Jumat, 08 Juli 2016

JKT48 Diary 5


Diary Hari Keduapuluhtiga

Pukul 04.30

Aksi balas dendam dimulai…
Aku berangkat ke sekolah di pagi buta penuh semangat. Hari masih gelap, sebab matahari belum menampakkan diri. Udara dingin menyergapku. Namun semuanya tak terasa karena gelora di dalam hatiku mengalahkan segalanya.
Semua anak memakai baju bebas dan membawa ransel yang menggembung. Seakan-akan bersiap kemping. Tapi itu sekedar kedok. Isi tas kita paling seragam sekolah dan beberapa buku. Agar terlihat penuh kita menjejalkan busa ke dalamnya.
“Dia sudah mendapat surat itu kan?” tanya Baddy memastikan pada Haya.
“Tentu saja! Cobalah berhenti cemas. Aku melakukan segala sesuatunya sesuai rencana kok,” jawab Haya kesal.

Kemarin Ken meminta Baddy membuat surat palsu. Surat yang berisi pemberitahuan dari sekolah bahwa kita akan mengadakan kemping di Puncak sampai hari senin. Sudah pasti semuanya hanya bohong belaka. Surat buatan Baddy meyakinkan sekali. Si nomor 25 yang diberi surat tadi oleh Haya tidak berkomentar apa-apa. Dia hanya bertanya. “Apa saja barang yang harus kubawa?”
Huh. Berlagak. Padahal saat darmawisata saja dia hampir tidak membawa apa-apa.

***

Pukul 05.10

Segalanya telah siap. Kita tinggal menunggu kemunculan sang target. Beberapa anak terlihat gelisah, sementara kelompok ‘sok suci’-nya Frans berkumpul di satu tempat sambil memasang wajah ‘kita batalkan saja’ mereka. Radith membalas mereka dengan tatapan ‘jangan macam-macam!’.
“Mana anak itu!?” Cleopatra hilir mudik berjalan di depan pintu gedung. Dia dan Andy bertugas memberitahu kedatangan si nomor 25 pada yang lain.
“Di-dia da-datang…” Andy megap-megap panik. Bergegas berlari ke arah kita.
Si nomor 25 membuka gerbang sekolah. Tersenyum melihat kita. Senyum yang memuakkan.
Nabilah mencubit lengan Andy. “Bodoh. Bisa tenang sedikit nggak sih. Awas saja kalau rencana kita sampai gagal gara-gara kamu nggak bisa bersandiwara!”
Kita serentak mengepung si nomor 25. Memblokir setiap jalan kalau dia berniat kabur. Gadis itu memandang kita satu per satu. Menjilat bibirnya. Gugup. Bagus! Dia takut pada kita!
Icha menyenggol Haya. Memberi dia isyarat supaya segera melaksanakan bagian tugasnya. Haya pun maju mendekati si nomor 25. “Pak Benny meminta kita berkumpul dulu di belakang sekolah. Mungkin beliau ingin memberikan beberapa wejangan agar kempingnya berjalan lancar.”
Si nomor 25 mengatakan, “Baik.”
“Ayo!” Haya memimpin di depan dengan gagah.
Haya memang keren ya…
Kita berjalan sambil terus menjaga formasi yang sudah dibentuk. Menjajari setiap langkah si nomor 25.
“Oke, stop!” seru Radith sesampainya di tempat yang sudah disepakati. Tempat yang angkernya mirip kuburan itu. Suasana di situ malah jauh lebih gelap dibandingkan bagian lain di sekolah.
Oh tidak, aku hampir meledak kesenangan. Sebentar lagi waktunya.
Kita terdiam. Menunggu.
Ken angkat bicara. Berkacak pinggang di hadapan si nomor 25. “Sudah lama kami benci padamu. Pada wajahmu. Pada suaramu. Pada cara jalanmu. Pada pemikiranmu. Dan pada setiap kelakuanmu. Kau pikir kami sebodoh apa jadi tidak dapat membongkar semua kejahatanmu. Dimulai dari—“
“Aku!” Frieska memotong kata-kata Ken. “Apa kau tahu bagaimana hari-hari yang kujalani di rumah sakit!? Rasa sakit yang kutahan mati-matian. Apa kau bisa merasakannya!?”
“Aku juga!” suara Icha keras dan penuh amarah. “Tega sekali kau menyebarkan foto itu! Rasa malu yang kuterima akan kubalas padamu berkali-kali lipat!”
Nabilah mendapat giliran selanjutnya. “Nabilah yakin kamu sengaja kan mancing Nabilah dan yang lain ngikutin kamu. Kamu juga pasti sudah tahu ada truk yang bakal lewat. Makanya kamu ngebuat Nabilah kaget di tengah jalan supaya Nabilah mendapat kecelakaan kan!?”
Si nomor 25 menggeleng berkali-kali. “A-aku tidak paham maksud kalian.”
“Pembohong busuk!” maki Radith.
“Kata-kata… kuingatkan kalian untuk menjaga kata-kata. Tolong!” Frans hampir stress mengingatkan kita.
“Masa bodoh!” tolak Radith. “Cewek ini hampir ngebunuh gue. Masa gue diem aja!”
“Tak ada bukti dia pelakunya…” jawab Frans.
“Gue dengan mata kepala sendiri ngeliat dia berkeliaran di dekat toilet. Mau bukti apa lagi!”
“Itu bukan bukti, itu baru—“
“Cukup! Dia pelakunya. Gue yakin itu!”  bentak Radith.
Urat leher kedua anak itu menyembul di balik kulit. Ketegangan memuncak di antara mereka.
“Aku juga yakin!” Imban tidak mau ketinggalan. “Yang meracuni susu saat darmawisata pasti juga dia!”
“Juga kaca jendela yang pecah tiba-tiba!” kataku. Kaca yang melukai Haya. Malangnya Haya.
“Bu-bukan aku…” sangkal si nomor 25.
Menyebalkan. Mana mau dia mengaku.
“Kalau ingin melakukan sesuatu, lakukan segera. Petugas kebersihan sekolah sebentar lagi datang,” tukas Fahira khawatir.
Ken menjentikkan jarinya. Itu isyarat.
Baddy mengunci tangan kiri si nomor 25. Haya kebagian tangan kanan. Radith mengangkat kedua kaki si nomor 25. Dan Ken membekap mulut gadis itu dengan sapu tangan.
Gadis tersebut meronta-ronta sementara keempat pemuda tadi menggotongnya ke dekat pintu tingkap ruang penyimpanan bawah tanah. Imban, Carada, Jhan, Gio, Rudy dan Micah bersiap di dalam ruang penyimpanan bawah tanah. Mengambil ancang-ancang di bawah. Mereka membentangkan karpet tebal. Mengangkatnya setinggi leher.
“Kalian siap?” tanya Radith dari atas.
“Ya,” jawab Carada mewakili yang lain.
Tubuh si nomor 25 dilempar dari atas. Jatuh ke tengah-tengah karpet. Micah dan Imban sempoyongan menahan sudut karpetnya. Karpet perlahan diturunkan. Si nomor 25 melompat menjauhi mereka. “Kalian mau apa?” rintihnya.
Carada ingin mengatakan sesuatu. Tapi diurungkannya.
“Kita naik?” tanya Micah. Tidak tega melihat si nomor 25.
Semuanya naik meninggalkan si nomor 25 sendirian.
Radith menggulung tali yang menjadi satu-satunya alat untuk turun naik ke dan dari ruang penyimpanan bawah tanah. Otomatis si nomor 25 terisolasi di sana.
“Tolong, kembalikan talinya…” mohon si nomor 25. Air matanya mulai menetes.
Radith tidak mempedulikannya. Mengambil sehelai papan tripleks. Menutup lubang ke ruang penyimpanan bawah tanah. Sayup-sayup terdengar teriakan si nomor 25.
“Teriakan gadis mengerikan itu nyaring sekali, jangan-jangan nanti didengar seseorang yang lewat daerah ini.” kata Baddy.
“Tenanglah Baddy, suara yang keluar dari ruangan ini lebih menyerupai bunyi tiupan angin. Nggak bakal ada yang curiga. Satu lagi, mana ada orang waras yang berkeliaran sampai ke belakang sekolah.” Ken menertawakan kekhawatiran Baddy.
Untunglah. Aku sempat khawatir juga sebenarnya.
“Berapa hari kita mengurungnya di sini?” tanya Mova.
“Tiga hari. Senin pagi kita lepaskan,” kata Ken.
“Apa tidak terlalu lama?” Mova terlihat khawatir.
“Tidak. Menurutku malah terlalu sebentar.”
“Kau tidak akan membiarkannya kelaparan di bawah sana kan?”
“Pada mulanya aku berniat begitu. Dia pantas mendapatkannya. Tapi dewa kebajikan kita—“ Tangan Ken dilambaikannya pada Frans., “—maunya kita mengantarkan makanan secara bergiliran untuk gadis ini. Kalau tidak dituruti, katanya dia bakal melaporkan kita ke polisi dengan tuduhan penyiksaan. Sungguh teman yang setia ya dia.”
Frans belagu. Sok suci.

***

Pukul 07.30

“Selamat pagi anak-anak,” sapa Pak Benny.
“Pagi, Paaakk…” balas kita lantang.
Aku merasakan aura ketenangan mengambang di kelas kita. Absen-nya si nomor 25 tentu membawa kebaikan dan menghapus awan hitam yang menyesakkan.
“Saya lihat ada satu orang yang tidak masuk hari ini.” Pak Benny menanyakan si nomor 25.
“Dia sakit, Pak.” Haya cepat-cepat menjawab.
“Sakit? Apa ada surat ijinnya?” tanya Pak Benny.
“Ada.” Haya menyerahkan sebuah surat pada Pak Benny. Surat kedua yang merupakan hasil rekayasa Baddy pula.
Pak Benny membacanya sebentar.
Kita menunggu. Agak sedikit tegang.
“Baiklah anak-anak. Buka halaman 79,” pinta Pak Benny memulai pelajaran. Beliau termakan muslihat kita.
Fiuh!!
Desahan lega memuai. Ini menyenangkan. Sekolah menyenangkan tanpa si nomor 25.

(Shania Juniantha)

***

Diary Hari Keduapuluhempat
Komentar Minggu Keempat

Aku Allisa Astri, tapi biasa dipanggil Icha.
Mungkin kalian berpikir; ‘Ih, dia tidak tahu malu ya… padahal punya skandal, tapi tetap menggosipkan orang lain’.
Huh. Aku orang yang tangguh. Toh setiap orang punya rahasia yang suatu saat akan terbongkar juga. Sedalam apapun kalian menguburnya. Maka dengan bangga kuproklamirkan, akulah yang akan membongkar rahasia kalian satu persatu. Berhati-hatilah!
Reaksi kalian berlebihan dalam menerima fakta si nomor 25 tersingkir dari kelas untuk beberapa hari.
Gio membawa dua kardus kue. Andy terseok-seok mengangkat peti-peti jus kaleng (sendirian!). Nabilah dan Fahira menempelkan hiasan, pita dan sebagainya di sana sini. Sonya merangkai bunga di vas-vas yang baru saja dibeli Baddy. Yup, kita merencanakan pesta.
“Kita merayakan apa?” Itu pertanyaan paling bodoh yang keluar dari mulut Gaby.
Apa dia tidak menyadari keceriaan seluruh penghuni kelas? Halooo… walau kelompokmu menentang ide balas dendam kami, bukan berarti kalian harus mati-matian mengingkari kalian turut menikmati suasana kelas yang sekarang kan?
Bu Donna menunjukkan tampang kaget yang imut melihat chemistry kelas yang cerah meriah. “Ada yang ulang tahun ya?” tanyanya.
Semua tertawa.
“Ada hal menyenangkan yang baru kalian alami rupanya. Sejak kemarin senyum terus menghiasi wajah kalian. Apa ibu boleh tahu penyebabnya?” dia bertanya lagi.
Semua tertawa dengan nada beragam.
“Apapun itu, ibu ikut senang dengan perubahan baik ini.” kata Bu Donna pada akhirnya.
Coba, Bu Donna saja mendukung. Beliau tahu ada sesuatu yang berubah di kelas kita. Ada seseorang yang menghilang dan memang tidak seharusnya berada di kelas ini. Si nomor 25. Sejak awal gadis itulah yang mengundang alias membuat kesialan-kesialan yang kita alami.
Atau ada alasan lainkah…?
Kalian pernah menduga-duga sesuatu?
Hal yang akan kuceritakan berikut ini anggaplah intermeso biasa. Informasi yang bahkan bagiku si expert dalam bidang gosip ini pun terdengar bagai kebohongan mengada-ada.
Kalian penasaran?
Hu… hu… hu…
Penyelidikan yang kulakukan sampai hari ini menghasilkan beberapa berita atau gosip atau bagaimanapun cara kalian menyebutnya.
Munculnya niatku jadi penyelidik (bukan detektif gadungan seperti Cleopatra) berpangkal dari kelakuan sinting anak-anak kelas lain yang memperlakukan kita layaknya penderita kusta. Dipandang aneh, dihindari, kadang ditakuti. Semua mendapat perlakuan yang serupa kan?
Petunjuk pertama yang kudapat adalah sebuah kata kunci. Perlu sedikit perjuangan untuk mendapatkannya.
Kalian masih ingat aku dan Nabilah pernah bersembunyi di ruang ganti cowok? Itu loh, hari dimana Frieska kecelakaan. Kami bukannya kecentilan sehingga ngumpet di sana. Alasannya karena cowok-cowok di kolam renang memergoki kami. Kejar-kejaran pun terjadi. Aku dan Nabilah berhasil menyelinap ke ruang ganti mereka. Bersembunyi di sana.
”Hayo, mana janjimu, Nabilah?” kataku pada Nabilah. Para cowok masih sibuk mencari di luar ruangan.
”Janji apaan?” tanya Nabilah tidak mengerti.
”Kau mau memijitku kalau berhasil menghindar dari para cowok.” bisikku lirih.
”Hihihi… iya, iya.” kata Nabilah, dia lalu berpindah ke belakangku yang kini sudah tidur tengkurap di sebuah bangku kecil.
”Ayo, puaskan aku sama pijitanmu.” pintaku.
“Iya, Cha. Sekarang Icha yang jadi ratunya, Nabilah menjadi pelayan, siap menerima perintah.” kata Nabilah sambil mulai mengelus pelan punggungku.
”Hihihi... untuk awalan, cukup pijat punggungku saja.” kataku manja.
Nabilah menunduk dan mencium pipiku sambil tangannya tetap mengelus-elus punggungku. Aku meliriknya sambil tersenyum dan semakin memejamkan mataku. Ciuman Nabilah kini berpindah ke tengkuk dan leherku.
”Aaaahhh...” aku mendesah kegelian, tapi tetap memberi ruang bagi bibir Nabilah untuk terus bermain di tengkukku.
Sambil mencium, salah satu tangan Nabilah mulai menyusup ke bawah dadaku dan meremas bongkahan payudaraku yang bulat padat. Aku sedikit mengangkat punggung agar tangan Nabilah leluasa melakukannya. ”Emm... enak, Cha?” bisik Nabilah di telingaku, tangannya yang satu lagi turun ke bawah, membelai dan meremas bokongku yang mengkal dan montok.
”Ahhh…” aku hanya bisa mendesah menikmati remasan Nabilah pada bokong dan payudaraku.
Perlahan Nabilah menarik rokku ke atas sampai bokongku yang putih montok kelihatan. Mula-mula Nabilah mengelusnya dengan lembut, tapi setelah beberapa saat berlalu, ia kemudian meremasnya begitu kuat hingga membuatku sedikit merintih dan berjengit sakit.
”Aahhh…” desahku sambil mengangkat pinggul, menyongsong remasan tangan Nabilah.
Nabilah perlahan menggeser posisinya sampai bokongku tepat berada di hadapannya. Setelah beberapa saat mengelus dan meremasinya, perlahan Nabilah mulai menjilat dan menciuminya.
”Uuhhh...” aku makin mendesah, kugerakkan pinggulku pelan ketika Nabilah menggigit bokongku, meninggalkan tanda merah merona pada permukaannya yang bulat dan putih mulus.
”Aakkhh…!!” Bokongku terangkat kaget ketika jari-jari nakal Nabilah menyusup diantara bongkahannya, lalu mengelus pelan vaginaku yang sudah basah dan licin dari tadi.
Nabilah semakin membenamkan bibirnya pada bokongku sambil tangannya mengelus dan mencubiti vagina montok milikku. Aksi Nabilah itu membuatku semakin mendesah, apalagi ketika kedua tangannya meremas dan mendorong bokongku ke samping, lalu lidahnya menjulur untuk menjilati liang vaginaku.
”Aahhh... ouuuuaaaahh...” aku melenguh semakin keras dan menggeliat semakin liar. Wajah cantik Nabilah semakin terbenam di antara bokongku, lidahnya semakin dalam menyusup ke celah vaginaku. Aku semakin melebarkan pahaku dan menunggingkan pinggulku ke atas untuk menyongsong jilatan lidahnya.
”Akhh... ahhhh... aaaaaaaahh...” aku menjerit keras dan panjang. Bokongku bergerak naik turun mengikuti irama jilatan Nabilah yang semakin kuat dan cepat. Dia sekarang insten menyerang kelentitku.
”Aaaaahhhhh…” tak tahan, aku pun mendongakkan kepala dan berteriak keras, diiringi gerakan pinggul liar untuk menyambut getaran orgasme yang meluluhkan seluruh tubuhku.
”Sluruuuuppsss…” Nabilah menyedot seluruh cairanku dengan gemas agar aku bisa lebih dalam menikmati rasa orgasmeku. Tubuhku yang tengkurap mengejang kuat dengan bokong terangkat oleh dorongan nikmat sebelum akhirnya melemas tak berdaya beberapa saat kemudian.
Nabilah menindih tubuhku dan menciumi pipiku. ”Enak, Cha?” bisiknya mesra.
”Emm, nikmat banget, Bil.” desahku perlahan nyaris tak terdengar.
”Ayo, rapiin pakaiannya. Sepertinya mereka sudah pergi.” kata Nabilah.
”Iya,” kukecup pipi Nabilah, kurapikan kembali bajuku. Saat itulah, kudengar salah seorang di antara para pengejar kami berkata sambil berjalan menjauh, “Kita hentikan saja mencari mereka. Aku sempat melihat wajah cewek-cewek itu. Keduanya anak dari ‘kelas terkutuk’!”
Teman-temannya semua memekik ketakutan. Lalu mereka berhamburan kabur! Apa-apaan itu!?
Nabilah bilang mereka hanya bercanda. Ya aku sih tidak menyalahkan dia. Otaknya memang pas-pasan kan? Dia juga tidak punya intuisi hebat sepertiku yang mahir mengendus gosip-gosip spektakuler.
Aku kemudian mulai mencari berbagai informasi tentang ‘kelas terkutuk’ yang mereka perbincangkan. Anak-anak kelas lain itu serius saat mengatakannya. Mereka jelas punya alasan tertentu sehingga menyebut kita begitu. Alasan yang harus kucari tahu!
Dan coba tebak! Aku tidak menemukan apapun. Tidak ada catatan sedikitpun mengenai ‘kelas terkutuk’ itu. Padahal aku dibantu si kutu buku Ochi sudah mengubek-ubek perpustakaan. Mengharap mendapat secuil data. Ujung-ujungnya aku kesal dan menyerah mencarinya.
Betapa senangnya aku ketika kemarin Micah menemukan sebuah album foto di laci mejanya yang selama ini macet tidak bisa dibuka. Laci itu diperbaiki oleh Imban sebagai balasan untuk Micah yang membantunya menyusun tugas kliping Biologi. Rupanya Imban si mata belo itu berbakat juga jadi tukang.
Micah membuang album tersebut ke tempat sampah. Aku bergegas memungutnya. Barang penting kok dibuang. Album foto itu memuat foto-foto anak-anak yang pernah mendiami kelas kita, dimulai dari angkatan 2003.
Hanya ada enam halaman disana. Setiap angkatan mendapat jatah satu halaman. Halaman terakhir masih kosong. Di bagian atas halaman kosong itu tertera tulisan ‘Angkatan 2008’. Angkatan kita.
Berarti angkatan 2007 sekarang sudah kelas 2 dan angkatan 2006 naik ke kelas 3.
Aku menelusuri wajah-wajah mereka. Lucu, ternyata setiap angkatan juga hanya diisi 25 siswa seperti angkatan kita.  Di bawah setiap foto ada nama dan tanggal lahir mereka. Wajah-wajah itu tersenyum janggal. Seakan dipaksa tersenyum saat difoto.
Kuambil satu nama dari angkatan 2007. Mark Havier Benjamin. Cowok yang tampan. Aku membayangkan wajahnya yang sekarang. Memutar memoriku mencari-cari wajahnya di kumpulan cowok-cowok tampan di kelas 2. Dan…
Tidak ada yang mirip! Malah aku yakin tak ada anak kelas 2 bernama ‘Mark’. Tidak mungkin keliru. Wajah setampan itu mustahil luput dari pandanganku.
Kuambil nama yang lain. Bob Abing. Cowok ceking dengan kacamata bergagang tanduk. Lagi-lagi… Bisa kupastikan tak ada pula anak kelas 2 dengan ciri-ciri yang baru kutulis tadi.
Aku tambah penasaran. Kuamati setiap foto. Mataku lalu tertarik pada sebuah nama. Trisha Ellen. Cewek berambut ikal panjang. Aku pernah melihat nama itu di suatu tempat.
Tapi dimana?
Penelitiankupun berlanjut.
Usai sekolah aku mendekam di ruang kerja ayahku. Bagi yang belum tahu, ayahku adalah pemimpin perusahaan sebuah koran harian di kota kita. Ruang kerjanya berupa perpustakaan tiga lantai yang koleksinya super lengkap dari puluhan ribu buku, koran, majalah, CD dan kaset. Komputernya juga menampung data berita puluhan tahun dari seluruh dunia.
Berlebihan? Datanglah ke rumahku jika ingin membuktikannya.
Kali ini aku memilih memakai komputer ayahku. Komputer itu dilengkapi search engine paling akurat dan canggih yang terkoneksi dengan internet. Kita tinggal mengetikkan suatu kata selanjutnya voila semua berita yang berhubungan dengan kata itu akan bermunculan.
Trisha Ellen.
Kuketik nama itu. Kuklik icon search. Lebih dari seribu file muncul. Masih terlalu banyak. Di kotak kedua yang berfungsi sebagai kotak kata pembatas kuketik nama sekolah kita. Komputer menghilangkan semua berita yang tidak berkaitan dengan nama sekolah. Ada 6 berita yang tertinggal.
Keenam berita tersebut membahas kejadian yang sama: Trisha Ellen, putri seorang gubernur, tewas bersama ke 24 teman sekelasnya karena bus yang mereka tumpangi jatuh ke jurang. Kejadian itu bahkan baru terjadi delapan bulan yang lalu. Pantas saja aku masih sedikit mengingatnya.
Iseng-iseng di kotak search utama kuketik kata ‘kelas terkutuk’. Kotak kedua tetap berisi nama sekolah kita.
Sebuah file muncul. Aku terperangah. Aku kan cuma main-main, pikirku. File itu bersumber dari buletin yang diedarkan terbatas di sekolah kita. Kenapa kita tak pernah memperolehnya?
Isi beritanya adalah sebagai berikut.

Kelas Terkutuk Memakan Korban Lagi!

      Kelas itu benar-benar sial. Anak-anak yang menghuninya juga dibayangi kesialan. Masih segar dalam ingatan kita kecelakaan-kecelakan mengerikan yang menimpa seluruh angkatan ‘kelas terkutuk’. Tahun 2003, angkatan pertama ‘kelas terkutuk’ yaitu kelas percobaan yang siswa-siswanya adalah anak-anak hebat, diciptakan. Kelas ini memiliki jadwal yang berbeda dari kelas biasa. Sewaktu kelas lain sibuk ulangan semester, mereka malah melakukan pendakian ke sebuah gunung. Pendakian itu tidak berlangsung lama. Keduapuluhlima anak dinyatakan hilang dan jasad mereka tidak ditemukan sampai sekarang.
      Tahun berikutnya, 2004, kelas percobaan dibentuk kembali. Seakan mengulang kesialan yang sama, siswa-siswa angkatan ini bertamasya ke danau. Kalian tahu apa yang terjadi? Mereka semua tenggelam di sana. Puluhan tubuh mengapung di tengah-tengah danau. Tidak diketahui penyebabnya.
      Berlanjut ke tahun 2005, dua kejadian rasanya sudah lebih dari cukup. Isu ‘kelas terkutuk’ mulai berhembus pada tahun ini. Angkatan 2005 menjemput ajal mereka di kamar hotel masing-masing dalam rangkaian acara konferensi. Menurut catatan kepolisian, mereka keracunan gas karbondioksida saat tidur.
      Di tahun 2006 (penulis masih kelas 1 masa itu), pihak sekolah kita membantah isu itu dan melarang semua siswa membahasnya. Siswa yang ketahuan melanggar diberi sanksi dikeluarkan dari sekolah. Sayang meskipun mulut kita dibredel, sabit dewa kematian tetap mengayun di kelas tersebut. Kerusuhan meledak di depan gedung parlemen, berita besar yang disiarkan live melalui semua TV lokal. Yang mengejutkan, siswa-siswa kelas percobaan 2006 terlihat terjebak di tengah kerumunan massa. Didorong-dorong, terinjak-injak, dipukuli, dan akhirnya meninggal di sana. Bukan pemandangan yang enak dilihat. Bagaimana mereka bisa terlibat dikekisruhan tersebut?
      Kita beralih ke tahun 2007. Entah siapa yang memulai kita menjadi sangat antipati pada siswa-siswa ‘kelas terkutuk’. Beredar kabar pula barangsiapa yang berada dalam jangkauan 1 meter dari siswa-siswa tersebut akan tertular kesialannya. Penulis agak menyayangkan hal ini. Sebab kebanyakan siswa angkatan 2007 di kelas itu adalah anak yang ramah. Namun kemalanganlah yang menunggu mereka. Usai mengunjungi perkebunan teh, bus yang mereka tumpangi jatuh ke jurang. Semuanya tewas seketika.
      Lalu apakah nasib tragis akan menimpa angkatan 2008 pula? Kita lihat saja nanti.

P.S : Ingat buletin ini jangan sampai diketahui pihak sekolah, apalagi sampai beredar di luar.

Peringatan konyol. Nyatanya toh buletin itu beredar di internet.
Sudah membacanya kan? Terserah kalian menafsirkannya bagaimana. Kalau aku, terlepas apakah aku percaya atau tidak dengan berita tadi, aku sangat bersemangat untuk menggalinya lebih dalam.
Ngomong-ngomong mengenai kutuk mengutuk, ada salah satu teman kita yang melakukan perbuatan terkutuk pada si nomor 25!!!
Ceritanya begini...
Siang sepulang sekolah, aku, Melody, dan Nabilah menghabiskan waktu dengan berenang di kolam belakang sekolah. Semua murid sudah pada pulang, sekolah sunyi dan sepi. Dengan bebasnya kami bercanda di kolam renang yang tidak begitu dalam itu, hanya sebatas perut.
”Awas, aku mau terjun.” teriak Melody, lalu meloncat ke dalam kolam renang. Byuuurr!
”Ih, Melody!” teriak Nabilah karena mukanya terciprat air banyak sekali.
”Hihihi...” Nabilah cuma cekikikan sambil menyeka air dari wajahnya.
”Eh, Mel, itu kok ada merah-merah di toketmu?” kutunjuk payudara Melody yang tersingkap bagian atasnya. Melody hari itu memakai pakaian renang yang cukup sexy sehingga sebagian besar payudaranya yang bulat besar dan putih mulus tidak tertutupi.
”Ups, hihihi...” Melody reflek menutupi payudaranya sambil tersenyum nakal.
”Hayo... ulah siapa tuh? Lihat dong, Mel.” kata Nabilah sambil menarik tangan Melody.
“Ih, ada dua!” aku memekik. Ada dua cupangan tajam di permukaan payudara Melody.
”Hihihi... kalo aku ceritakan, jangan pada pengen yah?” kata Melody genit.
”Huuuu…” cibirku dan Nabilah berbarengan sambil meremas payudara Melody.
”Aooww! Uh, kok malah dipencet sih?” Melody cemberut, wajahnya yang oval jadi makin kelihatan cantik.
”Habis kamu ngegemesin sih, bikin penasaran!” kupeluk tubuh montok Melody.
”Ayo dong ceritakan,” rajuk Nabilah, ikut memeluk Melody juga.
”Hmmm.. ini bekas gigitan Rudy tadi malem.” kata Melody sambil membusungkan dadanya dan menunjukkan bekas merah di payudaranya.
”Wow, kalian lakukan dimana?” tanyaku penasaran.
”Di teras rumahku.” kata Melody santai.
”Apa! Emang nggak ketahuan mama papa-mu?” tanya Nabilah penasaran.
”Ya nyuri-nyuri kesempatan lah. Lagian kan aku sudah persiapan nggak pake BH,” kata Melody genit.
”Gila kamu! Kalo sampai ada yang lihat, bisa mampus kamu.” kataku.
”Nggak mungkin, kami ahli gitu loh! Hihihi.” Melody tersenyum nakal.
”Trus ngapain aja kalian?” Nabilah penasaran.
”Ya gitu deh. Kalo pas lagi sepi, aku angkat kaos aku, trus aku sodorin tetek aku ke Rudy. Sensasinya saat Rudy mengenyotnya, uuuuuhhhh…!!” Melody menggeliat sambil terpejam, membayangkan waktu Rudy mencium dan mencucup payudaranya.
”Emm... pengeeeeeenn!” bisikku dengan tangan meremas pelan payudara Melody yang membusung indah.
”Rasanya nikmat banget lho!” Melody memelukku, membiarkanku terus mempermainkan bongkahan payudaranya.
”Emang nggak sakit digigit sampai merah gitu?” Nabilah masih penasaran.
”Ya enggak lah, Bil. Kan nggigitnya mesra... uuhh!” Melody mendekap kepala Nabilah agar menyusup ke belahan payudaranya. ”Apalagi waktu Rudy nggigit yang ini,” lanjut Melody sambil menarik BH renangnya ke atas sehingga putingnya yang sebelah kiri terbuka lebar.
”Wow! Puting Melody sudah menegang, hihihi...” kucubit benda mungil berwarna merah muda itu.
”Auw! Jangan dicubit donk, tapi diremas gini.” Melody menuntun tanganku ke arah gundukan payudaranya. ”Pertama pelan-pelan, lalu diremas kuat perlahan-lahan... aaahhh!” lanjutnya, dia terus menuntun tanganku agar mengelus dan meremas kencang. ”Uuhhh...” Melody menggeliat dan terpejam merasakan remasan tanganku.
”Yang sini dibuka juga ya, Mel?” kata Nabilah sambil langsung menarik BH Melody yang sebelah kanan, lalu memilin putingnya. Melody memeluk kami sambil terpejam rapat dan dada membusung, meresapi elusan tangan nakal kami berdua. Aku dan Nabilah jadi ikutan horny melihat tingkah lakunya.
”Cium dong, Bil.“ Melody menundukkan kepala Nabilah ke arah payudaranya.
”Mmmm…” Nabilah dengan perlahan menempelkan wajahnya ke payudara Melody, merasakan kelembutan dan keempukannya, lalu pelan-pelan dia mencucup dan mengulum puting susunya.
Aku juga melakukan hal yang sama, aku menundukkan wajah ke arah payudara Melody dan menggigit lembut putingnya yang menegang.
”Aahhh... kalian bikin aku horny!” Melody menengadahkan kepalanya dan semakin erat memeluk aku dan Nabilah. Dia semakin diamuk birahi sehingga tangannya pun tidak mau tinggal diam. Dari arah samping, Melody meraih payudara kami berdua. Perlahan tangannya masuk melalui celah pakaian renang yang aku dan Nabilah kenakan dan mulai meremas-remas payudara kami berdua.
”Uuuuhhh...” aku dan Nabilah melenguh berbarengan. Remasan Melody terasa semakin kuat seiring makin kuatnya sedotanku pada puting susunya.
”Aahh... stop, stop, berhenti dulu! Uhh…” Melody menghentikan aktivitas kami berdua.
Aku dan Nabilah mengangkat wajah dari payudara Melody sambil menatapnya sayu. Wajah kami bertiga bersemu merah karena birahi yang menggelora.
”Huuftt…” Melody mengatur nafas sejenak lalu membuka BH renangnya dan melemparkan ke atas sambil tersenyum nakal, memberi isyarat agar kami juga melakukan hal yang sama.
Diringi senyum dan tatapan yang nakal, aku juga membuka BH renangku dan melemparkannya entah kemana, lalu tanganku mengelus-elus payudaraku yang putih montok sambil sesekali memilin putingnya yang masih mungil dan berwarna merah muda kecoklatan.
Nabilah yang tidak mau kalah ikut menurunkan baju renangnya hingga ke perut karena dia memakai baju terusan yang biasa. Segera payudaranya yang tidak begitu besar dan putingnya yang baru tumbuh terpampang membusung indah.
”Uuuuh... sini donk.” Melody merengkuh tubuh kami berdua ke dalam pelukannya.
”Emm,” kucium pipi Melody sambil kutempelkan payudaraku ke payudara bulat miliknya. Begitu juga dengan Nabilah, payudara kami sudah saling berhimpitan sekarang. Tak perlu waktu lama, kami mulai saling menggesekkan puting masing-masing.
”Eeehhh…” desah kami bertiga ketika puting kami saling bertemu dan bergesekan.
”Emm... Mel, praktekin dong waktu sama Rudy.” bisikku.
”Iya, Mel. Nabilah pengen tahu juga.” bisik Nabilah juga sambil menciumi telinga Melody.
”Aaahh... aku horny beneran nih.” desah Melody. Lalu dia menurunkan tubuhnya ke arah payudaraku yang sedikit montok.
”Aaaahh...” desahku ketika bibir tipis Melody mulai mengulum putingku. Cukup lama Melody mencium dan menggigiti payudaraku sampai meninggalkan bekas merah disana.
Nabilah tampak semakin horny melihat Melody yang asyik menciumi payudaraku, ditambah lagi ekspresi kenikmatanku yang begitu sensual hingga membuat Nabilah semakin gelisah dan tidak sabar. “Mmm... gantian dong!” rengeknya.
Melody melepaskan kulumannya pada putingku dan sejenak memandangi wajah Nabilah yang merah sayu teramuk birahi. Lalu Melody beralih ke arah payudara Nabilah, perlahan diresapinya kelembutan payudara Nabilah dengan menciuminya perlahan-lahan.
”Aahhhhh…” Nabilah mendesah panjang ketika lidah basah Melody mempermainkan putingnya.
Aku tersenyum gemas melihat ekspresi Nabilah yang tampak begitu menikmati aksi lidah Melody di atas putingnya. Sambil tanganku memilin putingku sendiri, aku membelai mesra rambut panjang Melody.
”Auuww! Aaahh..!!” Nabilah semakin mendesah ketika Melody menggigit keras kulit payudaranya hingga meninggalkan bekas merah yang tampak begitu kontras dengan permukaan payudara Nabilah yang putih bersih.
”Huuuftt... aahhh!” Melody menghentikan aksinya sejenak untuk mengatur nafas. Kami bertiga berpandangan, lalu saling tertawa dan berpelukan.
”Gimana rasanya?” tanya Melody pada kami berdua.
”Enaak!” teriak Nabilah dan aku secara bersamaan sambil mencium bibir Melody.
”Hihihi... cupang di susu Icha ada dua!” Nabilah menunjuk tanda merah di atas payudaraku.
”Hihi... kamu juga ada tuh, satu.” kuperhatikan cupang merah di permukaan payudara Nabilah. Kami kembali tertawa bersama dan saling bercanda mencipratkan air ke payudara masing-masing.
”Eh, lihat nih.” Melody menunjukkan celana renangnya yang kini sudah terlepas. Entah kapan dia melakukannya. Melody sudah sepenuhnya bugil sekarang.
”Huaaaa... Melody gila!” aku dan Nabilah tertawa bersamaan.
”Awas ya!” Melody melemparkan celana renangnya ke arahku, dan tepat mengenai mukaku.
”Ihh... Melody, awas ya!” teriakku sambil berenang mengejar Melody yang telanjang bulat.
”Ayo sini, Cha! Tangkap aku, hihihi…” Melody berenang menjauhi kejaranku.
”Awas, Cha!” teriak Nabilah sambil juga melemparkan pakaian renangnya ke arahku. Mereka berdua sudah bugil sekarang. Benar-benar gila.
”Aoowww... kalian jahat!” teriakku ganti mengejar Nabilah.
Nabilah mau berenang menjauh, namun keburu terpojok di sudut kolam renang. ”Ampuunn, hahaha…” dia mendekam di pojok kolam dengan tubuh sepenuhnya bugil. Kulitnya yang putih bersih tampak terpantul oleh air kolam yang jernih, membuat Nabilah nampak semakin cantik dan sexy.
”Ihh, nakaaaal...” kucubit puting Nabilah.
”Aoooww... ampun! Melody, toloong...” teriak Nabilah.
Ternyata Melody sudah berada di belakangku, dan sambil tertawa, tangannya dengan cepat menarik celana renangku ke bawah.
”Auw! Yeee... kalian main keroyok, nggak mau!” aku berteriak sambil berusaha membetulkan lagi celanaku yang melorot sampai ke dengkul.
”Ayo dong, Cha, buka juga.” kata Melody.
”Iya. Nih lihat, sexy kan?” Nabilah melenggak-lenggokkan tubuhnya yang sebagian terendam air di hadapanku.
”Coba aja, Cha. Asyik lho.” Melody mendekati Nabilah sambil melenggak-lenggok juga, dia memeluk Nabilah dari belakang. Mereka berdua tertawa.
Merasa tertantang, akupun melakukannya. ”Oke, siapa takut!” kulepas celana renangku dan melemparkannya ke arah Nabilah dan Melody.
”Hahaha…” mereka berdua tertawa secara bersamaan.
Aku segera bergabung, ikut memeluk Nabilah dari depan. Melody memegang payudara Nabilah dari belakang lalu digesekkan ke payudaraku. Putingku dan puting mungil Nabilah bertemu.
”Aaahhh...” Nabilah mendesah ketika Melody meremas payudaranya kuat-kuat.
”Uuuhh...” aku yang kegelian juga ikut mendesah dan memeluk tubuh mungil Nabilah semakin erat sehingga payudaranya yang putih semakin menghimpit kencang di depan dadaku.
”Uuuh! Huuffttt... aku nggak bisa bernafas.” Nabilah meronta, berusaha untuk melepaskan diri.
”Hahaha…” aku dan Melody tertawa bersama. Kami melepaskan Nabilah, lalu saling kejar dan saling menyipratkan air di dalam kolam.
Setelah puas bermain air, kami naik ke atas dan membungkus tubuh kami dengan handuk, lalu berbaring di kursi panjang yang ada di tepi kolam.
”Huufff... capeknya!” Melody merentangkan tangannya ke atas, membuat handuk yang dipakainya terlepas sehingga payudaranya yang bulat padat menyembul keluar.
”Kena!” dengan cepat, aku yang berbaring di kursi sebelah kanan, mencubit putingnya.
”Aoww... Ichaa!” Melody kaget dan spontan menubrukku yang berbaring miring di kursi sebelah. ”Nakal, nakal, nakal!” dia yang telanjang bulat karena handuknya sudah melorot ke bawah, berusaha melepas handukku  dan meremas kedua payudaraku.
”Hahaha... ampun, ampuun!” kulingkarkan tanganku untuk berusaha melindungi payudaraku dari serbuan tangan Melody, namun kitikan pada pinggang membuatku menyerah. Aku kegelian, dan terpaksa membiarkan Melody melepas handukku. Kini aku cuma bisa menyilangkan kedua tangan untuk menutupi bulatan payudaraku yang terekspos kemana-mana.
”Sini aku bantuin,” Nabilah bergabung dengan berusaha menyingkirkan tanganku yang menyilang di depan dada.
”Ahhh... aow! Hihihi... aoww!” aku menggeliat kegelian karena Melody terus menggelitik pinggangku. Terpaksa sekali lagi kubiarkan tanganku terbuka. Aku tidak melawan saat Nabilah menarik tanganku ke atas.
”Wow!” Melody tersenyum dan mendekatkan wajahnya ke arah payudaraku yang menggembung montok. Dengan gemas dia menciumi putingnya yang merah muda mungil, yang terlihat kontras dengan kulit tubuhku yang putih bersih. Sementara Nabilah, dengan masih memakai handuk, terus menahan tanganku ke atas.
”Aaaaahhhh…” aku menggeliat manja ketika bibir Melody yang basah mengemut puting kiriku, sedangkan tangan satunya meremas payudaraku yang sebelah kanan.
Nabilah memperhatikan sambil menggigit bibir bawahnya. Melody tampak semakin liar menciumi payudaraku, bergantian kiri dan kanan, sambil tangannya mulai mengelus pahaku pelan.
”Aaaaahhhh...” aku mendesah panjang dengan kepala terdongak ketika jari-jari panjang Melody mulai mengelus-elus vaginaku.
Melihatku tidak berontak, Nabilah melepaskan pegangannya. Lalu dia jongkok dan mencium bibirku. ”Eeeemmm…” aku semakin mendesah. Kuraih kepala Nabilah dan membelainya sambil kami terus berciuman.
Melody yang melihatnya, membuat nafsunya jadi semakin menggelegak dan menggelora. Dia semakin kuat menyedot putingku. Di bawah, tangannya semakin leluasa mengelus dan mencubiti vaginaku yang semakin basah dan licin. Kulebarkan kedua pahaku dan menekuk salah satunya agar Melody makin leluasa melakukannya.
Nabilah membuka lilitan handuknya sehingga handuk tersebut melorot ke bawah, menampakkan payudara Nabilah yang mungil dan putih bersih. Dengan perlahan, Nabilah menyodorkan payudaranya ke bibirku yang terus menganga menikmati cumbuan Melody di payudara dan vaginaku.
”Aaaahhh...” desah Nabilah ketika aku mulai menyedot putingnya dengan kuat. Dengan tubuh menggelinjang, Nabilah membelai mesra rambutku.
Melody yang semakin kesetanan juga semakin mempercepat gesekan jari-jarinya di vagina dan kelentitkul, membuatku semakin kelojotan dan menggelinjang, sementara bibirnya menyedot putingku semakin kuat. ”Aaahhhh… aaaaaaaaaahhh...” aku mendesah panjang menyambut gelora birahiku yang meledak secara tiba-tiba. Pinggulku bergerak liar menyambut gesekan jari-jari Melody di bibir vaginaku. Dan ketika gelombang tersebut melanda dengan dahsyat, kupeluk erat tubuh Nabilah dan menyedot putingnya kuat-kuat sampai Nabilah meringis kesakitan.
”Aaaaahhh... aahhh... hhuuuffttt!!” nafasku tersengal-sengal menikmati orgasmeku yang begitu hebat.
Sesaat Nabilah dan Melody menghentikan aktivitasnya di atas tubuhku. Mereka membiarkanku menikmati orgasme. Mereka hanya membelai dan mengelus pelan tubuhku, memberi ketenangan pada batinku. Mereka saling pandang penuh nafsu, tatapan mereka berdua sayu.
Setelah aku tenang, Melody mendekati Nabilah yang merentangkan kedua tangannya sambil tersenyum genit. Mereka berpelukan dan saling berciuman dengan lembut dan penuh kasih sayang. Tangan mereka saling membelai dan mengelus, dan payudara mereka saling menghimpit, menciptakan kenikmatan dan kegelian yang membangkitkan gairah.
”Aaaahhh...” desah Nabilah ketika tangan Melody meremas bokongnya yang montok.
Melody mendorong Nabilah agar rebah di kursi panjang, lalu Melody menaikinya dan menyodorkan payudaranya ke bibir Nabilah. “Aahh!” desah Melody keenakan dan semakin menekan payudaranya ke mulut Nabilah.
Sambil mencium dan menyedot payudara Melody, tangan Nabilah meremas bokong Melody yang putih montok. Sementara aku berbaring telungkup di sebelah mereka sambil melihat kedua temanku bercinta.
”Aaahhhhh…” Melody mendesah semakin keras ketika tangan Nabilah yang meremas bokongnya menyelinap masuk diantara pantat dan pahanya, dan mengelus pelan vaginanya yang sudah basah kuyup. Nafsu Melody sudah menggelora, dengan gemas dipeluknya tubuh Nabilah erat-erat dan menggesekkan payudaranya ke payudara gadis itu. Melody juga menggesekkan vaginanya yang basah dan licin ke paha Nabilah.
Nabilah menyambut vagina Melody dengan menekuk kakinya sehingga vagina sahabatnya itu menempel dengan kuat di pahanya yang putih mulus.
Bulu-bulu halus di paha putih Nabilah begitu terasa di vagina Melody yang sensitif.
”Uuuuhhh…” Melody semakin erat memeluk tubuh Nabilah, dan semakin kuat  menggesekkan vaginanya ke paha gadis itu.
Nabilah meremas rambut dan mengelus-elus punggung Melody dengan sangat bernafsu, karena vaginanya juga tergesek oleh paha Melody. Nabilah mengangkat-angkat pinggulnya agar gesekan itu semakin terasa cepat dan nikmat.
”Aaaahhh... aaaaaahh... aaahhhh...” desah mereka berbarengan ketika gelombang orgasme pelan namun pasti datang dan melanda kedua abg putri tersebut. Tubuh mereka terguncang guncang dan menggeliat hebat serta selangkangan mereka saling menghimpit kuat menyongsong gelombang nikmat yang melanda.
”Aaahh... hhuufftt... huuffttt... ” masih tetap berpelukan, nafas mereka tampak terengah-engah.
Sesaat kemudian suasasa sepi. Mereka bertiga saling menatap dan tersenyum. Saat itulah, Melody berkata mengingatkanku. ”Eh, bukankah siang ini kamu mendapat giliran mengantarkan makan siang untuk nomor 25?”
Aku langsung menepuk kepalaku. Bener juga. Bersama Micah dan Haya, aku harus turun ke ruang penyimpanan pukul satu siang. Sekarang masih kurang sepuluh menit, masih ada sedikit waktu untuk berganti pakaian. Bergegas aku menyambar tasku dan mengeluarkan baju ganti. Tepat saat Haya memanggilku, aku sudah berpakaian lengkap.
“Hati-hati ya,” kata Nabilah saat aku berjalan menghampiri Haya dan Micah yang sudah menunggu. Bertiga kita pergi ke ruang penyimpanan.
Disana suasana cukup sepi. Haya duluan turun sambil menjinjing plastik berisi makanan. Micah sedang berancang-ancang turun ketika Haya berteriak tegang, “Micah, kau tidak perlu turun. Kau juga Icha!”
Aku dan Micah bertanya bersamaan, “Kenapa?”
“Ini buruk. Kalian jangan sampai melihatnya.”
Haya bodoh. Bermain rahasia-rahasiaan malah akan memancing rasa ingin tahuku.
“Aku turun,” putusku.
“Aku juga turun,” kata Micah. Anak itu ketakutan. Rasa tanggung jawabnya pada Frans-lah yang membuatnya bertahan. Frans meminta Micah melaporkan keadaan si nomor 25.
Lumayan sulit juga berpegangan di tangga tali. Tali itu bergoyang ke sana kemari membuatku makin susah untuk turun. Ruangan itu baunya apek. Aku bergidik membayangkan bila seandainya aku yang dikurung di situ. Terutama pas malam hari. Hiii…
Si nomor 25 tergeletak, diam. Apa dia tidur?
Aku memicingkan mata. Pakaian yang dikenakan si nomor 25 berantakan sekali. Di beberapa bagian sobek. Wajahnya lebam.
Micah lalu melihat tanda itu. “Ada… bercak darah di sekujur tubuhnya.” Micah membekap mulutnya.
Astaga. Tidak salah lagi. Ada yang memukuli gadis itu! Siapapun yang menemui keadaan seperti itu pasti akan luar biasa terpukul. Kami (aku dan Haya) sepakat merahasiakan peristiwa ini, Micah agak berat hati harus menutup mulut.
Tampaknya pemukulan itu terjadi sesudah anak-anak yang mengantar sarapan, yaitu Mova, Gio dan Baddy pergi. Sehingga mereka tak melihat kondisi mengenaskan si nomor 25. Soalnya mereka tenang-tenang saja. Gio dan Baddy bisa bungkam. Namun Mova, mustahil.
Di luar dugaan, yang terlihat kacau, panik, dan banjir keringat malah si Radith. Dia membentak Gio tanpa sebab. Menjatuhkan ballpointnya berkali-kali. Dengan gelisah mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja, membuat Melody meliriknya dengan kesal.
Ada yang dia takutkan. Dia sembunyikan. Aku jadi curiga.

***

Pesta di akhir hari berlangsung meriah. Enam meja disusun di tengah kelas. Diatasnya disajikan kue-kue. Kaleng-kaleng jus kosong menumpuk di kotak sampah. Cepat sekali habisnya. Aksi Carada sukses mengocok perut semua anak. Dia menarik-narik bagian wajahnya sementara yang lain berusaha menebak dia menirukan wajah binatang apa.
Micah menarik diri. Jus kalengnya masih penuh. Dia juga tidak ikut tertawa bersama kita. Sesekali dia mencuri pandang ke arah Frans. Aku rasa sebentar lagi dia bakal meledak.
“Frans, ada yang harus kulaporkan!”
Tuh kan. Kataku juga apa.
Frans berhenti tertawa. Bukan cuma Frans, kalian semua juga bertanya-tanya kan?
Micah menarik nafas panjang. Menghembuskannya perlahan sembari mengumpulkan keberanian. “Si nomor 25… dia…”
Cerita Micah mengalir tanpa ditahan-tahan lagi. Walau caranya meramu cerita datar. Seharusnya dia menambahkan bumbu-bumbu biar terdengar makin menarik.
Wajah Frans beralih dari pucat menjadi merah padam. “Apa benar begitu, Icha?”
Semua mata mengarah padaku. Meminta penjelasan. Wajah kaget kalian benar-benar menarik. “Mmm… aku melihat… bercak darah di tubuhnya, memang. Tapi kan belum tentu dia dipukuli. Siapa tahu itu keringat.”
Frans membanting kaleng jusnya. “Jangan mengada-ada! Kau kira sebodoh apa kami sampai tidak tahu bagaimana cara membedakan darah dengan keringat?!”
Sialan si Frans. Apa untungnya membentakku di hadapan kalian. Mau sok jadi pahlawan lagi ya!?
“Cukup! Aku akan lapor polisi!” kata Frans.
Radith menghalangi langkah Frans. “Berhenti… Tak ada siapapun yang akan berurusan dengan Pihak Berwajib. Semuanya harus menganggap tak pernah terjadi apa-apa! Camkan ini, Frans! Gue tahu rahasia lue… Jadi kalau polisi sampai terlibat dalam urusan ini, maka gue nggak menjamin rahasia lue bakal terus terjaga. Mulut ini dengan senang hati bakal berkicau juga, Frans.”
Frans tidak berkutik.
Bravo Radith. Tapi, rahasia Frans apa yang dipegangnya?
“Peringatan tadi juga berlaku untuk semua orang,” ancam Radith. “Tutup mulut kalian rapat-rapat! Atau kalian harus menyesal seumur hidup!”
Hooo…
Aku jadi makin curiga dengan gelagat Radith.
Seseorang menyentuh pundakku. Andy. Mau apa dia?
“Ra-ramalan…” Andy menjilat bibirnya. “Ka-kau i-ingat ka-kan?”
Mana mungkin aku lupa. Ramalan ketiga Jhan terwujud di hari bersejarah ini.
“Apa ya isi ramalannya?” tanyaku pura-pura lupa.
“Da-darah yang me-mengalir a-adalah da-darah pelaku.”

(Allisa Astri)

***

Komentar minggu keempat

Sonya : -
Ochi : -
Fahira : aku tidak bisa membedakan lagi siapa yang benar dan siapa yang salah
Gaby : -
Haya : kita yang benar!
Imban : si nomor 25 pantas mendapatkannya kok…
Mova : -
Nabilah : -
Frans : -
Baddy : -
Rica : -
Melody : kalian itu sampah!
Carada : -
Jhan : -
Frieska : -
Cleopatra : berkacalah Melody, siapa yang kau sebut sebagai sampah…
Ken : kurang kerjaan, itu saja diributkan
Giovani : -
Rudy : -
Andy : -
Shania : -
Icha : ah, hidup itu indah ya…
Micah : -
Radith : gue cuma minta satu hal, tutup mulut kalian! Apa sebegitu beratnya…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar