Sabtu, 28 Mei 2016

Tutur Tinular 6



Hak cipta © Buanergis Muryono & S.Tidjab

Luka-luka Arya Kamandanu sudah agak sembuh karena perawatan Bibi Rongkot yang tekun dan cermat. Wanita tua yang sabar itu telah mengobatinya dengan ramuan dedaunan yang ditumbuk halus, lalu diborehkan ke atas luka.
Pagi itu Arya Kamandanu sudah bangun dan tampak lebih segar. Baru saja dia menyelesaikan sarapan bubur santan, Arya Dwipangga menghampirinya dan duduk di sebelahnya dengan sikap hati-hati.
"Adi Kamandanu, kelihatannya gadis Manguntur itu amat berkesan di hatimu."
"Bagaimana kau tahu?"
"Tentu saja aku tahu. Bi Rongkot juga mendengar ketika kau mengigau, memanggil-manggil nama gadis itu."
Arya Kamandanu tidak segera menjawab. Ia lirik kakaknya dengan kesal. Ia hirup udara serasa berat sekalipun pagi itu angin semilir membawa bau harum kembang-kembang hutan. Arya Kamandanu mendesah, kesal sekali, "Sudahlah, Kakang Dwipangga. Jangan mengajakku bicara soal itu."

"Kau mencintainya, bukan?"
"Kakang Dwipangga. Aku tidak mau bicara soal itu!" tajam dan keras sekali Arya Kamandanu setengah membentak.
Arya Dwipangga tersenyum sambil melangkah beberapa tindak kemudian memandang adiknya. "Adi Kamandanu. Aku bermaksud baik. Mengapa kau tidak bersikap terbuka padaku?"
"Itu persoalan pribadiku. Untuk apa Kakang ikut campur?"
Arya Dwipangga mengerutkan dahinya dan makin saksama memperhatikan adiknya yang wajahnya masih berhias lebam-lebam ungu, biru kehitaman. "Jadi, kau tidak percaya pada saudara tuamu sendiri?"
"Aku bisa menyelesaikannya sendiri."
"Baiklah. Aku tidak akan memaksa. Tapi ketahuilah, persoalan wanita sangat rumit. Bagi yang belum pengalaman, menghadapi wanita sama halnya menghadapi fatamorgana, menghadapi suatu misteri kehidupan yang penuh kabut rahasia Kau bisa melihatnya tapi tidak bakal menjamahnya. Dia seperti duduk di balik kaca yang bening. Dia tersenyum padamu, tapi ketika kau berusaha memeluknya maka kau akan membentur kaca itu."
"Aku memang tidak mempunyai pengalaman soal wanita."
"Nah, untuk memecahkan persoalanmu itu, kau membutuhkan seorang yang mengerti tentang wanita. Kecuali kau ingin Nari Ratih pergi dari sisimu untuk selama-lamanya."
"Aku malu, Kakang. Mengapa menghadapi persoalan remeh ini harus minta tolong pada orang lain? Mengapa tidak bisa mengatasi sendiri?"
"Adi Kamandanu. Kau keliru. Persoalan wanita bukan persoalan yang remeh." Arya Dwipangga menghentikan nasihatnya, kemudian beringsut lebih dekat duduk di sisi adiknya. "Baiklah. Dengar, aku akan bacakan satu bait syair yang ikut mengubah jalannya sejarah pemerintahan di Tumapel."
Arya Dwipangga bangkit. Ia keluarkan sepotong rontal dan kantong ikat pinggangnya kemudian membaca syair itu dengan penuh perasaan. ”Kerling matamu lebih dahsyat dari gelombang tujuh samudera. Dan senyummu sanggup menggetarkan seluruh isi dunia. Apa artinya si Arok anak desa?”
Arya Dwipangga tersenyum dan kembali duduk di samping adiknya, "Kau tahu, Adi Kamandanu? Syair itu akhirnya dapat menjadi awal dari sejarah perjuangan Ken Arok, anak dari desa Pangkur. Ken Arok menjadi besar karena wanita. Nah, ada satu lagi bait syair yang senada. Syair ini pun ikut mengubah jalannya sejarah pemerintahan di Kediri pada tahun 1222. Syair ini diucapkan oleh Prabu Kertajaya atau Dandang Gendis yang waktu itu sedang tergila-gila oleh kecantikan seorang wanita bernama Dewi Amisani. Dengarkan baik-baik.
”Amisani! Kau adalah matahari pagi yang selalu menghangatkan ranjangku. Kediri akan membeku jika kau berpaling dariku.” Lagi-lagi penyair muda itu tersenyum puas ketika tahu adiknya mendengarkannya dengan serius, bahkan ada sorot kekaguman dilihat dari pandangan mata Kamandanu.
"Sebuah syair yang sederhana, bukan? Tapi ingat, karena syair itulah maka para pendeta, para pemuka kerajaan lalu bergabung dengan Tumapel. Kertajaya dan balatentaranya akhirnya hancur di desa Ganter oleh serbuan tentara Tumapel. Dengan demikian, Dandang Gendis menjadi korban tali asmaranya bersama Dewi Amisani. Nah, apa sekarang kau masih menganggap bahwa persoalan wanita adalah persoalan yang remeh? Ingat, Adi Kamandanu. Separoh dari bagian dunia ini menjadi milik wanita."
"Baiklah, Kakang Dwipangga. Aku percaya padamu. Aku akan menceritakan persoalan yang kuhadapi dengan Nari Ratih."
Arya Dwipangga tersenyum, adiknya kini luluh. Arya Kamandanu lalu menceritakan dari awal apa saja yang dialami bersama Nari Ratih. Sementara Arya Dwipangga mendengarkan dengan saksama.
Setelah Arya Kamandanu selesai bercerita, Arya Dwipangga tersenyum, kemudian duduk di bibir pembaringan dan membetulkan posisi kakinya. Kembali ia memperhatikan adiknya yang penasaran dipandang terlalu miskin pengalaman. "Kau memang terlalu, Adi Kamandanu."
"Terlalu bagaimana, Kakang?"
"Kau tidak mempunyai perasaan terhadap seorang wanita. Kasihan sekali gadis itu Dia harus menderita karena kekasihnya kurang tanggap terhadap isyarat-isyarat yang sudah berulangkah diberikan."
"Jadi menurut pendapatmu, dia juga mencintaiku?"
"Hari-hari kemarin jelas. Tapi entahlah sekarang ini. Hati seorang gadis kalau sudah dikecewakan bisa menutup rapat sekali "
"Aku hanya ingin mendapat kepastian. Aku tidak tenang sebelum kepastian itu datang."
Sejenak mereka terdiam Saling memandang penuh arti. Arya Dwipangga bangkit dari duduknya, menghela napas dan memandang serius pada adiknya seraya berkata, "Ada satu cara mungkin bisa menjernihkan kembali hubungan kalian."
"Cara apa, Kakang?"
"Minta maaf padanya."
"Aku sudah melakukannya, tapi dia tidak mau mendengar. Dia bahkan terus berlari meninggalkan aku."
"Minta maaf tidak cukup sekali, Adi Kamandanu. Harus kau coba lagi."
"Berapa kali aku harus mencobanya?"
"Yah, sampai dia memberi maaf tentu saja."
"Oh, aku tidak sanggup melakukannya. Aku belum tahu apa kesalahanku. Bagaimana aku harus minta maaf sampai berkali-kali?" Ada nada letih terdengar dari bibir Arya Kamandanu. Ia tidak berdaya, tubuhnya lunglai oleh sengatan pedih hatinya.
Arya Dwipangga beberapa kali melangkah, kemudian membalikkan tubuhnya setelah mendapatkan sesuatu dalam benaknya sambil memandang Arya Kamandanu. "Dengar, Adi Kamandanu. Kau perlu mengambil hatinya."
"Tapi aku tidak bisa melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hati nuraniku."
"Kau mencintainya atau tidak?"
"Aku mencintainya."
"Kau ingin hubungan kalian jadi selaras lagi?"
"Ya, tapi kau jangan menyuruhku melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hati nuraniku. Aku tidak bisa, Kakang."
"Kau tinggi hati."
"Yah. Barangkali kau benar, Kakang. Aku tinggi hati. Tapi aku tidak merasa melakukan kesalahan apa-apa terhadapnya."
"Dengar, Adi Kamandanu. Kalau kau meninggikan hatimu setinggi Gunung Welirang, maka dia pun akan meninggikan hatinya setinggi Gunung Mahameru. Kau bisa melawannya dengan cara apa?"
"Yah, barangkali memang tidak ada cara yang paling baik untuk menyelesaikan persoalan ini. Maka biarkan semuanya berlalu seperti apa adanya."
"Mengapa kau terlalu keras kepala, Adi Kamandanu?"
"Aku tidak mau menjadi pengemis cinta."
"Tapi sering kali kita dipaksa oleh keadaan untuk menjadi pengemis cinta."
"Bagiku itu bukan watak seorang ksatria."
"Ingat, Kamandanu. Dalam hal satu ini, kita harus berani menyampingkan sisi-sisi lain dalam tujuan hidup kita. Kau tidak mungkin mendapatkan dua hal sekaligus. Cinta dan watak satria. Kau harus memilih salah satu, Adi Kamandanu."
"Kalau harus memilih, aku akan memilih yang kedua."
"Jadi kau merelakan Nari Ratih menjadi milik orang lain?"
"Kakang Dwipangga. Bagiku watak ksatria dan kebutuhan akan cinta bukanlah dua kutub yang berlainan. Seseorang kalau memang ia benar-benar mencintai dan ingin mendapatkan cintanya itu harus diperoleh dengan cara yang jujur dan tidak lepas dari watak ksatria. Kalau tidak, lebih baik orang itu kehilangan cintanya, dan itulah korban yang paling mulia.”
Arya Kamandanu menghela napas. Berat sekali. Ia memalingkan muka dari tikaman pandangan mata kakaknya yang sinis dan amat tajam. ”Aku bukan Ken Arok,” lanjutnya lirih dan hati-hati, bagai dilanda duka yang paling dalam, bahwa suara hatinya tidak akan pernah didengarkan siapa pun. ”aku juga bukan Prabu Kertajaya atau Dandang Gendis yang mau berbuat apa saja demi memperoleh kesenangan dari cinta. Aku adalah Arya Kamandanu, seorang pemuda biasa yang memiliki banyak kekurangan.”
Karena adiknya bersikeras dengan keinginan hatinya, maka Arya Dwipangga tidak bisa berbuat apa-apa. Ia tinggalkan adiknya dengan geleng-geleng kepala. Menghela napas jengah, lelah. Ia melenggang pergi, tersenyum seraya menunjuk dengan tangan kanan yang loyo isyarat tak mengerti apa yang diinginkan adik kandungnya.
Arya Kamandanu sendiri mengeraskan rahangnya. Kedua tangannya mencengkeram alas tempat tidurnya.

***

Pagi itu langit tampak cerah. Arya Dwipangga baru saja mengeluarkan kudanya dari kandang. Bau kotoran kuda, katul dan rumput berbaur jadi satu. Sisa-sisa makanan binatang perkasa itu berhamburan di sekeliling kandangnya. Pemuda itu berusaha menahan diri tanpa bernapas. Baru kemudian setelah sampai di depan kandang, ia berani menghirup udara. Seorang perempuan tua berkebaya menghampirinya.
"Mau ke mana, Ngger?"
"Aku mau pergi sebentar, Bi Rongkot."
"Hmm, anu, Ngger, itu, ada orang menunggu Angger Dwipangga."
"Siapa, Bi?" tanya Dwipangga sambil mengerutkan dahinya.
"Bibi tidak tahu namanya Tapi jelas bukan orang Kurawan. Sebaiknya Angger temui dulu di ruangan depan. Sudah sejak tadi dia menunggu."
"Ah, biar saja, Bi. Aku mau pergi."
"Tapi, Ngger..."
"Katakan saja aku pergi. Kalau memang dia ada keperluan, suruh saja kembali nanti sore," tanpa menghiraukan perempuan tua di depannya, pemuda tampan itu segera melompat ke atas punggung kuda dan menarik tali kekangnya. Kuda coklat itu meringkik dan melompat. Berlari makin cepat dengan meninggalkan kepulan debu yang terhempas oleh kakinya.
Bibi Rongkot hanya bisa mengurus dada sambil berdecak lidah dan menggeleng-gelengkan kepala.
Sementara itu di ruang depan rumah Mpu Hanggareksa, duduklah dua orang tamu. Yang seorang adalah gadis cantik berambut panjang dikepang dua. Wajahnya murung. Di sebelahnya duduk seorang lelaki agak tua, kepalanya sudah berhias uban. Kumisnya tebal, dan badannya kekar sebagai layaknya petani desa yang terbiasa kerja keras. Dengan tidak tenang, mereka sekali-sekali melongokkan kepalanya ke ruangan dalam. Untuk kedua kalinya yang muncul menemui mereka adalah perempuan tua yang bibirnya keriput dan kering berwarna getah daun sirih.
Belum lagi perempuan tua itu duduk, lelaki itu berdiri menyongsongnya dengan tidak sabar. "Ke mana perginya?" agak parau suara lelaki.
"Saya tidak tahu. Angger Dwipangga berpesan kalau memang Tuan ada keperluan penting disuruh kembali nanti sore."
Lelaki itu melotot. Wajahnya merah padam. Bibirnya bergetar menahan marah. "Enak saja. Rumahku di Tumangkar. Jauh dari sini. Aku tidak bisa mondar-mandir ke Kurawan seperti pergi ke sumur di belakang rumahku."
"Eh, maaf, Tuan. Sebenarnya ada persoalan apa dengan Angger Dwipangga?" tanya perempuan tua itu dengan nada cemas.
"Dengar baik-baik. Namaku Dipangkaradasa, ini anakku; namanya Parwati. Aku ke sini demi membela anakku ini," jelas lelaki yang mengaku bernama Dipangkaradasa sambil sesekali menuding pada gadis cantik yang wajahnya murung di sampingnya dan terus menunduk.
"Lalu ada persoalan apa, Tuan?"
"Ketahuilah, anak majikanmu itu, si Dwipangga itu sudah berani mempermainkan Parwati, anakku. Maka aku akan memberinya pelajaran yang berharga untuknya. Kalau saja aku tidak ingat bahwa Mpu Hanggareksa adalah orang terpandang di Kurawan ini, hooo... anak begajulan itu sudah kuremas-remas. Sudah kubuat babak belur."
"Oh, jangan, Ayah. Jangan!" gadis cantik itu bangkit dan memegang lengan ayahnya.
"Haaaa? Kok jangan? Jangan bagaimana? Bukankah anak itu sudah berani kurang ajar padamu?"
"Tapi, tapi Kakang Dwipangga jangan diapa-apakan. Kasihan dia," rengek gadis cantik itu memegangi lengan ayahnya makin kencang.
"Parwati, kau jangan berlaku bodoh! Kau jangan mempermainkan ayahmu. Kita jauh-jauh datang dari Tumangkar untuk menyelesaikan urusanmu dengan pemuda berandalan itu."
"Sudahlah, kita pulang saja, ayah."
"Lalu bagaimana dengan si Dwipangga itu?"
"Biarkan saja dia. Kita mengalah saja."
"Hoh, tidak. Kita tidak boleh mengalah begitu saja. Baik! Kita pulang sekarang. Tapi bukan berarti kita sudi mengalah. Aku akan mengurus perkara ini sampai tuntas." Ki Dipangkaradasa lalu berpaling pada Bi Rongkot yang gemetaran berdiri enam langkah di depannya, "Heee, katakan pada anak majikanmu itu! Aku akan kembali lagi," kata lelaki tinggi besar berjambang lebat bernada mengancam pada Bi Rongkot.
Bibi Rongkot mengkeret, gugup sekali menghadapi lelaki tua yang berangasan itu. "Ehh, ya, ya, Tuan. Nanti saya sampaikan pada Angger Dwipangga," jawabnya sambil mencuri-curi pandang pada tamunya yang kini sudah membalikkan tubuh hendak meninggalkan rumah majikannya.
"Ayo, Parwati! Kita pulang! Huh, pemuda brengsek."
Perempuan tua itu memperhatikan kepergian kedua tamunya dengan mengurut dada. Menelan ludah pahit merasakan anak majikannya yang suka main perempuan. Dalam hatinya ia ingin memaki-maki pada anak muda yang tidak tahu diri itu.
"Keterlaluan, dulu ada janda kembang dari Mameling, datang mengamuk-ngamuk minta dikawin. Lalu ada gadis mencoba bunuh diri di jurang Kurawan juga gara-gara Dwipangga terlalu mengobral rayuan. Sekarang ada lagi. Hehh, Angger Dwipangga itu kok senang-senangnya bercanda dengan wanita. Apa ia tidak tahu, bahwa bermain api dengan wanita bisa hangus terbakar hatinya?"
Keluhan hati perempuan tua itu seolah-olah didengar derit pintu papan jati yang ditutupnya perlahan hingga deritnya menyayat mengiris sukmanya. Sangat dalam ia menghela napas sambil menyandarkan tubuh rentanya di balik daun pintu. Pandang matanya berkunang-kunang, kedua tangannya meraba palang pintu dan bibir keriput itu membisikkan sebuah kata,"Jagad Dewa Batara! Ampuni umat-Mu!" pedih dan perih suara perempuan tua itu terdengar. Batinnya benar-benar merintih pilu.

***

Di pagi itu seperti biasa dua gadis Manguntur yang saling bersahabat sedang bermain-main air sungai sebelum menyelesaikan pekerjaannya. Mereka duduk di atas batu hitam sambil menggoyang-goyangkan kaki-kaki mungil hingga menimbulkan kecipak di antara gemercik air. Riak-riaknya segera lenyap ditelan arus air Sungai Manguntur yang sangat deras. Mereka tidak lebih bagaikan kembang sepasang yang sedang mekar. Salah seorang gadis itu menyimak goresan-goresan yang tertera pada lembaran rontal. Tersenyum manis lalu meluncurlah suara merdu membacakan kata demi kata penuh perasaan.

Kubuka daun jendela
dan terbentang malam yang indah
dihiasi Candra Kartika.
Di bulan Waisya ini
sepuluh kali aku melewati pintu rumahmu
yang masih rapat terkancing dari dalam.
Kapan kau buka, wahai sang Dewi Puspa?

Gadis cantik itu tersenyum makin lebar memamerkan giginya yang berderet putih bagai mutiara, sebelum akhirnya berkomentar tentang sebait syair yang dibacanya, "Indah sekali bunyi syair ini, Ratih."
"Aku juga tidak menduga bahwa Kakang Kamandanu bisa menulis syair seindah ini."
"Kau sudah membalasnya?"
"Belum."
"Kau harus segera membalas atau menanggapinya, Ratih. Terlihat jelas bahwa dia sangat menyesal dan ingin menyambung kembali tali asmara denganmu."
"Ah, Palastri. Aku masih sakit hati."
"Kau tidak ingin burung gagak itu berpaling pada daging lain yang lebih empuk dan lezat? Jangan tinggi hati, Ratih. Ada pepatah mengatakan, bahwa wanita itu berdiri di antara dua bibir sumur. Kalau dia bertahan tak mau menundukkan wajah, dia tak bakal melihat air. Tapi kalau dia terus-menerus menundukkan wajah, dia bisa terjerumus ke dalam sumur itu. Nah, jadilah wanita yang bijaksana. Jangan tinggi hati, tapi juga jangan terlalu merendah di depan laki-laki."
Palastri mengulurkan lembaran rontal itu kepada pemiliknya lalu turun ke sungai. Menceburkan tubuhnya yang hanya berbalut kain sampai sebatas dadanya yang montok. Beberapa saat ia berendam dalam air sambil memandang sahabatnya yang memperhatikan lembaran rontal di tangannya sebelum akhirnya menaruh rontal itu ke tenggok yang sudah dikosongkan.
Gemericik air, kecipak tangan dan kaki mereka memecah keheningan di sungai itu. Angin sejuk menyapa permukaan kulit mereka hingga merinding. Keduanya mengangkat bahu sambil menggosok-gosokkan tangannya pada tubuh yang padat berisi.
”Dadamu kecil ya?” Palastri tersenyum memandang bagian atas baju Nari Ratih.
”Ah, jangan ngintip dong. Kan malu.” gadis itu buru-buru merapikan lilitan kainnya yang sedikit melorot.
”Nih, bandingkan sama punyaku.” Palastri membusungkan dadanya.
Ratih cemberut  mengaku kalah. Diantara mereka berdua, memang Palastri yang payudaranya lebih besar. ”Biarin, biar kecil tapi banyak yang suka.” jawab gadis itu penuh percaya diri karena kecantikan wajahnya yang lebih menonjol. Sebagai balasan, dengan jahil Ratih meremas dada Palastri yang masih membusung di depannya.
”Hei! Apa-apaan sih? Kan sakit!” Palastri berteriak kaget sambil berusaha menarik kembali buah dadanya.
Namun Nari Ratih tidak mau kalah, ia terus meremas-remasnya gemas, bahkan kini sambil menarik turun kain Palastri hingga ke melorot sampai ke pinggang, membuat gundukan payudaranya yang putih dan kencang jadi terpampang jelas, terlihat begitu montok dan besar sekali. Palastri hendak membalas, tapi dengan gesit Nari Ratih menghindar. Palastri melotot, sementara Nari Ratih hanya mencibirkan bibirnya tanda sudah menang. Di pagi yang sejuk itu, terdengar suara tawa canda mereka berdua memecah keheningan.
”Mandi telanjang yuk?” ajak Palastri sambil melepas lilitan kainnya. Selanjutnya dengan tubuh telanjang, ia kembali masuk ke dalam air.
Nari Ratih mengikuti. Sambil melonggarkan lilitan kainnya, ia  memperhatikan keadaan dirinya. Wajah cantik, rambut indah sepunggung, tubuh yang halus dan mulus, pinggang yang rata, serta dua buah dada yang meski tidak cukup besar namun terlihat sangat kencang. Semuanya membuatnya jadi begitu sempurna. Kecuali satu; kehormatannya yang sudah direnggut oleh tiga orang lelaki bejad beberapa hari yang lalu. Nari Ratih tidak akan pernah lupa. Ia akan terus mengingat peristiwa itu seumur hidupnya. Apalagi kalau ia sampai hamil, barangkali lebih baik bunuh diri saja untuk menutupi aib.
Memikirkan hal itu, gadis itupun menghela nafas panjang, ”Hhhh...” sambil pura-pura tersenyum, ia mendekati Palastri.
”Kenapa, Ratih?” tanya Palastri dengan sebelah tangan menyilang di depan dada, berusaha melindungi gundukan payudaranya yang terpantul-pantul indah di dalam air.
”Tidak. Tidak ada apa-apa.” Nari Ratih mengibaskan rambutnya yang terurai.
”Aku yakin, meski punyamu tidak sebesar punyaku, Kamandanu tetap suka kok.” bisik Palastri sambil membusungkan dadanya ke depan, sedangkan kedua tangannya terentang ke atas.
”Ih, kamu apaan sih?!” pekik Nari Ratih begitu melihat tonjolan buah dada Palastri yang seolah-olah hendak melompat keluar dari dalam air.
Palastri tertawa sambil melingkarkan tangannya ke pinggang gadis itu, ”Sini, aku bantu biar dadamu tidak kecil lagi.”
Dengan muka bersemu merah, Nari Ratih tidak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil saat sambil tersenyum, Palastri mulai meremas-remas tonjolan buah dadanya. ”Ahh...” gadis itu meringis, terutama saat salah satu tangan Palastri juga mulai merayap ke bawah untuk mengusap-usap kulit pahanya yang putih mulus.
”Lastri... ahh!!” Nari Ratih berusaha merapatkan kedua pahanya.
”Tenang, Ratih. Nikmati saja apa yang aku berikan!” bisik Palastri dengan tubuh semakin merapat.
Nari Ratih mulai berani merenggangkan pahanya sedikit. Palastri yang melihatnya jadi tersenyum, kemudian kembali tangannya mengelus-ngelus bagian dalam paha gadis cantik itu. Perbuatannya dengan cepat membuat nafas Nari Ratih jadi sedikit sesak. Bahkan ia tersentak ketika tangan Palastri menyusup semakin dalam ke celah selangkangannya.
”Ratih, mmhm... hmmp!” sambil tetap berpelukan, pelan Palastri mulai memagut dan mengulum  lembut bibir tipis Nari Ratih.
Gadis itu jadi tidak bisa menolak, Nari Ratih hanya bisa menggeleng-geleng ke kiri dan ke kanan untuk menghindari mulut Palastri yang semakin lama semakin kuat menghisap bibirnya. Ia juga berusaha untuk sedikit memberontak saat sudah merasa kehabisan nafas, namun tangan Palastri yang membelit kuat pinggangnya, membuat usahanya tersebut jadi sia-sia belaka. Yang ada, Palastri malah menyumpal bibirnya semakin kuat.
”S-sudah, Lastri… haah! Uffh... ampun!” sengal Nari Ratih kehabisan nafas, namun Palastri terus memegangi kedua pipinya untuk menyumpal bibir tipisnya.
”EMMMMMMMMHHH!!” kembali ia menjadi bulan-bulanan gadis cantik itu. Dengan rakus Palastri terus mengulum dan melumat bibir Nari Ratih sambil tangannya tak henti merayap dan mengelus-ngelus bongkahan buah dadanya yang mungil, yang dihiasi oleh puting susu merah yang sudah sedikit mengeras.
”Ahh...” Nari Ratih menelan ludah ketika merasakan jari telunjuk Palastri melingkari puting susunya, rasa geli membuatnya menggeliat resah sambil meringis-ringis. Ia berusaha merendahkan suara agar jeritannya tidak terdengar terlalu keras ketika Palastri mulai menghisap-hisap kuat puncak payudaranya. Dan bukan sekedar menghisap, karena sambil mencucup, Palastri juga menggerak-gerakkan lidahnya untuk menggelitiki puting susu Nari Ratih.
”Lastri...” Nari Ratih memanggil nama gadis itu sambil mendekap kepalanya yang terus asyik menyusu di puncak payudaranya. ”Auw!” ia tersentak kaget saat tiba-tiba Palastri berlutut di hadapannya dan mulai mengecup-ngecup bibir vaginanya dengan penuh nafsu.
”Auh... pelan-palan, Lastri!” rintih Nari Ratih dengan nafas semakin tersendat-sendat.
Di bawah, Palastri ternyata tidak cuma mencium. Sekarang gadis itu menusuk-nusuk belahan mungil milik Nari Ratih dengan menggunakan jari telunjuknya. Akibatnya, lendir-lendir nakal semakin banyak keluar membanjiri belahan selangkangan gadis cantik itu.
”Ughh...” kedua lutut Nari Ratih serasa goyah ketika jemari tangan Palastri menekan pinggiran bibir vaginanya agar sedikit merekah, sementara jilatan lidah gadis itu dengan kasar terus menggelitik klitorisnya. Sesekali Palastri juga mengemutnya kuat-kuat.
”Lastri! Shh... ahh!!” tentu saja Nari Ratih langsung menjerit penuh nikmat dibuatnya, tangannya menggapai-gapai berusaha mencari pegangan saat denyutan-denyutan aneh menerpa bagian tubuhnya yang sangat sensitif. Tanpa bisa dicegah, akhirnya... ”Hah... hhh... auw! Auw!” ia mengejang-ngejang dengan tangan berpegangan erat pada bahu mulus Palastri yang masih asyik jongkok di depan bibir kemaluannya, menghisap setiap cairan bening miliknya yang menghambur keluar banyak sekali.
”Enak, Ratih?” tanya Palastri sambil menyeka cairan bening milik Nari Ratih yang tercecer di sudut mulutnya. Selanjutnya gadis itu berdiri dan kembali merayapi buah dada Nari Ratih dari arah belakang, sesekali tangannya menjepit dan memilin-milin putingnya yang mungil sambil tak lupa menggenggam dan meremas-remas bulatannya yang indah menggoda.
”Aku tahu apa yang kamu pikirkan,” bisik Palastri sambil terus mengelus-elus ujung puting susu Nari Ratih.
”Apa?”
”Kamu sudah tidak perawan lagi.”
Nari Ratih terdiam, tidak tahu harus berkata. Ia hanya bisa menangis dalam pelukan Palastri. Di tepi sungai itu, dengan tubuh masih sama-sama telanjang, Nari Ratih menceritakan semuanya. Sementara Palastri berusaha mendengarkan dengan air mata ikut bercucuran, sama sekali tidak menyangka kalau sahabatnya sedari kecil ini telah mendapatkan masalah yang sedemikian gawat.
”Itulah alasanku kenapa ragu mengejar cinta kakang Arya Kamandanu.” kata Nari Ratih mengakhiri ceritanya.
”Mudah-mudahan saja kamu tidak hamil,” bisik Palastri. ”dengan begitu, mungkin Arya Kamandanu masih bisa menerimamu.”
Nari Ratih mengangguk, ”Iya, aku juga berharap begitu! Namun sudah beberapa kali aku menunggunya di tempat biasa, tapi ia tidak pernah muncul.”
”Mungkin kamu bisa menitip pesan kepada Bibi Rongkot.”
”Hmm, iya. Saranmu akan kucoba.”

***

Di rumah Mpu Hanggareksa, seorang perempuan tua baru saja keluar dari bilik Arya Kamandanu. Perempuan tua itu berdiri terpaku di ambang pintu dan bersandar pada daun pintu yang terbuat dari papan kayu jati tersebut.
"Ada apa, Bi Rongkot?" tanya Arya Dwipangga yang kebetulan melintas di depannya sambil memperhatikan dengan mengerutkan dahinya.
"Ehh, tidak ada apa-apa, Ngger Bibi baru saja melihat Angger Kamandanu."
"Bagaimana keadaannya sekarang?"
"Sudah jauh lebih baik. Sekarang Angger Kamandanu tidur pulas sekali. Memang seharusnya dia banyak istirahat Tidak boleh pergi ke mana-mana dulu."
"Lho, memang dia mau ke mana, Bi Rongkot?"
"Bukan, Ngger. Gadis itu mengirimkan pesan lagi. Maksud Bibi, anak Rekyan Wuru itu menitip pesan pada Bibi. Dia ingin menemui Angger Kamandanu. Tidak mungkin kan, Ngger Dwipangga? Kecuali Angger Kamandanu sudah sembuh benar."
"Sudahlah, Bi, jangan pikirkan persoalan Adi Kamandanu dengan Nari Ratih itu. Nanti juga akan beres. Aku yakin mereka akan kembali akrab seperti semula."
"Kalau persoalan Angger sendiri bagaimana?"
"Persoalanku malah sudah lebih dulu beres, Bi."
"Maksud Angger Dwipangga, beres bagaimana?"
"Yah aku tidak akan datang lagi menemui Parwati. Soalnya, ayahnya melarangku ke sana. Lihat dahi dan wajahku! Juga badanku yang nyeri-nyeri ini. Semuanya telah kuterima. Tadi siang kami bertemu, dan ayahnya menghajarku."
Sejenak mereka terdiam. Bibi Rongkot memperhatikan anak majikannya dengan sedikit kurang senang. Ia hela napas terasa berat sekali sebelum kata-kata yang sangat pedas dan tajam begitu cepat diucapkannya meluncur dari bibirnya yang keriput.
"Angger Dwipangga jangan suka mempermainkan anak gadis orang. Nanti kalau kena batunya bisa celaka, lho. Kalau orang tuanya tidak terima dan marah, kan bisa membuat keributan besar. Apa Angger Dwipangga tidak malu?"
"Aku tidak salah, Bi. Parwati kan hanya salah satu gadis yang kukenal."
"Tapi Angger Dwipangga pasti sudah mengobral janji padanya hingga dia sangat mengharapkan kesungguhan Angger. Iya, kan? Ihh, Bibi paling benci kalau melihat laki-laki tukang obral janji. Kasihan anak gadis orang yang menjadi korban, Ngger. Sungguh."
Dinasihati seperti itu, pemuda yang wajahnya masih memar dan membiru itu hanya tertawa. Lalu menyandarkan tubuhnya pada dinding kayu jati. "Bi Rongkot tentu saja membela mereka karena Bibi seorang wanita."
"Bukan begitu, Ngger. Jadi pemuda itu seperti Angger Kamandanu. Tenang, berwibawa, bertanggung jawab terhadap apa yang sudah dikatakannya."
"Bi Rongkot. Arya Dwipangga bukan Arya Kamandanu dan Bibi tidak mengetahui kekurangan adikku, bukan? Dia masih tergolong belum berpengalaman hingga untuk menyelesaikan persoalan sendiri saja tidak mampu. Dan akhirnya aku juga harus turun tangan. Dia pikir hati wanita bisa dipikat dengan berdiam diri dan tidur di pembaringan."
"Eh, apa maksud Angger Dwipangga?" Bibi Rongkot tampak terkejut dan dahinya kian beranyam kerutan memperhatikan Arya Dwipangga yang tersenyum-senyum seraya bangkit.
"Nanti Bibi Rongkot akan tahu sendiri." Pemuda itu segera berlalu dari hadapan perempuan tua yang menggeleng-gelengkan kepala dan mengurut dadanya.
Pemuda gagah yang memiliki sifat aneh itu selalu keras hati. Menghentikan langkahnya dan menoleh pada perempuan tua itu sambil mengerlingkan matanya menggoda.

***

Siang itu sepulang dari pasar, seorang gadis cantik mampir ke rumah sahabatnya. Gadis itu menghentikan langkahnya ketika sampai di depan pintu sambil melongokkan kepalanya ke dalam. Ia tersenyum karena melihat sahabatnya sedang menganyam tikar pandan di ruang teras depan.
"Kau Palastri, masuklah," Nari Ratih berseru ketika ia melihat bayangan sahabatnya berjalan berjingkat dan tersenyum ingin mengagetkannya.
"Bagaimana hasilnya, Ratih?"
Wajah Nari Ratih langsung merah padam ditodong pertanyaan seperti itu. Ia sendiri telah berjuang keras untuk mendengarkan suara hatinya dengan jernih. "Sudahlah! Aku tak mau bicara soal itu lagi. Aku akan berusaha melupakan Kakang Kamandanu."
"Mengapa begitu?"
"Karena dia pun agaknya sudah melupakan diriku."
"Ah, kau terlalu cepat mengambil kesimpulan."
"Tidak, Palastri. Aku malu kalau harus menitip pesan pada pembantunya lagi dan ternyata Kamandanu tidak sudi menemuiku."
"Kau tidak usah malu. "
"Palastri. Aku mau mengakhiri persoalan ini sampai di sini. Aku tidak ingin sakit hati untuk kesekian kalinya."
"Dengar dulu, Ratih."
"Tidak. Kau jangan membujukku lagi! Biarlah kalau memang aku harus kehilangan dia. Mungkin bukan jodohku, Palastri."
"Dengar dulu! Aku boleh bicara apa tidak, Ratih?"
"Bicaralah, tetapi jangan membujukku lagi."
"Kau sudah dewasa, bukan anak kecil lagi. Buat apa aku membujukmu? Tapi dengarlah keteranganku ini. Kau jadi menitip pesan pada pembantunya?"
"Jadi. Dia berjanji akan menyampaikan pesannya itu."
"Dan kau jadi datang ke tepi padang ilalang?"
"Cukup lama aku duduk menunggu di sana. Sampai leherku pegal karena harus menengok ke arah biasanya dia datang."
"Apa kau belum tahu, Ratih?"
"Tahu tentang apa?"
"Bahwa Arya Kamandanu sekarang ini sedang sakit?"
Nari Ratih terkejut. Sehelai potongan pandan di jemarinya sampai terlepas. Ia membelalakkan matanya dan memandang sahabatnya sangat lekat. Ia menghela napas, jantungnya makin menggemuruh. "Sakit?" tanyanya seperti tidak percaya pada berita itu.
"Ya. Sudah beberapa hari dia terbaring di kamarnya. Sakitnya cukup berat."
"Kau tahu dari mana, Palastri?"
"Kemarin aku disuruh ayahku memanggil dukun urut ke Kurawan. Aku melewati jalan dekat rumah Arya Kamandanu dan aku mendengar anak-anak muda sibuk membicarakan pacarmu itu. Katanya, Kamandanu itu sakit gara-gara jatuh cinta pada gadis Manguntur."
"Ah, apa benar mereka berkata begitu, Palastri?"
"Untuk apa aku berdusta, Ratih? Tentu saja apa yang aku sampaikan ini benar." Palastri memandang dengan sedikit cemberut, apalagi Nari Ratih masih menatapnya dengan tajam ingin penjelasan lebih jauh. Palastri melepas napas jengah sebelum melanjutkan ucapannya. "Nah, sekarang tinggal bagaimana kau sendiri."
"Hemhh. Kalau dia sakit, benar-benar sakit, tentu dia tidak bisa datang ke tepi padang ilalang."
"Mungkin juga pesanmu itu tidak disampaikan padanya."
"Mungkin juga begitu," suara Nari ratih agak serak menahan perasaan yang tidak menentu. Wajahnya kian mengiba.
"Sekarang bagaimana? Apa kau sampai hati membiarkan Kamandanu terbaring kesepian di kamarnya?"
"Soalnya, aku tidak tahu kalau dia sakit."
"Sudahlah, Ratih. Kau datang saja ke rumahnya. Kau tengok dia, kau besarkan hatinya, sekalian menyelesaikan persoalan kailan."
"Baiklah. Sekarang aku tidak mempunyai alasan lagi untuk tidak datang ke rumahnya."
Palastri turut senang bisa memberikan jalan keluar terbaik buat sahabatnya. Ia pun memeluk Nari Ratih dan menciumnya. Ia pamit dengan sedikit lega.
Ketika Palastri meninggalkan rumah Nari Ratih, putri Rekyan Wuru itu segera berkemas. Ia bertekad untuk menengok Arya Kamandanu. Dikenakannya pakaian yang paling pantas. Hatinya berdebar-debar tak menentu. Gelisah, resah, cemas, dan dirajam pedang-pedang cinta tanpa ampun.
Saat Nari Ratih tiba di rumah Mpu Hanggareksa, ia disambut ramah sekali oleh Bi Rongkot. Perempuan itu tersenyum dan mengangguk-angguk senang. Ia menepuk-nepuk pundak dara jelita yang mau datang ke tempat tinggal majikannya. Nari Ratih masih sungkan-sungkan Wajahnya merona merah karena menyimpan rasa malu. Apalagi perempuan tua itu lekat-lekat memandanginya dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Nah, akhirnya kau mau datang juga ke Kurawan."
"Apakah aku bisa menemui Kakang Kamandanu, Bi?" katanya dengan bibir bergetar. Jantungnya makin cepat berdetak dan mengguruh.
Perempuan tua itu tersenyum lembut, "Tentu saja bisa. Tapi sebelumnya Bibi minta maaf, ya. Pesan yang Nini Ratih sampaikan lewat Bibi terpaksa tidak Bibi sampaikan pada Angger Kamandanu."
"Ratih mengerti kok, Bi. Tidak apa."
"Ayo, Nini Ratih! Masuk saja. Silakan bertemu dengan Angger Kamandanu di kamarnya."
"Terima kasih, Bi."
Perempuan tua itu membimbing Nari Ratih menuju kamar Arya Kamandanu. Ketika sudah sampai di dekat kamar, perempuan tua itu menghentikan langkahnya seraya menunjukkan tempat berbaring Arya Kamandanu dengan menudingkan telunjuk tangan kanannya. Tersenyum menggoda sambil mengerling kemudian membalikkan tubuhnya. Perempuan tua itu bukannya pergi, tetapi mengintip dari balik pintu kamarnya. Ia merasa geli menyaksikan gadis kekasih hati putra majikannya itu ragu-ragu hendak memasuki kamar. Menelan ludah. Meremas-remas tangannya sendiri. Menggigit bibir lalu menoleh ke kiri dan ke kanan, takut jika ada yang mengetahuinya. Dengan langkah gemetar Nari Ratih mendorong daun pintu yang tidak terkunci. Ia menahan rasa terkejutnya tatkala bersitatap pandang dengan Arya Kamandanu yang berbaring di pembaringan.
"Ohh, Nari Ratih." Pekik Arya Kamandanu. Ia berusaha bangkit, tapi badannya masih terasa lemas, hingga Nari Ratih melarangnya dengan menyentuh tangannya agar ia tetap berbaring. Betapa ngilu badan dan hatinya, tetapi bahagia tiada terkira menerima kehadiran perempuan yang dipuja-puja selama ini.
Nari Ratih gemetaran menyaksikan keadaan Arya Kamandanu yang sangat memprihatinkan. "Aku datang menengokmu, Kakang. Bagaimana, mengapa Kakang bisa mengalami luka-luka begini?" tanyanya cemas.
"Aku, tidak apa-apa, Ratih. Hanya luka-luka ringan. Sekarang mulai sembuh." Mata Arya Kamandanu berkaca-kaca. Ada rasa keharuan mencekam nuraninya, betapa bahagia apabila tidak berdaya tapi ada yang memperhatikannya, ada yang menemaninya. Di sisi lain ada perasaan malu karena gelora asmara telah merajam jiwanya hingga ia sering berpikir buram. Untuk mengatasi perasaan gundah-gulana yang bercampur-aduk itu, ia menggigit bibirnya dan tidak berani membalas tatapan sendu Nari Ratih.
"Kau berkelahi dengan seseorang ya, Kakang?"
"Tidak. Untuk apa aku berkelahi?"
"Pelipis kirimu memar, dan bibirmu masih membengkak. Kau jangan bohong padaku, Kakang. Siapa yang telah melakukannya, Kakang?"
"Sudahlah. Jangan bicarakan soal sakitku ini. Tidak ada manfaatnya. Lebih baik kita bicara soal lain. Bagaimana keadaanmu?"
"Aku baik-baik saja. Seorang kawan memberi tahu aku bahwa Kakang Kamandanu sakit, maka buru-buru aku datang kemari."
"Terima kasih atas kunjunganmu ini, Ratih."
"Semula aku tidak mau datang, Kakang."
"Kalau kau sibuk dan tidak mempunyai waktu, kau tidak usah memaksakan diri, Ratih."
"Bukan soal itu. Aku tidak datang karena kesal!"
"Kesal pada siapa?"
"Pada Kakang."
"Apa aku telah berbuat kesalahan, Ratih?"
"Ternyata bukan kau yang bersalah, Kakang. Tapi bibimu itu. Nyai Rongkot yang salah."
"Bi Rongkot? Aku belum begitu mengerti, Ratih."
"Bukankah selama ini sudah tiga kali kau menulis syair untukku?"
Arya Kamandanu mengerutkan dahi hingga lebam di dahinya terasa nyeri dan ia memekik kecil, lalu menggigit bibir.
Nari Ratih untungnya kurang memperhatikan reaksinya, hingga ia melanjutkan kisi-kisi hatinya yang ingin ia ungkapkan di depan orang yang dicintainya, "Syair itu sangat indah. Hatiku tersentuh. Akhirnya aku sadar, bahwa tidak pada tempatnya aku berkeras hati."
"Tunggu, Ratih! Syair? Aku menulis syair?" Arya Kamandanu memaksakan diri bangun dan duduk di pembaringan dengan tatap aneh, ia duduk bertumpu pada dua tangannya. Ia memperhatikan gadisnya yang mengerjap-ngerjapkan mata tidak berani membalas tatapan matanya. "Syair?"
"Iya. Syair. Tiga kali kau menulis syair padaku."
"Sebentar, Ratih! Ini ada kekeliruan. Sebab aku tidak pernah menulis syair padamu."
Nari Ratih tersentak. Wajah gadis remaja itu mendadak menjadi merah padam. Dia merasa malu sekali sementara Arya Kamandanu tampak berpikir, meraba apa yang telah terjadi. Gadis remaja yang sangat cantik itu menundukkan wajahnya. Menggigit bibirnya sendiri yang merah jambu. Semakin menunduk dan butiran bening menggelincir di kedua pipinya ketika ia mendesah seperti tercekat di tenggorokan.
"Oh, jadi... jadi Kakang tidak pernah menulis syair untukku?"
"Tidak, Ratih. Selama ini aku sakit, bagaimana aku bisa menulis syair?"
"Jadi, semua ini bukan kau yang menulis, Kakang?" Nari Ratih menyerahkan rontal-rontal itu kepada Arya Kamandanu dengan tangan gemetar.
Arya Kamandanu mengerutkan dahinya dengan napas memburu memendam amarah. "Bukan. Bukan aku yang menulis syair-syair ini. Aku tidak bisa dan tidak berbakat menulis syair."
"Kalau begitu, aku telah salah menganggapmu, Kakang. Aku tidak bisa lama-lama di sini. Maafkan aku telah mengganggu ketenanganmu."
"Ratih..."
Gadis cantik itu segera berbalik dan menghempaskan pintu kamar Arya Kamandanu. Ia tidak perduli dengan pemuda yang sangat dingin itu. Tanpa pamit pada penghuni rumah lainnya, gadis itu berlari secepat-cepatnya. Sementara Arya Kamandanu yang ditinggalkannya duduk terpaku. Perlahan bangkit dengan meringis menahan rasa nyeri dan sakit karena luka-lukanya yang belum sembuh benar. Pada saat ia bangkit dan melangkah menghampiri pintu nyaris bertabrakan dengan Bibi Rongkot yang ternyata ingin menjenguknya.
"Oh, kau, Bi."
"Mana Nini Ratih?"
"Dia sudah pulang, Bi."
"Kok buru-buru sekali dia pulang? Ada apa, Ngger?"
"Tidak ada apa-apa. Bibi tahu, di mana Kakang Dwipangga?"
"Sedang menjemur daun tal di atas atap kamarnya."
"Aku mau menemuinya."
"Ada apa, Ngger? Kok sepertinya..."
"Minggir, Bi. Jangan menghalangi jalan. Aku harus menemui Kakang Dwipangga sekarang juga!" Dengan kasar sekali Arya Kamandanu menghela perempuan tua di hadapannya yang menghalangi langkahnya. Tidak peduli rasa nyeri dan sakit di tubuhnya. Ia segera menuju kamar Arya Dwipangga.
Ketika sampai di depan pintu kamar kakaknya, dengan menahan amarah yang memuncak dan menggemuruh di dada bahkan sampai di ubun-ubunnya, ia tendang pintu kamar kakaknya hingga terdengar suara gedobrak dan berderak. Arya Dwipangga terperangah melihat kehadiran adiknya dengan wajah tidak bersahabat.
"Adi Kamandanu, ada apa? Mengapa kau rusak pintu kamarku?"
"Huuh! Apa yang sedang kau lakukan itu?"
"Apa urusanmu? Aku sedang menulis syair."
"Rupanya kau bangga sekali dengan syair-syairmu itu, Kakang?"
"Tentu saja. Kenapa? Apa karena aku sedang menulis syair lalu kau tidak senang dan merusak pintu kamarku?"
"Jawab dulu pertanyaanku, Kakang! Mengapa kau mengirim syair-syair itu pada Nari Ratih? Apa maksudmu?"
"Oooo, jadi kau sudah tahu? Baiklah. Aku akan mengatakan alasanku."
"Jangan membuat alasan, aku ingin tahu yang sebenarnya."
"Ya, ya, Adi Kamandanu. Sabar dulu."Arya Dwipangga bangkit dan meletakkan alat tulisnya di atas meja kecil dan melangkah mendekati adiknya yang berpaling, membuang muka dengan perasaan kesal bercampur muak. "Adi Kamandanu! Aku ingin berbuat baik padamu. Aku ingin membuat hubunganmu dengan Nari Ratih pulih kembali."
"Kakang! Persoalan Nari Ratih adalah persoalan pribadiku. Kau jangan ikut campur."
"Dengar. Hubungan kalian tak mungkin bisa dipulihkan kalau aku tidak turun tangan."
"Apa pun yang akan terjadi di antara kami, Kakang tidak perlu ikut campur! Urusi sendiri persoalanmu! Mengapa Kakang terlalu usil?"
"Jadi, kau tidak menganggapku lagi sebagai saudara tuamu?"
"Kau tetap Kakang Dwipangga saudara tuaku, tapi bukan berarti kau boleh ikut campur urusan pribadiku sampai sekecil-kecilnya."
"Aku kan bermaksud baik?"
"Aku tidak membutuhkan jasa baikmu. Aku tidak butuh pertolongan siapa pun, sekalipun ayahanda sendiri."
"Kau sombong sekali, Kamandanu!"
"Terserah apa yang akan kau katakan. Tapi begitulah pendirianku. Aku tak ingin melihat orang lain ikut campur urusan pribadiku."
"Kalau begitu baiklah, Aku tak akan ikut campur lagi. Uruslah sendiri persoalanmu dengan Nari Ratih."
"Tidak bisa, Kakang. Kau telah berbuat kesalahan dengan mengirim syair-syair itu. Sekarang Nari Ratih bertambah kesal padaku. Hubungan kami semakin suram."
"Lalu bagaimana? Aku harus bagaimana?"
"Aku tidak tahu kau harus bagaimana. Tapi yang jelas, Kakang telah membuatku kecewa Kakang telah menyakiti hatiku dan aku tidak mudah melupakannya."
"Terserah kalau begitu."
"Mulai sekarang kita saling menjaga diri. Aku tak akan mencampuri urusanmu, tapi Kakang jangan coba-coba ikut campur urusanku sekalipun dengan dalil ingin berbuat baik."
"Baik kalau memang begitu kemauanmu."
"Mengenai Nari Ratih, aku bisa menyelesaikan sendiri persoalan kami tanpa harus mengikutsertakan syair-syairmu itu. Buatlah syair untuk dirimu sendiri karena belum tentu orang lain senang mendengarnya."
"Bagus, bagus! Tetapi bagaimana dengan pintu kamarku yang rusak itu?"
"Jangan khawatir! Aku akan membetulkannya. Tapi setelah itu pintu itu harus kau tutup rapat, jangan sampai gema syairmu terdengar dari kamar tidurku." selesai berkata demikian, Arya Kamandanu segera meninggalkan kakaknya yang tersenyum getir.
Beberapa saat lamanya Dwipangga berdiri di ambang pintu sambil memperhatikan Arya Kamandanu yang menghempaskan daun pintu kamarnya kuat-kuat sehingga menimbulkan suara kegaduhan. Bi Rongkot menghela napas dalam-dalam kemudian melangkah menghampiri Arya Dwipangga yang masih berdiri di ambang pintu dengan hati resah.
"Dalam hal ini, menurut pendapat Bibi, Angger Dwipangga juga yang bersalah."
"Aku kan bermaksud baik, Bi."
"Iya, tapi maksud baik Angger justru akan membuat Angger Kamandanu tersinggung. Seorang laki-laki tentu akan terusik harga dirinya jika urusan mengenai kekasih hatinya dicampuri laki-laki lain."
"Aku jadi serba salah, Bi."
"Maka sebaiknya Angger Dwipangga memperbaiki keadaan ini."
"Bagaimana caranya, Bi?"
Beberapa saat lamanya Bibi Rongkot terdiam, memperhatikan momongannya, lalu sesekali melongok ke arah kamar Arya Kamandanu. "Angger Kamandanu sangat kesal karena begitu tahu bahwa syair itu bukan dia yang menulis, gadis Manguntur itu lalu buru-buru pulang. Angger Kamandanu berusaha menahan, tapi agaknya gadis itu sudah sangat malu dan tersinggung harkat kewanitaannya."
"Kalau begitu aku harus minta maaf pada Nari Ratih. Aku akan menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya."
"Memang sebaiknya begitu. Tapi apakah Angger Kamandanu akan setuju?"
"Dia tidak akan setuju, Bi. Dia sudah menutup diri untuk semua maksud baikku."
"Kalau begitu cari cara lain saja, Ngger. Peliharalah perasaan adikmu. Kasihan dia."
"Tidak, Bi. Aku akan minta maaf pada Nari Ratih bukan untuk Adi Kamandanu lagi, tapi untukku sendiri. Aku sudah melakukan kesalahan yang membuat gadis itu menderita batinnya dan tidak seorang pun berhak mencegah niatku ini."
Hari itu juga Arya Dwipangga memacu kudanya menuju desa Manguntur. Bibi Rongkot tidak berhasil mencegah keinginan anak muda itu. Kepalanya pusing memikirkan dua momongannya yang berkemauan keras. Tidak ada yang mau mengalah. Ia mengambil sikap untuk diam. Dihempaskannya napas kesal kemudian ia kembali melanjutkan pekerjaannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar