Jumat, 03 Juni 2016

Ochi, Kakakku yang Seksi 11



Semenjak kejadian terakhir seminggu yang lalu, kak Ochi sepertinya agak kapok untuk keluar-keluar bugil lagi, sepertinya sih. Semoga kak Ochi memang tidak eksib lagi sendirian di luar sana tanpa sepengetahuanku.
Tapi tetap saja kebiasaan kakakku yang suka menjahiliku tidak pernah hilang. Seperti mengembalikan kegiatan normal harianku, yaitu memeluk kakakku seharian yang selalu diakhiri dengan menodai tubuh seksinya dengan pejuku.
Namun setelah beberapa kejadian yang kulalui sampai saat ini, fantasiku pada kakakku kini semakin nakal. Awalnya aku memang tak terima mengetahui kakakku diperlakukan tak senonoh oleh orang asing yang baru saja kami kenal, bagaimanapun ia adalah kakakku, dan aku sangat menyayanginya meskipun aku terobsesi pada kakakku sendiri.
Obesesiku pada kak Ochi kini semakin liar saja. Baik dengan pakaian sopan maupun pakaian minim, tetap saja pikiran kotorku selalu membayangkan yang tidak-tidak tentang kakakku. Apalagi selama ini aku belum pernah benar-benar melihat secara langsung apakah kakak benar-benar dicabuli dan berbuat yang tidak-tidak dengan mereka-mereka yang pernah bersama dengan kakakku.

Entah itu disengaja atau tidak, Kak Ochi jadi sering sekali berpakaian minim dan sembarangan kalau di rumah. Bahkan menerima tamu juga dengan pakaian yang sembarangan, hanya pada teman-temannya dan orang-orang komplek saja dia mau muncul dengan pakaian yang sopan dan berjilbab. Tapi kalau hanya ada aku, atau di depan teman-temanku, ataupun saat menerima tamu asing seperti peminta sumbangan atau pengantar makanan, kak Ochi selalu berpakaian minim dan mengumbar auratnya yang indah itu.
Setiap dia menerima tamu asing, pasti aku selalu dibikin deg-degan dan panas dingin. Tidak hanya aku tentunya, tetapi juga tamu itu sendiri. Siapa sih yang tidak dibikin berdebar jantungnya dan mupeng berat saat melihat penampilan kakakku yang seksi itu? Dari peminta sumbangan, pengantar makanan, sampai tukang nasi goreng pernah melihat betapa seksinya kakakku ini. Bahkan menurut penuturan kakakku, beberapa diantara mereka ada yang sempat mencicipi kenikmatan tubuh kakakku.
Walau tak terima, namun tak kupungkiri kalau aku sendiri jadi ngaceng setiap mendengar ceritanya itu, karena aku memang sering dari dulu berfantasi membayangkan kak Ochi yang cantik dan sopan di mata masyarakat itu mau dinodai oleh orang-orang seperti mereka.
Belakangan ini aku sendiri jadi suka membayangkan kakakku ketika bersama tukang ayam bakar, bapak-bapak yang pernah disenggol mobilnya yang entah sopir atau bukan, lalu tukang nasi goreng. Dan bayangan-bayangan itu selalu membuatku terangsang dan selalu merasa tak puas apabila hanya membayangkannya saja. Apakah aku memang ingin kakakku mengalami hal itu kembali?
Saat ini aku sedang asik-asiknya nonton tv, dan kakakku sedang ada di kamarnya yang entah sedang apa.
“Deek... nanti kasih tau kakak yah kalau ada temen kakak yang datang, dia mau ambil kardus pakaian bekas layak pakai buat disumbangin ke panti asuhan,” pinta kak Ochi padaku dari kamarnya.
Aku jadi ingat beberapa hari yang lalu kak Ochi memintaku untuk mengumpulkan pakaian bekas layak pakai dariku. Kak Ochi memang rajin mengikuti kegiatan bakti sosial bersama teman-teman kuliahnya dulu, seperti ke yayasan-yayasan panti asuhan untuk membantu memberi sumbangan kepada anak-anak yang terlantar dan butuh bantuan.
Tidak lama kemudian terdengar suara motor yang dilanjutkan dengan ada orang yang mengetuk pintu rumah sambil mengucapkan salam. Apa itu teman kak Ochi? Tapi dari suaranya sepertinya bukan. Suara pria tua!
“Kak, kayak ada yang datang tuh...” ujarku memberi tahu kak Ochi.
“Teman kakak yah, dek?” kak Ochi bertanya sambil melongokkan kepalanya keluar dari celah pintu kamarnya. Melihat rambut indahnya yang terjuntai indah itu, sepertinya kak Ochi baru akan memakai jilbabnya.
“Kayaknya bukan, kak... dari suaranya seperti orang tua, kak, mana langsung masuk pagar dan ketok pintu rumah lagi,
“Orang tua? Apa mungkin dari dari yayasan yah?”
“Aku atau kakak nih yang bukain pintu? Kakak aja yah..” tanyaku saat kak Ochi masuk lagi ke dalam kamarnya. Sepertinya mau bersiap-siap menerima tamu.
“Iya deh… kakak aja yang buka,” jawab kak Ochi dari dalam kamarnya.
Aku memang selalu berfantasi nakal pada kakakku yang cantik ini, jadi aku selalu membiarkan kak Ochi saja yang menerima tamu asing, namun diam-diam aku tetap selalu menjaga kakakku dari orang yang suka berbuat iseng pada kakakku.
Ketika kak Ochi keluar dari kamar, aku setengah terperanjat melihat busana yang dikenakan oleh kakakku. Kali ini kak Ochi menerima tamu yang entah siapa hanya dengan memakai kemeja. Kemeja putih lengan panjang, yang memang cukup dalam sampai menutupi pantatnya, namun paha putih mulusnya tetap terpampang bebas untuk dipandangi dengan leluasa. Tapi sepertinya kak Ochi tidak mengenakan apa-apa lagi di balik itu.
Dan benar saja! Cuma kemeja putih itu saja yang ia kenakan! Kemeja yang bahkan hampir transparant! Aku yang gak tahan melihat pemandangan menggoda itu otongku langsung menegang keras, jadi pengen onani saat itu juga.
Aku akhirnya hanya mengintip dari kejauhan sambil membayangkan hal yang tidak-tidak pada kak Ochi.
“Eehh… non Ochi?” ujar bapak peminta sumbangan itu terlihat sumringah saat kak Ochi membukakan pintu. Aku seperti ingat sebelumnya siapa peminta sumbangan itu..
“Eh.. Pak Amin, apa kabar?” sambil menjabat tangannya, kak Ochi tersenyum sangat manis. Ternyata lelaki itu adalah Pak Amin! Orang yang dulu pernah minta sumbangan ke rumah. Mau apa lagi dia ke sini!?
“Silahkan masuk dulu, Pak… duduk dulu,” ajak kak Ochi ramah kemudian. Lagi-lagi dia mengajak orang yang tidak jelas masuk ke dalam rumah. Ampun deh kakakku ini.
Aku lihat Pak Amin terus menatap tubuh kak Ochi dengan leluasa, tidak seperti dulu yang hanya dibatasi pagar rumahku. Tentunya dengan pandangan mupeng penuh nafsu. Kuyakin Kak Ochi sadar kalau dia sedang dipandangi cabul oleh pria tua lusuh itu, tapi dia malah berlagak cuek. Posisi duduk kak Ochi agak miring sehingga paha mulusnyalah yang terpampang bebas di hadapan pak Amin.
“Makasih ya non sebelumnya untuk niat non mau bantuin pondok panti asuhan di tempat saya, hehe..” sambil cengengesan matanya kulihat tak berhenti jelalatan melihat kakakku.
“Sama-sama,Pak, biasa aja kok,
Ternyata pak Amin ini adalah salah satu pengurus pondokan panti yang dikunjungi kak Ochi beserta teman-temannya waktu itu dalam sebuah acara amal!
“Tapiii.. kok non Ochi gak pake jilbab? Terus pakaiannya ini…” kata Pak Amin sambil menelan ludah. Aku rasa pak Amin mulai sadar kalau kak Ochi tidak memakai apapun lagi di balik kemeja itu.
Aku yang melihat dari jauh saja bisa langsung tahu kalau kak Ochi tidak memakai apapun lagi di baliknya, apalagi oleh Pak Amin yang tepat duduk di depannya.
“Begini gimana sih, Pak?” tanya kak Ochi pura-pura tidak mengerti.
“Itu… bajunya… terbuka gitu… auratnya nampak lho…”
“Hmm… kan di rumah aja, pak… lagian cuacanya panas banget,” jawab kak Ochi santai.
“Ohhh… gitu, iya juga yah, non... gerah nih, hehe..” ujar pak Amin magut-magut namun matanya tetap terus memandangi tubuh kakakku ini, terutama pahanya.
Aku yang melihat pemandangan ini jadi semakin panas dingin. Kakakku yang cantik bening putih mulus dengan pakaian minim sedang bersama pria tua lusuh. Sungguh kombinasi pemandangan yang bikin darah berdesir. Aku jadi berpikir jorok seandainya pria tua itu kini yang ngentotin kak Ochi. Menggenjotnya dengan liar sampai menumpahkan pejunya di dalam memek kak Ochi.
“Emang kenapa, pak, dengan pakaian saya?” tanya kak Ochi menyadarkan lamunan mesum pak Amin, juga lamunan mesumku.
“Eh, nggak… cuma kan waktu itu non ke tempat kami pake jilbab, baju non Ochi waktu itu sopan banget” jawab pak Amin seperti sengaja mengarahkan kak Ochi.
Ya, waktu itu tentu saja kak Ochi berpakaian sopan lengkap dengan jilbabnya, berbanding terbalik dengan saat ini yang hanya memakai kemeja putih tipis, setelan yang sangat memamerkan aurat.
Aku hanya bisa membayangkan apa isi kepala orang ini setiap kali bertemu dengan kakakku. Apakah acara yang bersifat amal untuk ibadah itu mampu membersihkan isi kepala yang sudah kotor semenjak bertemu kak Ochi dari balik pagar itu? Rasanya tak mungkin, apalagi melihat posisi duduknya sekarang yang sudah seperti orang tak nyaman lagi, entah apa yang mengganjal di bawah sana.
“Hihihi… Tapi tetap cantik kan, pak?” tanya kak Ochi malah menggoda bapak itu.
“Cantik dong… malah lebih cantik begini, hehehe,
“Huuu… Pak Amin ini bisa aja,
“Emang di rumah gak ada orang ya, non?” tanya pak Amin.
“Ada kok, ada adeknya Ochi di rumah,
“Terus emang adeknya non gak risih lihat kakaknya pakai baju seperti ini? Adeknya non cowok bukan?”
“Iya… adek saya cowok, Pak… masak risih segala? Kan kakak sendiri, hihihi… kalau gak percaya, tanya aja sendiri.“ jawab kak Ochi sambil tertawa renyah, kemudian tiba-tiba kak Ochi memanggilku. “Deeeek, sini deeh..”  
Duh, kak Ochi ini, ngapain sih manggil aku segala!? Aku yang bingung kenapa dipanggil akhirnya keluar juga menemui mereka. Aku lalu bersalaman dengan pak Amin dan duduk bersama mereka di sana.
“Itu… emm… kamu beneran gak masalah lihat kakakmu pake baju kayak gini?” tanya Pak Amin benar-benar menanyakan hal itu padaku.
“Ng-nggak sih, Pak…”
“Emang kamu gak nafsu? Hayo, jawabnya yang jujur…” tanya Pak Amin lagi seperti mengintrogasiku. Dia sepertinya penasaran apakah aku punya nafsu atau tidak terhadap kakak kandungku sendiri.
“Nafsu sih… hehehe,” jawabku apa adanya mengingat dia orang asing yang bukan dari daerah sini sehingga aku tidak peduli, karena aku memang benar-benar sedang bernafsu melihat kakakku sendiri.
Mendengar jawabanku, kak Ochi langsung mencubit gemas perutku. “Dasar kamu ini… jangan bilang kalau burungmu ngaceng sekarang!?” ucap kak Ochi dengan wajah pura-pura kesal.
“Emang ngaceng kok, kak…” kataku makin berani yang dibalas lagi dengan cubitannya. Bahkan seperti tak bisa kutahan lagi, aku kembali nyerocos.. “Kakak sih pake baju begitu… mana tahan coba, aku kan cowok tulen juga. Kak Ochi udah cantik kayak bidadari, imut, bening, terus pakai baju kayak gitu. Siapa yang gak nafsu coba? Iya kan, pak?” kataku sengaja menanyakan pendapat pak Amin.
“Eh, i-iya… tuh kan, Non Ochi, adek non Ochi ternyata nafsu lho sama non, hehe.” ujar Pak Amin.
“Tau nih,pak, saya juga baru tahu, hihihi… beneran, dek? Berarti kamu sering dong ngayal yang jorok-jorok tentang kakak?” tanya kak Ochi padaku.
“Se-sering,kak…” jawabku agak malu. Aku tidak menyangka kak Ochi akan bertanya seperti itu di depan orang lain, namun kujawab saja.
“Kamu ini… emang ngayal apa aja?” tanya kak Ochi lagi seolah mengarahkanku, tapi seperti kesempatan buatku inilah saatnya aku mengungkapkan lagi keinginan terdalamku, yang bedanya kali ini di depan orang asing.
“Ummm… ngayal bisa ngentot dengan kakak…”
“Hah? Adeeek!! Kita itu saudara kandung tahu… masak kakak dientotin sama adek sendiri sih? Hihihi, mesum! Terus apa lagi, dek? Itu aja?” tanya kak Ochi yang sepertinya juga sangat tertarik dengan semua khayalan jorokku padanya. Dia sepertinya tidak malu lagi bertanya seperti itu padaku di depan tamu itu. Entah apa yang membuatnya begitu.
“Masih ada lagi, kak…”
“Apa tuh,dek? Keluarin aja semua khayalanmu tentang kakak, kakak pengen dengar loh… Kamu pengen kakak dibobo’in sama siapa aja yah?”
Duuuhh… mendengar perkataannya itu sungguh membuat aku jadi panas dingin. Kenakalan dan kenekatan kakak sepertinya muncul lagi. Sungguh pertanyaan yang tidak pantas dari seorang kakak pada adeknya. Tapi dengan kondisi pikiranku yang sudah kotor dari kemarin-kemarin akhirnya kuutarakan juga semua fantasi liarku padanya.
“Aku juga sering ngebayangin kakak waktu sama tukang ayam bakar, bapak-bapak yang bawa kak Ochi sampai malam, juga tukang nasi goreng waktu itu..” jawabku dengan suara pelan mengungkapkan semuanya.
“Ya ampun,dek…. Masih penasaran yah, adek? Hihihi... Berarti barusan ini kamu ngayalin kakak digituin Pak Amin juga dong?” tanya kak Ochi menebak sambil melirik ke arah pak Amin. Terang saja pak Amin jadi salah tingkah dan menelan ludah.
“I-iya,kak…” jawabku malu karena isi pikiranku ketahuan olehnya.
“Emang kalau kejadian beneran, kamu mau ngelihatnya, dek?” tanya kak Ochi dengan lirikan nakal yang membuat aku berdebar mendengarnya.
“M..maksudnya, kak?”
“Iya, kalau kakak akhirnya beneran di-en-tot-tin Pak Amin, kamu pengen lihat?” tanya kak Ochi dengan nada suara lirih menggoda, bikin penisku makin ngaceng saja dibuatnya. Kulihat Pak Amin juga terkejut dan terdiam saja mendengar ucapan kakakku barusan.
“Ga-gak tahu deh, kak…” Aku memang tidak tahu apa yang akan kulakukan jika hal itu akhirnya betul-betul terjadi.
Di satu sisi tentunya aku tidak rela, dia kakak kandungku sendiri, masa dentotin orang lain seenaknya di hadapanku. Namun di sisi lain itu merupakan imajinasi liarku terhadap kak Ochi dan aku sungguh penasaran ingin melihatnya.
“Ngomong-ngomong, Non Ochi kapan main main ke panti lagi… anak-anak pada kangen lho… hehe,” tanya Pak Amin mencoba mendinginkan suasana.
“Ochi juga kangen, Pak… apalagi sama Romi, Dodi, Budi dan Gito, hihihi,” ujar kak Ochi. Kok nama-nama yang disebut kak Ochi cowok semua sih?
“Iya… Non Ochi sih cantik banget, baik lagi. Terang saja mereka kangen…”
“Hmm… bulan depan deh..” tawar kak Ochi.
“Waaaah… silahkan banget, non, anak-anak pasti senang banget non Ochi datang lagi. Nginap aja sekalian, non…”
“Nginap? Ngg…. boleh deh…”
“Wah, gak sabar saya, eh… maksudnya anak-anak, hehe.
“Gak sabar kenapa, Pak?”
“Eh, nggak,non…hehe.” Pak Amin hanya cengengesan mesum.
“Oh iya,Pak, bentar yah… Ochi mau siapin uang dan pakaian yang buat disumbangin…”
“Ooh, silakan, non… kirain yang di depan mata yang mau disumbangin, hehe..”
“Iiihh, adeeek... Pak Amin mulai deh... Hihihi... bentar yah...” kata kak Ochi bangkit dengan sedikit hati-hai agar vaginanya tidak terbuka dan terlihat oleh kami berdua, gayanya itu bikin aku gemas.
Tapi tunggu, dia sepertinya lebih berusaha menutupi vaginanya dari pandanganku daripada menutupi vaginanya dari pandangan Pak Amin. Kulihat tadi pak Amin meneguk ludah saat melihat ke arah selangkangan kak Ochi. Kakakku sendiri sepertinya tidak ambil pusing dengan pandangan pria tua itu. Seperti sudah niat banget bikin pria itu pusing atas bawah.
Kak Ochi lalu menuju ke dalam kamarnya untuk mengambil duit. Dia kembali tidak lama kemudian dengan membawa amplop yang sepertinya berisi uang.
“Dek, kakak minta tolong donk beliin cemilan dan minuman, masa tamu gak dikasih apa-apa.” suruh kak Ochi sambil menyerahkan uang itu padaku.
“Lha, kok aku sih, kak?”
“Terus? Masak kakak sih yang pergi pake baju kayak gini? Buruan gih sana…” suruhnya lagi.
Aku pun terpaksa menuruti. Dengan buru-buru aku segera ke minimarket. Aku tidak ingin membiarkan kakakku yang cantik sendirian bersama pria itu di rumah.
Tapi sial banget, minimarket ini sedang rame-ramenya. Mungkin ada sekitar 15 menit sejak aku pergi tadi sampai balik ke rumah lagi. Tapi untungnya aku tak bertemu dengan penjaga kasir malam itu, di mana untuk pertama kalinya aku dan kak Ochi mengutil kaos demi menyelamatkannya dari kumpulan orang-orang bermotor. Tapi tetap saja akhirnya jatuh ke pelukan tukang nasi goreng, huh!
Aku terkejut saat aku pulang tidak menemukan kak Ochi dan pak Amin di ruang tamu. Aku panik, dan dadaku berdebar kencang. Kemana mereka? Melihat kardus pakaian yang akan disumbangkan masih tergeletak di lantai, berarti Pak Amin masih ada di dalam rumah ini. Nafasku semakin tercekat saat melihat kemeja putih yang dikenakan kak Ochi tadi tergeletak sembarangan di lantai.
Apa kak Ochi tidak memakai apa-apa sekarang? Apa dia telanjang? Sejak kapan dia membuka kemejanya itu? Tapi masalahnya dia ada dimana sekarang? Akupun langsung mencari ke dalam rumah.
“Kaaaaak? Dimana sih?” teriakku memanggilnya.
“Di sini,dek, di dalam kamar mandi..”
“Kak.. kardusnya masih di ruang tengah, Pak Aminnya dimana?”
“Ummm... ini kakak lagi sama Pak Amin di dalam, dek….” sahut kak Ochi yang bagai halilintar di kupingku. Badanku langsung lemas mendengarnya, tapi tak lama penisku malah langsung ngaceng maksimal. Benarkah Pak Amin bersama kak Ochi di dalam sana?
“Kaak!”
“....” tak ada jawaban di dalam sana.
Apa yang terjadi di dalam? Apakah akhirnya aku akan melihat semua ini? di depan mataku sendiri bahwa kakakku benar-benar dientotin orang-orang asing seperti yang aku bayangkan selama ini?
“Ngapain sih, kak, di dalam kamar mandi berdua?” tanyaku dari balik pintu kamar mandi. Perasaanku sungguh campur aduk saat itu, antara bingung, cemas, sakit hati, dan horni. Kakak kandungku yang cantik bening sedang berduaan dengan pria tua lusuh di dalam kamar mandi!
“Gak tahu nih, Pak Amin…. waktu kamu pergi tadi, dia langsung nyerang kakak. Nakal banget nggak sih, dek? Kamu marahin gih…” jawab kak Ochi seakan tidak bersalah, padahal tingkah lakunya itu yang membuat pria manapun akan khilaf untuk menikmati tubuh binalnya.
 Ternyata walaupun kakakku ini selalu memakai jilbab kalau keluar rumah, tapi kelakukannya seperti lonte. Bahkan lonte saja dibayar. Ugh, aku sebagai adeknya sendiri dibikin mupeng berat karena ulahnya ini. Kak Ochi binaaaaal!
“Dek Fadel…. kakakmu yang nakal banget ini udah bikin bapak nafsu. Jadi boleh kan bapak hukum?” tanya Pak Amin padaku.
“Eh, i-itu…” aku tidak tahu menjawab apa. Sebagai seorang adek tentunya aku harus melindungi kakak perempuanku, tapi untuk kali ini nafsuku mengalahkan logika. Aku membiarkan kakakku diberi pelajaran karena perbuatan nakalnya itu.
“Terserah bapak deh,” jawabku pasrah.
“Adeeeeeeekkk…. kamu jahat…. huuuu… huuu…” ucap kak Ochi merengek, tapi selanjutnya malah terdengar suara kak Ochi menjerit manja, “Kyaaaaaaaaaa……. Paaaaaak, ampuuuun!! Hihihi...” diiringi suara benturan pintu pada kamar mandi. Seperti suara seseorang didorong sampai menubruk dan tetap bersandar pada pintu itu.
Aku hanya bisa membayangkan Pak Amin yang mendorong kak Ochi sampai menempel ke pintu kamar mandi, lalu dari suara pintu yang terdorong berkali-kali sepertinya bandot tua itu menggenjot kakakku dengan liar. Tepat di balik pintu itu ada aku, adeknya yang hanya bisa membayangkan persetubuhan mereka di dalam sana.
“Kak….” panggilku sedikit cemas, karena tampaknya kakakku betul-betul digenjot dengan liarnya oleh Pak Amin. Hentakan pintu kamar mandi kami sampai berdebam kencang.
Terdengar suara kak Ochi, “Deeekkkk… kakakmu sedang dientotin, dek…. sshhh…. Kakak kandungmu… dientotin sama peminta sumbangan… sssshhh….”
Mendengar omongannya itu, aku kini malah mengocok penisku. Aku hanya bisa mengocoknya sambil membayangkan apa yang sedang terjadi di balik pintu ini. Aku tidak menyangka kalau kak Ochi memang nakal seperti ini. Berarti cerita-cerita kak Ochi selama ini benar adanya. Hatiku semakin sakit, tapi kenapa aku juga semakin horni dibuatnya!? Sialan.
“Ughhh… kak Ochi nakal…” erangku. Namun akhirnya aku memilih untuk menikmatinya saja, toh ini memang fantasiku dari dulu, meskipun aku masih tidak menyangka kalau ini benar-benar terjadi.
“Iyaaahhh…. Kakakmu ini nakal, dek… aaahhh…. kamu suka, dek? Kamu lagi onani ya sekarang?” tanya kak Ochi menebak dengan suara manja terengah-engah.
“Iya, kak, aku lagi onani… kak, aku pengen lihat boleh?”
“Ngghh… lihat apa, dek?”
“Lihat kak Ochi dientotin sama Pak Amin,
“Jangan,dek… gak boleh… masak kamu lihat kakak sendiri ngentot sih? Kamu onani sambil bayangin kakak aja yah… nggghhhh… Pak… pelan-pelan… sshhh..
“Ughh…. Kak… aku pengen lihat nih…”
“Gak boleh… ngghh… Pak Amiiiinn…. genjot Ochi yang kencang, pak… biar adeknya Ochi makin enak ngebayanginnya…” suruh kak Ochi pada pak Amin.
“Eeegghh.. iya, non Ochi…. bapak hantam yang kuat yah, nih!” kata pak Amin.
“Plak plak plak!” terdengar suara peraduan kulit yang semakin keras.
“Ahhh… kakak jahat! Dasar kakak perempuan nakal!” racauku sambil mempercepat kocokan.
“Iya…. kakakmu perempuan nakal, dek…. kamu bayangin yah, dek… kakakmu yang keseharian berpakaian sopan... dan berjilbab... lagi dientotin sekarang... sama pria tua gak jelas… Deeeekkk… bayangin, dek… bayangin… enggggghhh!!” erang kak Ochi.
Aku sungguh tidak kuat mendengar omongan kakakku. Persetubuhan mereka juga sungguh sangat heboh. Belum pernah aku merasakan seperti ini sebelumnya. Tanganku juga semakin cepat mengocok penisku. Sepertinya sebentar lagi aku akan muncrat.
“Kak Ochi…. Aku pengen muncrat nih…” teriakku.
“Bapak juga, dek Fadel…” malah pak Amin yang menyahut.
“Ya sudah,berengan aja yah kalian muncratnya… Pak Amin keluarin di vagina Ochi, tapi adek keluarin di pintu aja yah, dek… gak apa kan, dek?” ujar kak Ochi yang tentu saja aku tidak terima.
“Yah… kak, aku juga pengen muncrat di dalam memek kakak…” rengekku.
“Hihihi… Jangan dong, dek… ntar kakak bisa hamil anak kamu. Masa kakak dihamili adek sendiri? Gak boleh ya, adekku sayang…” tolak kak Ochi.
Jadi dia lebih memilih sperma pak Amin untuk memasuki rahimnya? Pria tua yang tidak jelas itu? “Agghhh…. kak Ochi nakal… kak Ochi lontee!” teriakku yang hanya disambut desahan olehnya.
Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka sedikit, kak Ochi mengeluarkan kepalanya. Tubuh telanjangnya masih tertutup pintu, begitu juga tubuh pak Amin yang sepertinya masih menggenjot tubuh kakakku dengan kasarnya, terlihat dari guncangan-guncangan tubuh kakak.
“Gini aja yah, dek? Cukup kan?” ujar kak Ochi.
Ahhhhh… kak Ochi rese, aku cuma kebagian ngelihat wajahnya saja sedangkan pria tua itu dapat dengan nikmatnya dapat melihat seluruh tubuh bugil kak Ochi, bahkan menghujam vagina kakak kandungku yang cantik ini.
Tubuh kak Ochi terhentak-hentak dengan hebatnya, tapi dia masih saja berusaha tersenyum padaku, bikin aku tambah horni dan semakin tidak tahan saja. Tampak wajah kakakku memerah dan mandi keringat. Di mulut, pipi, bahkan mungkin seluruh wajah kak Ochi juga ada banyak cairan bening yang sepertinya adalah liur pak Amin yang menambah kilapan cantik pada wajah kak Ochi.
“Ngghhh… kak… aku keluar!“
“Iya, deeek… keluarin aja…”
“Bapak juga pengen muncrat, non Ochi… terima nih peju... bapak bikin hamil lo!” erang pak Amin. Kak Ochi juga mengerang manja. Dan…
“Croooooooootttttt” tumpahlah pejuku di hadapan kak Ochi.
Di balik sana, pak Amin juga sepertinya sedang memindahkan benihnya ke rahim kakakku. Terlihat dari tubuh kakak yang sedikit terdorong ke depan seolah ingin menghujamkan sampai mentok ke mulut rahim kakakku. Aku tidak dapat membayangkan kalau akhirnya nanti kak Ochi bakal hamil, hamil anaknya pria tua lusuh ini.
Aku yang terengah-engah kecapean akhirnya mundur dan duduk di kursi di belakangku.
“Udah kan,dek… enak?” tanya kak Ochi dengan senyum manis padaku.
“I-iya,kak, enak…” Sial! Kenapa aku menikmati ini semua!?
Tiba-tiba pak Amin melongokkan kepalanya dan mencium bibir kak Ochi, lalu berkata padaku, “Enak ya, dek Fadel? Bapak juga enak… nih kontol bapak masih nancap di memeknya kakak kamu… kayaknya bakal bisa satu ronde lagi deh… boleh kan dek Fadel, kalau bapak entotin kakakmu sekali lagi?”
“Boleh nggak, dek? Kakakmu mau dientotin sekali lagi nih…. Tapi kamu udahan kan yah? Jadi pintunya kakak tutup lagi yah, dek… hihihi.
Aku hanya diam tidak berkata. Tenagaku sudah habis. Sungguh kakakku ini nakal banget.
Pintu pun tertutup rapat dan mereka melanjutkan ngentot-ngentotan lagi di dalam kamar mandi. Bahkan lebih heboh dari yang sebelumnya. Suara kak Ochi yang mengerang-ngerang dan menjerit manja akan kenikmatan sungguh terdengar sangat erotis.

Setengah jam kemudian, akhirnya kak Ochi dan Pak Amin keluar dari kamar mandi. Kak Ochi terlihat sangat segar. Rambut basahnya tergerai dengan indahnya. Dia keluar dengan menutup tubuh basahnya dengan handuk, seakan masih saja menggodaku dengan sengaja membatasi pandanganku pada tubuhnya walau sehari-hari aku cukup sering melihatnya bertelanjang di rumah. Padahal di kamar mandi dengan pria tua yang entah siapa, dia mau saja bertelanjang bulat membuka semua auratnya, sampai entot-entotan pula. Bikin kesal aja nih kak Ochi, tapi juga bikin aku horni berat.
“Kak, buka dong handuknya… masak sama adek sendiri tega…” kataku memelas ingin juga melihat kakakku ini polos di hadapanku.
“Hmm? Kamu pengen lihat kakak bugil, dek?”
Iya, kak…. pengen banget,” kataku lagi, dia hanya senyum-senyum manis padaku.
“Ntar aja ya, dek… Pak Amin, bantu Ochi pilih baju dong ke kamar…” ajak kak Ochi pada Pak Amin.
Sialan banget, malah ngajak Pak Amin, enak bener tua bangka sialan itu. Aku ingin memprotes, tapi mereka sudah keburu masuk ke dalam kamar, lalu menutup pintu. Hanya terdengar suara cekikikan kak Ochi setelahnya. Sepertinya tubuh kakakku sedang digerepe-gerepe oleh Pak Amin dengan leluasa dan sebebas-bebasnya di dalam sana. Atau mereka sedang ngentot lagi? Ugh… Kak Ochi…
Ternyata setelah beberapa menit akhirnya kak Ochi keluar bersama pria tua itu. Kak Ochi memakai setelan yang baru dibelinya 3 hari lalu dan baru pertama kali ini dipakai. Kemeja pink lengan panjang, rok panjang, lengkap dengan jilbab putihnya. Kak Ochi terlihat begitu cantik dan seks meski pakaiannya terbilang sopan dan tertutup. Sungguh berbeda dengan penampilannya sebelum mandi yang sangat terbuka dan mengumbar aurat. Kak Ochi sekarang juga memakai harum-haruman yang membuat pria-pria semakin klepek-klepek padanya. Tapi melihat penampilan seperti ini apakah kakak mau keluar?
“Mau keluar yah, kak?” tanyaku agak lemas.
“Ummm... menurut adek?” jawab kak Ochi cuek sambil berkaca di depan cermin, memastikan kalau penampilannya sudah cantik.
Kakak itu sudah cantik banget kok, kak… gak perlu bercermin segala orang-orang udah tahu, ucap batinku agak sedih. Sudah ditinggal ngentot, kini akan ditinggal pergi.
“Ya udah,ati-ati aja di jalan...” jawabku seakan juga tak peduli padanya walau aku ingin rasanya menemaninya terus setiap waktu.
“Hihihi... adek tuh yaaa, digodain aja udah menyun kayak gitu... emang gak boleh kakaknya tampil cantik buat adeknya di rumah?” jawab kak Ochi sambil tersenyum imut mengerling padaku.
“Uuuhh, kakaak...” jawabku pura-pura merajuk, padahal mendengarnya saja membuat badan ini menjadi terasa hangat. Ternyata kakak tidak akan pergi kemana-mana. Kak Ochi bagaimana pun juga tak pernah melupakanku sama sekali. Aku makin sayang padanya, walau aku masih sedikit kesal karena mau-mauan aja digagahi orang macam Pak Amin.
Selesai Pak Amin mengangkut kardus berisi pakaian bekas itu, ia mohon pamit pada kami berdua. “Yuk mari, non, dek Fadel... bapak pamit dulu yak..”
“Iya, Pak Amin, hati-hati di jalan yah...”
“Jangan lupa yah, non, janjinya, hehehe... ditungguin lho sama anak-anak di sana..”
“Iya, nanti Ochi sempetin deh,
“Kasihan anak-anak di sana, katanya udah pada ngebet pengen ketemu non... pada udah gak tahan, hehehe...” sambil bawa kardus itu ia cengengesan, entah apa yang dia maksudkan, tapi pasti hal mesum.
“Denger gak tuh, dek? Emang pada ngebet ngapain sih, Pak Amin? hihihi...”
“Ngebet mau disumbangin lagi sama non Ochi, hahaha!” tawanya yang lepas memperlihatkan gigi-giginya yang menguning dan penuh plak hitam. Tak terbayang seperti apa bau mulutnya. Entah bagaimana kak Ochi bisa tahan dicium orang seperti itu.
“Ya udah,bapak hati-hati di jalan ya, kakak saya mau istirahat dulu deh kayaknya..” potongku sambil menutup pagar dan meninggalkannya masuk ke dalam rumah.
Sepeninggalnya orang bejat itu, aku melihat kak Ochi sedang duduk melihat tv di ruang tengah. Melihat kakakku mengenakan pakaian tertutup itu malah semakin menambah kecantikannya dan membangkitkan birahi dalam diriku. Apalagi kini hanya tinggal aku berdua dengan kakakku di rumah. Belum apa-apa penisku sudah memberontak hebat.
“Adeeek... ngapain sih liat-liat kakak kayak gitu?”
“Kakak cantik siih..”
“Hihihi, gombal iih adek nih... terus apalagi?”
“Kak Ochi juga seksi...”
“Ooh, gituu? Kalo seksi memang kenapa, dek?”
“Anu, kak.. rasanya adek pengennn...”
Belum selesai aku mengucapkan lanjutannya tiba-tiba hape di kantongku berbunyi. Seperti mengganggu di waktu yang tepat, aku buru-buru membuka supaya aku bisa kembali ke urusan yang telah kunanti-nantikan ini, yaitu berduaan dengan kakakku. Berharap bisa mendapatkan perentotan yang kuinginkan sejak lama.
‘Bro... kapan nih kita bisa main PS lagi kerumah lo, bro.. ajak kakak lo sekalian maen biar rame yak, hehe..’ bunyi pesan itu.
“Siapa,dek?”
“Eehh.. bukan siapa-siapa, kakakku yang cantik, hehehe..” jawabku tak nyaman karena gangguan ini yang sekejap bisa membuat otongku lemas.
“Ooh.. ya udah deh, kakak tidur dulu yah..”
“Loh! Kok tidur, kak? Aku kan masi kentang,kaak?”
“Sini, biar kakak rebus kalo kamu kentang, hihihi...”
“Uuuhh, kakak.. aku beneran kentang juga, malah dibecandain..”
“Makanyaaa, sini adek kakak rebus biar kepanasan, gak mau kakak bikin panas? Hihihi..”
“Hah? Eh, mau deh, kak. Mau ampe adek kepanasan, mau kaak!” jeritku menyerbu ke arah kakakku.

Author : jonysambel

Tidak ada komentar:

Posting Komentar