Senin, 30 Mei 2016

Paradiso 4



Fragmen 15
Pudar Mimpi

Sore ini Ava gemas, ini ia benar-benar gemas. Betapa tidak, saat ini ia dari jauh hanya bisa menyaksikan Indira seperti orang bodoh berbicara di telepon. Kadang gadis itu mengigit-gigit jarinya, kadang ia menutup bibirnya dengan telapak tangan seperti menahan tangis.
Seganteng apakah Dewa? Hingga bisa membuat bidadari seperti Indira demikian gulana-nya.
Telepon ditutup, Indira menggigit-gigit bibirnya.
“Kenapa?” Ava bertanya saat Indira melewatinya.
“Eng... nggak, nggak kenapa-kenapa.” Indira berlalu seolah tidak melihat Ava.
Ava membatu, mendengar pintu yang ditutup keras. Seperti pintu hati Indira.

***

Sang Surya terbenam di kegelapan, memunculkan Sang Chandra yang bersinar temaram. Cahayanya tertutup beberapa awan yang berarak seperti iring-iringan peziarah menuju pekuburan. Areal persawahan di depan Villa Pak De demikian gelapnya, tak tersisa sedikitpun keindahan yang memukau saat pagi atau senja.
Sudah jam 10 malam, Ava merokok di pinggir pematang sawah. Tubuhnya ditelan gulita malam, hanya ada cahaya rokok berwarna merah dan suram LCD Handphone yang temaram.
“Baik..” Ava sedang berbicara di telepon.
“Sehat, ibu sehat? Rematiknya gak kambuh? Farah sehat?” ia terlihat seperti bicara sendiri.
“Sudah…” Ava menjawab pertanyaan di seberang telepon.
Ava terdiam lama, menghisap asap rokoknya dan menghembuskannya dengan gundah. “Nanti karya Ava juga dijual di sini.” Ava meremas-remas bungkus rokoknya tidak jelas.
“Iya, lukisan Ava bagus deh pokoknya, Bu!” Ia terdiam dan menghela nafas panjang.
Iya, percaya deh…”
“Bener! Nanti Lukisan Ava sampai ke Perancis, kok!”
“Beneeer... masa Ava bohong?”
“Sholat lah! Ava sholat kok!” Dibiarkannya abu rokoknya memanjang hampir jatuh.
“Nanti deket-deket lebaran Ava pulang.”
“Jaga kesehatan ya bu, salam buat Farah.”
Ia terdiam sebentar.
“Wa’alaikum salam..”
Ava menutup telepon sebelum kembali menghisap sebatang Sampoerna Mild-nya. Diketuknya ujung rokok untuk menjatuhkan abu, sebelum dihisap dan dihembuskannya kembali asap rokok ke dalam kegelapan malam. Tatapannya kosong, memandangi bintang yang berkelip lemah sebelum tersapu awan gelap.
Waktu pertama ia ke sini, sungguh benaknya dipenuhi dengan ribuan mimpi, Mimpi menjadi Affandi? Mimpi mencintai bidadari? Sungguh manusia itu penuh dengan mimpi-mimpi, Alexander bermimpi menguasai dunia, Icarus bermimpi terbang ke angkasa, Nemo bermimpi menyelam 20,000 kaki sampai dasar samudra. Namun saat ini Ava merasa setinggi apapun manusia bermimpi, tetap suatu saat ia akan terbangun juga.
“Kemarin aku kira masa depanku gak jelas, tapi hari ini aku merasa masa depanku semakin blur.” katanya kepada angin malam.
“Ngomong apa sih? Kamu gak jelas banget sih jadi orang?” omel Indira yang sedari tadi memang sudah jongkok di samping Ava, menunggunya selesai menelpon. Gadis itu juga menghisap sebatang rokok, dan meniup asapnya ke wajah Ava. “Galau nie…” kata Indira.
“Aku tahu kok, kelihatan kali aura-aura galau… gelap… gelap… benar-benar gelap…” kata Ava sambil menatap kosong ke arah masa depannya yang semakin gelap.
Indira tersenyum kecut sebelum menghembuskan asap rokoknya tinggi-tinggi, memandangi langit yang semakin hitam tertutup awan.

Ava membuka suara, “Eh, tahu gak?
Kalau galau malem-malem namanya apa? Galau in The Dark!”
“Jayus ah! Lelucon plagiat!”
“Hahaha..”
“Haha..!” Indira menonjok lengan Ava.
“Mang galau napa? berantem sama Dewa?”
Indira menghisap rokok dalam-dalam. “Huu.. mau tahu aja.”
“Ya udah, mari kita bergalau ria menikmati gelap malam. Yaaah… Galau in The Dark… dark... dark… dark...” Ava menatap kosong, suaranya sengaja diberat-beratkan seolah yang dikatakannya itu suatu yang benar-benar gelap.
Lama mereka bergalau bersama dalam gelap.
Indira menghela nafas sebelum berkata, “Av, nanya dong...”
“Nanya apa? Nomor togel?”
“Haha.. serius nih! Kamu pernah sayang sama orang sebelumnya?”
“Pernah, sayang ayah... sayang ibu… sayang adik... sayang semuanya!”
“Bukan! ’Sayang’ sama cewek, atau… sama ‘cowok’ barangkali?”
“P-pernah… memang kenapa? Tapi sama cewek! Emang kamu kira aku cowok apaan?”
Indira terkikik, merasa berhasil mengerjai Ava, “Kalo kamu, Va, apa alasan kamu sayang sama orang?”
Ava menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Umm.. karena cantik? Baik? Seperti bidadari?”
“Cantik? Karena itu aja? Terus apa bedanya cinta sama nafsu?”
Untuk sesaat, Ava merasa gadis itu lebih bijak darinya. Sungguhkah ia mencintai Indira? Ava tidak bisa menjawab tanya Indira dan tanya benaknya sendiri, maka ia balik mengajukan pertanyaan: “Terus, alasan kamu cinta sama Dewa apa?”
Kali ini Indira yang terdiam, “Aku… gak tahu,” Indira menghisap rokok lagi, abunya jatuh di tanah “Aku sayang sama dia… sayang begitu aja... aku merasa nyaman sama Dewa.”
Ava menyalakan batang rokok kedua, dihisapnya racun nikotin dalam-dalam itu hingga memenuhi paru-parunya yang semakin sesak oleh perkataan Indira yang terakhir.
Indira berkata lirih, “Boleh aku cerita?”
“Kalau kamu mau berbagi.”
Indira tersenyum, dimepetkan tubuhnya ke hangat tubuh pemuda itu. Sebuah cerita bergulir.

***

Fragmen 16
Smaradhana
-Verse 01-

Dua tahun yang lalu. Waktu itu Pura Jagatnatha di depan Alun-alun Puputan dipenuhi ribuan peziarah yang bersembahyang dalam rangka peringatan Hari Raya Sarawati - pemujaan terhadap Dewi Ilmu Pengetahuan. Tak heran kebanyakan yang datang hari ini adalah pemuda-pemudi.
Para pemuda dibalut kain, dengan beskap putih yang rapi, dan tak lupa ikat kepala yang indah melingkar gagah bagai mahkota. Sementara para pemudi melenggang dibalut kebaya cantik berwarna-warni, serasi dengan kain indah yang membalut pinggul mereka.
Terdengar suara mantra dan doa yang khidmat diiringi gemerincing lonceng. Harum dupa tercium demikian semerbak menyeruak diantara para peziarah yang bersila sambil menangkupkan tangannya ke atas kepala, menunggu percikan air suci dari Pendeta.
Indira melangkah keluar, di dahinya menempel beras putih, tanda ia sudah selesai berdoa. Waktu itu Indira baru kelas 1 SMA, namun dengan kulit dan wajah bulenya menjadikan Indira demikian mencolok dibandingkan gadis-gadis lain. Tubuh Indira yang baru saja merekah terbalut kebaya warna jingga membungkus ketat lekuk tubuhnya yang menawan. Kebaya dari kain brokat yang berlubang-lubang tembus pandang itu menampakkan punggung dan bahu yang putih mulus, membundar sebagai dasar leher jenjang yang tak kalah mulusnya. Sementara dadanya dibalut kemben dengan stagen yang terikat di bawahnya, menumpahkan sebentuk ranum dada yang menyembul indah.
Sudah banyak cowok-cowok yang mendekatinya, Sebut saja Ngurah si Ketua Osis, Putra si Center Klub Basket, sampai Oka si Gitaris, semuanya dikenal sebagai cowok-cowok yang pernah jalan bareng dengan Indira.
Namun hanya sebatas itu. Indira membiarkan mereka mendekat, namun selalu menolak bila cowok-cowok itu menyatakan cinta. Hanya satu orang sajayang saat ini berjalan di samping Indira—yang berhasil memenangkan hati Sang Bidadari.
“Indira, jangan buru-buru na..”
“Hihi… maaf, maaf,” Indira memamerkan giginya yang putih dan rapi.
“Huuu,” yang berada disampingnya menyenggol Indira, kemudian mereka besenggolan sambil tertawa-tawa.
Mereka bergandengan tangan dengan riang di sepanjang trotoar di tepi Lapangan Puputan, layaknya banyak pasangan lain yang pulang dari persembahyangan. Mereka tersenyum berseri-seri seperti sepasang peri kecil yang serasi.
Sungguh baru orang itu yang bisa membuat Indira merasa nyaman, seseorang yang membuat Indira merasa bahagia, seseorang yang membuatnya menyerahkan bibir mungilnya untuk dilumat, dadanya yang ranum untuk diremas, dan bagian bawah sana untuk dibelai. Tapi hanya itu, Indira tidak mengizinkan pacarnya untuk melakukan lebih jauh lagi.
Sayang sekali hubungan mereka harus berakhir ketika pacarnya harus pindah ke luar negeri. “Good bye, Ratih.” kata Indira sambil mengecup bibir kekasihnya.

Ratih Dewi, citra khayalku
prana dalam hidupku
yang haus akan asmara
hmm, nikmatnya bercinta.

***

-Verse 02-

Indira memang sedih sepeninggal Ratih, namun sedihnya itu hanya sementara. Karena hadirlah Dewa, pemuda yang dikenalnya saat menonton pertandingan basket yang diadakan Universitas Negeri Ternama di Bali.
Dewa memang tampan dengan darah setengah bule seperti Indira. Apalagi pemuda itu tercatat sebagai mahasiswa kedokteran tahun kedua. Sebuah alasan mutlak yang bisa membuat gadis manapun tergila-gila padanya.
Namun bukan itu yang membuat Indira jatuh cinta pada Dewa. Putra si Center Klub basket jauh lebih tampan dan lebih macho dari Dewa - yang menurutnya cenderung metroseksual.
Permasalahannya, ada yang unik dari diri Dewa. Dewa sungguh sulit ditebak, ia seperti segelas minuman yang lezat, tapi Dewa tidak membiarkan Indira menenggak habis. Ia biarkan bibir gadis itu mencicip sedikit, sebelum menjauhkan gelasnya. Hingga si bidadari itu yang penasaran setengah mati.
Hari ini ia memuji potongan rambut Indira yang baru; besoknya ia mencela sifat manja Indira. Di dalam Mall ia menolak membawakan barang belanjaan Indira; namun di parkiran Ia memayungi Indira dari hujan dengan jaketnya. Di hari jadian, Dewa tidak membawa bunga hingga Indira menangis; namun ketika hendak pulang baru nampak seekor boneka beruang raksasa yang membuat tangis Indira tambah menjadi.
Dewa tidak pernah terlalu memuji, tetapi menantang Indira untuk lebih baik. Dewa tidak mengejar-ngejarnya seperti cowok-cowok lain, tapi membiarkan Indira yang mengejar-ngejarnya. Dewa tidak melakukan apapun yang diminta Indira, Dewa dapat menolaknya dengan tegas terlebih bila permintaan itu tidak masuk akal.
“Kamu nggak punya pengertian!” jerit Indira.
“Biarin! kalo aku gak mau kamu mau apa? Nangis?” kata Dewa dengan tak kalah sengit.
“Dewa jahat!”
“Jahat! Tapi sayang sama kamu! Dan yang kamu minta itu…”
“Biar!” Indira menepis tangan Dewa yang hendak memegang pundaknya.
Indira berlari meninggalkan Dewa, dan berharap Dewa menyusulnya. Namun sia-sia, sampai ujung jalan tak ada satupun langkah yang datang untuk mengejarnya.
Indira jongkok dan menangis tersedu sambil duduk di trotoar, sampai datang sebentuk peluk mendekap tangisnya. “Dewa jahat! Dewa jahat!” Indira mencoba meronta, namun peluk itu semakin erat memeluknya. Begitu hangat, sebuah kehangatan yang tak mungkin diberikan oleh seorang tidak mencintainya. Rontanya berubah menjadi sebuah pasrah, dan tangisnya tumpah di dada pemuda itu.
“Maafin Dewa ya? Tapi Dewa beneran sayang Indira… makanya Dewa gak mau…”
Sekuntum kalimat yang sungguh mampu meluluhkan ego si bidadari.

Andika Dewa
sirna duli Sang Smara
merasuk sukma
menyita heningya cipta
Oh.. resah ku jadinya.

***

-Verse 03-

“Dewa, apaan sih, gelap na..”
“Udah, tenang aja.”
Dewa menuntun Indira yang matanya ditutup kain. Indira yang terbalut gaun panjang warna putih tentu kesulitan untuk berjalan. Dalam tutup itu, sanubari Indira dipenuhi ratusan debaran yang demikian penasaran. Bibirnya dipenuhi sekian gerangan, mencoba menerka kejutan apakah yang akan diberikan Sang Pangeran?
Tabir dibuka.
Indira terhenyak, menutup bibirnya dengan tangan, pelupuk matanya sudah penuh dengan haru yang membuncah. Seumur hidup belum pernah ada yang melakukan hal seperti ini untuk dirinya.
Rimbun pepohonan itu demikian indah dihiasi ribuan lampu yang berkelap kelip seperti gugus-gugus bintang. Sementara di ujung membentang kain tetoron raksasa, disorot dengan proyektor LCD bertuliskan “Happy Birthday Indira” yang kemudian berganti dengan montase video dari Dewa dan teman-teman Indira diiringi lagu “If You’re not The One”-nya Daniel Bedingfield yang mengalun dari sepasang Amplfier di pojokan.
“Dewa.. hks.. hks.. ngapain kamu buat kaya ginian?” Bidadari itu sesengukan dalam pelukan Pangerannya.
“Because... you are the one in a million…” sambil mengalungkan sebentuk kalung berbentuk cinta di hati Indira. Seuntai kata yang membuat semburat tangis bahagia pecah dalam pelukannya.

“If you’re not the one then why does my soul feel glad today?
If you’re not the one then why does my hand fit yours this way?
If you are not mine then why does your heart return my call
If you are not mine would I have the strength to stand at all”

***

Kemudian sepasang insan itu duduk berhadapan di meja bundar dengan lilin yang memendarkan warna jingga ke wajah Indira yang belum larut dari rasa haru. Bibir mungil yang dipulas lipstik warna natural itu tak bisa menyembunyikan bahagia yang meriap di hatinya. Pipinya yang bundar merekah, merona merah oleh sesosok Pangeran yang memandangnya dengan tatapan hangat, sehangat nyala api yang menari-nari di pelupuk matanya yang berwarna kelabu.
“Dewa, makasih ya…” kata Indira.
Sebuah pernyataan yang hanya dijawab Dewa dengan senyuman, yang seolah berkata: “Indira, kamu lebih dari semua ini!
Mata Indira kembali berkaca, ia menyuap sepotong Lobster Thermidor ke dalam bibir mungilnya. Sementara debur ombak yang menghantam tebing di bawah mereka seperti mengalunkan orkestrasi samudra mengiringi bahagia Indira. Langit pun seperti merestui kebahagiaan itu dengan menyingkirkan awan dan menampakkan milyaran bintang yang bertaburan seperti tepung di tengah samudera semesta.
“Belum pernah ada yang melakukan ini buatku, Dewa.”
“Ayahmu?”
Indira meletakkan garpunya hingga berdenting di atas piring. “Orang itu, selalu sibuk dengan lukisannya! Mungkin… kalau Mama dan Kak Raka masih ada, pasti…” suara Indira makin lirih, namun tangan halus yang membelai punggung tangannya membuat Sang Bidadari merasa ia tidak sendirian lagi.

***

“Ajik gak pernah peduli sama aku, Dewa.”
“Peduli... ia sayang sama kamu, kok.” Dewa mendekap tangan Indira sambil berdansa berputar-putar setelah menyelesaikan makan malam romantis itu. Mereka berdansa di halaman Villa Dewa di Jimbaran, Villa yang terletak tepat di gigir tebing di mana Samudra Hindia bergolak ganas dibawah. Mereka terus berdansa di halaman yang dihias seperti Taman Langit dengan ratusan lampu. Sementara lagu dari The Carpenters mengiringi langkah mereka. Dansa itu seperti menyirnakan gulana Indira. Ia tersenyum-senyum melihat kekasihnya melangkahkan kakinya dengan kikuk.

“Why do stars fall down from the sky
Every time you walk by?
Just like me, they long to be
Close to you”

“You-are-the-one, Dewa.”
“So-do-you, Indira.”
Mereka cekikikan berdua. Indira melingkarkan tangannya di leher dan bahu Dewa, sementara pemuda itu mendekap pinggang Indira lembut. Tubuh mereka berdekapan erat, membagi hangat yang memenuhi dada mereka.
Indira menoleh ke arah Dewa dan tersenyum, sungguh senyum itu sangat indah. Seberkas senyum yang seolah berkata “aku sangat bahagia”. Dewa memandangi Indira dengan hangat, di hatinya pun terbit seberkas rasa bahagia: bahagia karena bisa membuat Indira bahagia.
Dewa mendekatkan wajahnya, Indira tersenyum dan memejamkan mata. Dewa mengecup senyum di bibir Indira. Lembut, bibir itu sungguh harum dan lembut. Indira membalas kecupan kekasihnya, di belainya bibir Indira dengan bibirnya, dibiarnkannya cinta mereka mengalir seiring desah nafas yang saling mengisi.

“On the day that you were born the angels got together
And decided to create a dream come true
So they sprinkled moon dust in your hair
Of golden starlight in your eyes of blue”

Blackberry Indira berdering dari tas kecil yang ditaruh di atas meja.
“Telepon tuh,” kata Dewa sambil tetap memeluk Indira.
“Hehe.. maaf yah, merusak suasana… bentar yah,”
“Gak papa.”
Indira mengangkat telepon itu, raut wajahnya tampak berubah saat melihat nama si penelpon. “Apa?” sahutnya ketus.
“Kenapa baru sekarang?” suaranya bergetar.
“Blah… blah… blah… Always like that.. yeah, I know that…”
“Ajik memang gak pernah peduli sama Indira...” Indira mulai meremas-remas gaunnya. Nafasnya mulai memburu.
“Bohong!” pundaknya naik turun semakin cepat. Wajah Indira sudah sedemikian memerah menahan emosi yang membuncah.
"Jangan sekarang..."
"Indira bilang jangan sekarang! jangan.. rusak.. kebahagian Dira..."
Dewa hanya bisa memandangi bidadarinya dengan gemas.
"Dewa...." kata Indira kepada Ayahnya, kemudian ia terdiam. "Memang kenapa?"
"Biar!" sebuah tanda pemberontakan.
"Dia lebih peduli sama Dira daripada Ajik.."
Indira terdiam lama, ia mulai sesengukan sambil berjongkok. Dewa memeluknya dari samping, sambil membelai rambut Indira.
"Huk.. huk.. Please... huk.. Jangan rusak kebahagiaan Dira malam ini, Jik."
Makin lama isaknya berubah meninggi, “Ajik gak pernah ada buat Dira! Ajik selalu sibuk! Selalu sibuk! Selalu! SELALU! SELALU! AJIK GAK PERNAH SAYANG DIRA! AJIK GAK PERNAH PEDULI! AJIK GAK PERNAH!!! KALAU AJA MAMA MASIH.... AAAAARHHH!!!!” Indira berteriak histeris. “AKU SUDAH GAK PUNYA SIAPA-SIAPAAAA!!! AAAAAAH!!!!!! “ Indira meraung-raung histeris sambil bersimpuh di atas rumput.
Dewa segera memeluk bidadarinya.
“Mama… mama… huk.. huk…” Indira menangis sesengukan di pelukan Dewa.
Dewa mendekap Indira erat, sangat erat.
“Dewa, aku sudah gak punya siapa-siapa lagi… huk.. huk… mama… mama...”
Dewa seperti tidak mampu berkata sepatah katapun, Ia hanya memeluk Indira erat, sangat erat sambil membelai rambut gadis itu. Setiap dekap dan belainya seolah berkata: “Kamu gak sendirian, sayang.
“Mama… mama… I miss you… huk… huk…” tangis kekasihnya itu sungguh menyayat hatinya.

***

-Ava-

Ava menepuk-nepuk pundak Indira, “Sabar ya…” Sebuah tepukan yang tidak bisa dibandingkan dengan erat dekapan Dewa waktu itu.
Kali ini Indira nyengir, “Iya, dah lama kali… semenjak kejadian di Crossing Fate, aku jadi… lebih deket sama Ajik.”
“Iya.”
“Makasih ya, Ava.” kali ini Indira yang menepuk punggungnya. “Sekarang cuma Ajik yang aku punya.” Indira menyandarkan kepalanya di pundak Ava. “Mama dan kak Raka... sudah…”
“Semua orang pernah kehilangan.” kata Ava lirih, dan menggenggam tangan Indira.
Indira tersenyum, “Gak papa…” dan ia mulai bertutur.
Ava menghela nafas, sepertinya yang akan ia dengar benar-benar perih.

***

Fragmen 17
Night In White Satin
-Dewa-

Gemuruh ombak Samudera Hindia menghantam tebing batu yang menjulang. Suaranya menggema ke udara malam yang semakin larut. Awan tipis datang, seperti ranah tabir yang menutup indah ribuan bintang.
Villa itu berdiri angkuh di gigir tebing batu, seperti menantang gerak Baruna yang menggelegak di bawahnya. Cahaya temaram memendar dari dalam bangunan bergaya Avant Garde itu, memantul di kolam yang mengelilinginya.
“Kamarnya sudah saya siapkan.” kata seorang lelaki paruh baya pada Dewa yang sedang duduk di sofa sambil memandangi layar LCD yang menayangkan film “No Country for Old Men”. Ruang tengah itu sangat rapi dan minimalis, dengan sofa panjang TV LCD dan mini bar di pojokan, sementara bagian belakangnya dibiarkan terbuka tak berdinding menampakkan laut dan langit malam yang menghitam.
“Oh, makasih, Pak Wayan.” kata Dewa.
“Yang di luar…”
“Oh iya, Pak Wayan bereskan piring kotornya saja dulu, besok pagi saya bantu membereskan yang lain.”
“Beres bli, sama satu lagi... tadi Ajik nelepon, bulan depan baru dia datang dari Munich, katanya salam buat Bli Dewa.”
Dewa tertawa sinis, “Kenapa gak telepon saya langsung? Ternyata dia masih ingat punya anak di sini.”
“Jangan begitu bli, begitu-begitu dia bapak bli Dewa juga.” kata Pak Wayan sebelum mohon diri.
Indira muncul dari sudut lain, berjingkat dan berputar-putar dengan lucu. “Hihihi, kedodoran gini…” Indira berjalan mendekati Dewa. Ia mengangkat ujung kaus berukuran XXL yang menenggelamkan tubuh mungilnya sampai atas lutut. Lampu bawah air di dalam kolam renang yang mengelilingi bangunan utama memendarkan cahaya kekuningan yang bergerak-gerak di atas tubuh Indira.
“Sekarang dah bisa ketawa-ketawa ya...” goda Dewa.
Indira menjulurkan lidahnya ke arah Dewa, membuatnya semakin lucu dan menggemaskan. Saat ini Indira sudah bisa tenang, butuh waktu satu jam bagi Dewa untuk bisa menenangkan hati kekasihnya itu.
“Yakin gak pulang?”
Indira menghempaskan pantatnya di sofa di samping Dewa, “Buat apa pulang?” sambil menggelendot manja di dada Dewa.
“Nanti dicariin sama…” Dewa terdiam.
“Ajik? Biar!”
Dewa membelai rambut kekasihnya.
Indira merajuk. “Aku jadi nginep nih ya…”
“Hmm..”
“Pliss…”
“Hmm…”
“Pliiiiich... Dewa Ganteeeng.”
Sungguh Indira seperti anak kucing yang merengek-rengek saat ini. Dewa hanya tersenyum lembut dan mengecup kening Indira.

***

Kamar itu menghadap tepat ke lautan, dengan kolam yang berkilauan tepat di luarnya dan berakhir di gigir karang, seolah-olah kolam itu melayang di udara saja. Lampu utama dimatikan, menyisakan pendar jingga dari lampu tidur yang menyala malu-malu, serta sinar yang beriak-riak dari bawah permukaan air.
Pintu kaca yang menuju ke luar sengaja dibuka lebar-lebar. Hingga angin laut menyerbu masuk dan menerbangkan kordyn warna putih. Aroma laut melambung memasuki sepasang kekasih yang saling bermesraan di atas tempat tidur dengan sprei satin putih. Mereka tidak bercakap, hanya saling membelai. Saat ini yang ada hanyalah hening ditimpali sahutan suara laut yang seperti mendesah.

Breath deep
The gathering gloom
Watch lights fade
From every room

Indira menyandarkan kepalanya di dada Dewa, membiarkan kekasihnya itu membelai halus pipi dan rambutnya. Nyaman, sungguh nyaman diperlakukan seperti ini. Indira menarik nafas panjang dan menggengam punggung tangan Dewa, seolah berkata: “Jangan tinggalin aku, sayang,” yang dijawab dengan sebuah kecupan manis mendarat di keningnya.
Indira tersenyum, manis-cantik sekali. Pipinya merekah dan memerah seperti memproklamirkan kebahagiaannya malam ini. Bahagia itu dikecup oleh Dewa, dan membuatnya semakin tersenyum merona. Sementara cahaya yang bergerak seiring riak di permukaan air membelai wajah cantik itu.
Dewa membatin, “Betapa cantiknya gadisku ini!” Ia sudah pernah menemukan perempuan yang lebih cantik dan lebih seksi dari Indira. Namun, ia merasa bidadari yang ada di pelukannya ini demikian rapuh, mengingatkannya pada dirinya sendiri. Senyum indira membuat sanubarinya berkata, “Ia harus melindungi Sang Bidadari, ia harus membahagiakannya, mencintainya dengan seluruh hidupnya.” Sebuah kata yang tak akan pernah mampu diucapkan, melainkan hanya diwujudkan dalam kecupan hangat di pipi Indira.
Kali ini lebih lama dari sebelumnya, Dewa membiarkan Indira meresapi setiap perasaan yang ia kira bisa tersampaikan melalui setiap belai bibirnya di pipi gadis itu. Indira pun merasakan kehangatan membelai kulitnya. Ia memeluk kepala Dewa, mengarahkan cium itu ke bibirnya yang berbisik, “I love you, Dewa.”
Suara ombak terdengar bersahut-sahutan seolah mengamini perkataan Indira.
Dewa tersenyum, dikecupnya bibir mungil itu, dibiarkannya cintanya mengalir hangat seiring alun nafas yang serona seirama. Indira memejamkan mata, setiap belai lembut bibir itu membuatnya seperti melambung dalam dunia tanpa daya berat. Didekapnya erat, sangat erat tubuh kekasihnya. Indira sudah pernah kehilangan, kali ini ia tak mau kehilangan lagi.

'Cos I love you, yes I love you,
Oh how I love you, oh how I love you.

Sebentuk perasaan hangat memenuhi dada Indira, penuh-sangat penuh hingga dada itu terasa sesak dan hendak meledak! Sebentuk hangat yang demikian pekatnya, hingga membuat dada Indira membusung-busung dan nafasnya mulai memburu. Indira menghirup nafas dalam-dalam aroma laki-laki yang bercampur dengan bau laut menyerbu ke paru-parunya, menimbulkan gejolak yang tidak bisa ia jelaskan.
Lamat-lamat ciuman itu berubah menjadi gejolak yang menggerakkan sepasang bibir yang awalnya saling membelai lembut menjadi saling melumat. Indira menikmati bagaimana bibir kekasihnya memagut dan melumat bibir mungilnya. Indira melenguh, dan mengerang dalam pelukan Dewa, membuat dada pemuda itu semakin bergolak. Disapukannya lidahnya ke bibir Indira, seperti hendak bertamu. Dan Indira membuka pintu, membiarkan lidah Dewa memasuki rongga mulutnya.
“Mmmmh…” Disambutnya lidah dewa dengan ujung lidahnya, dan dibiarkannya masuk saling membelit dan membelai di dalam sana.
Sementara ombak besar memecah karang, menimbulkan suara keras yang mengiringi desah nafas mereka.
“Mmmmmh…” Sungguh aroma parfum indira membius pemuda itu. Dewa membelai wajah Indira lembut, dan belai itu turun di sepanjang tubuh Indira, membuatnya merinding menahan geli yang menyebar seperti wabah yang membuatnya bergetar-getar. Seruak geli yang teramat sangat di selangkangan dan di ujung dadanya, yang membuatnya semakin terlarut. Indira menerka-nerka kemana gerangan tangan Dewa akan menuju, dan “Mmmmh…” tangan itu mulai membelai payudaranya yang ranum dan membusung. Indira menahan tangan itu, mendorongnya ke dalam seperti hendak memberikan jantungnya. Menghenyak tangan Dewa jauh ke dalam kenyal payudaranya, dan Dewa tahu apa artinya.

“Tonight, I’m yours…”

Ombak semakin berguruh di luar Villa Dewa, seperti birahi sepasang kekasih yang semakin membara.
Belaian kemudian menuju remasan lembut, sebuah remasan yang membuatnya merintih, dan mendesah dalam kuluman bibir Dewa.
“Mmmmh… hh… hh… hh…” nafasnya sudah mulai memburu, nafas harum yang memenuhi dada Dewa dengan perasan. “Oooh...” Ciuman Dewa kini menuruni tulang rahangnya, bergerak turun di lehernya yang jenjang. Pemuda itu menciumi kulit mulus Indira. Dihisap-dijilat-digigit-nya pelan leher Indira hingga Gadis itu menggelinjang, mengerang, mendesis sejadi-jadinya.
“Aaah...” Kaus Indira semakin tersingkap sampai paha, tangan Dewa menyusurnya. Menyibak kaos Indira, sampai atas paha, dan pemuda ini tahu kemana ia menuju.
Dibelainya celana dalam nylon Indira, tepat di belahannya yang sudah sangat basah, membuat Indira didera rasa merinding yang membuatnya menggelinjang tidak karuan. Sungguh cepat sekali tangan indira menyusup kebalik celana dalamnya, menyibak sepasang labia dan… “Aaaaaaahhhh!!” jemari itu kini sibuk membelai-belai dinding kewanitaannya yang sudah licin.
Indira mangap-mangap, belaian itu seperti bermain-main dengan birahinya. Sebuah nafsu paling purba yang dimiliki oleh manusia. Didekapnya kepala Dewa, dibenamkannya ke lehernya, agar pemuda itu bisa leluasa menghisapnya. Dijambaknya rambut Dewa, sambil merintih-rintih seiring belai jemari Dewa yang semakin cepat di bawah sana. Dan suatu sentakan keras membuat tubuh Indira mengejang, nafasnya sudah seperti pelari maraton.
“Aaaaaah!!!!” Indira berteriak. Apa yang harus dilakukan untuk menahan gejolak yang meledak ini? Dihisapnya bibir Dewa, dilumat dan digigitnya, hingga pemuda itu merintih perih. Lidah Indira menyerbu masuk. Sementara tangan Indira bergerak cepat membuka kancing demi kancing kemeja Dewa, sambil terus melumat bibir pemuda itu.
“Mmmmh…” Dewa melengguh, namun sepasang tangannya masih sempat meremas-remas bibir kewanitaan Indira.
“Mmmh...” Indira melenguh, mereka bergulingan di atas sprei satin. Sekarang Indira yang ada di atas, menindih tubuh Dewa. Seluruh kancing baju Dewa terlepas. Indira menyingkap kemeja itu, hingga menampakkan bahu dan dada Dewa yang bidang. Indira tersenyum, namun senyum itu nampak demikian binal, apalagi dengan rambut bergelombangnya yang berurai turun
Gemas, Indira sangat gemas melihat dada yang bidang itu, hingga ia tidak bisa menahan lagi hasrat untuk menciumi dada kekasihnya, “Mmmmh…” Indira seperti kucing yang menjilati puting Dewa, harum tubuh pemuda itu... “Mmmmh!!!” sangat lelaki! hingga membangkitkan gairah Indira meletup-letup. Dada Indira bergolak, ia ingin segera…
“Ooooh!!” Dewa melolong karena Indira menggigitnya.
Tangan Indira bergerak cepat, membuka sabuk dan reitsliting Dewa. Dewa membantu Indira, tak lama Indira sudah berusaha meloloskan celana panjang Dewa. Dewa mengangkat pinggulnya, celana itu kini turun sampai lutut, meninggalkan tegang kejantanannya yang beradu dengan selangkangan Indira.
Indira tersenyum, dan menggerakkan pinggulnya, “Mmmmh...” sedapnya kejantanan Dewa yang menggesek itu. “Oooooh!!” Indira tak tahan lagi, di lepaskannya kemeja Dewa, dan Dewa meloloskan celana panjangnya dari ujung kakinya.
Indira mengangkat tangannya, melepas kaus kedodorannya, tak lama Bra-nya menyusul tercampak ke lantai. Sepasang payudaranya yang ranum menggantung Indah, bulat dan padat dengan sepasang puting mungil yang sudah tegak berdiri. Temaram lampu jatuh di atas kulit putihnya, menimbulkan estetika yang demikian erotik.
Indira menahan nafas, karena payudaranya kini membukit indah di depan mata orang yang dicintainya. Wajah Indira sudah memerah, sungguh ia tidak tahu lagi kemana ini akan menuju.
Dewa mengecup puting Indira, lembut sangat lembut seolah itu adalah dirinya. Indira mendesis, terlena oleh kelembutan sang kekasih memperlakukannya. Indira membelai rambut Dewa, mengarahkan kepala pemuda itu untuk mereguk lebih jauh lagi.
Dibekapnya kepala Dewa hingga pemuda itu terhenyak ke dalam kenyal payudara Indira, membuatnya mereguk nikmat yang lebih-lebih-lebih dan lebih lagi. "Ummmh..." Indira melenguh nikmat, saat lidah Dewa mulai bergetar, bagai menari Flamengo di atas putingnya.
“Aaaaah…” Indira mulai mengerang-ngerang. Bibirnya mulai melolong ke udara. ”Dewa… Dewa… Aaaa! Aaah!” Sungguh kenikmatan yang membangkitan gejolak yang tak terbendung lagi, dilingkarkannya kakinya ke tubuh Dewa, dan tubuhnya mulai menggesek tubuh Dewa. Karena setiap gesek itu mendatangkan nikmat yang teramat! Dan nikmat itu seperti mendorongnya untuk meraih nikmat yang lebih-lebih-lebih-lebih dan lebih lagi.
Diciuminya lembut sepasang kenyal Itu, dihirupnya harum tubuh Indira yang membangkitkan gejolak hormon testosteron di dalam tubuhnya.
“Aaah! Aaah! Aaah!” Indira mulai menggelinjang tak karuan, dinikmatinya setiap cumbuan dewa, setiap gesekan dan lumatan, sehingga tubuh mereka bergulung-gulungan di atas sprei satin putih. Kini Dewa menindih tubuh Indira.
“Mmmmh...” Mereka saling lumat dengan ganas, tangan Dewa meremas-remas payudara Indira yang telanjang, sambil memuntir-muntir putingnya, membuat gadis itu merintih tidak jelas. Mereka bergelut, berguling, bergulung di atas kasur, sambil terus mencumbu. Sepasang tubuh setengah telanjang itu semakin larut bergelut dengan birahi.
“Mmmh…”
”Mmmmh...”
Lidah mereka masih saling membelit, bibir mereka saling hisap. Sedang tubuh telanjang itu saling tindih, dan saling gesek. Kadang Indira di atas, kadang Dewa di atas. Kacau sekali, chaos! Semuanya terjadi begitu saja, mengikuti jejak gejolak nafsu yang demikian menggelora hingga akhirnya sepasang celana dalam merekapun akhirnya terlepas, menyisakan sepasang tubuh telanjang yang saling gesek dengan beringas.

Impassioned lovers
Wrestle as one

Lenguhan mereka bercampur dengan suara kecipak bibir yang saling mendecap-decap. Dewa melumat bibir Indira, sungguh betapa lembut dan harumnya bibir itu.
Dada Indira yang ranum sudah tergencet di bawah dada Dewa yang menindihnya. Tubuh mereka yang sudah tak tertutup apapun itu saling himpit dan saling gesek, menimbulkan sensasi geli dan nikmat yang mencuat-cuat di selangkangan Indira. Naluri Indira berbisik, menyuruhnya menggesek-gesekkan selangkangannya di paha Dewa, membuatnya semakin terjebak dalam adiksi birahi.
“Aaaah…” Indira mendesah lemah, Dewa menciumi lehernya sambil dijilatinya. Sesekali digigit dan dijilatinya kuping Indira, sehingga membuat gadis itu menggelinjang kegelian. “Geliiiiii…” protesnya.
Dewa tersenyum melihat tingkah Indira, sebelum kembali mencumbu leher Indira sambil meremas-remas payudaranya.
“Buat cupang…” Indira berbisik, yang dijawab Dewa dengan gigitan dan hisapan lemah di kulit putih itu. “Oooooh….” Indira mendekap kepala Dewa, membenamkannya ke lehernya, membayangkan dirinya sedang dihisap oleh Edward Cullen -meski Edward Cullen tak lebih ganteng dari Dewa- “Hhh… hh… “ yang membuat sebuah bentuk memerah di leher putihnya.
Dewa menciumi dada Indira dengan lembut, mengecup puncak-puncaknya dimana disitu juga terdapat puncak-puncak gelombang birahi Indira. Gelombang yang mengangkat punggung Indira ke atas, setiap bibir Dewa mengulum putingnya yang berwarna merah muda.
“Ooooh…” Indira melolong, sedap sekali dihisap seperti ini.
Sekujur tubunya mulai bergejolak, pinggulnya mulai bergerak liar. Menggesek selangkangannya yang membasah di tubuh Dewa, hingga paha pemuda itu pun ikut basah oleh cairan cinta Indira yang meleleh-leleh. Pun demikian halnya Dewa, alamak sensasi kejantannya yang menggesek perut Indira itu sangatlah nikmat rasanya, ia tidak tahu bagaimana bila kejantanannya masuk ke dalam kewanitaan Indira.
“Dewa… masukin…” bisik Indira.
“Jangan.” suara Dewa bergetar.
Namun Indira membuka pahanya lebar-lebar, menampakkan kewanitaannya diantara sepasang tungkainya. Sebentuk yoni yang sempit dan basah dengan bulu-bulu halus yang dicukur rapi. Indira terbaring pasrah, matanya menatap nanar ke arah dewa, dan bibir basahnya setengah membuka dan terengah, ”Hah… hah… hh… hh…”

“I’m yours…
What are you waiting for?”

Dada Dewa kembang kempis melihat sebentuk belahan yang demikian indah itu. Belahan sempit yang diapit oleh sepasang bibir tembem nan putih mulus. Dia berlutut di antara paha Indira. Indira menggigit bibirnya, dirinya berdebar-debar tentang apa yang akan dilakukan kekasihnya. Sungguh, ia ingin Dewa memasukkan kejantanannya itu, namun ia ingat apa yang dikatakan teman-temannya tentang ‘pertama kali’: perih, hatinya menjadi gentar juga. Indira menahan nafas, kejantanan yang membelai bibir kewanitaannya itu sungguh hangat, ‘Mmhhh…” Indira mulai melenguh pelan.
Dewa masih berlutut, menggesekkan kejantanannya di belahan Indira yang sudah sangat banjir. Sebuah gesekan yang membuat Indira merintih, sambil menggigit-gigit jarinya. “Masukin… ajah... aah! Aaah! Aah!”
Dewa semakin kencang menggerakkan kejantanannya hingga menyodok-nyodok klitoris Indira yang menegang. “Ooooh...” Indira melolong sambil meremas-remas bantal. Bibirnya yang basah itu sungguh seksi, Dewa tidak bisa menahan diri lagi, segera dilumatnya bibir Indira.
“Mmmmh…” Dewa bertumpu pada kedua sikunya, sambil menindih dan melumat bibir manis itu.
“Sudah pas?” ia bertanya.
Indira mengangguk.
Pinggul Dewa bergerak-gerak sesuai naluri, menggesekkan kejantanannya di selangkangan Indira.
“Ooooh!” mata Indira memejam saat ujung kejantanan Dewa menyenggol klitorisnya.
“Uugh…” Dewa-pun melenguh, lepitan yang sudah basah itu bergerinjal memijat batangnya, begitu hangat, begitu becek, begitu... “Oooh! Oooh!”
Dewa menggenjot tubuh telanjang Indira kuat-kuat, sementara Indira memeluk punggung Dewa yang mulai berkeringat, didekapnya erat seolah ingin segera Dewa memasuki tubuhnya.
“Oooh!”
“Oooh! Oooh! Masukin ajaaa!”
Tubuh mereka saling tindih dan saling gesek, seperti orang berhubungan sex saja, padahal kejantanan Dewa hanya meluncur-luncur di antara bibir kemaluan Indira yang sangat basah. Namun itu pun cukup untuk membuat mereka saling mendesah dan mengerang.
Nafas Indira semakin memburu, dibiarkan kekasihnya menggesekkan kejantanan yang sudah menegang di selangkangannya, karena memang ia merasa nikmat! Sangat nikmat! Indira malah mengaitkan kakinya di paha Dewa, dan ikut menggerakkan pinggulnya, seolah ingin menghenyak batang itu ke tubuhnya. Kejantanan Dewa yang meluncur-luncur di antara lepitan daging yang sudah membecek itu sungguh-sungguh nikmat! Apalagi saat ujung kejantanan itu menyentak klitorisnya, “Aaaaah…” sungguh memberikan sensasi berlipat yang memenuhi dada sampai ubun-ubun Indira, membuat mendesah, mengerang, merintih, mendesis, melolong entah apalagi. Sambil mendekap dan menciumi wajah Dewa yang tak berhenti mencumbui dada dan lehernya.
Wajah Indira tampak merona dan dibasahi keringat, matanya menatap sayu pada wajah Dewa yang menciuminya. “Aaah... aaah… hh… hh…” jeritnya bercampur dengan nafas terengah, sungguh cumbuan kekasihnya itu seperti membawanya terbang ke langit ketujuh.
“Dewa... Dewa... aaaah…” mulut Indira menganga seperti kehabisan nafas.
Tak butuh waktu lama bagi Indira untuk merasakan geli yang teramat, geli yang tiba-tiba menyeruak dan menggerakkan otot-otot tubuhnya di luar kendalinya. Tubuhnya bergerak-gerak liar. Kepalanya menoleh ke kiri - ke kanan - ke kiri - ke kanan lagi, sambil merintih seperti menangis. Sungguh chaos! Benar-benar chaos! Di saat-saat terakhir, Indira melolong dan menghenyak-henyak pinggulnya ke kejantanan Dewa. Indira menggigit jari dan meremas payudaranya sendiri.
“Oooooooh!” Tubuh Indira melenting ke atas, sebelum terhempas ke kasur. Melenting lagi sebelum terhempas dalam keadaan terengah-engah.
“Hh... hh… hh… hh… hh…” Indira terpejam, bibirnya membasah dan terbuka setengah. “Kenapa gak dimasukin?
“Tanpa itu pun, kita sudah terbang kan?“ kata Dewa lagi.
“Hihihi, hh... hh... hh...” Indira cekikikan sambil terengah.
Dewa mengecup pipi Indira yang sudah memerah seperti tomat. Ia bahagia bisa membawa kekasihnya menuju puncak kenikmatan. Indira tersenyum, bahagia karena nikmat badaniah, bahagia karena hangat cinta kekasihnya. Dikecupnya bibir Dewa dengan gemas, sambil dipeluknya seperti memeluk boneka beruang.
Dewa membelai rambut Indira, membiarkan gadis itu menggelendot manja di dadanya.
“Dewa, kamu belum keluar ya?”
Dewa hanya tersenyum. Indira tahu, sungguh egois bila hanya dirinya yang mencapai puncak. “Gak pa…” Ditempelkannya telunjuknya di bibir Dewa, memotong ucapan pemuda itu. Indira tersenyum penuh arti, seolah berkata: “Its my turn.”
Dijalankannya telunjuknya lentik itu menuruni dagu dan leher Dewa, sambil tetap dipandanginya sepasang mata pemuda tampan itu. Jemari itu menziarahi lekuk tubuh Dewa.
“Enak?” tanya Indira saat tangannya sampai di selangkangan Dewa.
Dewa mengangguk, Indira senang sekali dengan anggukan itu. Ia membelai dan mengurut sedemikian rupa batang itu.
“Indira… aaaah...” Dewa memejamkan matanya, dan mempererat pelukannya pada tubuh Indira.
Indira tersenyum. ia senang sekali bisa memanjakan kekasihnya. Direngkuhnya tubuh pemuda yang mulai menggelinjang itu. Sungguh nafas Dewa yang mendesah-desah di telinganya terdengar sedemikian seksi, apalagi saat Dewa membenamkan wajahnya di lehernya dan mulai mengerang dan merintih memanggil-manggil namanya.
“Ooooh!” Dewa melolong, dan Indira melumat bibirnya. Namun lumatan kali ini lebih beringas dari yang lalu-lalu. Lumatan kali ini bergerak buas, seperti hendak memangsa sekujur tubuh Dewa: bibir-dagu-leher-puting-abdomen, sampai sekujur tubuh Dewa bagai remuk redam oleh bibir yang mengaduk-aduk lautan birahinya, membuat pemuda Itu mengelepar sedemikian rupa dihempas badai birahi di samudera nafsu! “Mangsa aku dalam cakarmu!” batin Dewa.
Indira menaikkan kepalanya. Dewa melirik ke bawah, Indira menyibak rambutnya yang jatuh menghalangi wajahnya. Indira tersenyum, seksi sekali. Dewa tidak bisa berpikir jernih lagi, karena saat ini bibir mungil Indira mengecup kejantanannya dengan penuh kasih sayang.
Kecup lembut itu makin lama menjelma menjadi lumat buas. Mulut Indira sekarang bagai lubang hitam, melumat menghisap kejantanannya ke dalam ruang hampa bernama kenikmatan yang tiada terperi. Kepala Indira maju mundur dengan cepat dan lidahnya bergetar membelai batang yang bergerak semakin liar. Liar, sungguh liar!
Nafas Dewa naik turun seperti pasien asma. Ia mendekap kepala Indira yang bergerak liar. “Indira… aku sudah mau… oooh! oooh!”
Indira tidak peduli, ia terus menyedot dengan kecepatan tinggi.
“Aaaaah!” Dewa berusaha menjauhkan kepala Indira tapi terlambat, serbuan magma dari dalam tubuhnya sudah meruah seiring perutnya yang mengejang dan terangkat ke udara.
“Mmmmhhh!” Indira terkejut dengan cairan asin yang tiba-tiba memenuhi mulutnya. Indira menarik kepalanya, namun tubuh Dewa menyentak lagi, dan semburan kedua memancar ke arah wajah cantiknya. Indira memejamkan mata.
“Hahh… hh… hh…” Dewa tergolek lemah, matanya yang setengah terpejam bisa melihat Indira yang cekikikan. Rambut dan wajah si bidadari dipenuhi oleh kental cairan kenikmatannya, namun Indira masih bisa tersenyum hingga cairan putih itu meleleh dari sudut mulutnya. Dan, ah... kerongkongan Indira bergerak tanda ia menelan cairan cinta itu, dan menyisakan bibir yang membasah yang nampak sangat seksi di matanya.
Dewa bangkit dan menyeka wajah si bidadari dengan ujung selimut. “Maaf ya…” katanya.
Hihihi...” Indira hanya terkikik saat Dewa mengusap pipinya. “Gak papa kali,” Indira melingkarkan tangannya di leher Dewa, menatap hangat mata kekasihnya. “I love you..” kata Indira.
Dewa tersenyum, dikecupnya bibir mungil Indira yang disambut tawa kecil si bidadari. Mereka saling bercanda sambil bergulingan di atas kasur. Indira sangat bahagia, malam ini ia begitu bahagia.
“Hihihi…” Indira tertawa sendiri, sambil menggelendot manja di atas dada Dewa, membiarkan pemuda itu mendekap dan membelai-belai rambutnya. “Aku sayaaaaaang banget sama kamuuu…” Indira menjerit-jerit dan mendekap Dewa gemas seperti ia sedang meremas boneka beruang raksasa pemberian Dewa.
“A-aku juga sayang... eh, jangan keras-keras… tar aku mati sesek!”
“Hihihi…” Indira mencubit-cubit pipi Dewa gemas. “Dewa sayang…”
“Apa?”
“Kok kamu bisa tahan sih? Sampe petting-petting gini, tapi…”
“Hehe...” Dewa hanya nyengir.
”Padahal kalau kamu minta, aku mau lho.”
“Ngasih virgin-mu?”
“Ho-oh…”
Dewa menelan ludah mendengar perkataan Indira.
“Kamu homo ya?” kata Indira.
Tawa Dewa meledak, “Emang kamuuu!” Ia mencubit pipi Indira gemas.
“Hihi… habisnya… padahal sama yang sebelumnya udah pernah kan?”
“Siapa? Vi maksudmu?
“Ho-oh.”
“Dia beda…”
“Maksudmu?” Indira semakin tidak paham dengan jalan pikiran Dewa.
“Kamu itu… spesial!!”
“Malah seharusnya ML itu sama orang spesial kan? Apa Vi lebih spesial dari aku?” Indira membantah tak kalah sengit.
“Aku takut…”
“Takut ngambil virginku? Takut gak bisa tanggung jawab?”
“Bukan gitu.”
“Kamu gak yakin nanti bakal merit sama aku?”
Dewa tidak menjawab, ia malah menghela nafas panjang. Mendadak bisu menyelinap di antara mereka berdua. Benak Indira dipenuhi dengan ribuan keping teka-teki. Indira mencoba menjelajahi labirin panjang di otaknya. Di ujung ia menemukan sebuah pintu. Ia tahu dibaliknya ada kenyataan pahit, namun Indira tetap membuka pintu itu.
Deg...
Deg…
Deg…
“Aku tahu! Aku spesial karena aku anak satu-satunya dalam keluarga kan…” kata Indira lirih.
Indira seharusnya tahu. Ia seharusnya tahu dari dulu bila keluarga di Bali tidak memiliki anak laki-laki sebagai ahli waris yang akan melanjutkan keturunannya, akan menemukan konsekuensi adat:
Perkawinan nyentana.
Dalam perkawinan biasa, lazimnya seorang lelaki yang melamar seorang gadis untuk dijadikan istrinya. Namun dalam perkawinan nyentana, si gadislah yang melamar si lelaki untuk dijadikan suaminya untuk selanjutnya diajak tinggal di rumah si gadis. Sementara itu keturunannya akan menjadi milik dan melanjutkan keturunan keluarga istrinya tadi, begitu juga hak warisnya.
“Kamu… gak bakal mau... nyentana… kan? Keluargamu… pasti gak bakal mau anaknya DIAMBIL kan…?” suara Indira makin lama makin bergetar.
“Maaf…” Dewa hendak membelai Indira, namun gadis itu menepis tangannya.
“Buat apa aku sampai kaya gini, kalau suatu saat kamu pasti ninggalin aku…” Indira mengambil jarak dari tubuh Dewa.
“Indira…” suara Dewa-pun semakin berat, nafasnya naik turun dengan cepat.
“Aku spesial karena kamu PASTI GAK BAKAL MUNGKIN NIKAH DENGAN AKU KAN!”
“Indira!”
“Aku spesial, karena kamu GAK BISA TANGGUNG JAWAB setelah ambil virgin-ku kan?” Tangis sudah hampir pecah di pelupuk matanya.
“INDIRA!” Dewa membentak Indira keras, membuat Indira terdiam sambil sesenggukan.
Indira meratapi nasibnya sambil memandangi langit-langit yang semakin menyempit, seperti dunianya yang hancur. Ia benar-benar tidak punya siapa-siapa lagi. Indira terisak, tangisnya pecah sejadi-jadinya.

"Mama…
Kini aku benar-benar sendiri…
Aku tidak punya…
Siapa-siapa lagi..."

Ia menoleh ke arah Dewa. Pemuda itu pun memandangi langit-langit, di matanya pun mengalir air hingga membasahi bantal. “Jadi… segitu aja… pendapatmu… tentang aku?” suara Dewa demikian bergetar.
Indira bingung, hatinya sungguh bingung. Seumur-umur belum pernah ia menyaksikan kekasihnya itu meneteskan air mata.
“Aku… baru… kali ini… cinta… sama orang… seperti ini…” Dada pemuda itu naik turun dengan kencang.
Hati Indira mulai diliputi rasa bersalah.
“Semua… yang… kulakukan… hanya.. kamu… nilai… segitu…?” Dewa menutup wajahnya, sungguh ia tidak ingin tampak lemah di depan kekasihnya. Namun badai perasaan itu demikian membuncah di hatinya, menggelegak seperti nyeri yang tidak bisa ia tahan lagi.
“Maaf,”
Dewa menarik nafas panjang, dadanya bergetar-getar hebat, “Kamu itu spesial! JANGANKAN NYENTANA? MATI PUN AKU RELA BUAT KAMU!” jerit Dewa sambil menepuk-nepuk dadanya dengan emosional.

Nights in white satin, never reaching the end,
Letters I've written, never meaning to send.
Beauty I've always missed, with these eyes before.
Just what the truth is, I can't say anymore.

Indira tidak mampu berkata-kata lagi, hanya: “Maaf... huk... huk… maaf…” Indira memeluk Dewa.
Sepasang tangis pecah di kamar itu.
“Kamu spesial… karena… kamu… tujuan terakhirku… AKU SAYANG SAMA KAMU! AKU CINTA SAMA KAMU! AKU NGGAK INGIN MERUSAK ORANG YANG AKU CINTA!”
Indira tidak menjawab, hatinya dipenuhi rasa bersalah yang menggelegak. Indira sesengukan memeluk Dewa. Ia benar-benar tidak ingin kehilangannya.

Cold hearted orb
That rules the night
Removes the colours
From our sight
Red is gray and
Yellow white
But we decide
Which is right
And
Which is an Illusion


***

-Ava-

Ava memain-mainkan bulir padi di depannya. “He is so nice…” kata Ava, dadanya sungguh sesak mendengar cerita Indira. Namun ia harus mengakui kekalahannya.
Indira mendengus, “He was so nice…”
“Maksudmu?”
“Aku… gak tahu… aku gak tahu… gak tahu…” suara Indira demikian lirih mengulangi kata-kata itu sambil terus menghembuskan asap rokok ke dingin malam yang semakin menusuk.
Ava berpikir, sungguh wanita itu makhluk yang sulit dimengerti, karena merekapun tidak mengerti dirinya sendiri.
“Maksudmu, sekarang Dewa berubah?”
Indira terdiam, ia menghisap rokok dan menghembuskannya lagi ke dalam seribu tanya.
Ava berkata, “Kamu juga berubah, kan?” Ava menunjuk rokok yang dipegang Indira. Indira tersenyum kecut disindir seperti itu.
“Aku... gak tahu… tahu-tahu aja… kami jadi seperti ini… rusak…” kata Indira sambil menatap getir nyala rokok di tangannya.
“Manusia berubah…” kata Ava.
“Yeah...” Indira mematikan rokoknya.
“Tapi bisa juga berubah kembali jadi lebih baik, kan?” imbuh Ava.
Mereka terdiam, Indira berusaha meresapi maksud perkataan Ava.
“Naif.” kata Indira sinis.
“Optimis.” sergah Ava.
“Penuh angan-angan!” sindir Indira.
“Penuh harapan!” sanggah Ava.
“Pemimpi!”
“Karena manusia memang harus punya mimpi!”
“Meski akan terbangun?”
“Wujudkan dong!”
Ava tahu, kata-katanya kepada Indira itu seperti menampar dirinya sendiri. Kata-katanya itu lebih tepat ditujukan untuk dirinya sendiri yang baru saja kehilangan harapan.
“Aku tuh bingung tahu…” kata Indira lirih.
“Bingung kenapa?”
“Bingung sama perasaanku ke…” Indira terdiam sebentar, ia melirik Ava. “Dewa…”
“Ngapain bingung, aku tahu kok kamu sayang banget sama Dewa.”
“Kamu tahu?”
Ava mengangguk, “Dan dari ceritamu aku tahu, Dewa sayang banget sama kamu.” Sungguh dibutuhkan kebesaran hati yang lebih tebal dari Tembok Besar Cina untuk mengatakan hal ini.
“Kenapa?” Indira memandang Ava dengan tatapan penuh tanya.
Ava tediam, dan ia memandangi lekat-lekat wajah Indira. Serona indah wajah Indira penuh harap yang membuat sebentuk kata keluar dari palung sanubari yang paling dalam:

“karena aku merasa kamu bidadari yang harus dilindungi,
harus dibahagiakan,
dan harus dicintai dengan seluruh hidupku.”

“karena Dewa merasa kamu bidadari yang harus dilindungi, harus dibahagiakan, dan harus dicintai dengan seluruh hidupnya.”
“Beneran?
“Bener!”
Tentu saja benar!
Ava berkata lagi, “Apalagi dia sudah mau... apa tadi namanya?”
“Nyentana.”
“Iya, itu dah..”
Mereka terdiam.
Ava bertanya, “Masih berantem sama Dewa?”
Indira mengangguk.
“Jangan lama-lama berantemnya…” kata Ava lagi.
Mereka terdiam lagi. Lama, sangat lama. Hanya ada hening yang ditingkahi suara jangkrik dan kodok di kegelapan.
“Ava…”
“Ya?”
“Aku merasa beruntung ketemu kamu.”
“Oh..”
“Makasih ya…” Indira menggengam tangan Ava.
Ava cuma nyengir, “Kalo sudah baikan, bilang maaf juga dari aku, soal yang…” Ava menunjuk pelipis matanya “Yah itu lah…”
“Huuuu! Minta maaf sendiri!”
“Iya deh, nanti kalau dia kesini.”
Indira tersenyum, matanya penuh dengan binar seolah ia baru saja menemukan mimpi dan harapan yang sebelumnya memudar. Sebuah kecupan mendarat di pipi Ava, sebelum bidadari itu beranjak meninggalkan Ava.
“Awas masuk angin!” jerit Indira dari kejauhan.
Kali ini Indira merasa Ava membuatnya mampu bermimpi dan melangkah ke depan.
Ava terpaku melihat langit, ia tidak sadar ternyata langit mendadak cerah dan menampakkan ribuan bintang yang tadi tertutup kelam. Sungguh perasaan Ava campur aduk. Ava ingin Indira bahagia, terlebih dengan segala kehilangan yang pernah dialami Indira, Ava benar-benar ingin bidadarinya itu bahagia.
Ava tahu satu hal yang pasti: kebahagiaan itu tidak berasal darinya.
Ava meraih HP Android-nya dan mencari sebuah lagu untuk menemaninya ber-galau in the dark. Sesaat kemudian ia sudah menirukan suara Angga Puradiredja dari Maliq n D’essentials.

Ketika, kurasakan sudah:
Ada ruang di hatiku yang kau sentuh

Oh, dan ketika kusadari sudah:
Tak selalu indah cinta yang ada

Mungkin memang ku yang harus mengerti:
Bila aku bukan yang ingin kau miliki

Salahkah aku bila, kaulah yang ada di hatiku?

Bila cinta kita tak akan tercipta,
Aku hanya sekedar ingin tuk mengerti:
Adakah diriku singgah di hati mu?

Dan bilakah kau tahu?
Kaulah yang ada di hatiku

Kau yang ada di hatiku,
Adakah aku di hatimu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar