Sabtu, 28 Mei 2016

Silent Rose 3



Case 03 : Forest Witness

Langit tampak cerah pagi itu, meski udara tidaklah segar. Gas-gas buangan kendaraan bermotor memenuhi udara dengan lamban namun pasti. Ian sedang menikmati secangkir kopi di halaman belakang rumah peninggalan Ayahnya, Silent Rose generasi pertama. Rumah mewah di kawasan perumahan di tepi kota Jakarta ini adalah tempat dia dibesarkan, sebelum pada usia 10 tahun, dia mengikuti karantina pendidikan di pusat pelatihan Association di Braunschweigh, Jerman.
Meski dari luar hanya terlihat seperti rumah mewah biasa, rumah itu penuh dengan kejutan. Ian adalah generasi keempat yang ikut ambil bagian di Association, kakek buyut dan kakeknya, adalah pembunuh bayaran yang cukup ekstrim, dengan codename : Bleeding Rose. Entah mengapa Ayahnya berhenti menggunakan codename itu dan merubah metode kerja sehingga menyandang codename : Silent Rose.

Ian tersenyum geli kala ia ingat bagaimana ia terjebak di ruangan tertutup di samping dapur ketika ia masih berusia tujuh tahun. Kala itu ia penasaran dengan larangan Ayahnya untuk masuk ke ruangan dengan pintu bercat biru-kuning yang ada di samping dapur. Ia lantas membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan tersebut, namun tiba-tiba, seluruh ventilasi ruangan tertutup hingga ruangan itu menjadi sangat gelap. Beberapa menit kemudian ruangan itu menjadi terang kembali karena lampu yang menyala, namun, Ian tidak menemukan satu pintu pun di dinding.
Ian sempat menangis dan menghabiskan waktu berjam-jam dalam ruangan itu sebelum sang Ayah membuka pintu yang ternyata bermotif sama dengan dinding bagian dalam ruangan tersebut. Setelah peristiwa itulah sang Ayah lalu menceritakan beberapa rahasia tentang rumah dan profesi asli Ayah serta kakeknya.
Sejak kecil, Ian hanya tinggal dengan Ayahnya, Hutomo Airul, yang lebih sering dipanggil dengan ‘Tom’. Ibunda Ian, Asha Putri, menghembuskan nafas terakhirnya beberapa menit setelah melahirkan Ian. Dia tidak pernah melihat sosok Ibunya selain dari foto besar yang terpajang di ruang keluarga. Foto yang kini entah ada dimana.
Lamunan Ian terhenti saat ia mendengar langkah seseorang, ia menolehkan kepalanya dan melihat Cinthya, yang sekarang menjadi adiknya dengan nama Evangeline Irene berdiri di ambang pintu belakang, Eva tampak cantik dengan baju sutera tipis berwarna putih dengan motif mawar kepunyaan mendiang Ibunda Ian. Ian tersenyum, mengambil cangkir kopinya dan beranjak dari duduknya.
“Sudah bangun rupanya”, Ian berjalan mendekati Eva. Eva hanya mengangguk. “Kau lapar?”
Eva menggeleng pelan.
Sudah sebulan Eva tinggal di kediaman Ian, namun masih belum banyak bicara, shock yang dialaminya atas kejadian tempo hari sepertinya benar-benar sulit untuk disingkirkan. Awalnya, Ian sedikit risih dengan keberadaan Eva. Bagaimanapun, kehadiran orang lain selain dirinya sendiri. Namun beberapa hari terakhir ini Ian sudah mulai terbiasa. Tatapan mata Eva bukan lagi tatapan penuh ketakutan seperti yang dilihat oleh Ian saat berada di pulau penuh sindikat narkoba. Kini, tatapan Eva terasa lebih lembut dan normal. Entah mengapa hal itu memberi kelegaan tersendiri di hati Ian.
Kruyuuukk…. Sebuah suara keluar dari perut Eva. Ian tersenyum mendengarnya, “kamu ini…” ucap Ian sambil mengelus ubun-ubun kepala Eva. Ian lalu bergegas mengambil celemek dan beberapa butir telur dari lemari es.
“Tunggulah di ruang makan, kita sarapan bersama. Aku sudah lapar menunggumu,” ucap Ian sambil menyiapkan penggorengan.
Eva berjalan menuju ruang makan, beberapa hari yang lalu, perasaanya seperti kosong-hampa. Masih dapat dia bayangkan apa yang dia lihat, saat para preman itu menembaki teman-temannya, memperkosa Gea di depan matanya. Eva masih dapat mencium bau anyir darah yang keluar dari tangan yang ditebasnya menggunakan parang.
Perasaan kosong itu memuncak saat dia terpojok, saat satu-persatu pengejarnya tumbang, saat Ian secara tanpa diduga muncul dengan senapan di tangannya dan seketika gelap. Saat siuman, dia sudah berada di sebuah kafe dengan Ian di sampingnya.
Saat Ian datang, menceritakan identitas aslinya dan menawarkan beberapa opsi yang ada, Eva tidak bisa berpikir jernih, namun ada kehangatan yang Eva rasakan di setiap tutur kata Ian, sesuatu yang membuat isi di dalam dadanya bergejolak. Akhirnya, Eva memutuskan untuk mengikuti kemauan Ian, orang yang telah menyelamatkannya. Dia setuju untuk tinggal dan membantu, menurutnya itu lebih baik daripada berhadapan dengan polisi, lagipula, tidak ada keluarga yang menunggunya lagi.
Tidak berapa lama kemudian, Ian datang membawa baki berisi dua piring telur mata sapi dan dua gelas susu. Mereka memulai sarapan
“Belum terbiasa dengan semua ini ya?” tanya Ian di sela-sela sarapan mereka.
Nggak juga…” Eva menjawab lirih. “ini sudah pilihanku,
Bukan pilihan mudah memang, tapi jika bukan ini yang kamu pilih, aku harus melenyapkanmu.” Ian berkata dengan nada datar, tanpa mengalihkan perhatian dari telur mata sapinya.
Kenapa menolongku?” Eva bertanya dengan tiba-tiba. Ian menghentikan makannya sejenak dan memandang Eva. “kenapa tidak membiarkanku mati seperti yang lain?” tanyanya lagi.
Keheningan menyelimuti mereka sejenak. ‘kenapa?!... Ya! Kenapa?!’ pertanyaan itu juga muncul berulang kali di pikiran Ian. Namun dia tidak menemukan jawaban yang rasional untuk itu.
Entahlah…” jawab Ian sambil kembali menyantapnya. “insting…, kupikir aku menolongmu hanya karena insting.
Insting?!” Eva mengernyitkan dahi.
Mungkin aku punya perasaan khusus padamu… mungkin… cinta?!” Ian menyerah dan menjawab sekenanya tanpa mempedulikan wajah Eva yang memerah akibat jawaban asal-asalannya.
Eva menyibukkan diri dengan sarapannya, berusaha menutupi rasa groginya atas jawaban tak terduga yang dilontarkan Ian.
“Aku adalah Silent Rose…” Ian meletakkan alat makannya. “dan aku tidak pernah mempedulikan orang lain di luar targetku. Jadi jika aku menyelamatkanmu saat itu, aku juga tidak tahu kenapa. Hanya saja…” Ian menghentikan kata-katanya, memandang jauh ke luar jendela. “Hanya saja, ada bisikan yang kuat di dalam kepalaku untuk melakukan itu, dan aku lakukan.
“Kepada siapa kalian bekerja? Dan untuk apa?” Eva mulai menyelidik.
“Jika aku ceritakan, apa kamu tahu resiko dari pengetahuan yang kamu dapat?” Ian menatap tajam pada Eva. “Dengar Eva, semakin sedikit yang kamu tahu, itu semakin baik untukmu.
Ian beranjak dari kursinya. “Oh ya,” ujar Ian ketika melewati Eva. “Tolong cuci piringnya.katanya sebelum berlalu menuju ruang kerjanya.

***

Ian melihat rak buku bergaya eropa kuno yang ada di ruang kerjanya. Entah sudah berapa tahun rak itu ada disana, buku-buku hard cover yang tebal tersusun rapi di dalamnya. Namun, jika diperhatikan dengan seksama, hanya ada beberapa buku yang tampak tidak tersentuh oleh debu. Ian menarik salah satu buku berwarna merah dengan tulisan “Enemy of Public”, dan sebuah pintu rahasia muncul di sisi rak tersebut. Ian melangkah masuk ke dalam ruang rahasia itu.
Tangga yang terbuat dari batu-batu sungai yang disusun itu terlihat bersih, cukup licin, butuh skill tertentu agar tidak tergelincir ketika melewatinya. Tangga itu menuju ruang bawah tanah, ruangan yang sudah beberapa generasi difungsikan sebagai ruang kerja untuk menyusun strategi, informasi, dan menyimpan peralatan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan sebuah case.
Sejak Antonius Handoko, Ian belum beraksi lagi. Dia menghabiskan banyak waktunya untuk menemani Cinthya yang kini bernama Evangeline Irene. Ian berencana untuk membuat Eva menjadi berguna baginya. Menjaga dan merawat rumah yang kerap kali ditinggal saat menjalankan Case.
Ian menepukkan kedua tangannya, seketika lampu di ruangan itu menyala terang. Ruangan bawah tanah yang cukup besar, dengan dua buah whiteboard besar di salah satu sisi dinding ruangan itu, sisi-sisi dinding lainnya dihiasi banyak lukisan-lukisan.
Ian berjalan dan berhenti di sebuah lukisan besar yang menggambarkan tiga orang wanita yang tengah menyiram bunga mawar merah. Ian menekan gambar mawar dilukisan tersebut, beberapa detik kemudian, lukisan itu terbelah menjadi dua dan menampakkan sebuah lemari kaca berisi senjata di baliknya.
Ian memasukkan kode untuk membuka lemari kaca tersebut dan mengambil sebuah senapan laras panjang M24A2s berwarna merah marun dengan ukiran mawar di gagangnya buatan Remington yang telah dimodifikasi khusus dengan silencer dan nightvision binocular. Senjata yang juga digunakan oleh Ayahnya ketika masih hidup. Senjata ini dipesan khusus oleh Ayahnya dan dimodifikasi oleh sang Ayah sendiri.
Ketika sedang asyik memeriksa senjatanya, Ian seketika menyadari kehadiran orang lain di ruangan tersebut. Dengan sigap Ian berbalik dan mengarahkan M24A2s nya ke sosok lain di ruangan tersebut.
“Ah!!” Eva memekik terkejut ketika Ian mengarahkan senjata padanya.
“Bagaimana kamu bisa masuk kesini?” Ian masih mengarahkan senjatanya ke arah Eva, meski dia sadar kalau senjata itu tidak berpeluru.
“Aku sedang membersihkan rak buku di tempat kerjamu dan tiba-tiba sebuah pintu terbuka…” Eva menjelaskan dengan sedikit takut. Senjata yang diarahkan Ian padanya, adalah senjata yang sama saat berada di pulau.
Ian menurunkan senjatanya setelah ia melihat Eva memegang kemoceng di tangannya, bukti bahwa ia sedang bersih-bersih. “Maaf, itu tadi reflek.ujarnya sambil meletakkan kembali M24A2s nya ke lemari kaca.
Eva memandang isi lemari kaca tersebut, ada banyak senjata di dalamnya selain M24A2s, satu buah pistol Beretta U22 Neos 7”, dua buah pistol pendek Beretta PX4 Storm, dan sebuah senapan laras panjang XM2010 ESR. Eva memandang semuanya dengan wajah kagum.
“Ini adalah teman-temanku,” Ian memecah pandangan Eva yang menerawang. “Kau mungkin sudah melihat M24A2s yang dulu aku gunakan, tapi kadang aku juga menggunakan ini.” Ian meraih XM2010-ESR dan menunjukkannya pada Eva. Ian lalu menjelaskan senjata-senjatanya yang lain.
“Jadi, Ayahmu juga menggunakan senjata itu?” tanya Eva setelah penjelasan singkat dari Ian.
“Kecuali XM2010-ESR, itu aku yang membelinya. jawab Ian singkat.
“Senjata itu telah turun-temurun di keluargamu?”
Ian tersenyum mendengar pertanyaan Eva, dia lantas menggeleng pelan. “Kakek dan kakek buyutku tidak pernah menggunakan senjata api. Metode yang mereka gunakan pun berbeda dengan aku dan Ayahku.
Ian bergerak ke sisi lain dinding dengan lukisan seorang penari india di taman bunga mawar, Ian menekan sebuah tombol rahasia di pusar sang penari. Lukisan itu bergeser ke atas, etalase kaca lain ada di dalamnya, berisi dengan beberapa pisau berukuran kecil, dan beberapa pasang sarung tangan panjang berwarna coklat, hitam, putih dan merah marun. Di setiap sarung tangan itu, terdapat ukiran mawar dengan warna emas.
“Ini senjata yang digunakan kakek dan kakek buyutku, mereka membunuh target secara langsung.
“Sarung tangan itu untuk menutupi sidik jari?” Eva bertanya lebih dalam.
Ian menggeleng sekali lagi, mengambil sepasang sarung tangan panjang itu dan mengenakannya. “Ini adalah alat utama Bleeding Rose, codename untuk Kakek dan kakek buyutku..”
Ian memegang pundak Eva dan mengarahkan sarung tangan itu ke leher Eva. Dan secara mengejutkan sebuah pisau panjang tanpa gagang keluar dari bawah sarung tangan itu, berhenti hanya beberapa centimeter dari kulit leher Eva yang putih mulus. Eva hanya mampu memekik tertahan tanpa bisa menggerakkan seujung jari pun.
Ian melepas dan mengembalikan sarung tangan itu pada tempatnya, lalu bergerak ke arah lukisan bergambar kolam kecil dengan mawar di tengahnya. Sekali lagi, Ian menekan tombol tak terlihat yang ada di mawar tersebut. Kali ini, lukisan itu tidak bergeser atau terbelah, namun beberapa laci keluar dari dinding di bawah lukisan itu.
“Ayahku lebih tertarik dengan ini ketimbang senjata-senjata tajam itu,” Ian menunjukkan laci yang penuh dengan botol-botol kecil. Belum sempat Eva bertanya, Ian mengambil sebuah botol kaca berwarna merah. “Deadly Orchid, racun buatan Ayahku, membunuh dengan alami dan tidak terdeteksi, tidak berbau, tidak berasa, tanpa gejala khusus seperti tercekik dan lain sebagainya. Beginilah cara yang digunakan Silent Rose.
Eva hanya mengangguk, kebingungan tampak jelas di raut wajahnya.
“Kau boleh membersihkan seisi rumah ini, tapi jangan sentuh apapun di ruangan ini,” jelas Ian sambil menutup kembali laci dan etalase-etalase yang terbuka. “Banyak jebakan di rumah ini, terutama di ruangan ini. Aku minta kamu berhati-hati.
Smartphone milik Ian tiba-tiba bergetar, Ian membuka e-mail yang masuk ke smartphone-nya.

From : Lazy Frangipani
Subject : HELP

Silent Rose, semua sudah siap, kini aku butuh bantuan yang pernah kau janjikan 10 tahun yg lalu. Case nomor 4a9951e sudah dibuka kembali.
ASAP.

‘Lazy Frangipani’? dalam bahasa Indonesia itu berarti Bunga kamboja yang malas. Kata sifat diikuti dengan nama tumbuhan adalah kode yang diberikan oleh Association kepada para pembunuh bayarannya. Ian mengernyitkan dahinya cukup lama membaca email tersebut. Sepuluh tahun yang lalu, dia masih belum menyandang gelar Silent Rose. Itu artinya yang menjanjikan sesuatu pada Lazy Frangipani adalah Silent Rose sebelumnya, yaitu Ayahnya. Apa yang dijanjikan oleh sang Ayah?!
Ian masih belum bergeming, membaca kembali susunan kata demi kata yang ada pada email tersebut, seakan dia telah melewatkan sesuatu yang penting. Tiga tahun sudah dia menyandang gelar Silent Rose, selama itu juga dia selalu mencoba mengumpulkan data demi data tentang Ayahnya. Silent Rose sebelumnya meninggal dalam suatu Case untuk membunuh seorang kepala polisi senior yang berpengaruh, itu yang dia ketahui. Tapi apa yang dilakukan Ayahnya sebelum meninggal? Ian tidak dapat menebaknya. Dan firasatnya kali ini mengatakan email ini dapat menjadi petunjuk baginya.
“Ada sesuatu?” Eva mengejutkan Ian yang sejenak larut dalam dunianya sendiri. Eva memandangnya heran.
Ian menggeleng dan tersenyum. “Ah, tidak apa-apa. Ada tugas untukku, bisa kau jaga rumah dan berjanji untuk tidak masuk ke ruangan ini atau ruangan berbahaya lain? Kau akan tetap aman selama ada di wilayahmu. Kamar, ruang tengah, teras belakang, dan dapur. Oke?”
Eva mengangguk mengerti. Ian membawa Eva keluar dari ruang kerjanya dan memintanya kembali ke kamar. Setelah memastikan Eva masuk ke dalam kamar, Ian bergegas mengambil jaket kulit hitam dan menyambar kunci mobil yang tergeletak di atas meja.

***

Perhatian Juna tidak teralih saat denting lonceng yang digantungkan di atas pintu terdengar, ia bahkan tidak menyadari saat Ian masuk, menaruh jaket kulitnya dan duduk di bar tepat di belakangnya. Juna sedikit terkejut saat Ian mencolek lengannya.
Eh… maaf, mas.” ucap Juna sedikit gagap.
“Serius amat?” Ian mengalihkan pandangannya ke sesuatu yang menarik perhatian Juna. Juna buru-buru berusaha menyembunyikannya. “Aku bukan orang baru disini, untuk apa menyembunyikan layar yang merekam aktifitas di ruang kerja Pak tua itu?” sergah Ian, kata-katanya membuat Juna mengurungkan niatnya.
Di layar televisi kecil itu tampak jelas apa yang terjadi di ruangan, seorang gadis tampak melenguh, tubuhnya terlihat mulus tanpa sehelai benangpun, gadis itu tengah berpegangan pada sebuah meja, membuat kedua payudaranya bergelantung indah, sedang di belakangnya, si Tua Wise Crow tampak asyik menggenjot gadis itu dalam posisi doggy style.
“Masih kuat juga Pak Tua itu…” komentar Ian melihat apa yang ditampilkan di layar kecil itu. Ini memang bukan pertama kalinya Ian melihat hal seperti itu, setidaknya sebulan dua kali, Wise Crow pasti melampiaskan kebutuhan biologisnya pada gadis yang berbeda-beda. Tapi yang kali ini, terlihat lebih muda dari biasanya.
Yang dipakai Pak Tua itu… teman kuliahmu?” selidik Ian setelah melihat mimik wajah Juna yang sedikit janggal.
Juna mengangguk. “Adik angkatan, Mahasiswa baru, lagi butuh uang.” tanpa diminta lebih lanjut Juna menjelaskan.
“Cih… sepertinya aku harus menunggu sedikit lama, Pak Tua itu cukup tangguh dalam hal ini. Aku akan merokok di meja sudut sana,” Ian menunjuk sebuah meja di sudut lalu beranjak ke arah sana.
Di dalam ruangan kerja Wise Crow, Rinda, gadis semester satu yang baru saja diputuskan pacarnya dan mengalami masalah ekonomi melenguh setiap si Tua Wise Crow menusuk vaginanya dengan penis. Pria tua itu sudah satu kali ejakulasi, dan ini adalah ronde keduanya, sesuai dengan perjanjian awal, Rinda melayaninya selama dua ronde dengan menggunakan kondom. Satu-satunya hal yang tidak diketahui oleh Rinda adalah Wise Crow telah melepas dan membuang kondomnya dengan cepat ketika mereka berpindah ke posisi doggy style.
“Ahh… aahh... ahhh…” desahan demi desahan meluncur keras dari gadis molek yang tengah dilanda kenikmatan ini, dia sudah orgasme sekali dan kini dia ada di ambang orgasme keduanya.
Wise Crow yang cukup berpengalaman, memegang pinggang sexy Rinda dengan kedua tangannya, menjadikannya poros yang membuat tusukannya terasa lebih cepat, dalam dan bertenaga. Nafasnya memburu, berbaur rapi dengan kenikmatan yang dia rasakan dari vagina gadis delapan belas tahun ini.
“Ohh… Akku… aaahhh!!” Rinda menyerah, orgasme menyerangnya, tubuhnya bergetar hebat, berkelonjotan tertahan, ini orgasme terhebat yang pernah dicapainya, pacar yang memutuskannya tidak pernah memberinya orgasme sehebat ini. Rinda melenguh sekali lagi, nafasnya tak teratur, Mr. Wise membiarkannya beristirahat sebelum beberapa detik kemudian kembali menggenjotnya.
Rinda hanya bisa pasrah sambil berusaha melihat sosok tua yang menyetubuhinya sekarang, pompaan penis Mr. Wise semakin kencang, membuat Rinda menjerit kecil. Hingga akhirnya Mr, Wise menekan seluruh penisnya dan menggeram kencang.
“App…!!!!” Rinda terbelalak kaget, bukan karena tekanan penis pak tua yang menyetubuhinya, namun lebih terkejut dengan semburan hangat yang dia rasakan di rahimnya. Saat itulah dia baru sadar bahwa Pak Tua yang menyetubuhinya ini telah melepas kondomnya, dan kini menumpahkan benih di rahimnya! Raut wajahnya makin khawatir mengingat ini adalah masa suburnya.
Mr. Wise mencabut penisnya dengan tenang, raut kelegaan ada di wajahnya, sebaliknya, Rinda kini terlihat khawatir, dia merasa telah tertipu.
“Lebih enak tidak pake kondom dan dikeluarkan di dalam,” jawab Mr. Wise datar seolah membaca raut muka Rinda yang hendak protes. “Aku yakin Juna juga akan setuju dan melakukan hal yang sama.tambahnya.
“Apa maksud Bapak?!” Rinda protes.
“Juna pasti melihat dari kamera di sudut itu, jadi sebaiknya kamu layani juga dia, meski aku yakin Juna tidak akan sehebat aku. Sudahlah, beberapa benih tambahan tidak akan mengalahkan sperma juaraku,” kata Mr. Wise sambil mulai berpakaian dan membuka pintu.
“Aku nggak mau!” Rinda menolak tegas, berusaha mengambil pakaiannya, tapi dia kalah cepat, Mr. Wise lebih lincah dan tangkas dari dia.
“Pakaianmu akan kukembalikan setelah Juna selesai mengisi rahimmu,” jawabnya dingin sambil meninggalkan ruangan.
Dan Rinda baru saja tersadar, dia telah memilih jalan yang salah.
“Juna! Giliranmu!” Mr. Wise berkata dengan nada cukup lantang.
Juna terkejut dan salah tingkah mendengarnya. “M-maksud Mister?” terlihat sekali kekagetan di wajah Mahasiswa ekonomi itu.
“Aku sudah bosan memelihara seorang penonton, masuk dan lepaskan keperjakaanmu itu! Atau kau mau melewatkan cewek secantik Rinda?” Mr. Wise mengambil gelas dan mengalirkan segelas air putih dan meneguknya.
Juna diam sejenak, terlihat bingung sebelum akhirnya dia melangkah ke ruang kerja Mr. Wise.
“Apa kau tidak terlalu keras memperlakukan seorang perjaka seperti Juna?” Ian berkata diantara kepulan asap rokoknya. “Laki-laki kan seharusnya memilih kapan dan dengan siapa dia melepas keperjakaannya.
“Ah!” Mr. Wise tampak baru menyadari keberadaan Ian di café itu. “Kau mengejutkanku, Rose. Bagaimana Eva?” nadanya kembali tenang. Mr. Wise mengambil selembar tissue dan membersihkan sebuah gelas kaca di dekatnya.
“Dia baik,” Ian mendekat ke bar, melirik ke layar kecil yang menayangkan keadaan ruangan kerja Mr. Wise. Di layar tampak Juna sedang berusaha memaksa Rinda untuk melayaninya.
“Aku tidak suka pria yang terlalu lurus,” ujar Mr. Wise melihat Juna yang susah payah membaringkan tubuh telanjang Rinda. “Mestinya dia pukul kepala cewek itu, dengan begitu perlawanan pasti akan berkurang.
Ian tidak berkomentar, memang yang dikatakan oleh Mr. Wise terdengar kasar, namun itu memang salah satu trik untuk memaksakan kehendak. Tunjukkan siapa yang lebih kuat, dan ketakutan akan melemahkan mereka.
Mr. Wise menjauhkan matanya dari layar ketika dia melihat Juna sukses melakukan penetrasi ke vagina Rinda. “Jadi? Apa yang bisa tua bangka ini bantu, Silent Rose? Kau sudah siap memulai sebuah Case lagi?”
“4a9951e…” ujar Ian dingin, matanya menatap tajam bola mata Mr. Wise yang masih tampak asyik dengan gelas dan tissue-nya. Perlahan bola mata itu bergerak balik menatap Ian, Ian memalingkan pandangannya. ‘Percuma mencoba membaca apa yang ada di kepala tua bangka ini’, gerutu Ian dalam hati, dia paham betul, para Agen tipe B yang menyandang codename dengan pola nama burung sebagai awal codename dan kata sifat sebagai akhiran adalah tipikal para pemain psikologis yang tinggi. Mereka memang terlatih untuk menjadi seorang informan sekaligus game-maker.
“Case lama sekali,” Mr. Wise mulai menunjukkan kepiawaiannya dalam memainkan situasi. “Informasi apa yang kau butuhkan tentang case yang mulai kadaluarsa itu?”
“Tak biasanya kau bicara banyak,” Ian mencoba membalik situasi sambil menghisap rokoknya dalam-dalam, meski dia tahu itu mungkin tidak banyak berpengaruh.
Mr. Wise tidak menjawab, dia mencabut pena dari saku bajunya dan menuliskan beberapa digit angka di atas tisu lalu menyodorkan ke Ian. Ian membaca dan mengambil ponselnya untuk melakukan transfer dana sesuai yang tertulis di tisu itu.
“Done,” Ian menunjukkan tulisan yang tertera di layar ponsel canggihnya. Mr. Wise tersenyum, senyum kemenangan yang membuat Ian sedikit sebal.
Aku masih ingat detail kasus itu, dibeli tunai oleh Lazy Frangipani dariku, entah darimana dia punya cukup dana untuk membeli kasus itu. Yang jelas, seperti biasa, Lazy Frangipani selalu lama dalam menyelesaikan kasus itu. Aku sendiri tidak tahu apa dia sekarang dia masih hidup atau tidak.
Mr. Wise mengambil gelas lain untuk dibersihkan. “Sampai sekarang case itu belum ditutup. Lazy Frangipani juga tidak ada kabarnya. Apa kau tertarik untuk melakukan TOC?”
Ian menggeleng, TOC adalah singkatan dari Take Over Case, dimana artinya seorang Agen membeli kembali case yang sudah hampir kadaluarsa dengan catatan harus membunuh agen yang sebelumnya telah mengambil kasus tersebut. Dalam hal ini, jika Silent Rose melakukan TOC terhadap case nomor 4a9951e yang telah dibeli Lazy Frangipani, maka Silent Rose juga harus memburu Lazy Frangipani. Setelah agen sebelumnya mati, baru case dinyatakan closed.
“Isi dari case itu?” Ian mencoba peruntungannya dengan pertanyaan itu, kecil kemungkinan seorang Wise Crow akan melanggar kode etik dengan menjelaskan isi suatu case, kecuali jika Silent Rose telah menyatakan TOC.
“Jangan memaksaku mengingatkan cara kerja Association,” jawab Mr. Wise dingin.
“Apa ada case yang berkaitan dengan case 4a9951e?” kali ini Ian bertanya dengan jalur yang benar.
Mr. Wise meletakkan gelasnya dan menatap Ian dalam-dalam. “Silent Rose…” ujarnya dingin. “Apa yang membuatmu tertarik dengan case tersebut?” tatapan Mr. Wise seakan membekukan dirinya, Ian dapat merasakan dingin mulai menjalar ke tengkuknya.
“Tidak masalah kalau kau tidak menjawabnya,” Ian beranjak dan bergegas pergi, mencoba lari sebelum Mr. Wise benar-benar membaca pikirannya.
“Tunggu…” Mr. Wise menahan kepergian Ian. “Ada case yang memiliki ruang lingkup sama dengan case itu, tapi tentu saja, target berbeda.
Ian menghentikan langkahnya.
“Ayo ke ruang kerjaku,” tambah Mr. Wise sambil melirik ke layar dimana Juna baru saja mencabut penisnya dari vagina Rinda.

***

Deru mesin dan deru ombak berbaur menjadi satu kala sebuah kapal yacht berwarna biru berlogo FONDO – corp membelah lautan yang mulai gelap. Matahari baru saja terbunuh di ufuk timur, membuat langit memerah seolah terluka. Di salah satu ruangan pribadi di yacht itu, Eddy Arya, salah satu relasi bisnis yang sudah lama sekali menjalin hubungan kerja dengan perusahaan milik Fondo, duduk tenang di atas sofa, seorang gadis cantik sedang sibuk berlutut di antara selangkangannya.
Sesekali Eddy mengerang, tubuh gemuknya tampak sedikit menggeliat, saat gadis itu memanjakan batang kejantanannya dengan lidah dan hisapan-hisapan kecil. Eva, nama gadis itu, sedang memberi blowjob terbaik pada orang kaya tua itu. Meski sebenarnya Eva sedikit risih karena Eddy bukan satu-satunya pria di ruangan itu.
Ada tiga laki-laki lain selain Eddy di ruangan itu, satu diantara ketiganya terlihat babak belur dengan beberapa lebam di wajahnya. Satu pria lagi terlihat cukup berumur dengan badan besar yang penuh dengan otot. Sedang satu pria yang tersisa adalah pemuda berbadan sedang dengan wajah yang cukup tampan.
Eva mengulum penis Eddy dengan penuh perasaan, setidaknya itu dilakukannya untuk membuang rasa risih atas tatapan ketiga pria lain di ruangan itu. Gadis cantik berambut panjang itu menggerakkan kepalanya naik turun semakin cepat. Membuat Eddy memejamkan mata semakin rapat.
“Ouhhh…” Eddy menggeram ketika mencapai puncaknya. Dia mencengkeram kepala Eva dan menyemprotkan cairannya langsung ke dalam tenggorokan gadis cantik itu. Eva sedikit tersedak, bagaimanapun, ini adalah sperma pertama yang ditelannya.
Eddy mengejang selama beberapa detik, dan membiarkan seluruh batang kejantanannya amblas ke dalam mulut Eva sebelum mencabutnya. Eva tersungkur sambil sedikit terbatuk-batuk, beberapa cairan yang tak tertelan menetes dari sudut bibirnya.
“Sedikit amatir, tapi sungguh luar biasa, cantik!” kepuasan tampak di wajah Eddy Arya. Eva masih meringkuk diam, T-shirt ketat berwarna kuning yang dikenakannya sudah terangkat dekat leher bersama dengan bra yang dikenakannya, membuat dua buah payudaranya terlihat naik-turun kala dia mengatur nafas.
Eddy tua itu memasukkan kejantanannya ke dalam celana, dan memasang kembali resleting celananya. Melihat apa yang dilakukan oleh Eddy, Eva mulai membenahi pakaiannya yang berantakan, namun Eddy menahannya.
Oke, nona manis, sekarang berdiri dan buka seluruh pakaianmu.” perintah Eddy terdengar jelas. Eva sedikit terkejut, baru saja dia pikir tugasnya selesai.
Eva berdiri dengan sedikit ragu, memegang ujung kaosnya yang sudah tergulung, berhenti sejenak dan mulai menarik kaos itu lepas lewat atas kepalanya. Kaos itu terjatuh di samping kakinya, disusul dengan bra merah muda yang dikenakannya. Kini, tubuh bagian atasnya telah telanjang, menampilkan kedua buah dadanya yang membulat indah.
Gadis itu kini menyentuh tepi celana jeans biru tua yang sudah terbuka saat Eddy mengobok-obok vaginanya. Eva menarik turun tepi celananya hingga paha, berhenti sejenak dan melayangkan pandangan pada sosok di dalam ruangan itu, sebelum menarik turun jeans itu hingga lepas.
Eddy menatap gadis itu sambil tersenyum nakal, sedang pria lain di ruangan itu tidak melepaskan pandangan dari tubuh Eva saat gadis itu menurunkan celana dalamnya hingga tak satupun benang menutupi tubuh telanjangnya.
Eva bergidik dalam hati, satu-satunya pengalaman telanjang di depan lebih dari satu pria adalah saat dia mengalami perkosaan di pulau. Dan bisa dibilang, inilah pertama kalinya dia menelanjangi dirinya sendiri di depan beberapa pria. Tangannya bergerak reflek menutupi kedua payudaranya. Dapat dia rasakan seluruh mata di ruangan itu menelusuri lekuk indah tubuh telanjangnya.
“Wow,” pria dengan wajah penuh lebam tidak bisa menahan kagumnya saat melihat tubuh telanjang Eva, nafasnya pria itu mulai terdengar memburu.
Eddy beranjak dari sofanya dan mendekat ke arah Eva yang berdiri diam dengan tubuh telanjang menghadapnya. Dengan lembut Eddy menempatkan kedua tangannya di lekuk pinggang Eva, lalu membalikkan badan Eva. Kini, Eva berhadapan langsung dengan tiga laki-laki lain di ruangan itu.
Tubuh Eva sedikit terlonjak saat tangan Eddy bergerak meremas payudara kanannya, seolah memamerkan betapa kenyal dan padatnya buah dada Eva ke tiga pria lain di depannya. Eva hanya diam saat Eddy memeluknya dari belakang, dan meremas kedua buah dadanya di hadapan para pria itu.
Sejenak Eva melayangkan pandangan ke sosok di ruangan itu, sebelum mulai memejamkan mata dan melenguh, menikmati remasan nikmat di buah dadanya. Eddy mulai mencium tengkuk dan leher gadis itu sambil sesekali memandang ke ketiga anak buahnya.
Pria dengan wajah penuh lebam tampak terpana dengan apa yang dilakukan oleh bosnya, nafasnya memburu, dapat dikatakan bahwa sekarang penisnya pasti sangat tegang. Mata pria itu tampak tidak lepas dari buah dada Eva yang sedang dipermainkan oleh Bosnya.
Pria tua kekar menunjukkan hal yang sama, meski terlihat lebih tenang, namun nafas pria tua itu memburu. Pandangannya terlihat bergairah, sesekali dia bergerak untuk membetulkan sesuatu di dalam celananya. Sesuatu yang terlihat sedang berontak.
Pandangan Eddy terhenti pada sosok terakhir yang ada di ruangan itu, pemuda itu terlihat begitu tenang, matanya memang terarah ke apa yang dilakukan Eddy pada tubuh telanjang Eva, namun nafasnya sama sekali tidak terlihat memburu. Raut wajah pemuda itu tampak biasa saja, seolah-olah dia sudah sering melihat adegan seperti itu.
Jari jemari Eddy kini bergerak ke bawah, menyentuh liang kenikmatan Eva yang memang terlihat sangat terawat dan sempit. Eddy menggerakkan telunjuknya menyusuri belahan vagina Eva, membuat Eva menggelinjang kecil sambil mendesis nikmat. Tidak berhenti disitu, Eddy juga menggerakkan ibu jarinya menyentuh gundukan kecil di bagian atas vagina indah itu.
“Ah!” Eva memekik tertahan saat merasakan ibu jari itu menyentuh titik sensitifnya, memberi kenikmatan pada dirinya. Eddy terus bergerak sambil memperhatikan reaksi ketiga anak buahnya.
“Berapa kontol yang sudah masuk kesini?” Eddy bertanya sambil sedikit menekan bibir kewanitaan Eva dengan telunjuknya.
“Ungh… baru satu,” jawab Eva jujur. Memang, hingga detik ini hanya mantan kekasihnyalah yang pernah menikmati jepitan liang kewanitaannya. Eva bukan gadis yang berpengalaman, hanya dua kali dia melakukan hubungan seksual. Namun entah kenapa, dijamah di hadapan banyak pria memberikan sensasi tersendiri yang membuatnya cepat bergairah. Sangat bergairah hingga dia sedikit lupa akan peran yang dimainkannya dan menjawab pertanyaan itu dengan jujur.
“Kalau begitu sebentar lagi akan ada dua,” Eddy berkata sambil menarik tubuh Eva ke belakang.
Eddy melepas pelukannya dari tubuh telanjang Eva dan membuka kembali celananya. Batang kejantanannya belum tegang setelah melepaskan muatannya tadi. Eddy kembali duduk di atas sofa.
Hisap lagi,” perintahnya pada Eva.
Gadis itu kembali berlutut di sela-sela selangkangan orang tua kaya itu, tangan lentiknya mengenggam lembut batang kejantanan pertama yang memuntahkan isinya ke dalam mulutnya. Eva mulai mengocok penis itu dengan lembut, sebelum memasukkan penis yang belum tegang itu ke dalam mulutnya dan mulai menghisap.
“Ouhh… nikmat hisapanmu nona cantik,” puji Eddy kembali menikmati oral sex dari Eva. “Sekarang, sambil kontolku kamu hisap, memekmu akan dimasuki kontol kedua,” Eddy melemparkan pandangannya pada tiga anak buahnya.

***

Jakarta, 2 Hari sebelumnya

Eva baru saja menyelesaikan makan malamnya saat Ian kembali dari 7th avenue Café. Hujan mengguyur Jakarta malam itu. Ian melemparkan jaket kulit hitamnya ke atas sofa di ruang keluarga, lalu berjalan ke arah Eva yang masih duduk di meja makan.
“Sudah makan?” suara Eva terdengar lembut, meski dia masih menatap Ian dengan sedikit ragu-ragu.
“Belum, kamu baru selesai makan?” Ian memperhatikan remah-remah makanan di tepi piring Eva.
“Aku buatkan sop bening dan nugget, tadi aku pakai bahan makanan yang ada di lemari es,” Eva mengangkat tudung makanan yang ada di atas meja makan. Semangkuk besar sop sayuran dan beberapa potong nugget tersaji di baliknya.
“Wah! Spesial nih!” Ian tersenyum sambil duduk di hadapan Eva. Ia mengambil nasi dan mulai menyendoki sop serta mengambil dua potong nugget. Setelah itu, Ian memandang tajam ke arah Eva.
“Kenapa?” tanya Eva heran.
“Nggak keberatan kalau aku minta kamu makan sop dan sepotong nugget di depanku kan?” ujar Ian sambil menatap mata Eva.
Sejenak Eva tampak bingung, sebelum kemudian dia mengerti apa yang dimaksud Ian, Ian memintanya menguji apakah makanan yang dimasaknya mengandung racun atau tidak. Dengan sedikit kesal Eva menyendok sop dan memakannya, lalu mengambil sepotong nugget dan memakannya.
Sudah!” ujar Eva dengan nada kesal. “nggak ada racun di dalamnya. Aku nggak pengen bunuh diri kok!”
Ian tersenyum pelan, “Maaf, sudah kewajibanku untuk waspada, bahkan terhadap orang-orang dekatku sekalipun. Harap maklum,” Ian menjelaskan sambil mulai menyendok makanannya. Eva masih terlihat cemberut.
“Jadi… ada tugas baru?” tanya Eva saat Ian mulai asyik dengan makanannya. Ian menghentikan sejenak makannya dan mengangguk. Ian makan dengan sangat lahap, selama ini, jika dia sedang sibuk dengan Case dia hanya makan makanan instant. Memakan makanan yang dimasak orang lain adalah sesuatu yang jarang dia lakukan. Dan kali ini dia harus mengakui, Eva sangat pintar memasak.
Tiba-tiba Ian tersentak, raut wajahnya berubah seketika. Lalu mengeluarkan sesuatu berwarna kuning yang sempat dikunyahnya. Ian memandang benda itu, LENGKUAS! Dia baru saja mengunyah lengkuas, dan rasanya tidak enak! Ian buru-buru menyambar segelas air di depan Eva. Melihat tingkah Ian, Eva tertawa lepas.
Seketika itu suasana menjadi cair. Selama Eva tinggal bersama Ian disini, baru kali itulah mereka sama-sama tertawa.
"Kok sop ada lengkuasnya?" tanya Ian. karena setahunya, Sop tidak menggunakan lengkuas sebagai bahan masakan.
"Kecemplung kayaknya," Eva menjelaskan dengan wajah tanpa dosa. “Enak?” goda Eva. Ian mencibir, Eva tertawa sekali lagi.

***

“Kenyaaang…” Ian mengelus perutnya setelah menghabiskan dua porsi manusia biasa. Eva tersenyum geli melihat ekspresi pada wajah Ian.
“Mungkin aku akan pergi untuk beberapa lama, menyelesaikan tugas. Sebelum itu tolong buatkan daftar bahan makanan yang kamu mau, jadi aku bisa menyiapkannya untukmu,” Ian berkata sambil mulai membakar rokoknya.
“Berapa hari?” Eva bertanya seraya menjulurkan tangannya, membereskan piring Ian.
“Entahlah, sebulan mungkin. Atau lebih,” asap keluar dari bibir Ian.
Eva terdiam sejenak, memandang kosong ke garis-garis yang di bentuk oleh kepulan asap rokok yang dihisap oleh Ian. “Aku…” Eva berhenti, seolah ragu atas apa yang akan diucapkannya.
Kenapa?” Ian bertanya menyelidik. Saat ini, entah mengapa Ian tidak merasakan beban yang kemarin-kemarin dirasakannya ketika ada di dekat Eva. Alih-alih beban, kini dia malah merasa sangat nyaman, seolah berada di rumah sendiri (meski memang di rumah sendiri).
Apa aku tidak bisa… ikut?” setelah sempat ragu akhirnya Eva mengutarakan maksudnya. “maksudku, apa aku tidak bisa berguna, membantu membawakan barang atau…” ucapannya terhenti saat ia menyadari Ian tengah menatap tajam padanya.
Kamu tahu apa yang jadi tugasku, bukan?” mimik wajah Ian kini terlihat serius.
Membunuh seseorang kan? Orang yang jahat?” Eva menjawab. Dia sempat membaca beberapa kliping berita tentang Silent Rose yang tersimpan di saku samping lemari es saat mencari pembuka botol. Silent Rose hanya membunuh orang-orang yang jahat.
Jawaban Eva membuat Ian tersenyum. “Tidak semudah itu, nona cantik,Kata ‘cantik’ yang diucapkan Ian membuat Eva sempat tersipu. “Aku harus membuat rencana, memperhitungkan probabilitas dan variabel-variabel yang bisa menyebabkan terganggunya sebuah rencana, mempersiapkan manuver-manuver jika rencana utama tidak dapat dilakukan, dan mempersiapkan semua pendukung untuk melaksanakan rencana itu. Yang terakhir, aku harus memastikan rencana berjalan baik.
Eva terdiam, berpikir tentang apa yang dikatakan Ian. “Tidak adakah cara agar aku bisa masuk sebagai bagian dari rencana itu?”
Kali ini giliran Ian yang terdiam. Otaknya bekerja sangat cepat mencari kemungkinan menjadikan Eva sebagai bagian dari rencana yang dia susun untuk Case kali ini. Memang, harus diakui, selama ini yang menjadi target dari Silent Rose adalah laki-laki, dan keberadaan seorang heroine, sangat membantu dalam menyelesaikan sebuah Case.
“Jika aku bisa memasukkanmu dalam rencanaku, apa kamu bisa bersikap penuh totalitas dalam menjalankan peranmu?” tanya Ian.
“Aku harus bisa,” Eva berkata sambil mengangguk yakin.
“Kamu tahu resikonya? Aku mungkin tidak akan ada untuk menolongmu seperti yang terjadi tempo hari. Apalagi jika itu dapat merusak rencana,” Ian mencoba memberi tekanan pada kalimat ‘menolongmu lagi’.
“Ya,” Eva mengangguk lagi.
“Apa kamu bersedia tidur dengan beberapa laki-laki demi berjalannya rencana?”
Kali ini Eva terdiam. “Maksudnya?”
Seks, jika itu diperlukan dalam rencana. Apa kamu sanggup melakukan hubungan seks dengan pria yang tidak kamu kenal? Bahkan mungkin dengan banyak orang sekaligus? Atau saat mereka memaksamu melakukan hal yang belum pernah kamu lakukan sebelumnya?”
Eva masih terdiam, kali ini lebih lama.
“Ya…” nada suara Eva kali ini terdengar lebih lemah. “aku bersedia,
“Pikirlah baik-baik dulu,” ujar Ian sambil beranjak dari kursinya. “Beritahu aku jawabanmu besok pagi, kalo memang kamu siap, besok siang kita akan berangkat.” ujarnya sambil meninggalkan ruang makan.

***

Pelabuhan Belawan, beberapa jam sebelum keberangkatan Eddy Arya ke Pulau Iyu Kecil.

Angin laut bertiup hanya sesekali di dermaga siang itu, aktivitas pelabuhan masih terlihat normal, beberapa awak kapal terlihat asyik bercanda di kantin-kantin dan di dek kapal mereka masing-masing. Sebuah SUV berwarna hitam masuk ke dermaga dan berhenti tepat di sebuah kapal yacht berwarna biru dengan logo FONDO-corp di lambung kapalnya. Seorang laki-laki turun dari kapal, membukakan pintu untuk penumpang mobil tersebut. Eddy Arya, pemilik salah satu perusahaan industri makanan di Indonesia turun dari mobil dengan menggandeng seorang gadis muda yang dibalut dengan pakaian biasa. Eddy mengusap dahinya yang botak dengan sapu tangannya, memandang sebentar ke arah matahari yang tengah bersinar terik lewat kacamata hitamnya.
“Maaf, Bos, gadis itu?” ujar laki-laki berambut cepak yang mengenakan jas hitam.
Dia keponakan Tohir, tadi aku sempat mampir untuk menagih hutang, dan dia malah memberikan keponakannya sendiri untuk melunasi sebagian hutangnya. Hahahaha…” Eddy tertawa dengan lebar. “Kau bantu Alan angkat barangku di mobil, Budi,” ujarnya lagi.
Laki-laki berambut cepak yang dipanggil Budi segera beranjak ke mobil. Alan, pria tua berbadan kekar, mengangkat beberapa peti sekaligus, menunjukkan kekuatan ototnya. Sedang, Budi malah bergerak menjauh dari mobil. “Kemana? Hey! Bud?” Alan berteriak.
“Aaah… kau urus sajalah barang-barang itu, aku mau melemaskan ototku dulu,” ujar Budi sambil memutar-mutar lengannya seperti orang yang tengah melakukan peregangan otot.
Dua pria itu adalah bodyguard pribadi Eddy Arya, dari beberapa bodyguard miliknya, Alan dan Budi adalah yang paling tangguh. Budi menguasai tae kwon do dengan fasih, sedang Alan adalah seorang karateka yang tangguh. Mereka berdua dibawa oleh Eddy Arya untuk ikut sebagai petarung dalam sebuah even tahunan yang diadakan secara ilegal oleh keluarga Fondo di Pulau Iyu Kecil, tempat peristirahatan keluarga Fondo. Sebagai relasi kental, Eddy Arya juga turut diundang.
Budi berbeda dengan Alan, Budi cenderung mencari masalah, baginya, pamer kekuatan itu wajib. Dia senang sekali mencari perkelahian tanpa sebab yang pasti, hanya untuk melatih sekaligus pamer kemampuan bertarungnya. Berbeda dengan Alan yang lebih suka tidak mencari masalah.
Itulah yang dilakukan Budi saat ini, sedari tadi dia memperhatikan beberapa pemuda awak sebuah kapal pencari ikan yang sedang nongkrong di dekat kapal yacht biru milik keluarga Fondo bersandar. Kini Budi tengah mendekati para awak itu, dan tanpa berkata apa-apa mendaratkan satu tendangan keras ke tulang rusuk salah seorang dari mereka, membuat orang yang ditendang terlempar jatuh ke air.
“Apa-apaan ini?” sergah salah seorang dari kumpulan pemuda itu. Mereka semua serentak berdiri, total ada lima orang, dua diantaranya sibuk membantu rekannya yang tercebur ke laut.
“Apanya yang apa-apaan?” Budi merentangkan tangannya sambil berseringai lebar. “Aku tidak suka lihat pemuda-pemuda loyo seperti kalian ada disini! Pergi atau kuhajar!” tantangnya dengan angkuh.
“Anjing!” salah seorang dari mereka maju sambil mengayunkan tinju namun terlambat, kaki Budi lebih dulu menyentuh tulang rusuknya dan membuatnya terlempar ke laut, seperti rekan sebelumnya.
“Siapa lagi, Hah?!” ujar Budi sombong, seringainya makin lebar dan mengerikan. Satu dari dua pemuda yang tersisa bergerak mundur.
“Kalian semua pergilah kembali ke kapal” ujar salah satu dari mereka. Pemuda itu maju, menjaga jarak dengan Budi dan mengambil kuda-kuda tempur.
“Hoo… ada yang bisa bela diri juga rupanya,” ejek Budi sambil memasang kuda-kuda. “dari aliran apa kau? Karate? Tae kwon do?” tanyanya.
Pemuda itu hanya diam tanpa merubah ekspresinya. Malah dengan cepat pemuda itu bergerak maju selangkah, Budi mengayunkan kakinya dengan sangat cepat, tapi pemuda itu sudah mengantisipasinya dengan sebuah tangkisan dari lengan bagian dalam. Melihat tendangannya gagal, Budi meloncat ke belakang untuk mempersiapkan serangan selanjutnya. Saat itulah sang pemuda meloncat dan menghantamkan sikunya ke kaki kanan Budi yang belum sempat ditarik. Budi sempat kehilangan keseimbangan, namun dengan tangkas diantisipasinya, dalam Tae Kwon Do, kehilangan keseimbangan dan jatuh adalah hal yang sangat fatal.
Pemuda itu tidak bicara sepatah katapun, tidak juga menunggu. Dengan loncatan kecil, pemuda itu berhasil membuat jarak antara dia dan Budi semakin sempit. Tidak berada dalam jangkauan maksimal kaki memberikan keunggulan bagi pemuda itu. Budi menekuk kakinya untuk menghantamkan lutut ke pinggang pemuda itu, namun sebelum sempat serangan Budi mendarat, pemuda itu sudah lebih dulu menjatuhkan tinju ke paha bagian dalamnya, membuat serangan Budi tertahan beberapa detik karena nyeri.
Detik berikutnya, sang pemuda mengayunkan sikut kanannya, tepat mengenai pelipis kiri Budi, darah mulai mengalir dari pelipis kiri Budi. Budi sedikit terhuyung ke belakang.
“Bangsat!” emosi Budi meningkat, sebuah nilai minus dalam pertarungan. Saat terpancing dengan emosi, petarung cenderung akan mengendurkan pertahanannya. Dan itulah yang terjadi.
Serangan berikutnya dari Budi terkesan terburu-buru, dan menjadi bumerang baginya, dua tendangan tinggi yang dilepaskan secara beruntun dari kaki kanan dan kiri berhasil ditangkis dengan sempurna oleh pemuda itu. Kali ini, keseimbangan Budi benar-benar rusak. Tanpa banyak bicara, sang pemuda memanfaatkan situasi dengan baik, sebuah tinju mengarah tepat ke ulu hati Budi, membuatnya badannya sedikit merunduk.
Dan tanpa memberi jeda, pemuda itu mengayunkan lututnya, tepat mengenai hidung Budi sekaligus mematahkannya. Budi terlempar jatuh dengan punggung menghantam keras lantai beton. Belum sempat Budi mengaduh, sebuah injakan keras terasa di perutnya, dan beberapa tinju mendarat beruntun ke kepalanya.
“Hei!” sebuah suara menarik perhatian mereka. Alan, dengan badan kekarnya berlari ke arah mereka.
Merasa adanya bahaya, pemuda itu menarik diri dari atas tubuh Budi yang babak belur.
“Kurang ajar! Kamu tidak tahu dengan siapa kamu berurusan!” Alan memasang kuda-kuda tempur, meski dia tahu Budi yang memulai semua ini, dia merasa tetap punya kewajiban membela rekannya.
Pemuda itu memasang kuda-kudanya kembali setelah memberi isyarat agar teman-temannya lari. Lima pemuda yang lain segera kabur.
Alan memulai pertarungan dengan maju menerjang, raut wajahnya terlihat tenang, bukan lawan yang mudah terpancing emosi. Tinju beratnya nyaris saja mendarat di tubuh sang pemuda. Untungnya, reflek pemuda itu cukup bagus, dia berhasil mengelak dari tinju yang punya kemampuan mencopot tulang lengan dari sendinya itu.
Pemuda itu mundur dua langkah menyadari Alan bukan tipe petarung yang lebih mengandalkan kaki seperti Budi. Petarung tua kekar itu terlihat sangat tenang, yang artinya serangannya lebih metodikal dan terencana. Pemuda itu meningkatkan tingkat kewaspadaannya.
Serangan berikutnya dari Alan terlihat sangat rumit, dua pukulan beruntun yang cepat membuat sang pemuda harus mengambil resiko dengan menangkis, membuat jarak diantara mereka semakin dekat. Dalam diam, dengan cepat dan cermat Alan menggerakkan kaki kanannya ke belakang, sebagai ancang-ancang untuk melakukan tendangan lutut ke arah perut sang pemuda.
Beruntung sekali, dalam sepersekian detik, pemuda itu mampu menangkap adanya pergerakan di kaki kanan Alan, dengan cepat pemuda itu mengambil langkah paling ekstrim ; memeluk Alan.
Alan terkejut dengan gerakan sang pemuda, kali ini tidak ada jarak diantara mereka, dan itu artinya tendangan lututnya tak bisa diluncurkan. Lebih kaget lagi saat tanpa bicara sepatah katapun, sang pemuda menghantamkan satu-satunya yang bisa dijadikan senjata dalam jarak sedekat itu ; kepala.
Alan terhuyung mundur memegangi hidungnya yang patah, akibat hantaman kepala dari sang pemuda, di lain sisi, sang pemuda juga terhuyung mundur, darah mulai mengalir segaris dari keningnya.
“Alan! Budi! Apa-apaan ini!!” bentakan Eddy Arya menghentikan pertarungan mereka. Eddy mendekat ke arah mereka, mengalihkan pandangannya ke Budi yang babak belur dan sedang tertatih-tatih berusaha untuk berdiri. Eddy mengalihkan lagi pandangannya ke Alan dan sang pemuda yang kembali dalam posisi kuda-kuda. Darah segar mengucur dari hidung Alan, sedang di sisi lain, segaris darah mengalir dari dahi sang pemuda.
“Cukup! Alan!” perintah Eddy kepada Alan. Eddy mendekat dan memperhatikan pemuda yang kini telah bertarung dengan dua bodyguard terbaiknya. “Kau!” serunya pada sang pemuda. “Siapa namamu?”
Pemuda itu melonggarkan kuda-kudanya, namun tetap diam dan memutuskan untuk tidak menjawab.
“Kau awak kapal?” Eddy sekali lagi bertanya.
“Ya,” jawab pemuda itu dingin.
“Ha! Lupakan kapal dan kapten atau pada siapapun kamu bekerja! Mulai sekarang kau bekerja untuk Eddy Arya!” kata-kata Eddy membuat Alan dan Budi sedikit terkejut. Meski terkejut, Budi dan Alan tidak berani berkomentar. Dulu, Budi juga mulai bekerja dengan Eddy setelah Budi melumpuhkan lima satpam yang menjaga kantor milik Eddy. Sedang Alan, Eddy menariknya setelah Alan membuat dua puluh sipir penjara sekarat.
Bagaimana kalau aku menolak?” ucap pemuda itu datar.
“Hahahaha…” Eddy tertawa keras. “sepertinya aku mulai menyukaimu. Kau boleh saja menolak, itu hakmu. Sekarang, kalau kau memang menolak, mari kita lihat apakah kau lebih cepat dari peluruku.
Eddy mengarahkan moncong pistol Walther PPK-L buatan Jerman ke arah pemuda itu. Pemuda itu diam, sadar bahwa dia tidak punya pilihan lain.
“Sekarang katakan namamu,” ucap Eddy sambil menjabat tangan sang pemuda.
“Dimas Mahardian, panggil saja Ian.” jawab pemuda itu.

***

“Hey! Anak baru! Ian!” Eddy memanggil, Ian menunjukkan ekspresi terkejut saat namanya disebut. Dengan raut bingung dia menatap mata Eddy yang tengah menikmati kuluman dan hisapan Eva di batang kejantanannya. “Masukkan kontolmu ke cewek ini, hamili dia!. Anggap saja ini ucapan terima kasih karena kau telah mau bergabung dengan kami!”
Ian tidak bergeming, hanya menatap Eva yang kini telanjang bulat, menaik-turunkan kepalanya, mengocok penis Pak Tua Eddy dengan mulutnya. Alan yang berdiri di sebelah kanannya menyenggol bahunya. Membuat Ian tersadar dan bergerak mendekati Eva.
“Bangsat! Enak benar kau,” umpat Budi sebal sambil menekuk wajahnya yang tadi dibuat babak belur oleh Ian.
Merangkak dan angkat pantatmu, cantik. Kontol keduamu mau masuk,” perintah Eddy pada Eva.
Eva bergerak mengangkat pinggulnya, mengikuti tarikan tangan Ian. Dalam hati, Eva bersyukur pria kedua yang akan menyetubuhinya bukan pria yang sama sekali tidak dia kenal, setidaknya itu sedikit memudahkannya dalam melaksanakan perannya.
Ian bukan perjaka, dia pernah melakukan seks dalam satu malam yang hebat dengan Cheerfull Jasmine. Ian juga mengerti beberapa teknik, tapi melakukan di hadapan orang lain? Jika saja dia tidak melatih mentalnya mungkin dia sudah memilih untuk membunuh semua orang kecuali Eva yang ada di kapal ini. Ian menurunkan resleting celananya dan mengeluarkan batang kejantanannya yang memang sudah tegang.
“Hoo… dari ekspresimu, hampir saja kupikir kau Gay, Ian,” ledek Eddy melihat penis Ian yang menegang.
Ian menarik pinggul ramping Eva sedikit ke atas, pantat bulat kencang dan mulus Eva terlihat begitu merangsang, Ian menggunakan tangan kanannya untuk mengarahkan penisnya ke lubang kenikmatan gadis cantik itu. Eva mendesis nikmat saat penis Ian menggesek pelan bibir kewanitaannya.
Nnghh… ehh…” desahan lirih Eva tertahan oleh penis Eddy yang mulai tegang di dalam mulutnya saat batang kejantanan Ian menyeruak masuk ke dalam rongga kewanitaannya. Ian melenguh merasakan gesekan penisnya dengan dinding-dinding vagina Eva. Kenikmatan jelas terasa dari raut wajah keduanya.
Ian menggerakkan penisnya pelan tapi pasti, sedikit-demi sedikit hingga masuk seutuhnya ke liang sempit milik gadis cantik itu. Eva merasakan lubangnya terisi penuh oleh kehangatan yang menjalar dari penis Ian. Penis Ian terasa lebih besar dari milik mantan kekasihnya dulu. Eva sejenak lupa terhadap penis lain yang ada di dalam mulutnya. Eddy membiarkan Eva menikmati penetrasi yang dilakukan oleh Ian.
Eva kembali mengulum penis Eddy, sambil merintih-merintih tertahan menikmati kocokan lembut penis Ian di vaginanya. Ian memegang pinggul Eva, membuat badan Eva sedikit terdorong, hal itu membuat kocokan mulut Eva di penis Eddy makin terasa nikmat. Eddy memejamkan mata dan mulai melenguh keenakan, penisnya telah bangkit total dalam mulut Eva.
Lenguhan ketiga orang itu kini semakin terdengar memenuhi ruangan. Alan memandang lekat ke live show yang terjadi di hadapannya. Sedang raut wajah Budi terlihat iri dengan apa yang didapatkan oleh Ian.
“Owhhh… mantapppp…” si tua Eddy melenguh sambil menahan kepala Eva, untuk kedua kalinya, dia menumpahkan spermanya ke dalam mulut Eva. Ian menghentikan aktifitasnya sejenak untuk memberi kesempatan pada Sang Bos menikmati ejakulasi keduanya. Tidak lama kemudian, Eddy mencabut penisnya dari mulut Eva.
“Selesaikan, Boy, hajar cewek cantik ini dari belakang dengan kencang.” perintah Eddy pada Ian.
Eva sempat menoleh saat dia meletakkan kedua sikunya ke sofa sebagai tumpuan, Ian menatap mata Eva yang terlihat sayu. Eva tersenyum dan mengangguk, seolah memberi tanda bahwa ia juga menikmati persetubuhan ini.

Aaahh...” Eva memalingkan wajahnya ke depan dan melenguh saat batang kejantanan Ian kembali bergerak dalam kemaluannya. Kali ini gerakan Ian lebih kencang, tegas dan cepat, sesuai yang diperintahkan Eddy pada Ian.
Mata Eva terpejam, tubuh telanjangnya bergerak maju mundur mengikuti Ian yang tengah menggenjotnya kencang, Eva tidak hanya merintih, ia kini setengah menjerit, menjerit penuh kenikmatan. Di belakangnya, Ian juga mendesah tertahan sambil matanya menelusuri rambut, leher, punggung, pinggang hingga pantat seksi gadis yang kini menjadi selongsong bagi penisnya.
Mereka terlibat sebuah seks yang panas, Ian meremas kedua buah dada Eva yang menggantung naik turun, nafasnya memburu. Di sisi lain, Eva merasakan sebuah kenikmatan yang membuatnya merintih, gerakan Ian semakin cepat, dan ia merasa tiap tusukan penis Ian membuatnya akan meledak.
“Ahhhhh...!!” Eva menjerit, tubuhnya mengejang, Ian mengangkat perut Eva, dan membungkam bibir Eva dengan ciumannya. Di tengah orgasme yang dirasakannya, Eva dengan ganas membalas kuluman bibir dan lidah Ian. Setelah beberapa lama, Eva tampak lemas.
“Bravo… bravo…” Eddy bertepuk tangan. “pertunjukan seks yang luar biasa, kau belum selesai kan, Boy? Giliranmu menyelesaikan hasrat, hamili gadis itu.
Ian mengangguk tanpa bicara, lalu kembali menggenjot tubuh Eva yang bersimbah keringat, kulit mulusnya tampak berkilau dan lemas. Eva hanya mendesah-desah pasrah saat Ian makin kencang menggenjot tubuhnya.
“Kalian, pake mulutnya, gantian.” perintah Eddy pada Alan dan Budi.
Tanpa disuruh dua kali, Budi maju dan membuka resletingnya, Eva yang masih lemas hanya bisa pasrah saat Budi menjejalkan penisnya ke mulut dengan kasar.
“Anjing!!” baru beberapa menit menikmati kocokan mulut Eva di penisnya, Budi sudah menggeram dan menyemprotkan isi kantungnya di mulut Eva. Ian masih belum ejakulasi, dia masih menyetubuhi Eva dengan kencang.
Alan bergerak dan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Budi pada Eva. Namun lebih lembut dan terlihat berpengalaman. Genjotan Ian semakin kencang hingga akhirnya, Ian menyerah, jepitan dinding vagina Eva terlalu nikmat. Ian membenamkan penisnya dalam-dalam, membuat Eva terdorong sehingga penis Alan makin dalam masuk ke mulutnya.
“Arghh…” geram Ian sambil melepaskan spermanya ke dalam rahim Eva. Eva sendiri mengalami orgasme kecil saat cairan-cairan kental Ian terasa hangat membentur dinding rahimnya.
Ian mendiamkan penisnya sebentar sebelum akhirnya mencabutnya. Eva hanya pasrah saat Alan membalik badannya hingga terlentang lalu mengarahkan penisnya ke mulut Eva dan mulai memompanya.
Budi mendekat ke tubuh telanjang eva yang tengah mengulum batang kejantanan Alan, Budi meremas payudara padat milik Eva sambil mengocok penisnya yang masih lemas. Budi menempatkan diri di antara kedua paha Eva dan menggesekkan penisnya ke belahan vagina Eva.
Beberapa menit kemudian Alan menggeram dan menumpahkan spermanya ke mulut Eva, Eva terpaksa menelannya. Usai menuntaskan hajatnya, Alan menarik diri dan mengenakan kembali celananya. Saat itulah penis Budi sudah cukup ereksi untuk melakukan penetrasi, Eva hanya pasrah saat kepala penis Budi menyeruak masuk ke liang kewanitaannya.
DORR!!
Darah merah segar berhamburan dari kepala Budi saat sebuah peluru bersarang di otaknya. Eva memekik saat tubuh Budi ambruk ke sampingnya. Eva beranjak dan berusaha lari, namun sebelum Eva sempat keluar dari ruangan itu, Ian menahannya.
Ujung pistol Walther PPK-L di tangan Eddy Arya masih mengeluarkan asap, pistol itulah yang baru saja meluncurkan sebutir peluru yang kini bersarang di kepala Budi.
“Aku tidak ingat pernah mengijinkannya memasukkan kontolnya ke memek,” ujar Edy santai sambil mengusap pistol kesayangannya. “Gadis itu milikmu malam ini Ian, anggap saja hadiah.ujarnya sambil memberi isyarat agar semua meninggalkan ruangan.

***

Gerak kapal yacht itu terasa sangat lambat membelah lalutan, Ian memandang Eva yang terlelap di sampingnya. Wajahnya terlihat damai dan letih, Ian menaikkan selimut, menutupi bahu telanjang Eva yang mulai menggigil kedinginan. Perlahan dibelainya rambut gadis cantik yang kini jadi partner dalam Case kali ini. Sejenak Ian memandangnya sayu, lalu tersenyum tanpa kata-kata.
“Good job,” bisik Ian lirih sambil mengecup kening gadis cantik itu.
Angin laut terasa kencang, bintang terlihat berserakan indah di atas langit malam itu. Ian mengenakan jaketnya dan berjalan ke atas geladak. Langkahnya sedikit terhenti saat dia melihat si tua kekar, Alan, sedang menghisap rokoknya sambil memandang kosong ke laut lepas.
“Sudah selesai dengan hadiahmu, anak baru?” suara berat Alan terdengar di sela-sela deru angin dan mesin yang berpacu.
Ian mendekat dan menggeleng. “Aku masih cukup lelah”, jawab Ian dengan nada datar.
Kita belum berkenalan secara resmi,” Alan menyodorkan tangannya untuk berjabat. “Alan.
“Ian,” ekspresi wajah Ian tidak berubah saat ia menjabat tangan kekar Alan.
“Inovasi gaya bertarungmu bagus,” Alan menunjuk ke luka di dahinya. “Kepalaku masih terasa pening. Kau menerapkan latihanmu dengan sangat baik, aku saja hampir lupa kalau bertarung dengan gaya yang mengejutkan itu bisa sangat efektif.
Ian menatap dalam-dalam ke arah wajah tua Alan yang masih terlihat sangar. Kalimat terakhir Alan cukup janggal dan tidak diduganya.
“Kau...?” Ian tidak meneruskan kalimatnya.
“Terima kasih sudah menjawab panggilanku, Ayahmu pasti bangga denganmu,” Alan menjawab semua pertanyaan yang bahkan belum sempat dilontarkan oleh Ian. “Lazy Frangipani, tapi panggil saja Alan,” ujarnya sambil melemparkan sisa rokoknya ke laut.
Kini Ian terlihat sedikit terkejut. Orang tua kekar yang ada di hadapannya ternyata adalah Lazy Frangipani, agen yang menjadi alasannya mengambil case kali ini. Tadinya Ian mengira Lazy Frangipani sebagai orang yang lebih elegan, seperti sosok Ayahnya dulu. Namun ternyata tidak, Lazy lebih terlihat sebagai agen kasar dengan otot-otot kekarnya.
“Apa yang dijanjikan oleh Ayahku?” tanpa ragu Ian bertanya, suaranya terdengar pelan sambil memastikan tidak ada yang bisa mendengar mereka.
“Dua belas tahun lamanya aku melacak targetku. Bukan target yang mudah untuk di lacak, bahkan agen luar biasa seperti Wise Crow pun sedikit kewalahan melakukan itu. Di tengah kebingungan itu, aku bertemu dengan Ayahmu, Silent Rose.” Alan berhenti, melayangkan pandangannya ke lautan yang gelap.
Ian menyimak cerita itu dengan seksama, seolah tidak mau melewatkan satu detail pun dari apa yang akan diceritakan oleh Alan.
“Ayahmu menemukanku, entah bagaimana caranya dia bisa menemukanku, yang jelas bukan dari Wise Crow. Dia lalu menawarkan sebuah kerja sama yang mengejutkan. Ada sesuatu yang dia cari, aku tidak tahu, dia tidak memberitahuku. Yang jelas, ada informasi penting yang disimpan oleh Noisy Cannary, sesuatu yang bisa menghancurkan Association, dan kurasa ada kaitannya dengan Ayahmu.
“Noisy Cannary?” Ian mengulang codename yang disebutkan oleh Alan. Kata sifat diikuti dengan nama burung adalah codename untuk agen tipe B, spesialis strategi dan informasi.
“Target dari case yang kuambil adalah Noisy Cannary, agen tipe B Association. Dia membocorkan beberapa rahasia penting kepada seseorang bernama Markus, salah satu pejabat penting yang pernah ada di Indonesia. Markus telah dihabisi oleh Silent Rose, Ayahmu. Dan aku kebagian tugas untuk melenyapkan Noisy Cannary.
“Dan kau butuh waktu bertahun-tahun untuk menyelesaikan misi itu?” nada Ian sedikit terdengar menyindir.
“Aku tidak seperti kalian yang bisa dengan cepat dan terlalu bergantung pada fasilitas yang disediakan oleh Wise Crow dan Association. Aku lebih memilih mendalami peranku, masuk lebih dalam dan lama agar bisa membaca situasi. Lagipula, melacak seorang agen tidak semudah mengejar wanita kesepian,” Alan mempertahankan nadanya agar tetap tenang. Kemampuan psikologisnya menunjukkan jam terbang yang sudah cukup tinggi, Ian sedikit kagum, dia tidak mungkin bisa setenang itu setelah menerima sindiran yang cukup mengena seperti yang baru saja ia lontarkan.
Sekilas Ian teringat pada sosok Wise Crow, dia sama tenangnya dengan Alan. Namun entah mengapa, Lazy Frangipani tidak terlihat menyebalkan seperti Wise Crow. Mungkin karena Alan tidak menunjukkan pandangan yang berusaha membaca pikirannya.
“Noisy Cannary, dia berjaga sebagai kepala pengawas di hutan milik Samuel Fondo. Berlindung di balik penjagaan ketat yang digunakan oleh Fondo. Aku tidak bisa menembus penjagaan itu sendiri, lain cerita jika ada Agen tipe A yang membantuku,” Alan melanjutkan kalimatnya.
“Aku tidak kesini dalam rangka liburan atau hanya untuk membantumu,” Ian mencoba menjelaskan alasan dia ke tempat itu.
“Oh! Luar biasa!” tangan kekar Alan menepuk pundak Ian. “bergerak kemari dengan case sebagai cover! Itu luar biasa, Ian!. Kau lebih cerdas dari Ayahmu!”
“Wise Crow yang memberikanku Case.
Mendengar nama Wise Crow membuat Alan terdiam. Matanya memandang tajam ke arah Ian sebelum kembali terlihat normal beberapa detik kemudian. “Jadi dia tahu tentang Noisy Cannary.” ujarnya lirih.
“Apa dia tak boleh tahu? Ada apa sebenarnya?”
“Aku juga tidak tahu. Silent Rose – Ayahmu – memintaku untuk merahasiakan kerjasama ini dari Wise Crow.
“Dia tidak tahu tentang kerjasama kita,
Alan tersenyum sinis. “Dia bukan orang bodoh, Rose, dia pasti menduga sesuatu. Aku juga tidak tahu kenapa Ayahmu memintaku merahasiakan dari Wise Crow. Ayahmu tidak memperbolehkanku bertanya banyak. Dia benar-benar silent,
“Kerjasama yang kau maksudkan itu,” Ian mencoba membuka inti dari pembicaraan sesungguhnya. “Apa yang ditawarkan Ayahku?”
“Membantu menghabisi Noisy Cannary!
“Dan yang didapatkan oleh Ayahku?”
“Informasi, dia akan menanyakan sesuatu kepada Noisy Cannary, beberapa saat sebelum menghabisinya.
Beberapa pertanyaan telah terjawab, meninggalkan lebih banyak lagi pertanyaan baru. Namun Ian tahu, tidak akan ada gunanya bertanya lebih lanjut. Jawaban dari semua pertanyaannya hanya akan muncul saat dia berhadapan langsung dengan Noisy Cannary. Rasanya, ada sesuatu yang akan menuntunnya lebih dekat ke sosok Ayahnya, sosok misteri akan kematian Ayahnya. Dan jawaban atas e-mail terakhir Ayahnya tujuh tahun silam. Beberapa hari sebelum kematian sang Ayah.
“Aku akan menyelesaikan case ku dulu, sebelum menuntaskan kerjasama antara kau dan Silent Rose. Dan aku butuh beberapa informasi, kau sudah beberapa kali ikut dalam turnamen konyol keluarga Fondo, beritahu aku apa yang bisa kau beritahu tentang itu.
Ombak dan malam menjadi saksi saat Lazy Frangipani mulai membuka pembicaraan mengenai informasi yang dibutuhkan oleh Silent Rose, demi kelancaran Case dan kerjasama lama kedua agen ini.

***

Beberapa pria bersetelan jas hitam dan kacamata hitam terlihat berjaga di dermaga Pulau Iyu kecil yang menjadi tempat peristirahatan bagi keluarga Fondo. Yacht biru yang ditumpangi oleh Eddy Arya sampai dengan selamat disana. Ian, Alan dan Eva turun terlebih dahulu, beberapa pria menyambut mereka dengan tidak ramah, tanpa ekspresi tepatnya. Eddy Arya turun tidak lama kemudian.
“Maaf, tuan Eddy,” ujar salah satu pria berjas hitam. “Apa anda mengirim beberapa paket ke pulau ini juga?”
Eddy terdiam sejenak, berusaha mengingat. “Aku rasa tidak, tapi mungkin Alan melakukannya, dia yang kutugaskan untuk memberi beberapa hadiah untuk Fondo,” Eddy menoleh ke Alan.
“Ya, Tuan, saya memang mengirimkan beberapa paket kemari sebagai hadiah untuk Tuan Fondo,” Alan berkata dengan sopan, suaranya yang berat selalu bisa menampilkan kharisma tersendiri bagi siapapun yang mendengarnya. “Harusnya paket itu sudah sampai di Pelabuhan Belawan.
“Ya, tuan Alan, orang kami memang sudah menerimanya, tapi kami menunggu konfirmasi dari anda untuk mengirimkannya kesini.
“Kirimkan saja, toh itu akan membuat Fondo senang,” Eddy Arya memberi perintah. Pria berjas hitam itu segera menghubungi rekannya untuk melakukan pengiriman.
“Sebaiknya kau memberi hadiah yang bagus kali ini,” bisik Eddy pada Alan. “Tadinya aku mau mempersembahkan gadis itu, seperti yang biasanya kita lakukan. Tapi sebuah tambahan hadiah sepertinya jauh lebih bagus.
“Saya pastikan itu, tuan,” Alan menimpali. “Tidak mudah menemukan satwa langka yang hampir punah ini. Saya menemukannya secara tidak sengaja di Lampung, beberapa bulan yang lalu.
“Wow… satwa? Harimau kah?” Eddy menunjukkan rasa penasarannya.
Alan menggeleng. “Ular,” Alan menjawab setengah berbisik. “Tuan Fondo penggemar reptil kan? Saya berhasil menangkap ular paling berbisa di kepulauan Sumatra, ular yang juga langka, Trimeresurus Sumatranus,
“Kau membuatku ikut penasaran, Alan. Kerja yang bagus,” Eddy tersenyum puas lalu memalingkan wajahnya ke pria berjas hitam di hadapannya. “Ada bangkai di kapal, tolong diurus dan bersihkan,” perintahnya kemudian.

***

Suara guyuran air terdengar dari luar kamar mandi kecil di kamar tamu itu, di dalamnya, Eva sedang membersihkan tubuhnya, menyabuni setiap lekuk tubuh indahnya. Eva memandang ke lantai keramik di bawahnya, diam sejenak, mencoba mengingat apa yang dipesankan Ian sebelum mereka meninggalkan kapal. Eva membawa misi khusus dari Silent Rose, butuh kesiapan mental untuk melaksanakan misi tersebut. Guyuran air hangat saja belum cukup untuk menenangkan gundahnya, namun setidaknya, itu dapat menenangkan pikirannya.
Tidak jauh dari rumah yang digunakan untuk menerima tamu terdapat sebuah rumah megah berlantai dua. Itulah rumah utama tempat Fondo tinggal, dikelilingi oleh laut di sisi utara, dan tebing-tebing terjal di sisi lainnya menjadikan rumah itu sangat terlindung. Ada sepetak jalan tanah di belakang rumah itu, jalan yang menghubungkan ke bagian belakang pulau. Di belakang pulau itulah Noisy Canary, target Lazy Frangipani bersembunyi sebagai kepala pengawas hutan.
Di salah satu sisi tebing yang cukup tinggi, dua orang pria sedang menatap ke arah jendela ruang kerja Fondo muda. Jendela yang selalu tertutup rapat. Suasana sekitar rumah itu terlihat lengang, tapi tidak bagi kedua pria yang memperhatikan dari jauh, mata kedua pria itu cukup terlatih untuk melihat gerakan-gerakan samar yang bersembunyi di balik temaramnya lampu sekitar rumah.
“Kau yakin akan melakukannya malam ini, Rose?” Lazy Frangipani berbisik mendesis, seolah-olah semak belukar yang menyembunyikan sosok mereka dapat mendengar dan berteriak.
Ian tidak menjawab, masih sibuk mengatur beberapa perlengkapan senjatanya. “Penundaan tidak ada dalam rencanaku, Frangipani,” jawaban Ian singkat dan jelas. Menurutnya, sebuah rencana harus disusun sedemikian mungkin dengan meminimalkan adanya penundaan, bertolak belakang dengan metode Lazy Franginpani yang penuh dengan penundaan. Silent Rose lebih memilih menjemput ketimbang menunggu.
Ian memeriksa kembali posisi dan dudukan XM2010-ESR-nya tanpa banyak suara. Sesekali dia mencoba mengintip melalui extention binocular yang telah dimodifikasinya. Ian memutar senjatanya ke beberapa sudut sebelum tersenyum puas.
“Tidak ada waktu untuk istirahat, Frangipani. Terima kasih telah membantuku menurunkan perlengkapan yang cukup merepotkan ini. Segera setelah aku selesai, kita akan langsung berpindah ke titik tertinggi.” Ian menunjuk sebuah tebing yang merupakan tebing tertinggi di pulau itu. “Menurut perhitunganku, kita butuh waktu dua jam. Sebentar lagi pertunjukan akan dimulai, mungkin kau sudah melihatnya di kapal, tapi kalau berkenan, silakan melihat lagi”, ujarnya sambil menunjuk ke binocular senjatanya.
Lazy Frangipani hanya menggeleng. “Apa isi kotak kecil yang berat ini?” Lazy bertanya sambil mengangkat kotak kecil yang dibawanya bersamaan dengan kotak senjata milik Silent Rose.
“Itu freezer kecil,” jawab Ian dingin. “Nanti juga kau tahu.

***

Fondo sedang duduk santai di ruangan kerjanya saat seorang pelayan memberitahukan kedatangan Eddy Arya. Tidak lama kemudian, Eddy Arya dan Eva memasuki ruangan kerja Fondo muda. Pria botak itu tersenyum lebar, sedang yang lebih menarik perhatian Fondo adalah sosok Eva yang terlihat cantik dengan balutan gaun merah menyala bermotif mawar.
“Bagaimana perjalanan, tuan Eddy?” Fondo berbasa-basi seraya menjabat tangan Eddy.
“Sangat menarik!” jawab Eddy. “Perkenalkanlah, ini Eva, hadiahmu.” nada suara Eddy setengah berbisik nakal saat menyebut kata ‘hadiahmu’. Fondo hanya tersenyum sebelum mempersilahkan keduanya duduk.
“Ngomong-ngomong, terima kasih atas hadiahmu, Trimeresurus Sumatranus bukanlah ular yang mudah ditangkap tanpa memakan korban jiwa. Sungguh luar biasa,” Fondo menunjuk ke sebuah akuarium kaca yang berisi tiga ekor ular berbisa yang sangat langka, Trimeresurus Sumatranus.
“Ah… itu bukan apa-apa, aku rasa hadiahku yang satu ini akan lebih menarik, Pamannya berhutang padaku, dan dia memberikan keponakannya yang muda dan cantik ini sebagai pembayaran. Hahaha… tenang, aku belum memakainya,” Eddy berkata sambil memegang bahu Eva.
Eva hanya tersenyum. Memang benar, Eddy Arya hanya menikmati oral seks darinya.
“Aku selalu suka denganmu, dari dulu kau selalu banyak punyak kejutan, tuan Eddy.
“Yeah… dan besok, mungkin aku akan mengejutkanmu dengan petarungku yang baru.
“Oh! Aku sangat tidak sabar dengan pertarungan besok,
Fondo dan Eddy tertawa bersamaan, seolah ada hal yang sangat lucu. Mau tidak mau Eva ikut tertawa. Eva memandangi isi ruang kerja itu. Tidak banyak isi ruangan yang menarik perhatiannya, saat ini yang ada di kepalanya hanyalah menjalankan apa yang sudah diperintahkan padanya, dan hanya satu benda di ruangan itu yang menarik perhatiannya, jendela tepat di belakang kursi Fondo.
Hampir selama tiga puluh menit Fondo dan Eddy bercakap-cakap santai tentang bisnis keduanya, Eva tidak memperhatikan apa yang dibicarakan oleh mereka berdua, pikirannya terlalu sibuk mengingat detail yang harus dia lakukan untuk membantu pekerjaan Silent Rose. Sesekali Eva tersenyum tersipu saat Eddy dan Fondo menggodanya, wajah cantiknya makin terlihat manis meski sesungguhnya itu hanyalah akting belaka.
“Baiklah, aku rasa aku harus kembali ke kamarku,” Eddy tua beranjak dari kursinya. “Tolong perlakukan dia dengan baik ya?” ujarnya sambil mengerling ke arah Eva. Eva hanya tersenyum.
“Malam ini akan jadi malam yang tak terlupakan baginya,” jawab Fondo sambil menyalami Eddy.
Si Tua Eddy beranjak meninggalkan ruangan, kini hanya tinggal Eva dan Fondo berdua dalam ruangan itu. Eva menatap ke arah jendela di belakang kursi Fondo, sambil memicingkan matanya.
“Ada apa?” tanya Fondo melihat Eva yang tampak serius menatap ke halaman gelap di belakang.
“Apa ada orang di halaman belakang? Aku seperti melihat beberapa orang berjalan,” Eva mencoba menarik perhatian.
“Kau tidak akan bisa melihat kesana, tapi dari sana pasti bisa melihat ke dalam sini,” Fondo beranjak dari kursinya dan mendekat ke arah jendela, membelakangi Eva. “Ada beberapa penjagaku disana, mungkin mereka sedang memperhatikan kita.
“Oh…” Eva mendekat ke arah jendela, berdiri beberapa langkah di belakang Fondo. Saat Fondo membelakanginya, Eva melirik segelas wine yang terisi separuh, dengan cepat Eva memasukkan sebutir pil ke gelas tersebut. Tanpa diketahui oleh Fondo.
Setelah memasukkan pil itu, Eva berjalan menggoda, makin dekat dengan Fondo, Fondo menoleh, memperhatikan lekuk tubuh gadis cantik itu. Tangan Fondo terjulur memeluk pinggang Eva, gadis cantik itu membiarkan Fondo menarik tubuhnya mendekat.
“Apa Wine itu enak?” Eva bertanya sambil mengerling ke arah segelas wine di meja Fondo.
Chateau Latour, dari Bordeaux buatan tahun 1969. Salah satu yang terbaik dan sulit didapat di Indonesia,” Fondo menjawab dengan nada bangga di setiap kalimatnya. “Kau pernah minum?” tanyanya kemudian.
Eva menggeleng.
“Wine dapat menaikkan gairah seksual, dan mengurangi rasa canggung. Tunggu sebentar, kuambilkan segelas untukmu,” Fondo beranjak ke arah rak yang menyimpan beberapa botol wine, menuangkan segelas dan menyodorkannya ke arah Eva.
Eva tersenyum dalam hati, rencananya berjalan lancar.
“Mari bersulang,” Fondo meraih gelasnya di meja dan mengangkat. Gelas mereka beradu dan kemudian keduanya menenggak isi gelas masing-masing. Eva memejamkan matanya, menahan rasa manis yang sangat menusuk di lidahnya. Tak lama kemudian Eva mulai tersedak.
“Kau harus sedikit menahan nafas saat menenggak wine, tidak boleh terburu-buru, nikmati dengan lembut setiap rasa manisnya,” Fondo mengajari Eva lalu memberi contoh dengan meneguk wine-nya lagi.
“Terasa sedikit panas disini,” ujar Eva sambil meletakkan gelasnya.
“Efek dari Wine, kurasa. Di kamarku pasti lebih dingin, mari kita kesana,” Fondo mengajak Eva untuk naik ke kamarnya.
Eva menggeleng. “Bagaimana kalau buka saja jendelanya,” Eva menggenggam tangan Fondo dan melingkarkannya ke pinggang rampingnya.
“Kau ingin disini? Penjagaku di luar dapat melihat jelas apa yang terjadi disini,
“Anggap saja bonus bagi mereka,” Eva mengerling manja.
“Kau nakal juga, nona manis,” Fondo berbisik sambil mulai mengecup telinga Eva. “kalau itu yang kau mau, setelah kita selesai, kau akan keluar ruangan dan melayani penjaga-penjagaku di luar.” ujarnya sambil meremas buah dada Eva dari luar gaunnya. Eva hanya mendesah pelan saat tangan pemuda itu bermain di dadanya.
Fondo mengecup leher putih Eva, saat tangannya terus memainkan buah dada kencang milik gadis cantik itu. Tubuh Eva terlonjak saat ciuman Fondo terus merambat ke telinganya. Eva menunduk, tangannya menggenggam bagian belakang kepala Fondo dan menarik hingga wajah keduanya berhadapan, detik berikutnya, sebuah ciuman ganas dilakukan kedua insan berlainan jenis itu.
Fondo tidak menghentikan aksinya disana, tangannya kini aktif meraih leher gaun Eva dan mulai menariknya lepas, gaun itu meluncur turun dengan mudah. Tubuh bagian atas Eva kini telanjang sempurna, satu-satunya penutup tubuh yang melekat saat ini hanyalah celana dalamnya. Tanpa menghentikan ciuman ganasnya, jemari tangan kanan Fondo menyentuh dan meremas payudara kencang Eva, kali ini secara langsung.
Eva menggelinjang dan mendesah saat tangan kiri Fondo menyusup ke dalam celana dalamnya, gadis cantik itu makin merintih saat jemari Fondo mulai bermain di liang kenikmatannya. Ciumannya terlepas, matanya terpejam, bibirnya setengah terbuka, mengeluarkan desahan-desahan penuh kenikmatan. Fondo menatap gadis itu dengan nafsu, sambil terus memainkan jarinya di vagina sang gadis, mata Fondo memperhatikan kedua payudara kencang milik gadis itu. Payudara yang terlihat proporsional, kencang dan menggoda.
Tidak perlu waktu lama bagi Eva untuk mencapai orgasme, gadis cantik itu memeluk kencang tubuh Fondo menahan gelinjang-gelinjang kenikmatan yang dia dapatkan. Setelah beberapa detik, tubuh Eva terasa lemas, Fondo menarik jarinya dari lubang surgawi gadis muda itu.
“Panas kan? Buka jendela itu dan biarkan semua penjagaku disana melihat tubuh telanjangmu,” perintah Fondo pada Eva.
Gadis cantik yang baru saja orgasme itu hanya tersenyum, lalu bangkit ke arah jendela dan membukanya lebar-lebar. Setelah jendela itu dibuka, dia dapat melihat beberapa orang melihat ke arahnya, para penjaga, beberapa diantara mereka menunjuk-nunjuk ke arahnya.
Dalam waktu singkat, Fondo sudah berdiri di belakang Eva, telanjang bulat, entah kapan Fondo melepaskan pakaiannya. Fondo memeluk dan meremas kedua payudara Eva dari belakang, seolah sengaja memamerka betapa kenyal dan kencangnya buah dada itu. Eva menjulurkan tangannya ke belakang, meraih batang kejantanan Fondo yang setengah mengeras, batang itu akan jadi batang ketiga yang memasuki dirinya. Dalam hati Eva menarik nafas, mencoba menyatu dengan peran yang akan dijalaninya. Dia harus melakukan ini sesuai yang diminta oleh Silent Rose.
Dengan lembut Eva melingkarkan jarinya ke batang kejantanan Fondo yang cukup panjang, mengocoknya lembut dan makin lama makin kencang. Fondo tetap mempermainkan kedua payudara kencang miliknya. Setelah dirasakan cukup keras, Eva berbalik lalu berlutut di depan Fondo, jarinya menggenggam lembut penis pengusaha muda itu dan mengarahkan penis itu masuk ke dalam mulutnya.
“Oughh…” Fondo tidak bisa menahan lenguhannya saat Eva menghisap penisnya, dengan terampil Eva menghisap, memainkan lidah, dan menggerakkan kepalanya maju-mundur, hingga penis Fondo terkocok dalam mulutnya. Memberikan kenikmatan pada pemilik penis tersebut.
Sekitar lima menit Fondo merasakan kenikmatan di batang kejantanannya akibat permainan mulut Eva. Fondo lalu menahan kepala gadis cantik itu dan menarik lepas penisnya. Dia ingin kenikmatan yang lebih, dia ingin menyetubuhi gadis itu. Fondo semakin terangsang saat membayangkan setelah ini, Gadis cantik itu harus melayani tujuh penjaga yang kini tengah menyaksikan pertunjukan live-showitu.
Fondo menarik tubuh Eva hingga berdiri lalu membalikannya. Kini Eva menghadap ke luar, mempertontonkan tubuh telanjangnya ke para penjaga dari kejauhan. Fondo menekan punggung Eva, hingga Eva bertumpu pada kusen bawah jendela. Eva menggelinjang saat merasakan batang kejantanan Fondo menggesek vaginanya, batang kejantanan ketiga…
“Ahh!!...” tubuh gadis cantik itu sedikit terlonjak saat batang kejantanan Fondo menyeruak masuk. Dinding kemaluan Eva terasa merekah dan penuh saat pengusaha muda itu terus menekan penisnya masuk. Besar… belum pernah Eva disetubuhi oleh penis sebesar ini. Eva menjerit saat dengan kasar, Fondo melesakkan seluruh penisnya hingga amblas seluruhnya. Tubuh gadis itu sedikit menekuk, tangannya berpindah ke daun jendela, secara tanpa sengaja mendorong daun jendela itu.
‘PRANGG!!’ Kaca jendela itu pecah saat bingkainya terayun menghantam dinding di baliknya, gerakan Fondo berhenti sejenak, para penjaga yang melihat mereka tidak bergerak.
“Ah, biarlah! Cuma sebuah kaca jendela,” ujar Fondo mencoba kembali fokus pada kenikmatan yang dirasakannya.
Bukan hanya Eva yang mengeluarkan suara yang merangsang, di belakangnya, Fondo melenguh keenakan saat berhasil menyetubuhi gadis cantik itu dengan sempurna. Fondo jelas tidak ingin kenikmatan itu berakhir disitu, dicengkeramnya pinggul sang gadis, lalu dengan gerakan yang cepat dan dalam, mulai dipacunya kemaluan gadis muda itu. Tubuh Eva terlonjak, berusaha memperkuat pegangannya pada bingkai jendela, suara desahannya tidak lagi terkontrol. Penis yang merojok lubangnya kini terasa sangat nikmat. Eva harus mengakui, dia suka dengan rojokan penis besar Fondo.
“Ahh.. ah.. ouhh.. shh..” desahan terus keluar dari bibir gadis cantik itu.
Fondo menyetubuhinya dengan hebat, Eva kini benar-benar tenggelam pada kenikmatan yang diberikan oleh batang kejantanan besar yang tengah menggesek bagian terdalam kewanitaannya. Eva memejamkan matanya, kenikmatan ini benar-benar tidak bisa ditolaknya, bahkan kini terbersit pikiran untuk membiarkan Fondo menghamilinya. Eva tahu malam ini malam suburnya, Ian memberikannya pil pencegah kehamilan, namun dia tidak meminumnya. Eva tidak berencana membiarkan Fondo atau siapapun yang menyetubuhinya malam ini untuk menyirami rahimnya. Namun kini keadaan telah berbeda.
Keringat Fondo menetes ke punggung Eva saat dia meningkatkan kecepatan rojokannya, beberapa genjotan berikutnya membuat Eva lepas kendali, setengah mengerang, gadis itu melepaskan orgasme keduanya. Kali ini terasa sangat hebat, lebih hebat dari orgasme-orgasme yang pernah dia rasakan sebelumnya. Permainan Fondo jauh di atas Ian.
Tanpa banyak bicara, pengusaha muda itu mencabut penisnya, membimbing Eva ke sofa di sudut ruangan. Nafas Fondo masih menderu, begitu juga nafas Eva, Fondo membaringkan Eva ke atas sofa, menindihnya, mengusap peluh di kening Eva yang kulit wajahnya memerah. Dan detik berikutnya, mulut gadis itu terbuka, mengeluarkan erangan tanpa suara saat batang besar Fondo kembali memasuki tubuhnya.
Kali ini Fondo menghujamkan penisnya lebih kencang dan lebih cepat, dibantu dengan gaya gravitasi yang membuat rojokannya semakin dalam. Eva hanya mendesah pasrah, tubuh telanjangnya berhimpitan tanpa cela dengan tubuh telanjang Fondo, payudara gadis itu menempel ketat pada dada bidang pengusaha muda itu. Eva mengangkat lehernya, kini lehernya bertumpu pada lengan Fondo yang memeluknya, Eva membuka kedua kakinya lebar-lebar, memudahkan Fondo untuk memacunya kencang-kencang sambil terus menindih tubuhnya. Fondo memeluk Eva, menjadikan tubuh Eva poros genjotannya. Tubuh keduanya berhimpit, hanya pinggul Fondo yang kini bergerak kencang dan cepat penuh stamina, seiring dengan makin kencangnya jepitan dinding kemaluan gadis cantik yang tengah dicampurinya.
“Ahh.. aku mau keluar, cantik…” bisik Fondo di telinga Eva.
A-akku… ahh… aku sedang subur, Tuan…” Eva menjawab sambil terlonjak menerima genjotan Fondo yang makin cepat. Hati kecil Eva berharap Fondo mengerti dan tidak mengeluarkan benihnya di dalam.
Sempurna…” jawab Fondo tanpa menjelaskan maksudnya.
Fondo mempercepat hujamannya, semakin kencang dia menghujam, dinding kewanitaan Eva semakin kencang menjepit penisnya. Fondo memeluk Eva, menindihkan tubuhnya dengan sempurna ke tubuh gadis cantik itu dan melesakkan seluru batang kejantanannya ke lubang kenikmatan sang gadis. Eva terbelalak menahan seluruh dinding vaginanya yang terasa amat penuh, dan detik berikutnya, dia merasakan cairan hangat menyemproti dinding-dinding rahimnya.
Keduanya terdiam sejenak dengan tubuh yang bermandikan keringat, keringat Eva dan Fondo telah berbaur menjadi satu lewat persetubuhan dahsyat yang baru saja mereka alami. Eva merasa sangat lemas, dia menolak memikirkan kemungkinan bahwa persetubuhan itu bisa menyebabkan kehamilan baginya. Senyum samar tersungging di bibir gadis cantik itu. Dia telah menyelesaikan tugasnya dengan baik. Senyum yang tidak terlihat oleh Fondo.
Fondo beranjak dari tubuh telanjang Eva, nafasnya masih berat, peluh menetes dari tubuhnya. Fondo bergerak meraih wine yang tersisa di gelasnya dan menenggak habis minuman tersebut. Eva juga ikut beranjak, tinggal satu hal yang harus dilakukan olehnya sekarang. Namun Eva tidak boleh terburu-buru melakukannya. Eva memandang jendela yang terbuka di belakang Fondo, saat ini tampaknya Fondo tidak memperhatikan jendela tersebut.
“Hebat sekali tubuhmu, cantik,” puji Fondo sambil tersenyum puas. “sekarang keluar dan layanilah para penjagaku di luar sana,” perintahnya kemudian.
Eva tersenyum, kalimat Fondo barusan memudahkannya. Eva memungut gaunnya dan mengenakannya kembali. Setelah rapi, Eva beranjak meninggalkan ruangan tersebut, sedang Fondo menutup jendela yang tadi terbuka.

***

Sepuluh Jam Kemudian

Beberapa petugas kepolisian berseragam tampak bergerombol di luar rumah peristirahatan Samuel Fondo. Beberapa diantara mereka tampak sibuk menjaga agar tidak ada satupun yang masuk tanpa ijin ke dalam rumah tersebut. Di bagian belakang pulau masih samar terlihat sisa-sisa asap akibat kebakaran yang terjadi beberapa jam yang lalu. Suasana pulau Iyu terlihat mencekam, sebuah helikopter kepolisian mendarat tepat di halaman depan rumah, dua orang pemuda turun, seorang petugas dengan pangkat tiga garis tegak vertikal menyambut keduanya dengan hormat.
“Jangan memberi hormat, AKP Showa,” ujar Dean sambil mengulurkan tangan untuk berjabat. Dengan bingung, AKP (Ajun Komisaris Polisi) Showa menjabat tangan Dean. Rio menyusul tepat di belakangnya.
“Kami tidak perlu hormatmu, AKP,” dengan kurang ajar Rio menepuk punggung AKP Showa yang jauh lebih tua darinya, secara pangkat, Rio memang lebih tinggi dibandingkan AKP Showa. “Kita satu tim, jabat tangan akan terasa lebih baik untuk sebuah kerja sama,” Rio melanjutkan.
Dalam hati, AKP Showa membenarkan apa yang diucapkan oleh Rio, meski sempat tersinggung dengan sikap kurang ajarnya. Hormat dapat dilakukan dengan mengangkat tangan ke kepala, namun tidak rasa hormat.
“Tolong abaikan anak buahku yang tidak sopan ini, AKP Showa,” suara Dean terdengar lembut, tenang dan berwibawa. Dean memang memiliki kharisma yang berbeda dari kebanyakan orang. “Bisa kita langsung ke TKP?”
“Asap apa itu?” Rio menunjuk ke asap kecil yang masih membumbung membelah langit biru pagi itu.
“Kebakaran hutan, terjadi beberapa saat setelah insiden itu. Kami menduga ada hubungan antara dua insiden yang terjadi dalam waktu berdekatan tersebut,” AKP Showa mencoba menjelaskan apa yang terjadi.
Suara gemuruh mesin motor menarik perhatian mereka bertiga, Dean melihat beberapa kapal yacht dan helikopter mendekat ke arah pulau. Beberapa dari kapal-kapal itu berlogo salah satu media massa ternama di Indonesia.
“Pers…” Rio berkomentar. “Mereka datang secepat lalat yang mengerubungi bangkai tikus.
“Jaga mulutmu, Rio,” Dean mengingatkan. “Lebih baik kita segera masuk ke TKP, AKP Showa,
“Lewat sini, Detektif.
AKP Showa membawa kedua detektif muda itu ke ruangan kerja Samuel Fondo yang telah dipagari oleh pita police line. AKP Showa masuk ke dalam ruangan tersebut, diikuti oleh Dean dan Rio. Kedua detektif muda itu segera melihat kondisi ruangan dengan seksama, sebagian besar ruangan itu tampak rapi, kecuali di salah satu sudut ruangan terdapat banyak pecahan kaca, sebatang ranting kecil dan sebuah rangka bekas akuarium terletak di atas meja tidak jauh dari pecahan kaca tersebut.
“Samuel Fondo ditemukan tewas pagi ini oleh seorang pelayan yang hendak membersihkan ruangan ini pukul lima pagi, tim forensik telah melakukan beberapa analisa penyebab kematian,” AKP Showa mulai menceritakan inti dari kasus kali ini.
“Biar kutebak, dia meninggal dengan bekas gigitan di tubuhnya?” Rio memotong ucapan AKP Showa. AKP Showa terdiam dan menatap heran pada detektif muda di depannya.
“Bagaimana anda bisa tahu?”
“Akuarium itu,” Rio mendekat ke arah akuarium di atas meja. “Akuarium ini pecah dan tidak ada air yang membasahi sekitar, malah ada ranting ini,” Rio memungut ranting yang terjatuh di dekat meja.
“Rio! Jangan sentuh apapun, gunakan pinset atau sarung tanganmu,” Dean menghardik Rio.
“Akuarium dengan ranting, menurutku akuarium ini digunakan sebagai kandang hewan reptile.” Rio meletakkan kembali ranting yang dipungutnya dan memasang sarung tangan karetnya. “Pertanyaannya… reptil kecil apa yang muat ke akuarium ini dan bisa cukup mematikan?”
“Anda luar biasa…” nada kekaguman terdengar dari kalimat yang diucapkan AKP Showa. Bagi orang yang belum pernah melihat Rio, mungkin itu adalah hal baru yang hebat. Namun bagi Dean, itu hanyalah analisis singkat yang disampaikan dan dilakukan dengan baik oleh Rio, seperti yang biasa dilakukan detektif cerdas itu.
“Ada reptil yang ditemukan bersama dengan kematian Fondo?” Dean bertanya.
“Kurasa ular,” belum sempat AKP Showa menjawab, Rio memotong terlebih dahulu. “Ular kecil yang berbisa.
“Ular Kapak Sumatra, sangat langka dan mematikan, nama latinnya Trimeresurus Sumatranus. Kami menemukan dua ekor ular Kapak bersembunyi di bawah sofa. Tentu ular itu telah dilumpuhkan dan ditangkap. Tim Forensik telah menyatakan bahwa bisa ular itu sama dengan racun yang menyebabkan kematian Samuel Fondo.” AKP Showa melengkapi analisa Rio.
“Berarti Fondo terbunuh akibat gigitan ular peliharaannya sendiri?” Dean mencoba menegaskan situasi yang terjadi.
“Benar sekali, detektif.” AKP Showa membenarkan. “Jika saja tidak terjadi kebakaran hutan, mungkin aku tidak berpikir untuk memanggil kalian, aku rasa ada yang tidak beres disini.
“Langkah yang cerdik, Kapten,” Rio memuji AKP Showa. “Penyebab kebakaran?”
“Lampu tembok yang pecah, satu pondok terbakar, satu korban jiwa. Kepala pengawas di hutan belakang, itu yang dikatakan ahli forensik.
“Kalau begitu sebaiknya kita memeriksa TKP di hutan,” ujar Dean.
Rio diam, masih memandang sekitar dengan penuh rasa penasaran, terlalu banyak kejanggalan yang terjadi di ruangan ini, seperti bagaimana mungkin sebuah akuarium pecah tanpa terguling, jika memang dapat serangan dari ular, kenapa Fondo tidak bergegas keluar dari ruangan? Banyak sekali kejanggalan-kejanggalan, namun entah mengapa, Rio sendiri merasa dia melewatkan sebuah petunjuk penting.
Di bawah mereka, di atas karpet hijau yang jadi alas ruangan itu, beling-beling kaca tampak berkilauan disiram cahaya matahari pagi yang menyusup masuk lewat jendela di belakang meja kerja Fondo. Sebuah gelas wine yang sudah habis isinya diam rapi di atas meja kerja itu. Rio memandang beling-beling kaca tersebut sebelum menyadari sesuatu, detektif muda itu lantas berjongkok dan menyingkirkan beberapa pecahan beling di karpet. Rio tersenyum saat melihat bagian karpet yang belum mengering, dan saat dia memandang daun jendela yang kacanya pecah, senyumnya semakin lebar.
“Sebaiknya kita segera ke TKP selanjutnya, AKP Showa. Tolong antarkan kami,” Dean meminta AKP Showa untuk mengantarkan mereka ke hutan belakang pulau.
“Tunggu dulu, Dean..” Rio berbalik menghadap keduanya dengan senyum terkembang. “Sebelum kita ke TKP selanjutnya, ada baiknya aku menceritakan apa yang terjadi pada Samuel Fondo beberapa jam yang lalu.

***

10 jam sebelumnya…

“Syukurlah,” Ian menarik nafas panjang setelah melihat daun jendela ruang kerja Fondo kembali tertutup. Dia melirik arlojinya untuk memastikan sisa waktu yang dimilikinya. “Lima menit lagi,” gumamnya.
Lazy Frangipani berdiri tepat di sebelahnya, mengamati apa yang akan dilakukan oleh Silent Rose muda ini. “Apa ada halangan?” Franginpani berbisik.
Ian menggeleng. “Tidak, semua sesuai perhitungan, pil yang dimasukkan ke dalam wine favorit Fondo mengandung obat kuat yang dapat membantunya menikmati seks terhebat di sisa umurnya. Satu jam, sesuai perhitungan, sekarang Eva punya waktu lima menit sebelum Tetradoxin dalam pil itu bekerja. Tolong berikan aku freezer kecil itu.
Di dalam ruang kerjanya, Fondo belum menyadari adanya bahaya yang mengancam, wajahnya terlihat lelah namun penuh kepuasan. Bisa dibilang, persetubuhan yang baru saja ia rasakan merupakan persetubuhan terhebat yang pernah ia rasakan. Terbersit keinginan untuk mengulangi persetubuhan itu lagi besok. Kalau saja dia tahu, tidak ada hari esok untuknya, mungkin dia takkan setenang ini.
Perhatian Fondo teralihkan oleh bunyi benturan kaca, Fondo memandang ke dua ekor ular Kampak Sumatra di dalam akuarium. Kedua ular itu bertingkah aneh, mendesis dan membentur-benturkan kepalanya ke kaca, seolah hendak menyerang Fondo. Didorong oleh rasa penasarannya, Fondo mendekat ke akuarium berisi ular tersebut. Dan saat itulah terjadi hal yang mengejutkannya. Begitu Fondo sampai tepat di samping akuarium itu, dia merasa tubuhnya mengejang, Fondo merasa tubuhnya mendadak kaku, tidak satu jaripun dapat digerakkan olehnya.
“Sempurna,” gumam Silent Rose yang mengawasi semua itu dari binocular senjata laras panjangnya. Tanpa banyak bicara Ian membidik ke arah kandang kaca berisi dua ekor ular itu, dan detik berikutnya, Silent Rose melakukan gerakan terakhirnya, menekan tuas senjata.
XM2010-ESR yang telah dimodifikasi itu memuntahkan isinya tanpa suara kencang, hanya letupan kecil yang sukar didengar bahkan dari tempat Lazy Frangipani berdiri. Sebutir peluru yang terbuat dari es padat meluncur kencang, melewati kaca jendela yang telah dipecahkan, lalu menghantam dinding kandang kaca, sekaligus memecahkannya. Dua ekor ular berbisa yang ada di dalam kandang serta merta melemparkan diri mereka ke lantai, sebelum keduanya mendesis, dan mulai menyerang Fondo yang masih belum bisa bergerak sedikitpun. Bukan hanya satu atau dua patokan, kedua ular itu berkali-kali mematok lengan, pundak dan kaki Fondo, seolah hendak menghabiskan bisa yang ada dalam tubuh keduanya. Fondo tak bisa melawan, tidak jika dia saja tak punya daya untuk menggerakkan lidahnya.
Lazy Frangipani melihat apa yang terjadi di ruang kerja Samuel Fondo dari binocular XM2010-ESR milik Silent Rose. Beribu pertanyaan muncul di benaknya.
“Tetradoxin,” Silent Rose bicara, seolah dapat membaca pertanyaan yang muncul di benak Lazy Frangipani. “adalah bahan utama racun yang dapat menyebabkan paralyze, kondisi dimana semua syaraf tidak dapat merespon perintah dari otak.
“Aku tahu itu,” Lazy Frangipani menimpali. “Kau menggunakan peluru es karena es akan mencair, sehingga menghilangkan jejak. Pecahnya kaca jendela akibat gerakan tangan Eva juga bukan ketidaksengajaan kan?. Yang aku tidak mengerti adalah, kenapa kedua ekor ular itu menyerang Fondo berkali-kali? Biasanya ular akan lari setelah sekali-dua kali mematuk.
“Mereka bereaksi terhadap pheromone yang memancing mereka untuk menyerang. Eva membalurkan zat itu ke seluruh tubuhnya, dan itu menempel saat Fondo menyetubuhi Eva. Setelah mengeluarkan semua bisanya, ular-ular itu akan mati sendiri.
Lazy Frangipani menggelengkan kepalanya. “Luar biasa, kau lebih cerdik dari Ayahmu.
“Tidak ada waktu untuk bengong. Ayo kita selesaikan buruanmu, bantu aku membawa senjata ini,” Silent Rose berkata seolah tak mau kehilangan waktu barang semenit.

***

Suasana hutan malam itu sangat lengang, beberapa penjaga tampak siaga di pos tinggi masing-masing. Belum ada yang tahu apa yang terjadi pada Samuel Fondo, Ian bergerak dalam gelap, mengenakan tech-bodysuit 03, barang buatan Association yang berbentuk seperti pakaian ketat berwarna gelap. Pakaian itu dapat meningkatkan kemampuan motorik penggunanya, Silent Rose sengaja memesannya karena kali ini dia ingin berhadapan langsung dengan target ; Noisy Cannary.
“Ada empat pos penjagaan yang terlihat dari sini,” suara Lazy Franginpani terdengar dari earphone kecil yang menempel di telinga Silent Rose.
“Lakukan seperti yang kuminta, jatuhkan satu-satu dengan peluru bius, menurutmu dimana Noisy Cannary berada?”
“Di pondoknya, tujuh ratus meter dari pintu gerbang.
“Jangan berpikir naif, Frangipani. Kau sudah berkali-kali datang ke pulau ini, tentu dia sudah menyadari keberadaanmu. Apa tidak ada tempat tertutup lain selain itu?”
“Hmm… ada sebuah gudang lama yang tidak terpakai. Sekitar tiga ratus meter dari pintu gerbang. Tapi, penjagaan paling berat ada di pondok utama,
“Mereka agen tipe B, mereka ahli dalam strategi dan mengecoh, untuk menghadapi mereka kita harus berpikir berbeda,” Silent Rose memberi tekanan pada kata ‘berbeda’. “Bodysuit ini memiliki baterai yang bisa bertahan sekitar tiga jam berlari, aku akan mampir ke gudang lama itu dulu, jika aku salah, kita masih punya kesempatan untuk menyerbu pondok utamanya dari depan.
“Aku serahkan padamu, Silent Rose,” jawab Lazy Frangipani.
“Bagus, lumpuhkan penjaga pos sekarang.
Segera setelah Silent Rose memberi kode, sebuah tembakan jitu melemparkan peluru demi peluru ke arah tali penggantung lampu pada pos-pos tinggi yang berjaga. Satu persatu lampu itu jatuh, tepat mengenai kepala para penjaganya, membuat para penjaga tidak sadarkan diri.
Silent Rose berlari, dengan bantuan bodysuit itu dia dapat berlari dengan kecepatan yang tinggi, dengan sigap Silent Rose menembakkan peluru-peluru bius ke para penjaga yang dilewatinya. Lazy Franginpani melihat dengan seksama dari binocular senjata laras panjangnya. Mengikuti gerakan Silent Rose yang sangat cepat. Ian berlari ke arah gudang tua, sekilas dia melihat penerangan samar dari dalam gudang berdinding kayu tersebut.
“Target ditemukan,” ucapnya pada Lazy Frangipani. Ian yakin betul bahwa Noisy Cannary bersembunyi di dalam gudang tua itu. Pondok utama dengan penjagaan sedemikian ketat, hanyalah pengalih perhatian saja.
Ian mempercepat larinya, melompat ke arah pintu berbahan kayu yang terlihat lapuk, tanpa ragu Ian melompat menerjang ke arah pintu, menghantamkan sarung tangan gauntlet berbahan besi di tangannya ke arah pintu.
BRAKKK!!!.
Pintu itu hancur seketika, Ian dapat melihat sekelebat bayangan yang bergerak terkejut, berusaha mengambil sesuatu. Namun dengan bantuan bodysuit, Ian jadi lebih cepat bergerak. Ian menerjang sosok itu, tangannya mencengkeram leher lawannya dan dengan memanfaatkan berat tubuhnya Ian menjatuhkan sosok itu.
Tangan kiri Ian yang bebas meraih sebuah suntikan kecil di saku lengannya dan dengan cepat menancapkan ke leher sosok yang kini dikuncinya itu. Sosok itu meronta, Ian menyalakan senter di bahu bodysuit-nya. Seorang pria tua, berumur sekitar empat puluhan, masih terlihat cukup kuat. Pria tua itu meronta dengan tenaga cukup besar. Jika saja tidak mengenakan Bodysuit, mungkin Ian telah terlempar.
“Kau Noisy Cannary?!” bentak Ian.
“Ya!” jawab pria itu. Ian tahu pria itu tidak bohong, yang baru saja disuntikannya adalah serum kejujuran buatan Ayahnya sendiri, serum rahasia yang sempat sangat diinginkan Association. Ayahnya harus berbohong pada Association dengan mengatakan bahwa serum itu gagal.
“Kau tahu siapa aku?!” bentak Ian lagi.
“Silent Rose…”
Jawaban Noisy Cannary mengejutkan Ian, bagaimana mungkin Noisy Cannary dapat dengan mudah mengenalinya? Dia tidak mirip dengan Ayahnya.
“Kau, putra Silent Rose.” tambahnya kemudian.
“Informasi apa yang kau rahasiakan dari Ayahku?!” Ian tidak mau membuang waktu.
Senyum sinis tersungging di bibir Noisy Cannary. “Kalau Wise Crow membiarkanmu ada disini, itu artinya Deadly Orchid telah bergerak,” ujarnya penuh tanda tanya.
“Jawab pertanyaanku!!” Ian membentak lagi. Tampaknya efek serum kejujuran tidak berlangsung cukup lama.
“Temukan sendiri jawabannya di Bank Emerald, Bandung.
Ian mengencangkan cengkeramannya di leher Noisy Cannary. “Apa maksudmu dengan Deadly Orchid?”
Noisy Cannary diam, Ian menangkap sesuatu yang tidak wajar di pandangan mata Noisy Cannary, pandangan itu adalah tatapan mata seseorang yang sudah siap menjelang kematian. Samar, Ian melihat gerakan lidah di dalam mulut pak tua itu.
“Bangsat!!” Ian mengumpat sambil mencengkeram rahang pak tua itu, memaksa mulut pria tua itu terbuka sedikit. Samar-samar Ian dapat melihat sebutir kapsul meluncur ke tenggorokan pak tua itu. Ian mencoba menghentikannya, namun terlambat. Beberapa detik kemudian, apapun yang ditelan oleh orang tua itu, menunjukkan reaksinya. Mata Noisy Cannary membelalak seketika, nafasnya seolah tertahan selama beberapa detik, sebelum lemas tanpa tanda-tanda kehidupan.
Ian melepaskan cengkeramannya dan beranjak sambil mengumpat. Dia tidak menyangka Noisy Cannary telah menyiapkan cara untuk bunuh diri dalam keadaan terpojok. Ian benar-benar kesal, ia merasa tinggal selangkah lagi dengan tanda tanya mengenai kematian sang Ayah. Dengan kesal dihantamkannya gauntlet berbahan besi ke pelipis kanan Noisy Cannary yang sudah tak bernyawa.
“Ada apa? Rose?” suara Lazy Frangipani mengembalikan kesadaran Silent Rose. Ini bukan saat yang tepat untuk jadi emosional dan sentimentil.
“Noisy Cannary telah mati, aku akan membakar tempat ini, jemput Eva dan bawa ke dermaga rusak di samping pulau, aku menunggu kalian disana. Misi selesai,” Ian mencoba menyembunyikan emosinya.
“Oke, kita bertemu disana setengah jam lagi.
Ian berdiri tegak, memandang isi gudang lama yang berantakan itu. Tanpa ekspresi, Ian mengeluarkan sebotol kecil bensin yang tergantung di sabuknya. Ian menyiramkan isi botol itu ke tubuh Noisy Cannary, mengambil beberapa foto dengan kamera digitalnya, dan menyalakan api. Ian sempat bertahan beberapa menit untuk memastikan api melalap habis tubuh Noisy Cannary. Setelah itu, Ian kembali berlari ke dermaga di samping pulau.

***

AKP Showa masih tampak kagum dengan reka ulang kejadian perkara yang disampaikan oleh Rio. Detektif muda itu memaparkan segala kemungkinan hasil analisanya dengan percaya diri. Mereka ini berada di puing-puing gudang yang telah terbakar habis, berdiri tidak jauh dari bangkai Noisy Cannary yang terbakar.
“Aku berani bertaruh, ada zat semacam feromon ditemukan di kulit luar Samuel Fondo. Dan kepala pengawas yang mati terbakar ini, pasti dia ada hubungannya dengan sang pembunuh. Aku ingin data penuh tentang orang ini dan Samuel Fondo,” Rio berbicara dengan tegas, Dean mencatat apa yang diucapkan anak buahnya yang berlagak seperti bos. Dean sudah terbiasa dengan sikap arogan yang dimiliki oleh Rio.
“Tapi siapa yang dapat melakukan pembunuhan terencana seperti itu?” AKP Showa bertanya.
“Hanya ada satu tersangka yang muncul di pikiranku, Kapten. Dan itu juga jadi alasan yang membawa kami kemari,” jawab Dean sambil memeriksa smartphone-nya.
“Silent Rose,” Rio menunjukkan putung rokok yang dipungutnya di jalan menuju ke gudang tua itu. “Dan kami sudah semakin dekat dengannya.

BERSAMBUNG - Case 03 : Closed
Author : Rainmaker

Tidak ada komentar:

Posting Komentar