya juga mau nginep sini saja. Di sini rame, di rumah saya nggak ada siapa-siapa, hehe.”
“Hehe... iya, pak. Lha bapak tadi berangkat sendiri?”
“Iya, tadi mampir kantor bentar, terus kesini, mau nemenin kamu, hehe.”
“Hahaha, bapak bisa aja,” jawabku tersipu.
Kami berdua ngobrol dengan santai, dia memang suka bercanda orangnya. Ada saja gurauannya yang bisa membuatku tertawa terpingkal-pingkal sampai memegangi perutku karena sakit. Beberapa kali juga tangannya sempat mampir ke pahaku waktu dia bercerita, yang selalu kutepis perlahan. Namun candaannya sekali lagi bisa membuatku rileks dan terbawa suasana.
Tak lama kemudian datanglah teman-temanku yang menjadi panitia acara ini. Memang nggak semua ditunjuk menjadi panitia, karena pekerjaan di kantor juga nggak bisa ditinggal begitu saja. Yang datang sekarang ini ada Faisal, Eko, Tika dan Wulan, sementara yang lain menyusul katanya.
Kami pun segera menyiapkan keperluan untuk registrasi peserta yang mungkin sebentar lagi akan berdatangan. Dan benar saja, baru 15 menit kami menyiapkan semuanya, sudah ada beberapa yang datang. Kami pun menyambutnya dengan ramah, dan mengarahkan mereka untuk registrasi dulu sebelum menuju ke kamar yang sudah kami siapkan.
Kegiatan itu berjalan hingga sore hari. Saat ini teman-teman satu unitku sudah datang semua, termasuk Eko, Nadya dan Lia. Kami kemudian mempersiapkan untuk acara pembukaan nanti malam. Malam ini aku sekamar dengan Nadya, ternyata dia juga menginap disini karena kebetulan suaminya juga sedang pergi keluar kota, sedangkan anaknya dititipkan ke orang tuanya. Di sebelah kanan kamarku ditempati oleh Wulan dan Tika. Sedangkan sebelah kirinya ditempat oleh Pak Dede sendirian.
Malam ini acara pembukaan berjalan dengan lancar. Kami membagikan jadwal kegiatan selama 2 hari ke depan, setelah itu para peserta melakukan kegiatannya masing-masing. Ada yang langsung kembali ke kamar mereka untuk beristirahat, ada yang masih ngobrol-ngobrol di taman, yang memang disediakan tempat semacam gazebo untuk bersantai.
Aku sendiri bersama teman-temanku berkumpul di ruang sekretariat untuk membahas rencana kegiatan besok pagi, memastikan semua perlengkapan untuk rapat sudah siap semua, dan membahas rencana cadangan kiranya acara kami besok terkendala. Setelah merapatkan hampir 2 jam, kami pun berpisah dan menuju kamar masing-masing untuk beristirahat.
Entah kenapa, perasaanku jadi kurang enak. Aku merasa seperti ada yang memperhatikan, tapi entah siapa. Kuamati orang-orang di sekitarku satu persatu, tapi semua tampak biasa saja. Aku benar-benar merasa ada sesuatu, atau seseorang sedang mengawasiku. Mungkin ini hanya perasaanku saja, aku coba untuk nggak terlalu memikirkannya.
Aku masih sempat ngobrol dengan Nadya di kamar, sebelum akhirnya dia tertidur duluan karena kecapekan, sedangkan aku yang belum mengantuk, karena tadi siang sempat ketiduran lumayan lama, masih asik memainkan ponsel dan menghubungi suamiku. Dia juga sepertinya kelelahan, terdengar dari suaranya. Memang seharian tadi kegiatannya cukup padat. Tak lama aku pun tertidur.
Keesokan harinya sekitar jam 4.30 aku sudah bangun, lalu pergi ke kamar mandi dan kemudian menjalankan kewajibanku. Setelah itu baru kubangunkan Nadya. Hampir aku terkekeh melihat kondisinya, pakaian dan rambutnya acak-acakan sekali, kerudungnya tergeletak di samping kepalanya.
Setelah bangun dia pun segera ke kamar mandi dan langsung mandi ternyata. Wah, padahal airnya dingin sekali pagi ini, aku saja nggak langsung mandi, agak nanti lah, biar udaranya nggak sedingin sekarang. Dia keluar kamar mandi berbalut handuk dengan rambut yang basah.
“Kamu abis keramas, Nad? Nggak dingin apa mandi jam segini?”
“Hehe, iya, Ra. Duh, dingin banget. Tapi ya mau gimana lagi, harus mandi keramas dulu aku.”
“Lha, kok harus sih?”
“Iya, semalem abis mimpi enak, Ra, haha.”
Aku tertawa mendengar jawabannya, entah apa maksudnya. Setelah itu kami masih ngobrol sebentar, sebelum aku mandi. Airnya masih terasa dingin sekali, tapi ya sudahlah, masak mau nunggu sampai siang. Setelah bersiap-siap kami pun keluar untuk melihat persiapan acara hari ini, dan ternyata teman-teman panitia lain pun sudah bersiap.
Sepanjang hari ini aku terus bersama Eko dan Tika. Kami yang kebagian jadi seksi acara harus mengikuti setiap acara yang berlangsung, sekaligus memastikan semua berjalan lancar, sedangkan teman-teman yang lain menunggu di bagiannya masing-masing. Untuk acara hari ini sepenuhnya membahas masalah pekerjaan, yaitu performancedan pencapaian selama semester pertama, dan rencana untuk semester kedua.
Aku bersyukur acara ini berlangsung dengan sangat lancar, tidak ada diskusi atau debat panjang lebar yang kutakutkan akan membuat jadwal menjadi molor, karena untuk besok kegiatan kami adalah pemantapan serta pembuatan komitmen hasil rapat hari ini serta acara penutupan setelah makan siang.
Selesai makan malam, panitia berkumpul lagi di ruang sekretariat untuk membahas persiapan acara besok. Rapat malam ini nggak terlalu lama karena kami mereview kembali hasil rapat tadi lalu membuatkan dokumen komitmen untuk ditandatangani besok. Akhirnya sebelum jam 9 rapat kami sudah selesai. Badanku rasanya lelah sekali. Malam ini aku tidur duluan daripada Nadya, setelah sebelumnya memberi kabar kepada suamiku.
Sekitar jam 12 malam aku terbangun karena kebelet pipis, buru-buru ke kamar mandi. Setelah menuntaskan hajat dan keluar dari kamar mandi, baru aku sadar Nadya nggak ada di ranjangnya. Kemana perginya dia malam-malam begini, pikirku. Apa mungkin tidur di kamar lain? Tapi kan kamar cewek semua sudah terisi penuh.
Di tengah suasana malam yang sangat sepi ini, sayup-sayup kudengar ada suara-suara aneh. Aku terdiam, berkonsentrasi mendengar suara itu, seperti suara, orang mendesah, dan sepertinya itu berasal dari kamar sebelahku, kamar Pak Dede.
Aku jadi penasaran, dan ingin memastikan suara apa yang kudengar itu. Terlebih suara itu berasal dari kamar Pak Dede, dan saat ini Nadya sedang nggak ada di tempatnya, aku jadi curiga, berpikir yang aneh-aneh. Segera aku memakai kerudung lalu membuka pintu kamar. Aku celingukan, memastikan kondisi sepi tidak ada orang. Lalu aku berjalan pelan tanpa menimbulkan suara menuju ke kamar Pak Dede yang kebetulan letaknya di ujung.
Ternyata pintu kamar itu nggak tertutup rapat sehingga aku bisa sedikit mengintip dari celahnya. Aku langsung terperanjat melihat apa yang terjadi di dalam kamar itu, sampai-sampai reflek aku menutup mulutku supaya nggak bersuara. Aku melihat Nadya yang sedang dalam keadaan tanpa busana sama sekali, sedang menungging, dan Pak Dede di belakangnya menggoyang-goyangkan pinggulnya.
Tangan Pak Dede memegangi pinggul Nadya, sementara goyangannya makin lama makin kencang. Dapat kulihat beberapa saat kemudian badan Nadya seperti mengejang, lalu terjatuh lemas. Pak Dede kemudian membalikkan badan Nadya, merenggangkan kedua kakinya kemudian kembali memasukkan batang penisnya yang cukup besar itu ke dalam liang kemaluan Nadya.
Aku dapat melihat dengan jelas kedua rekan kerjaku itu sedang bercinta. Aku melihat bagaimana Pak Dede begitu bernafsu menyetubuhi Nadya, sambil kedua tangannya meremasi payudara Nadya yang montok. Apa mereka nggak sadar kalau pintu kamar ini nggak tertutup rapat? Dan herannya tubuhku nggak mau beranjak pergi, entah kenapa aku ingin menonton persetubuhan mereka hingga akhir.
Desahan-desahan mereka hanya sebatas bisikan, pelan sekali, namun aku masih bisa mendengarnya dengan cukup jelas karena memang kondisi villa yang sepi. Sampai akhirnya aku lihat Pak Dede bergerak semakin cepat, lalu tiba-tiba terdiam dengan batang kemaluan menusuk dalam lubang kewanitaan Nadya, yang badannya tiba-tiba mengejang, membuat dadanya terangkat ke atas.
Kurasa mereka berdua sudah mencapai puncaknya. Dengan nafas tersengal tubuh Pak Dede ambruk menimpa Nadya. Aku nggak percaya ini, ternyata mereka berdua sudah sampai sejauh ini. Pantas saja di tempat karaoke seperti itu dulu, lalu apakah dengan Lia, Pak Dede juga sudah sejauh itu? Apakah selain mereka berdua, ada lagi teman kantorku yang bermain dengan Pak Dede?
Dengan beragam pertanyaan di kepala, aku segera kembali ke kamar saat melihat Nadya terbangun dan mulai memakai baju tidurnya. Dengan setenang mungkin tanpa menimbulkan suara, aku posisikan diriku tertidur menghadap ranjang Nadya, dan tak lupa melepas kerudungku. Aku berharap Pak Dede nggak ikut masuk dan melihatku tanpa kerudung.
Tapi ternyata Pak Dede ikut masuk sambil memeluk tubuh Nadya. Dia menutup pintu kamar kami dan kemudian mencumbui bibir Nadya sesaat, lalu melepaskannya.
“Sshhh... udah dong, pak, masak belum puas juga?” tanya Nadya berbisik.
“Hehe, kalo sama kamu nggak ada puasnya, sayang,” jawab Pak Dede, juga sambil berbisik.
“Kan udah dari kemarin saya layani, pak. Sekarang bapak balik ke kamar deh, entar Ara kebangun lho,” ujar Nadya sambil melihatku, memastikan aku masih terlelap.
“Bentar, sayang, aku mau lihat Ara tidur tanpa kerudungnya, hehe,” jawab Pak Dede.
Aku masih berpura-pura tidur, merasakan ada yang mendekat. Lalu kurasa seperti ada yang membelai lembut rambutku. Jantungku berdetak tak karuan, aku harus gimana? Apa harus bangun dan marah? Atau tetap berpura-pura tidur? Aku jadi makin bingung. Tapi untunglah Nadya segera menarik Pak Dede menjauh dariku.
“Udah, udah, daripada dia bangun beneran nanti, pak. Udah sana balik ke kamar, cup,” ujar Nadya lalu mencium Pak Dede.
Tanpa menjawab Pak Dede keluar dari kamar. Nadya segera menutup pintu tanpa menguncinya. Aku dapat melihatnya menuju kamar mandi dan kudengar gemercik air, lalu aku pura-pura terbangun.
“Nad,” panggilku.
“Iya, Ra, kamu kebangun ya? Duh, maaf deh, aku kebelet pipis soalnya, hehe,” ujarnya dari dalam kamar mandi.
“Oh ya udah kalau gitu. Lanjut tidur lagi, Nad, masih jam segini,” ujarku.
“Iya, Ra, lanjutin aja,” jawabnya.
Aku pun kembali memejamkan mata namun belum bisa terlelap, masih terpikir kejadian yang baru saja aku lihat. Ternyata kemarin malam mereka juga sudah melakukannya. Pantas saja pagi-pagi Nadya langsung mandi keramas, apa nanti dia juga bakal mandi keramas lagi? Kita lihat saja nanti ya Nad, pikirku. Tak lama akupun terlelap.
Pagi harinya, seperti yang sudah kukira semalam, Nadya mandi keramas lagi. Aku hanya tersenyum melihatnya, timbul keinginanku untuk sedikit menggodanya.
“Nad, kamu mandi keramas lagi? Mimpi enak lagi ya? Haha,” godaku.
“Haha... iya, Ra, semalam mimpi enak lagi, lebih enak daripada kemarin,” jawabnya ikut tertawa.
“Gawat juga kamu, Nad, mimpi gitu kok tiap malem,” ujarku.
“Ya nggak tahu, Ra, namanya juga mimpi, hehe.”
Kami pun bergegas menyiapkan acara hari ini. Aku harap acara ini bisa lebih lancar dan selesai lebih awal. Dan seperti perkiraanku, acara ini akhirnya selesai lebih cepat, dan bahkan sebelum makan siang sudah ditutup. Beberapa peserta langsung pergi meninggalkan villa ini sementara beberapa lagi masih makan siang disini, termasuk kami semua panitia.
Peserta yang tersisa dan beberapa temanku langsung pulang setelah makan siang, sedangkan aku bersama Nadya, Tika dan Pak Dede masih tinggal sebentar untuk mengurusi masalah biaya sewa villa. Belum juga beres urusan pembayaran ini, ternyata Nadya sudah dijemput suaminya, dan Tika pun ikut numpang mereka. Tinggal menyisakan aku dan Pak Dede saja.
“Baru jam dua ini, Ra, kamu mau langsung pulang?” tanya Pak Dede.
“Iya, pak, mau langsung pulang aja. Panas gini, pak,” jawabku.
“Kita kemana dulu gitu yuk? Ngadem gitu,” ajaknya.
“Emang mau kemana, pak?”
“Karaokean aja yuk?”
“Sama siapa, pak?”
“Ya kita aja berdua, yang lain kan udah pada pulang.”
“Waduh, masak cuma berdua sih, pak? Nggak enak saya,” tolakku halus.
“Nggak enak kenapa? Kayak belum pernah aja cuma berduaan sama saya, kalau nggak enak ya dienakin lah, haha. Udah saya berangkat duluan, saya tunggu disana,” ucapnya.
“Eh, i-iya, pak,” duh, aku kok malah mengiyakan.
“Bener ya, bapak tunggu disana, bapak nggak pulang sebelum kamu datang lho,” ancamnya, lalu masuk ke mobilnya dan meninggalkanku.
Kusesalkan ucapanku tadi, harusnya aku mencari cara untuk menolaknya. Gara-gara ucapanku itu sekarang mau nggak mau aku harus menuruti permintaannya. Kami memang pernah pergi berdua saja setelah survey villa waktu itu, dan itulah yang membuatku enggan untuk pergi bersamanya lagi.
Lima belas menit kemudian aku pun meninggalkan villa ini setelah menyelesaikan urusanku dan berpamitan pada Pak Risman, diiringi oleh tatapan aneh darinya. Kunyalakan mobilku untuk dipanasi sejenak. Selama di dalam mobil aku masih bimbang, apa aku harus tetap mengikutinya atau sebaiknya aku pulang saja. Aku masih teringat kejadian beberapa hari yang lalu.
Saat itu harusnya aku pergi bertiga bersama Lia juga. Aku yang mengendarai mobil sendiri pergi duluan kesini, sedangkan Pak Dede dan Lia menyusul. Tapi sesampainya disini hanya Pak Dede sendiri tanpa ditemani Lia, karena dia bilang anak Lia mendadak sakit sehingga harus pulang.
Selesai kami survey dan memesan villa, Pak Dede mengajakku untuk pergi berkaraoke. Awalnya aku menolak karena harus pergi berdua, tapi dia terus saja merayu, bahkan mengatakan bahwa dari semua anak buahnya di unitku, hanya tinggal aku saja yang belum pernah menemaninya karaoke berdua, sedangkan Nadya, Lia, Wulan dan Tika sudah pernah semua.
Akhirnya karena merasa nggak enak, aku terpaksa menyetujui untuk menemani. Aku mengikutinya ke tempat karaoke langganannya. Setelah itu dia memesan ruangan yang sama dengan yang pernah kami gunakan dulu. Ruangan ini letaknya di ujung, jadi jarang orang yang lewat, apalagi di jam-jam seperti itu tempat ini masih sepi.
Aku mengikutinya masuk ke ruangan itu, sambil berharap dia tidak melakukan hal yang aneh-aneh kepadaku. Kami mulai menyanyi, dan selama setengah jam ini tidak ada hal aneh yang dilakukannya, dan itu membuatku lebih rileks. Tapi tanpa kusadari saat aku sedang menyanyi, dia menggeser sedikit demi sedikit posisi duduknya hingga sekarang persis berada di sampingku.
Aku yang terkaget coba untuk bergeser tapi posisiku sudah mepet ke dinding. Dia pun mengajak untuk berduet. Aku kembali merasa was-was, takut kejadian yang dulu terulang lagi. Dan benar saja, tangannya tanpa permisi langsung saja merangkul pundakku, membuatku risih. Tapi dia kelihatan cuek-cuek saja.

Lihatlah luka ini yang sakitnya abadi
Yang terbalut hangatnya bekas pelukmu
Aku tak akan lupa tak akan pernah bisa
Tentang apa yang harus memisahkan kita

Disaat ku tertahih tanpa kau disni
Kau tetap kunanti demi keyakinan ini

Dia mulai bernyanyi, karena tangannya tak bergerak aku membiarkannya saja. Tapi lambat laun tangan itu bergerak turun, menyusuri dan mengusapi punggungku, hingga kini hinggap di pinggangku.

Jika memang dirimulah tulang rusukku
Kau akan kembali pada tubuh ini
Kuakan tua dan mati dalam pelukmu
Untukmu seluruh nafas ini

Aku tersentak saat kurasakan tangannya menarik pinggangku untuk semakin mendekat. Ini sih bukan mendekat lagi, tapi menempel, dan setelah itu tangannya malah menahanku.

Kita telah lewati rasa yang pernah mati
Bukan hal baru bila kau tinggalkan aku
Tanpa kita mencari jalan untuk kembali
Takdir cinta yang menuntunmu kembali padaku

Disaat ku tertatih (Disaat ku tertatih)
Tanpa kau disini (tanpa kau disini)
Kau tetap kunanti demi keyakinan ini

Saat giliranku menyanyi, kurasakan tangan Pak Dede makin erat memeluk pinggangku, sambil sedikit diusap, membuatku geli. Aku coba tepis tapi tangannya nggak bergeming, bahkan mulai melingkar ke perutku.

Jika memang kau terlahir hanya untukku
Bawalah hatiku dan lekas kembali
Kunikmati rindu yang datang membunuhku
Untukmu seluruh nafas ini

Sampai selesai lagu ini tangannya terus memeluk pinggangku. Aku jadi makin deg-degan, darahku berdesir setiap kurasakan usapan di perutku. Di lagu-lagu selanjutnya masih seperti itu, sampai satu jam lamanya. Bahkan aku sampai harus menahan tangannya karena sempat tiba-tiba bergerak naik dan hampir saja menyentuh dadaku.
Aku terus menahan tangannya karena takut kalau nanti bergerak naik lagi, tapi posisi kami justru semakin terlihat seperti orang berpelukan. Dia menggeser duduknya sedikit ke belakang, lalu menarik pinggangku sehingga sekarang tubuhku sedikit menyandar di dadanya. Dan dia melakukan itu semua sambil terus menyanyi, tanpa melihat ke arahku.
Dengan cueknya tangan nakal itu masih berusaha untuk naik menggapai dadaku, dan aku masih menahannya dengan kuat. Aku hanya menahannya, tanpa mengucapkan sepatah kata untuk memintanya berhenti. Aku berpikir, apakah waktu dia pergi bersama keempat temanku itu kelakuannya juga seperti ini?
Merasa aku nggak mengijinkannya menyentuh dadaku, dia menggerakkan tangannya mengusap daerah di bawah bukit payudaraku. Hal ini membuatku semakin geli, dan nggak terasa tubuhku sedikit menggelinjang, dan tanpa kusadari ujung jarinya sudah sampai dan kurasa menyentuh ujung bawah penutup dadaku.
“Paak,” ucapku lirih memintanya menghentikan perbuatan itu.
“Udah, Ra, rileks aja,” ucapnya persis di telingaku sehingga aku merasakan geli disana.
Aku mencoba menghindar, tapi tangannya erat merangkul. Nafasnya dihembus-hembuskan ke telinga, membuatku semakin geli. Sampai saat aku merasakan bibirnya menyentuh telingaku, membuatku tersentak dan menggelinjang. Reflek tanganku berusaha menepis wajahnya agar menjauhi telingaku.
Sebuah kesalahan besar, karena tanganku menepis wajahnya, kini tangannya yang memelukku terbebas, dan langsung hinggap di dadaku. Aku kembali menahan tangannya meskipun terlambat, karena kini tangan itu sudah meremas bukit payudaraku. Kulepaskan mic yang sedari tadi kupegang, mencoba untuk menarik tangannya agar melepaskan payudaraku. Tapi selanjutnya, justru tangannya yang satu lagi mencaplok payudaraku yang sebelah lagi dan meremasnya.
“Aah, pak... udah, pak... jangaan,” pintaku.
“Rileks aja, Ra, keempat temanmu udah biasa kok kayak gini,” jawabnya santai sambil menciumi telingaku dari balik kerudung.
Aku tak percaya ini, jadi keempat temanku yang lain sudah biasa diperlakukan seperti ini oleh atasanku? Kedua tangan Pak Dede masih meremas lembut payudaraku, sedangkan tanganku hanya memeganginya saja tanpa bisa menariknya. Aku semakin terbawa permainan Pak Dede. Kupejamkan mataku karena malu, saat ini ada pria selain suamiku yang sedang menggerayangi tubuhku, dan parahnya aku nggak melawan sama sekali.
Perlahan rangsangan dari bibir dan kedua tangan Pak Dede membuat birahiku naik. Aku mulai mendesah, pegangan tanganku di kedua tangannya mulai mengendur, dan kedua pahaku mulai bergerak nggak jelas. Kurasakan ada yang basah di bawah sana. Oh tidak, dalam situasi seperti ini aku malah terangsang.
Bibirnya yang mengecupi telingaku kini turun menyusuri leherku yang tertutup, membuat kepalaku tengadah, menyandar di bahunya. Bibirku terbuka mengeluarkan desahan-desahan lirih. Bibir Pak Dede kemudian langsung melumat bibirku. Aku nggak sempat menutupnya sehingga dengan mudah lidahnya masuk ke rongga mulutku dan menari-nari disana. Ini adalah bibir kedua yang berhasil menikmati bibir tipisku.
Aku semakin terbawa birahi yang diberikan Pak Dede. Tubuhku semakin melemah, nggak bisa lagi melawan. Tanganku pun sudah lemas, hanya memegangi kedua tangannya tanpa mampu menarik. Kenikmatan yang aku rasakan membuatku terlena, hingga tanpa kusadari Pak Dede telah membuka beberapa kancing bajuku, dan kini menyentuh langsung kulit payudaraku.
Tanpa sadar aku mulai membalas ciumannya. Tubuhku mulai diambil alih oleh nafsu. Kedua tangan Pak Dede sudah masuk melewati penutup dadaku dan kini sedang memilin putingku. Aku semakin menggelinjang, merasakan bahwa di pangkal pahaku sudah begitu basahnya. Lumatan bibir kami pun semakin panas, aku sudah nggak ingat lagi bahwa yang sedang mencumbuiku ini bukanlah suamiku.
Aku semakin melayang dibawanya, sampai benar-benar nggak sadar kalau sekarang ini kancing bajuku sudah terbuka semua. Bahkan tangannya dengan lincah membuka pengait braku yang ada di belakang, dan menyingkapnya ke atas. Payudaraku kini terbuka tanpa penghalang di hadapan pria lain, dan bahkan aku sama sekali nggak bisa mencegahnya.
Badanku dimiringkan dan disandarkan ke tembok, dia berada di hadapanku kini. Bibirnya masih mencumbui bibirku, sementara kedua tangannya aktif meremas dan memilin dadaku. Dia menyingkap kerudungku, lalu lidahnya menyusuri sepanjang leherku dan sesekali menghisapnya, membuat tubuhku semakin menggelinjang.
“Aaahhh, paakh... jangaan dibuat tandaa... aahh,” ucapku.
Dia tak menjawab, tapi terus mencumbui leherku, kemudian turun ke pundakku. Sasaran berikutnya sudah pasti kedua bukit indahku. Dengan lembut dia mencumbui dadaku, dihisap dan dijilatinya putingku yang kemerahan itu, sesekali digigit kecil, membuatku makin keras mendesah, kurasakan kini kedua putingku sudah mengeras.
Tanganku sudah tak lagi menahan, kini malah memeluk tubuhnya. Aku tak kuasa menolak gelombang birahi yang diberikan oleh Pak Dede, aku justru menikmatinya. Otakku sudah dikuasai nafsu, entah kemana pertahananku selama ini larinya, sehingga aku hanya menurut begitu saja ketika baju dan braku diloloskan. Kini bagian atas tubuhku telah terbuka sepenuhnya.
Dia menatap wajahku sejenak, aku membalasnya dengan tatapan nanar dan nafas terengah-engah sambil menggelengkan kepala. Aku tahu ini nggak seharusnya terjadi, tapi belum sempat aku berbuat apapun, bibirnya sudah mengerjai dadaku lagi, membuatku tersentak dan kembali larut dalam birahi. Kepalaku terdongak, desahanku semakin keras terdengar, mataku terpejam.
Aku jadi meresapi setiap sentuhan bibir, lidah dan tangannya di kulit dadaku. Sentuhan-sentuhan yang mengirimkan sinyal ke seluruh tubuhku, membuat tubuhku semakin panas, semakin terbakar, sehingga membuatku menggelinjang tak karuan. Bibir itu sedang asik menghisapi puting merah mudaku bergantian, membuatnya semakin mengeras. Aku semakin terangsang, aku merasa semakin naik dan mendekati puncak.
“Aaahh, paakhh..., aahhh, akhuuuuu... ahhh...”
Namun saat aku mendekati puncak birahi akibat permainan jarinya di putingku, dia secara tiba-tiba menghentikan semua perbuatannya itu. Dia menarik kedua tangannya dan bibirnya dari tubuhku. Aku terbengong, nanggung sekali rasanya, padahal sebentar lagi aku akan mencapai klimaks.
Dia hanya tersenyum saja melihatku, lalu berkata, “Waktunya udah abis tuh, Ra, mau lanjut atau pulang?” tanyanya.
“Eh, kita pulang aja, pak,” jawabku, masih agak terbengong dengan nafas ngos-ngosan.
“Ya udah, kalau gitu pakai dulu bajumu,” kata Pak Dede dengan santainya.
Aku tersentak, baru aku menyadari keadaanku yang kini polos di bagian atas. Aku buru-buru memakai pakaian. Aku celingukan mencari dimana braku, ternyata sudah dibawa Pak Dede dan dimasukkan ke saku celananya.
“Ini buatku,” katanya dengan santai.
Aku yang sudah terlanjur malu langsung saja memakai bajuku tanpa bra lagi. Untung kain bajuku cukup tebal dan kerudungku agak lebar sehingga payudaraku bisa tertutup, nggak kelihatan kalau aku udah nggak pakai bra. Aneh sekali rasanya, karena belum pernah aku seperti ini.
Kulihat Pak Dede hanya tersenyum saja melihat kekikukanku. Dia terlihat santai sekali, seolah sudah biasa seperti ini. Dia nggak mengucapkan maaf, nggak ada penyesalan. Apa itu artinya dia memang sudah merencanakan ini semua, dari awal mengajakku kesini dia memang ingin menjamahku.
Setelah merapikan diri, kami pun berdiri hendak keluar dari ruangan ini. Tetapi sebelum membuka pintu dia kembali menarik dan memelukku, lalu menciumiku dengan ganasnya. Aku yang terkejut hanya membiarkan lidahnya sekali lagi bermain di dalam mulutku. Lidahnya menarik-narik lidahku, dan aku pun mulai meladeni permainannya.
Tangannya nggak mau diam, keduanya meremas pantatku dengan gemasnya, bahkan mulai menarik naik rok yang aku pakai, hingga kurasakan tangannya kini mengelusi pantatku yang hanya berbalut celana dalam. Aku berontak, tanganku berusaha meraih tangannya dan menurunkan kembali rokku. Namun justru salah satu tangannya beralih masuk ke sela bajuku dan dengan gerakan cepat sudah sampai di dadaku lagi.
Tangan itu segera meremasi dan memilin putingku. Aku tersentak, kewalahan menghadapi perbuatannya. Tangannya yang di pantatku malah ikut menelusup ke dalam celana dalam, dan langsung meremasinya. Tubuhku menggelinjang, aku ingin menolak tapi birahiku yang sempat padam kini naik lagi. Aku bahkan semakin panas membalas ciumannya.
Tubuhku disandarkan ke tembok, dia merapatkan tubuhnya ke tubuhku hingga dapat kurasakan ada benda keras di bawah sana, dan dia menggesekkannya. Aku semakin kehilangan akal sehat, birahiku kembali mengambil alih kesadaranku. Bahkan tanpa sadar pinggulku bergerak mengikuti gerakan pinggulnya. Saat aku mulai terbang ke awan, sekali lagi dia secara tiba-tiba menghentikan perbuatannya dan menarik cepat kedua tangannya dari tubuhku.
Aku kembali menatapnya. Nafasku terengah-engah. Dia kembali membuatku melayang lalu menghempaskannya lagi. Aku menatapnya dengan pandangan yang bertanya-tanya.
“Kenapa?” tanyanya.
“Apa dengan keempat temanku itu, bapak juga seperti ini?” tanyaku, yang hanya dijawab dengan anggukan.
“Kita lanjutkan lain kali,” ucapnya sambil mengecup keningku kemudian melepaskan pelukannya. Lalu dia menggandengku keluar dari ruangan ini.
Aku sangat jengkel dibuatnya. Jengkel karena dia sebagai atasanku sudah memperlakukanku seperti ini. Jengkel karena dia memang ingin menjamah tubuhku, ingin menaklukanku. Dan jengkel karena dia telah berhasil membuatku seperti ini tanpa aku bisa melawan dan menolak sama sekali. Terlebih, jengkel karena dia membuatku menggantung seperti ini, yang akhirnya malam itu kulampiaskan saat berhubungan intim dengan suamiku.
Aku heran dengan diriku sendiri, kenapa dengan mudahnya aku membiarkan orang lain menyentuh tubuhku, bahkan membiarkannya polos di hadapan orang lain. Aku nggak habis pikir, dia sudah berhasil membuatku pasrah seperti itu, tapi kenapa dia nggak melanjutkan lagi. Bukannya aku mau dijamah lebih jauh lagi. Aku hanya nggak mengerti kenapa dia seolah mempermainkan birahiku. Apakah kali ini dia kembali mengajakku ke tempat itu, untuk melanjutkannya? Apakah dia akan kembali menjamahku? Menjamah seluruh tubuhku?
Aku sebenarnya nggak mau lagi mengulanginya, karena aku sangat merasa bersalah kepada suamiku. Aku selama ini sangat menjaga tubuhku, belum pernah disentuh oleh lawan jenisku kecuali suamiku. Tapi dengan atasanku ini pertahananku mendadak runtuh, aku merasakan suatu yang lain, seperti sebuah sensasi tersendiri, yang malah membangkitkan gairahku.
Aku mulai melajukan kendaraan. Aku masih belum memutuskan, apakah aku akan langsung pulang ke rumah, atau mengikutinya, dimana itu artinya aku akan kembali membiarkan dia menjamahi tubuhku lebih jauh lagi. Apa yang aku lihat semalem antara dia dan Nadya membuatku berpikir, apakah dengan ketiga temanku yang lain, juga sudah sampai ke tahap itu? Kalau iya, apakah itu berarti akulah target selanjutnya?
Beberapa kilometer aku berjalan, tiba-tiba kulihat ada kerumunan di depan, tepat di sebuah tikungan tajam setelah jalan yang menurun. Ada apa ya? Sepertinya ada kecelakaan. Aku memperlambat laju kendaraanku. Semakin dekat, aku dapat melihat sebuah mobil yang ringsek bagian depannya menabrak pembatas jalan dan sebuah pohon besar.
Ketika hendak melewatinya, aku tersentak menyadari sesuatu dan langsung menepikan mobilku. Buru-buru aku keluar dan memastikan. Aku kenal mobil ini, tapi mungkinkah? Aku menanyakan kepada orang-orang di situ dimana pengemudi mobil itu, lalu mereka menunjuk ke arah dimana sesosok mayat penuh darah tengah dibaringkan dan ditutupi oleh daun pisang.
Dengan gemetar aku mendekati sosok itu, lalu perlahan aku buka daun pisang yang menutupinya. DEG! Ya Tuhan, ternyata benar, mayat ini, Pak Dede!

***

POV Safitri

Sudah beberapa hari ini aku tak tenang. Sejak aku melihat seseorang di mall waktu jalan-jalan bersama Andin dan ibu mertuaku. Seseorang yang sekilas mirip dengan Marto, orang yang telah menghancurkan kesetiaanku terhadap mendiang suamiku. Setahuku Marto sudah dimutasi jauh ke luar pulau, tapi kenapa tiba-tiba dia datang kembali kesini? Apa yang dia lakukan disini?
Seharusnya hal ini aku ceritakan kepada Pak Wijaya, tapi hingga detik ini aku belum berani menyampaikannya. Karena aku sendiri juga belum tahu pasti apakah orang itu Marto atau bukan, meskipun aku sangat yakin itu adalah dia. Aku masih belum berani untuk menemui Pak Wijaya. Sudah sekitar empat bulan ini aku belum disentuhnya lagi. Perguluman kami saat pesta pernikahan anaknya adalah yang terakhir.
Setelah itu belum pernah lagi kami bertemu secara private, setiap bertemu hanya di kantor dan itu pun saat sedang bekerja. Dia beberapa kali menghubungiku, tapi untuk menanyakan kabarku dan anakku saja, tidak pernah lagi memintaku datang untuk ‘menikmati’ tubuhku.
Situasi ini tentunya membuatku sedikit lega karena setiap bercinta dengannya, selalu muncul rasa bersalah dalam diriku, rasa bersalah kepada mendiang suamiku, anakku, dan juga kepada istri Pak Wijaya. Namun di sisi lain, sebagai wanita normal yang masih muda, terus terang aku merindukan sentuhannya di tubuhku. Akhirnya beberapa kali aku bermasturbasi untuk meredakan birahi, dan mungkin ini yang terbaik yang bisa aku lakukan.
Namun kemunculan orang yang mirip dengan Marto itu benar-benar membuatku tidak tenang. Dan aku merasa akhir-akhir ini aku selalu diawasi, baik saat sedang bekerja, atau saat aku berada di rumah. Mungkin ini hanya perasaanku saja, berkali-kali aku mencoba untuk berpikir positif, namun tetap saja intuisiku mengatakan aku sedang diikuti, sedang diawasi.
Perasaan itu akhir-akhir ini semakin kuat, terutama di malam hari saat aku sedang di rumah. Aku mulai meningkatkan kewaspadaan. Apabila Marto benar telah kembali ke sini, mencari dan membawa dendam kepadaku, itu artinya keluargaku bisa jadi dalam bahaya. Aku tidak mengenal Marto secara mendalam seperti apa dia sebenarnya, tapi Pak Wijaya pernah berkata kepadaku untuk berhati-hati karena Marto ini cukup berbahaya, tapi ketika kutanya lagi dia tak mau menjelaskan lebih lanjut.
Aku tak mengerti maksudnya, tapi yang jelas aku harus semakin berhati-hati, terutama dalam menjaga keluargaku. Aku tidak berharap sesuatu yang buruk akan menimpa kami. Hingga suatu malam ketika sedang tidur, tiba-tiba aku terbangun oleh suara aneh, seperti suara pintu yang ditutup cukup keras. Siapa yang tengah malam begini terbangun? Apakah mertuaku? Atau anakku?
Aku ingin memastikan, maka aku pun keluar dari kamar dan menuju kamar mereka berdua. Aku lihat keduanya masih tertidur lelap, seperti tidak terjadi apa-apa. Aku cukup lega, tapi tiba-tiba menjadi sangat khawatir; kalau mereka masih tertidur, lalu suara tadi, siapa yang menutup pintu sedangkan hanya kami bertiga yang ada di rumah ini?
Aku segera mengambil sebuah tongkat dan memeriksa keadaan rumah dengan sangat hati-hati. Aku mengendap-endap, memeriksa semua pintu, tapi masih dalam keadaan terkunci semua. Aku bingung, aku yakin sekali suara tadi berasal dari dalam rumah, apa ada yang masuk ke rumahku? Tapi semua pintu dan jendela yang menjadi akses masuk semua masih terkunci dan dalam kondisi baik.
Di tengah kebingungan, aku pun kembali ke kamar. Saat baru saja membuka pintu dan melangkahkan kaki masuk ke kamar, tiba-tiba sebuah benda dingin menempel di kepalaku. Aku tersentak, lalu menoleh ke arah benda itu. Betapa terkejutnya aku melihat seorang pria sedang menodongkan pistol ke kepalaku.
“Marto?” ucapku terkaget.
“Hallo, sayang, lama tak jumpa,” jawabnya sambil tersenyum.
“Gimana kamu bisa masuk? Apa mau kamu, hah?” tanyaku tanpa berani bergerak karena pistol itu masih tertempel di keningku.
“Aku kangen banget sama kamu, Fit. Kangen tubuh kamu, kangen memek sempit kamu, kangen ngentot sama kamu,” jawabnya menyeringai.
“Kamu sudah gila, Marto. Cepat keluar dari rumahku,” hardikku.
“Kamu ngomong gitu seolah kamu punya pilihan, Fit. Cepat kamu buang tongkat itu, dan segera layani aku malam ini!”
“Bajingan kamu, Marto, aku nggak sudi.”
“Haha... apa kamu nggak kangen sama kontolku, Fit? Dulu kamu begitu menikmatinya waktu kusodok memekmu.”
“Biadab kamu, Marto. Kamu udah ngejebak dan maksa aku, aku nggak pernah sudi melayanimu!”
“Aku nggak peduli, Fit. Tapi yang jelas malam ini kamu harus melayaniku, kalau kamu masih ingin anak dan mertuamu hidup!”
Aku gentar menghadapi ancaman Marto. Kalau aku yang kenapa-kenapa aku rela, tapi dia mengancam keselamatann keluargaku. Marto mengulangi sekali lagi perintahnya untuk membuang tongkatku, dan dengan terpaksa aku menurutinya. Dia pun tersenyum, lalu menyuruhku masuk menuju ranjang. Aku tak punya pilihan selain menurut.
Kini aku berdiri membelakangi Marto yang sudah menempelkan badannya di tubuhku. Dia mengelusi pundakku, hidungnya mengendus-endus bagian leher dan tengkuk, sungguh membuatku risih.
“Hmm... bau badan kamu, Fit, bau yang sangat aku rindukan selama setahun ini, selama aku dibuang oleh si keparat Wijaya.”
Aku semakin dibuat risih, dia mengendusi bagian leherku, bahkan sempat mengecupinya. Sementara aku hanya diam saja. Aku ingin melawan tapi aku tahu, ilmu beladiri pria ini jauh di atasku, terlebih dia sedang memegang pistol dan mengancam keselamatan keluargaku.
“Tubuh kamu belum berubah sepertinya, Fit, masih seindah saat terakhir kunikmati, haha,” ujarnya membuatku semakin bergidik.
“Nah sekarang, demi keselamatan mertua kamu, tolong dong buka baju tidur kamu. Celananya juga ya, sayang,” perintahnya padaku.
“Kumohon jangan, Marto, nanti anak dan mertuaku terbangun,” ujarku mencari alasan untuk menolaknya.
“Kamu tenang saja, mereka sudah aku kasih obat tidur tadi, nggak akan bangun sampai besok. Kita masih punya banyak waktu bersenang-senang, haha.”
“Biadab kamu, Marto,” ujarku penuh emosi.
“Hayo, tunggu apa lagi, sayang? Cepat sebelum terjadi sesuatu pada mertuamu!” perintahnya.
Aku tak punya pilihan, perlahan kubuka kancing piyamaku satu persatu hingga terlepas semua, lalu melepaskannya. Marto kini berpindah posisi duduk di ranjang di depanku, melihatku menelanjangi diri. Lalu dengan perlahan aku menarik turun celanaku. Kini aku berdiri di depannya hanya menggunakan pakaian dalam saja. Aku malu dan hendak menutupinya dengan kedua tangan, tapi dia mengisyaratkan agar tanganku jangan bergerak.
“Masih seperti yang dulu, tubuh kamu masih indah, Fit. Sekarang buka bra dan celana dalam kamu!”
Aku melihatnya memainkan pistol, membuat nyaliku semakin ciut, dengan terpaksa kulepaskan penutup dadaku. Selanjutnya dengan tangan gemetar aku menarik turun celana dalamku. Kini aku sudah telanjang sempurna di depan pria yang dulu pernah beberapa kali menggarap tubuhku.
Dia kemudian melepas kemeja yang dipakainya, membuatku bisa melihat badan tegapnya yang sekarang terlihat lebih berisi. Dia pun menyuruhku untuk mendekat. Aku melangkahkan kaki dengan ragu dan gemetar, tanpa berani menolaknya.
“Jongkok, Fit, keluarin kontolku!” perintahnya lagi.
Aku menuruti permintaannya. Aku buka celana dan celana dalamnya sehingga muncullah penis besarnya yang sudah setengah tegak itu. Aku menatapnya lekat. Penis ini lah penis pertama selain punya suamiku yang telah lancang memasuki liang kewanitaanku. Penis paling besar diantara tiga penis yang pernah mengaduk-aduk vaginaku.
Aku memandang wajah pria itu, lalu dia mengangguk, mengisyaratkan padaku untuk memanjakan penis besar itu. Tanganku bergerak, mulai mengocoknya perlahan, membuat penis itu semakin keras. Marto kemudian memegang bagian belakang kepalaku dan mengarahkannya mendekat ke arah penisnya.
Aku yang berada di bawah ancaman pistol Marto, menuruti begitu saja kemauannya. Kujilati penis besar itu, lalu kukulum dan kuhisap-hisap, meskipun tidak semua bisa masuk ke mulutku yang mungil. Aku yang sudah beberapa bulan tidak disentuh pria mulai merasakan perbedaan dalam diriku, gairahku mulai naik.
Namun tak lama kemudian Marto menarik tubuhku dan menghempaskan dengan kasar ke ranjang. Dia membuka kakiku dan memposisikan dirinya di selangkangan. Tanpa berlama-lama lagi dia langsung melesakan penis besar itu ke vaginaku yang masih sangat kering. Sakit sekali kurasakan, apalagi vaginaku selama empat bulan ini tidak pernah dimasuki benda apapun kecuali jari mungilku.
“Aaaaaaarrrggghhh... pelaan, Martooo, vaginaku masih kerriiingghhh.”
“Ouuhh... memek kamu enak banget, Fit, masih sempit, legit banget, aahhh...”
Marto terus memaju-mundurkan penisnya, membuatku semakin tersiksa. Memang sedari dulu begini Marto kalau menyetubuhi wanita, selalu kasar dan cenderung lebih suka melihat wanitanya menjerit kesakitan daripada kenikmatan, paling tidak itulah yang kudengar dari beberapa rekan kerjaku yang pernah berhubungan badan dengannya.
Tangan Marto meremasi buah dadaku dengan keras, membuatku semakin mengernyit menahan sakit. Sodokannya semakin cepat saja di vaginaku. Meskipun pernah disetubuhi oleh Marto sebelumnya, tapi itu sudah lama sekali, dan selama itu aku selalu diperlakukan dengan lembut oleh Pak Wijaya, sehingga perlakuan Marto ini seperti siksaan bagiku.
Vaginaku terasa perih setiap menerima gesekan kasar dari penisnya. Terlebih dia meremasi kedua payudaraku dengan kasar juga. Air mataku tak terbendung lagi. Dari mulutku hanya jeritan-jeritan pilu yang keluar. Aku berharap Marto benar soal obat tidur ke mertua dan anakku sehingga mereka tidak sampai terbangung mendengar jeritanku ini.
Tapi tak lama kemudian Marto mengendur, sodokannya diperlambat, remasan di dadaku juga tidak sekeras sebelumnya. Mataku terbuka melihatnya. Dia sedang tersenyum melihat wajahku. Kemudian mendekatkan wajahnya mencium bibirku. Aku yang awalnya terdiam mulai membalas ciuman itu saat kurasakan jemarinya memilin lembut puting payudaraku, membuatku merasa kegelian, namun nyaman dan sangat nikmat.
Belum pernah rasanya Marto melakukan selembut ini. Ciumannya makin panas, pun dengan ciumanku. Kami berpagutan, bertukar liur, saling membelitkan lidah masing-masing. Goyangan penisnya berubah, menjadi sangat pelan, menimbulkan sensasi di setiap gesekannya dengan dinding vaginaku yang mulai basah. Badanku mulai menikmati dan meresponnya, pinggulku bergerak mengikuti gerakan Marto.
Aku sangat menikmati persetubuhanku dengan Marto saat ini, sama sekali berbeda dengan yang dulu. Bahkan saat pertama kali dia menjebakku dengan obat perangsang, dia menyenggamaiku dengan kasar, membuat sekujur badan - terutama di selangkanganku - sakit. Persetubuhan-persetubuhan selanjutnya juga seperti itu, dia selalu menyetubuhiku dengan kasar. Tapi malam ini berbeda, dia memperlakukanku dengan sangat lembut meskipun sempat kasar di awal tadi.
Kini posisi kami berbalik, aku berada di atas tubuhnya. Kutumpukan kedua tanganku di dadanya, pinggulku bergerak perlahan, maju mundur, naik turun, dan berputar. Kombinasi gerakan-gerakan itu membuat Marto merem melek keenakan. Aku juga begitu menikmatinya hingga kupercepat gerakanku.
“Aahh... gila, Fit, kamu jago ngentot ternyata sekarang. Memek kamu nikmat banget, Fit.”
“Ahh... Too, penis kamu keras banget, aahh...” aku bahkan mulai mendesah keenakan.
“Kontol, Fit. Ayo bilang kontol.”
“Iyaa, ko-kontol kamuuh enaak banget, Too,” aku menurutinya, mengucapkan kata-kata kotor yang justru semakin menaikkan gairahku. “Aaahhh, aaahhhh, Too... aku keluaaaaarhhhhhh,” Badanku mengejang, melengkung ke depan menikmati orgasmeku.
Marto kemudian menyuruhku menungging, dan aku kembali hanya menurut saja. Dia menyodok vaginaku dari belakang, ooh ini sungguh nikmat. Dia melakukannya dengan lembut, membuatku bisa merasakan setiap inchi kenikmatan di liang vaginaku. Aku merespon dengan menggerakkan pinggulku maju mundur hingga tak lama kemudian aku kembali menjerit, kala orgasmeku datang lagi.
Marto membalikkan tubuhku, kini aku terlentang. Dia mengecup bibirku dengan lembut, menghisap bibir bawahku, lalu memainkan lidahnya mengajak lidahku keluar. Kami saling melumat saat kurasakan penisnya datang lagi, mendesak bibir kemaluanku yang sudah sangat becek ini, dan kembali menggoyangnya.
“Aaahh... Fit, aku kangen sekali sama memek kamu ini. Nikmat banget, Fit, aahh...” tak henti dia memuji organ intimku itu.
“Oosshh... kontol kamu jugaa enak, Too. Aaahh... memekku penuh, ahhh... aku udah mau nyampe lagi, Too. Terus goyangin,” aku makin meracau, bahkan meminta dia untuk terus menyetubuhiku.
“Aahh... tahan dulu, Fit, aku jugaa mau keluarr,” jawabnya.
Dia semakin mempercepat genjotan, aku pun mengimbanginya dengan goyangan pinggulku. Semakin cepat kurasakan hingga vaginaku berkedut, kurasakan juga penisnya mulai berkedut.
“Ooughh... Fit, aku mau keluaar, Fit.”
“Aaahh, aahh, Too... jangan di dala... aaahhhh,” belum selesai aku mengucapkan kalimat, sudah kurasakan cairan hangat dari penis Marto keluar sehingga membuat diriku pun mendapatkan orgasme yang dahsyat.
Terus terang ini adalah persetubuhan ternikmatku dengan Marto. Dia sangat berbeda malam ini. Aku bahkan masih memeluknya. Pria yang beberapa saat lalu menodongku dengan pistol, kini tengah telanjang menindihku yang juga telanjang, dan pria itu baru saja menumpahkan spermanya di dalam rahimku.
“Mas, kamu nggak akan apa-apain keluargaku kan?” tanyaku, dan sekarang dalam pelukan pria ini aku memangginya ‘mas’.
“Tenang aja, aku kesini bukan untuk menyakiti siapapun, mereka aman, pistol tadi juga sudah kukosongkan sebenarnya,” jawabnya.
Ah sial, aku tertipu, pistol itu ternyata tidak ada pelurunya. Aku menyesali diriku yang dengan gampang dibodohi dengan sebuah pistol kosong. Tapi sudah terlanjur, lagi pula malam ini aku bisa mendapatkan kepuasan yang beberapa bulan ini tak kudapat. Kurasakan penis Marto masih cukup keras di dalam vaginaku meskipun tadi sudah orgasme.
“Fit, masih sanggup? Aku mau lagi,” tanyanya.
Aku tak menjawab, hanya memalingkan wajahku tersipu, menyiratkan jawaban iya, menyiratkan keinginan untuk memulainya lagi. Aku juga rindu saat-saat seperti ini, dan aku hanya bisa pasrah saat seorang pria yang dulu sangat kubenci kini sedang membawaku terbang ke langit birahi.
Malam itu kami mengulangi persetubuhan beberapa kali hingga aku berkali-kali terpekik merasakan kenikmatan yang aku dapat. Dia menyetubuhiku dengan berbagai posisi, dan aku begitu menikmatinya. Kami baru berhenti menjelang subuh, saat aku sudah sangat lelah, tak mampu lagi mengikuti gerakan Marto. Terakhir dia menyemprotkan spermanya ke mulutku dan langsung kutelan habis.
Tak lama kemudian dia sudah memakai kembali pakaiannya. Dia melirikku sambil tersenyum dan segera pergi. Aku melihatnya dengan tersenyum. Aku dulu begitu benci padanya, tapi setelah malam ini, aku justru jadi merindukannya, merindukan sentuhannya di tiap inchi tubuhku.
Apakah aku harus memberitahukan kedatangan Marto kepada Pak Wijaya? Ataukah aku harus membiarkannya saja, membiarkannya memasuki rumahku di malam-malam lain dan membiarkannya menikmati tubuhku ini sepuasnya?
Kami belum banyak bicara, tapi aku punya firasat, kedatangan Marto di kota ini bukan hanya sekedar menemuiku. Pasti ada sesuatu yang hendak dia kerjakan, dan sepertinya itu sesuatu yang cukup besar. Semoga ini bukan hal buruk bagi kami semua, terlebih kepada Andin anakku dan mertuaku.

***

3rd POV

Misi selesai, target sudah lenyap.’
Great job, aman kan?’
Aman, saya bikin seperti kecelakaan.’
‘Bagus, kerjamu bagus. Terima kasih.’
Seorang pria tersenyum puas mendapati kabar bahwa misinya berhasil. Dia kembali memasukkan ponsel itu di sakunya. Hmm, jangan pernah bermain-main denganku, kalau sampai berani, selesai hidupmu, batin pria itu.

Author : Alan Smith

Tidak ada komentar:

Posting Komentar