Minggu, 19 Juli 2015

Dewa Rudra dan Maha Mrityunjaya Mantra

Maha Mrityunjaya Mantra 

Dua mantra besar Veda adalah Gayatri Mantra dan Mrityunjaya Mantra.
siapa yang belum mengenal Maha Mrityunjaya Mantra, berikut ini?
ॐ त्र्यम्बकं यजामहे सुगन्धिं पुष्टिवर्धनम् ।उर्वारुकमिव बन्धनान् मृत्योर्मुक्षीय मामृतात्
Om Tryambakam Yajaamahe Sugandhim Pushti Vardhanam,
Urvaarukamiva Bandhanaath Mrutyor Mukshiya Ma-Amritat
Ini berarti bahwa....
"Marilah kita menyembah Dia satu yang bermata tiga, yang suci (wangi) dan yang memelihara semua makhluk. Sama seperti mentimun matang secara otomatis dibebaskan dari keterikatannya dengan menjalar, mungkin kita akan dibebaskan dari kematian (tubuh kami yang fana dan kepribadian) dan diberikan (mewujudkan) alam keabadian kita. "
Mantra diatas adalah mantra yang di dedikasikan untuk Dewa Rudra.
Rudra merupakan dewa atmosferis yang relatif minor di dalam Rgveda. Seperti halnya deva Visnu, deva Rudra pun tidak banyak disebut dalam Rgveda, tetapi dalam berbagai kitab sesudah Rgveda, deva Rudra mulai semakin banyak dipuja dan bahkan diidentikan dengan Deva Siva (Siva Rudra).

Kitab Yajurveda dan Atharvaveda lebih banyak menyebutkan dewa Rudra. Rudra dimunculkan memiliki seribu nama dan lebih dikenal dengan 11 Rudra (ekadasa Rudra), yang semuanya mengangkat konsep mengembalikan kembali kedudukannya di awal jaman Veda. Ia digambarkan sebagai laki - laki bertubuh, perutnya berwarna biru dang punggungnya berwarna merah. Kepalanya berwarna biru (nilagriwa) dan lehernya berwarna putih (Sitikantha), kulitnya berwarna coklat kemerah - merahan. Rambutnya kriting terurai, seluruh tubuhnya memancarkan cahaya keemasan. Tangannya memegang busur dan panah yang bercahaya. Karak ternya nampak angker dan menakutkan, namun hatinya lembut dan maha pengampun. Tapi umat manusia tidak semata - mata percaya kekuatan yang membahayakan atau dewa yang berhati dengki yang memerintah di alam semesta. Di dalam Rgveda karakter - karakter yang diura ikan untuk Rudra begitu beraneka ragam, tidak tentu dan agak bertentangan, sejumlah fungsi yang berlawanan selalu dialamatkan pada - Nya.

Secara etimologi kata Rudra juga memiliki makna yang kurang jelas terkait dengan arti. Ini pada umumnya berasal dari akar kata Rud “untuk menangis”, "meraung" dan diartikan sebagai “kesalahan” Oleh Grassmann Rudra dihubungkan dengan akar kata rud yang memiliki hubungan dengan “untuk bersinar”, berdasarkan pada pisc hel “ untuk memerahkan”. Kita memiliki etimologi yang lain yang mana Rudra dikaitkan dengan Rodasi, yang berarti Surga dan Bumi, menyatakan laki - laki dan perempuan adalah aspek dari Rudra, dan konsep dari Rodasi menjadi yang tertinggi. Ardhanarisvara dalam metode puranik. Yang memberikan bukti yang jelas dari ketidakjelaskan dari dasar Rudra ini adalah Sayana yang menyarankan tidak lebih sedikit dari enam asal mula dari kata tersebut.

Dalam Rgveda Rudra menyisakan hal yang sama seperti di dalam Samaveda, tapi Yajurveda ia muncul dalam wujud yang lebih berkembang. Se sungguhnya, dalam Rgveda terdapat banyak julukan untuk Rudra yang sama seperti sebelumnya seperti “ berwarna pirang”, “sangat dashyat” “sangat ramah”, dan dewa dengan rambut “ berbentuk spiral” dan lain - lain. Tapi dalam sastra yang menyatakan Rudra sebagai dewa yang muda, tidak dapat disangkal, memiliki bibir yang indah.

Dewa Rudra disebutkan dalam beberapa kitab Weda memiliki sifat rwa bhineda, kejam sekaligus lembut, menyakiti dan menyembuhkan, marah tetapi juga tenang.

Rudra adalah dewa yang termasuk gugusan dewa-dewa dalam Kitab Weda Dalam Kitab Rig Weda, nama Rudra sedikit disebut, tetapi dalam berbagai kitab sesudah Rig Weda, Rudra semakin banyak dipuja dan bahkan didentikkan dengan Siwa (Siwa-Rudra). Dalam Kitab Yajurweda dan Atharaweda, Rudra digambarkan sebagai laki-laki bertubuh besar, perut warna biru, punggung berwarna merah, kepala biru (Nilagriwa), rambut keriting panjang terurai, seluruh tubuh memancar sinar keemasan. Tangannya memegang busur dan panah yag bercahaya. Karakternya sangat angker, sangat menakutkan dan mengerikan.

Dalam Rig Weda disebut Rudra sebagai pemburu Ilahi, menyusuri jalan sepi, mencari orang yang bisa dimangsanya. Dia Asura Agung dari sorga. Dalam Kitab Atharwa Weda disebutkan Rudra sebagai raja semesta, melepaskan anak panahnya kepada siapa pun yang dikehendaki, dan anak panahnya menyebabkan kematian atau memberi penyakit. Bahkan para dewa pun takut, bahwa Rudra akan menghancurkan mereka, karena tidak ada yang lebih kuat daripadanya.

Uniknya, Rudra memiliki sifat Rwa Binnedha, yaitu menakutkan/ghora dan tenang/santa. Rudra sebagai pembunuh kejam tetapi sekaligus memberi kelembutan yang luar biasa. Rudra membunuh dan menghidupkan, menyakiti dan menyembuhkan. Tak seorangpun dapat lepas dari tangannya. Bukan hanya sebagai perusak besar, tapi juga penyembuh Ilahi dengan persediaan ribuan macam jampi. Tangannya suka mengelus menyembuhkan dan menyejukkan, serta dapat mengusir penyakit-penyakit yang disebabkan oleh dewa-dewa lainnya.

Dalam Atharwa Weda lebih lanjut disebutkan, Rudra diberi gelar Pasupati sebagai raja kawanan ternak. Dalam wujud inilah para pemuja suka memujinya, sebab mereka menganggap diri mereka sebagai bagian dari kawanan ternak, dan Rudra adalah raja kawanan ternak. Bahkan lebih itu, Rudra adalah rajanya dari kehidupan liar di hutan. Rudra tinggal di gunung dan hutan sebagai pemuja Lingga.

Dalam diri Rudra sendiri pertentangan-pertentangan dipertemukan tapi belum didamaikan. Berbeda dengan Siwa, dalam diri Siwa juga terdapat pertentangan-pertentangan yang dipertemukan untuk diatasi dan diperdamaikan.

Nama Rudra juga terdapat dalam Kitab Buana Kosa. Kitab Buana Kosa menyebutkan Rudra sebagai bagian dari Tri Murti. Pada VII.25, disebutkan, “Utpatti Bhagawan Brahma, sthiti Wisnuh tathe waca, pralina Bhagawan Rudrah, trayastre lokya saranah”. Artinya: Bhatara Brahma sebagai pencipta, Bhatara Wisnu memelihara, Bhatara Rudra melebur. Ketiga dewa itu menjadi pelindung dunia.

Dalam pengider-ider di Bali, Rudra ditempatkan pada arah mata angin di barat daya (neiriti). Dalam hal ini Rudra sebagai manifestasi Siwa, bagian dari Dewata Nawa Sanga, dengan Siwa berada di tengah-tengah (madya). Dalam pengider-ider, Rudra digambarkan bersenjata Moksala, wahananya kerbau, urip 3, warna orange, aksara suci Mang, dengan wuku warigadean, pahang, dan prangbakat.

Rudra dikenal sebagai dewa penyebab kematian, penyebab dan penyembuh penyakit. Rudra juga dikenal sebagai penguasa angin topan, pelebur alam semesta. Untuk mencegah terjadinya kehancuran akibat kemarahannya, maka Rudra dipuja secara istimewa dengan doa-doa khusus untuk ‘menenangkan’ dan meredakan kemarahannya.

Sifat Rudra yang pemarah itu sangat terkait dengan riwayat kelahirannya. Kisah kelahiran Rudra terdapat dalam beberapa Purana dengan beragam cerita. Disebutkan Rudra lahir dari kening Brahma yang sedang marah. Rudra yang lahir ini berbadan setengah laki-laki dan setengah perempuan. Dari tubuh Rudra ini lahirlah sebelas putra Rudra. Badan Rudra yang berjumlah sebelas ini menurut kitab Wisnu Purana merupakan asal mula Eka Dasa Rudra.

Konsep tentang sebelas Rudra telah dikembangkan di dalam Rig Weda. Kedelapan Wasu dan ketiga Prana bersama-sama membentuk angka sebelas sebagai sebelas Rudra. Penjelasan tentang Rudra dijabarkan di dalam upanishad-upanishad, dimana ke sebelas Rudra adalah simbol-simbol dari sebelas kekuatan-kekuatan prana.

Tentang kesebelas Rudra, selanjutnya ditemukan di dalam Purana-Purana, seperti Kitab Wisnu Purana yang telah disebutkan di atas. Dalam kitab Lingga Purana disebutkan dengan jelas bahwa kesebelas Rudra adalah tidak lain dari kesebelas getaran Prana Brahma sebagai yang menjelma di dalam seluruh ciptaan yang hidup. Kesebelas prana itu, menurut Agastia harus tetap dijaga kesuciannya untuk tercapainya bhutahita atau sarpranihita.
tentang 11 Rudra silahkan baca: Dewa dan Bhatara

Kisah Maharsi Markandya

Tersebutlah keluarga Brahmana, Rsi Mrikandu dan istrinya Marudmati melaksanakan tapa brata yoga semadi, menyembah Mahadewa, memohon anugerah seorang anak. Karena ketekunannya berbhakti kepada Tuhan, Tuhan berkenan mewujudkan diri-Nya sebagai Tuhan berpribadi, Mahadewa, memberi anugerah seorang anak.

Rsi Mrikandu dan istrinya Marudmati diberikan dua pilihan, memilih anugerah anak yang berbakat dan cerdas tetapi berumur pendek atau anak yang berumur panjang tetapi dengan kecerdasan terbatas, bodoh. Rsi Mrikandu memilih yang pertama. Tuhan berkarunia. Keluarga Brahmana itu dianugerahi seorang anak teladan, cerdas, bijak, diberi nama Markandeya, ditakdirkan untuk meninggal pada usia 16 tahun (pada film Mahadewa berusia 12 tahun).

Markandeya tumbuh menjadi pemuja agung Mahadewa dan pada hari kematiannya tiba, ia melanjutkan ibadahnya kepada Mahadewa dalam bentuk Shiva Linggam, Lingga-Yoni. Para utusan Yama (utusan dewa kematian) tidak dapat mengambil nyawa Markandeya karena pengabdiannya sangat besar dan beribadah terus-menerus kepada Mahadewa. Kemudian dewa Yama datang sendiri untuk mencabut nyawa Markandeya, dikalungkannya tali pada leher sang pemuda yang bijak. Markandeya tersungkur pada Sivalingga, kemudian muncullah Mahadewa dengan kemarahan yang amat besar, menyerang dewa Yama atas perbuatannya mengambil nyawa Markandeya. Dewa Yama kalah dan memohon ampunan kepada Mahadewa. Markandeya yang bijak dihidupkan kembali, dianugerahi kehidupan kekal abadi, dan mendapat anugerah Mahamrityunjaya Mantra [juga disebut Tryambakam mantra, tertulis dalam Rg Veda (Rv 7.59. 12)]. Markandeya juga dianugerahi untuk menulis Veer Cahritra, dikenal sebagai Durga Saptashati, bagian dari Markandeya purana.


Mrityunjaya Mantra awalnya hanya diketahui oleh Markandeya saja, diperoleh saat sakit dan berada di ambang kematian. Markendeya muda melantunkan japa mantra ini sebanyak 108 kali di sebuah kuil tempat pemujaan Dewa Siwa, persis saat Dewa Yamadhipati (Dewa kematian) dan rombongan datang menjemput untuk diajak ke alam “Baka.”

Tentu saja Yamadhipati selanjutnya balik arah bubar jalan saat menemukan yang dijemput ada dalam lindungan Sang Trayambaka (Dewa Siwa) sendiri. Disamping takdir umur pendek Markandeya diubah menjadi “hidup abadi,” Siwa juga menganugrahi Merkandeya daya pikir yang luar biasa hingga mampu menyusun kitab “Markandeya Purana”.

Suatu ketika Dewa Candra dikutuk oleh mertuanya, Prajapati Dhaksa, agar mati secepatnya. Dewi Sati, yang tak lain adalah Adishakti yang sedang menitis menjadi putri Prajapati Dhaksa, bersama Begawan Kasiyapa menemui Rsi Markandeya untuk memohon agar berkenan memberikan mantra rahasia (Maha Mrityunjaya) ini, guna menyelamatkan Candra dari kematian. Setela mantra ini dijapa, hadirlah Dewa Siwa dan memberi perlindungan kepada Candra. Dalam lindungan Siwa, tak hanya terhindar dari kematian, Candra juga diberkati umur panjang meskipun “cahaya hidupnya” menerang-dan-meredup secara bersiklus setiap bulannya.

“Lalu, jika sekarang saya melantunkan mantra ini dan men-japa nya sebanyak 108 kali, apakah bisa hidup kekal (immortal) seperti Markandeya atau Dewa Candra?” mungkin ada yang berpikir demikian.

Entahlah, yang jelas mantra Maha Mrityunjaya/Trayambakam ini tercantum sebanyak 4 kali di dalam Weda, yaitu:
1x di Reg Weda; 7.59.12
2x di Yayur Weda; 1.8.6.i dan VS 3.60
1x di Atharwa Weda; XIV.1.17


Penjelasan Dalam Anushthubh Chandah


Mantra berada dalam Anushthubh Chandah dan Oleh karena itu, dibagi menjadi empat paragraf terdiri dari delapan suku kata masing-masing ... 4 x 8 = 32 suku kata.

Paragraf Pertama.

Trayambakam Yejamahe .............


Trayambaka - adalah nama dari Rudra dalam wujud Dewa Siwa sebagai bapak tiga dunia - bhu, Bhuva dan svarga. Dia adalah ayah dan penguasa tiga mandala - Surya, Soma dan Agni mandala. Dia adalah Mahesvara, penguasa ketiga guna - Satva, Rajas dan Tamas. Dia adalah Sadashiva, guru dari tiga tatvas - Atma Tatva, Vidya Tatva dan Siwa Tatva. Dia adalah ayah (penyebab dan sumber) dari tiga energi (agni) - Arahaniya, Garhapatya dan Dakshinagni.
Dia adalah ayah dari semua ciptaan fisik melalui bhuta tiga murti - Pritvi (padat), Jala (cair) dan Tejas atau agni (energi). Dia adalah penguasa dari tiga langit yang diciptakan oleh dominasi ketiga guna - Rajas (Brahma), Satva (Wisnu) dan Tamas (Siwa). Mengenal Dia menjadi nirakara (berbentuk), Sadashiva sebagaimana Dia berada di atas Mode fisik dan mereka adalah MAHESVARA.

Paragraf Kedua

Sugandhim pushtivardhanam ………….


Sugandhim .... mengacu pada aroma bunga yang menyebar ke segala arah, dan dengan cara yang sama Shiva hadir dalam seluruh ciptaan, baik hewan dan benda mati. Dalam semua Bhuta (mode eksistensi), di ketiga guna (sifat penciptaan sebagai Satva, Rajas dan Tamas), dalam sepuluh indriyas (lima gnana-indriyas) atau perasaan dan lima karma-indriyas atau organ kerja, di semua dewa (33 dewa adalah sumber dari semua penerangan dan pencerahan) dan ganas (bala tentara setengah dewa). Shiva ada dan menyebar sebagai menerangi atma (jiwa) dan esensi mereka.

Pushtivardhanam ... dijelaskan sebagai tempat tinggal roh (atman), Purusha Shiva adalah penopang nyata Prakrti. Dimulai dengan Tatva maha (negara primordial materi .. energi) ke bagian-bagian individu dari penciptaan, seluruh kelangsungan makhluk fisik dibuat (baik hidup dengan benda mati) dilakukan oleh binasa Purusha. Anda, saya, Brahma, Wisnu, muni dan bahkan Indra dan dewa dipelihara / dipertahankan oleh Atma dan itu adalah Dia. Karena Purusha (atma - Siwa) adalah pemberi rezeki untuk Prakrti (body / alam), Dia adalah Pushtivardhana.

Paragraf ketiga dan keempat

Urvarukamiva bandhanan mrityor mukshiya mamritat ....


Artinya: Prabhu! sama seperti mentimun matang terputus dari belenggu yang menjalar dengan cara yang sama mungkin kita bisa dibebaskan dari kematian demi keabadian (moksha). Rudra deva seperti Amruta (nektar keabadian). Mereka yang menyembah-Nya dengan baik karma, penebusan dosa dan pertobatan, meditasi, renungan, doa atau pujian pasti akan telah memperbaharui kehidupan dan kekuatan. Kekuatan kekuatan kebenaran (dalam mantra) adalah sedemikian rupa sehingga Dewa Siwa pasti akan membebaskan hamba dari belenggu kematian karena Siwa sendiri adalah pemberi belenggu dan moksha.

Berbagai Nama untuk Maha Mrityunjaya Mantra


Maha Mrityunjaya mantra diambil dari Shukla Yajur Veda Samhita (vs.3.60) dan muncul dalam Rig Veda (Buku 7 Mandala, 59 bab). Mantra ini juga disebut mantra Trayambaka. Hal ini ditujukan kepada Trayambaka, bermata tiga, diidentifikasi dengan Shiva. Ini Terjemahan harfiahnya adalah 'Penakluk Kematian' mantra. Hal ini disebut mantra Rudra, mengacu pada aspek marah Siwa; mantra Trayambaka, menyinggung tiga mata Siwa; dan kadang-kadang dikenal sebagai mantra Mrutya-Sanjivini karena merupakan komponen dari praktek-memulihkan kehidupan ke primordial bijak Sukra setelah ia menyelesaikan masa lengkap penghematan. Ia memiliki kekuatan untuk memberikan kembali kehidupan dan penyelamatan dari kematian dan kejahatan besar. Air disucikan dengan mantra ini harus diminum sepanjang waktu.

Jantung dari Veda


Mantra maha ini dipuji oleh orang bijak sebagai jantung Veda. Bersama dengan Gayatri mantra itu memegang tempat tertinggi di antara banyak mantra yang digunakan untuk merenung dan meditasi. Siapa saja dapat membaca mantra ini dan mencapai kesehatan yang baik, lepaskan dari perbudakan dan masalah lainnya. Ini adalah obat mujarab terbesar untuk segala kejahatan. Cahaya dalam Astrologi Veda

Shiva dikatakan memiliki tiga mata. Karena Dia melihat masa lalu, sekarang, dan masa depan secara bersamaan. Dia adalah penguasa tiga dunia - fisik, astral, dan biasa. Dia juga melampaui ketiga guna, satva, rajas dan tamas - atau penciptaan, rezeki dan kehancuran. Seperti kita mengucapkan Maha Mantra ini kita mengidentifikasi dengan Dewa Siwa, mengembangkan sifat-Nya, dan menerima berkat-berkat-Nya.

Dalam Brihat Parashara Hora Shastra, sage Parashara mengatur Maha Mantra ini sebagai langkah perbaikan astrologi pada setidaknya 24 kesempatan terpisah. Di Chp.55 vs.52, katanya, "... .. dengan bacaan (japa) dari mantra maha efek jahat akan bisa dilunakkan (dikurangi) dengan berkat-berkat Tuhan Siwa".

Mrityu berarti Kematian dan Jai berarti Victory. Mrityunjaya berarti Kemenangan atas Kematian. Hal ini dinamakan demikian karena, ketika meneriakkan tulus dengan refleksi yang berarti dapat menyampaikan realisasi sifat penting kami yang berada di luar kelahiran dan kematian. Dengan cara ini, memberikan kita kemenangan atas asumsi yang dipertanyakan dan ketidaktahuan apa akan diri kita. Untuk orang hidup, kematian sudah pasti dan untuk orang mati, lahir pasti terjadi. Sejak kematiannya yang pasti bagi semua makhluk diwujudkan, Bhagavad Gita memerintahkan para manusia untuk bercita-cita pencapaian moksa, setelah itu tidak ada pengembalian atau kelahiran kembali.

Maha Mrityunjaya mantra tidak tergabung dalam sekolah tertentu atau tradisi meskipun diucapkan dalam begitu banyak pusat yoga di dunia. Ada banyak mantra untuk menangkal kejahatan seperti kematian dan penderitaan lain yang diberikan dalam literatur suci Hindu. Mantra ini dari berbagai jenis namun mantra Maha Mrityunjaya telah dipuji dalam literatur suci sebagai yang terbaik.

Manfaat lainnya Penggunaan Mantra

Jika anda percaya Weda, tentu anda juga percaya dengan mantra ini. Namun sebelum ingin membuktikan, kiranya perlu mengingat satu hal: Seperti disebutkan dalam Weda, Sang Trayambakam, Mahadewa (Siwa), adalah Guru (Spiritual) tak berwujud, bagi semua mahluk hidup. Selain Shakti beliau, Brahma dan Wisnu, tak seorangpun bisa melihat wujud beliau, kecuali memang dikehendaki.

Sehingga sebelum menyampaikan keinginan-keinginan, termasuk keinginan untuk bisa hidup abadi, kiranya sangat penting untuk memahami dan mempraktekkan ajaran-ajaran beliau dengan penuh pengabdian terlebih dahulu, setidaknya berusaha membebaskan diri dari papa khlesa.

Sebelum mampu menjalankan hal itu, setidaknya menurut saya pribadi, ada beberapa manfaat—secara bertahap—yang akan dirasakan oleh mereka yang melantunkan japa mantra Maha Mrityunjaya ini sebanyak 108x tanpa putus, yaitu:

Merasakan kedamaian, langsung saat mencobanya. Saya sudah membuktikan. Bahkan hanya dengan mendengarkannya saja, secara instan saya langsung merasakan kedamaian yang entah dari mana datangnya (kemungkinan dari vibrasi lantunan mantranya itu sendiri).

Menurut beberapa Purana, terutama Markandeya dan Siwa Purana, vibrasi mantra Maha Mrityunjaya (Trayambakam) itu sendiri dapat menguatkan kesadaran jiwa pelantunnya ke tingkatan yang lebih tinggi sekaligus membersihkannya dari watak jahat. Dan ketika dijapa (=diucapkan secara berulang-ulang tanpa terputus), energy positive yang dihasilkan oleh mantra Maha Mrityunjaya akan menstimulasi DNA tubuh sehingga mampu beradaptasi dengan berbagai kondisi secara intuitif sekaligus membersihkannya dari toxin-toxin negatif.

Sekarang bayangkan, apa yang dihasilkan oleh tubuh prima dengan DNA yang secara intuitif bisa beradaptasi dalam berbagai kondisi dan dikendalikan oleh pikiran berkesadaran spiritual tinggi?

Dengan kata lain, kesembuhan dan asupan gizi masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan, obat-obatan, emosi yang mendukung, dan jiwa yang bergembira. Nah, mantra Maha Mrityunjaya menarik kekuatan-kekuatan ini dan menciptakan lingkungan batin yang sesuai untuk meningkatkan efektivitas kinerja mereka.

mantra Maha Mrityunjaya (Trayambakam) juga bisa dilantunkan untuk menyelamatkan anggota keluarga atau siapa saja yang sedang berada diambang kematian. Jika dilantunkan dengan benar dan dengan kesungguhan hati, semoga beliau sang penguasa kehidupan berkenan menyelamatkan.

Kematian adalah keniscayaan, semua orang (termasuk Rsi Markandeya) pada akhirnya akan mati juga, entah 40 atau 50 atau 100 atau 5000 tahun lagi. Namun sadarilah, yang mati hanya tubuh usang/penyakitan yang memang sudah tak layak-pakai lagi. Sedangkan roh tetap hidup. Dan, DIA Yang Bermata-Tiga, Sang Trayambaka, Mahadewa Mrityunjaya, Siwa, akan mengganti tubuh usang yang penyakitan itu dengan tubuh baru, tubuh yang lebih bersih, lebih sehat dan lebih latak-pakai. Itulah “keabadian” (immortality) yang sejati.

Sebelum waktu pergantian itu tiba, alangkah bagusnya jika hidup ini diisi dengan upaya memuliakan mahluk ciptaanNYA yang lain. Mungkin dengan melakukan hal-hal berguna bagi diri sendiri, keluarga dan orang lain, tanpa “melekat.” Dan untuk melakukan itu butuh kesehatan jasmani dan rohani; tubuh yang tidak penyakitan dan rohani yang bersih. Lantunan japa mantra Maha Mrityunjaya, setidaknya, dapat mempermudah upaya itu. Astungkara. Selamat mencoba!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar