Hak Cipta © stuka1788
Chapter VII: The Rescue
Gedung NewsTV
15.24 WIB
H minus 92:36:00
Fifi terdiam di kantor, di ruangan Alex. Kejadian hari ini betul-betul hampir tidak bisa ia terima sebagai kenyataan. Keadaan berubah silih berganti dengan amat cepat. Baru saja ia dan Alex gembira ketika Prita pulang, lalu berganti kesedihan mendalam setelah mendengar mengenai kematian Lucia, lalu ternyata berita kematian itu ditangguhkan, dan kini Alex pergi menyusul Lucia. Di awal hari, ia hanyalah seorang second-in-command di bawah Alex, dan sepertinya akan tetap begitu. Tapi kini dia adalah officer-in-charge, first-in-command, mengisi tugas Alex yang kini tengah pergi entah sampai kapan. Bagi orang seteratur seperti Fifi, ini jelas bukan sesuatu yang bisa diterima dengan mudah.
Ia memang pernah menjadi first-in-command ketika Alex izin menikah dengan Lucia, tapi itu harus dianggap sebagai sebuah kasus yang sama sekali lain. Ketika itu keadaan di luaran cenderung baik-baik saja, pun kalau ada apa-apa, ia masih bisa menghubungi Alex untuk meminta pertimbangan. Namun kali ini, ia harus berusaha sendiri, lagipula, firasatnya mengatakan bahwa keadaan bakal menjadi “tidak baik-baik saja”. Inilah yang selama ini ditakuti oleh Fifi, menjadi first-in-command justru ketika akan menghadapi “pertempuran penting”.
“Fifi,” kata Fessy membuyarkan lamunan Fifi.
Fifi menoleh, dan melihat, tidak hanya Fessy, melainkan juga Meutia, dan seluruh jajaran personel yang selama ini bekerja di bawah Alex, yang kini harus ia komandoi. Selama ini, Fifi memang mengizinkan mereka semua memanggilnya dengan nama, ini tidak seperti Alex yang dipanggil dengan sebutan ‘Bos’ (kecuali Fessy, Rahma, dan Meutia).
“Ada apa?” tanya Fifi.
“Tindakan kita selanjutnya apa?” tanya Fessy, “kita kehilangan Lucia, juga Alex, dan sepertinya bakal terjadi sesuatu dengan segera,”
Fifi semakin pusing mendapatkan pertanyaan seperti itu. Ia pun tak berusaha untuk menyembunyikan kebimbangannya itu. “Aku nggak tahu, semuanya bikin aku pusing,” kata Fifi, “menurut kamu, kita kudu ngapain?”
“Well, karena ada perintah buat jangan mendahului dulu,” kata Fessy, “kayaknya kita kudu tetep jaga status quo deh, jangan bikin statement dulu sampe ada perkembangan baru,”
“Ya, gitu juga baik,” kata Fifi, “bikin aja kayak yang kamu bilang,”
“Ada lagi?” tanya Fessy.
“Udah deh, tinggalin aku dulu,” kata Fifi, “ini bukan sesuatu yang mudah diterima gitu aja,”
Fessy hanya mengangguk saja, lalu meninggalkan tempat. Ketika Fessy melewati beberapa orang, ia mendengar mereka berbicara sambil berbisik. Fessy pun segera tahu kalau mereka membicarakan soal sikap Fifi. Fessy sendiri maklum dengan sikap Fifi, tapi jujur saja itu bukan sikap yang seharusnya ditunjukkan oleh seseorang yang sedang berada pada first-in-command, pada saat menghadapi krisis, di depan anak buah lagi, dan Fessy tahu hal itu.
Bagi Fessy, masalah mengenai Fifi selalu sama. Fessy sependapat dengan Alex bahwa Fifi memiliki potensi tersembunyi (bahkan Fessy lah satu-satunya yang percaya hal ini selain Alex); tapi Fifi juga dinilai sudah terlalu lama “bersembunyi” di balik bayangan Alex. Ini adalah pertama kalinya Alex pergi sementara ada keadaan genting yang akan datang. Cepat atau lambat, desakan ke arah pemakzulan Fifi pasti akan tiba.
Saat tengah melamun itulah Fessy terkejut, ternyata di hadapannya sudah ada Bu Isyana. Ia menatap bagaikan manusia es, dingin dan langsung menusuk ke mata Fessy; namun Fessy sudah terbiasa dengan tatapan mata seperti itu.
“Ikut aku, cepat,” kata Bu Isyana.
Fessy pun lalu mengikuti Bu Isyana. Betapa pun Fessy sering mengeluh dan mengolok-olok kepemimpinan Bu Isyana yang dingin dan bertangan besi, secara profesional, Fessy memang tetap menghormati Bu Isyana sebagai atasannya. Mereka berdua lalu masuk ke sebuah ruangan yang kosong, tempat di mana kecil sekali kemungkinan ada pengintip atau penguping.
“Kenapa, Bu Isyana?” tanya Fessy.
“Langsung saja, secara rantai komando, Fifi sudah mengambil-alih komando dari Alex, kan?” tanya Bu Isyana.
“Betul, tapi kita semua kan tahu itu,” kata Fessy.
“Menurutmu Fifi bagaimana?” tanya Bu Isyana.
“Maksud Anda, Bu?” tanya Fessy menyelidik.
“Bagaimana menurut kamu soal Fifi, apakah dia pantas untuk itu?” tanya Bu Isyana.
Fessy paham, sepertinya Bu Isyana hendak mengadu domba antara dirinya dengan Fifi. Atau lebih parah lagi, Bu Isyana ingin menjatuhkan Fifi mumpung tidak ada Alex. Semua orang juga tahu kalau selama ini Alex selalu melindungi Fifi.
“Saya pikir dia pantas, Bu,” kata Fessy.
“Jangan bohong,” kata Bu Isyana.
“Saya berani bersumpah,” kata Fessy, “Fifi teman saya dan akan selalu begitu,”
“Bagus, kalau begitu, kamu tidak ingin terjadi apa-apa dengan Fifi, kan?” tanya Bu Isyana.
“Maksud Anda bagaimana?” tanya Fessy semakin tidak mengerti.
“Begini keadaannya, Nn. Fessy; posisi yang dipegang oleh Alex, dan saat ini dipegang oleh Fifi, adalah posisi yang diperebutkan oleh banyak orang di kantor ini; jika mereka tahu kalau Alex pergi, pasti mereka akan segera berebutan untuk menjatuhkan Fifi, karena mereka tahu bahwa menjatuhkan Fifi lebih mudah daripada menjatuhkan Alex,” kata Bu Isyana.
“Tidak masuk akal, bukankah semua itu harus atas sepersetujuan Ibu dahulu?” tanya Fessy, “jangan bilang kalau Bu Isyana mau memutus prosedur rantai komando!”
“Aku tidak akan berbuat begitu, untuk saat ini,” kata Bu Isyana, “tapi kalau memang Fifi terus menunjukkan kelemahan, aku tidak akan ragu lagi untuk mencabut mandat,”
“Tapi ini gila!!? Jadi Anda ingin memakzulkan Fifi juga!??” pekik Fessy.
“Bukan, tapi aku hanya ingin jabatan itu dipegang oleh orang yang benar-benar mampu,” kata Bu Isyana, “Alex sudah menunjukkan kualitasnya, tapi Fifi?”
“Kalaupun Bu Isyana menjatuhkan Fifi sekarang, bagaimana nanti kalau Alex kembali?” tanya Fessy.
“Itu yang mau aku bicarakan dengan kamu, Nona Fessy,” kata Bu Isyana.
Fessy terdiam. Entah permainan apalagi yang akan dimainkan oleh atasannya ini. Apa pun itu, Fessy tengah merasa ia sedang akan dijadikan bidak.
“Kalau memang Fifi tidak bisa memegang komando ini, kamu harus segera mengambil-alih komando dari Fifi,” kata Bu Isyana.
“Maksud Anda? Kudeta?” tanya Fessy.
“Lebih baik kamu yang memegang sementara kan, sampai Alex kembali?” tanya Bu Isyana, “Aku sudah tahu kemampuanmu, Nona Fessy; kamu bakal lebih cocok di posisi itu seandainya Fifi tidak bisa, lagipula kamu juga setia pada Alex,”
“Apa ada alternatif kalau saya menolak?” tanya Fessy.
“Aku tidak mau berpikir rumit,” kata Bu Isyana, “kalau kamu menolak, aku akan berikan ke orang lain, dan aku yakin, orang itu, siapapun nantinya, pasti akan pula memakzulkan Alex ketika Alex kembali nanti; tuduhannya cukup lengkap untuk itu,”
Betul juga. Sekarang Fessy betul-betul menghadapi buah simalakama. Ia memang tidak begitu percaya Fifi, tapi haruskah ia mengkudeta Fifi demi Alex? Kalau Fessy menolak, akibatnya bisa buruk, tidak hanya untuk Fifi tapi juga untuk Alex nantinya. Dimakzulkan dari posisi setinggi itu jelas bukan sebuah pilihan, dan pasti ini tidak adil untuk Alex.
“Aku percaya Fifi masih bisa memegang jabatannya untuk saat ini,” kata Fessy.
“Dan kalau ternyata terbukti dia tidak bisa?” tanya Bu Isyana.
“Kalau begitu, saat itu saya akan mengambil alih, demi Alex,” kata Fessy, “tapi tidak hingga saat itu betul-betul tiba,”
“Jadilah,” kata Bu Isyana, “tunggu panggilan dariku, Nona Fessy,”
Bu Isyana pun berlalu dari ruangan. Sepeninggal Bu Isyana, Fessy segera menghantamkan tinjunya ke arah dinding dengan keras sembari mengumpat. Kenapa masalah sepelik ini dia ikut juga dibawa-bawa?
***
Markas Komando Angkatan Laut
18:27 WIB
H minus 89:33:00
Alex tertidur kelelahan di dalam hanggar helikopter di Markas Komando Angkatan Laut. Perintah dari Laksdya Sihombing adalah sebelum gelap, maka Alex dan Prita sekali-sekali dilarang meninggalkan hanggar helikopter. Pers saat ini tengah mengerubuti pagar terluar Markas, dan Laksdya Sihombing tidak ingin keberadaan Alex dan Prita di sini diketahui, karena bisa menimbulkan syak wasangka.
Mereka berdua bahkan tidak turun dari helikopter, bahkan hingga ketika helikopter itu ditarik masuk ke hanggar. Penjara singkat yang bagi Alex dan Prita cukup menjemukan. Untunglah pihak Angkatan Laut begitu berbaik hati dalam mengakomodasi mereka. Mereka diberikan makan siang, walaupun harus dilakukan di dalam hanggar, tentu saja.
Dari kurir yang dikirim untuk memberitahukan informasi terbaru, diketahui bahwa KRI Ternate sudah buang sauh segera setelah ada perintah, itu berarti bahkan sebelum Alex meninggalkan NewsTV. Selain itu juga diberitahukan perihal badai di Samudera Indonesia, sehingga penerbangan apapun amat sangat berbahaya untuk dilakukan, apalagi menuju jurusan badai.
Untuk membunuh waktu, Alex pun bermain catur dengan salah seorang kru hanggar, sementara Prita berjalan-jalan mengamati kegiatan para kru yang lain. Di suatu tempat, Prita melihat beberapa orang sedang sibuk mengutak-atik mesih sebuah helikopter. Dia segera melangkahkan kakinya kesana. Entah kenapa, melihat badan para prajurit yang tegap dan berotot membuat darahnya perlahan mulai mendesir. Otak kecil di kepala Prita menyuruhnya agar sedikit berbuat nakal, sekedar untuk mengisi waktu luang.
Di ruangan yang cukup luas ini hanya ada Prita serta beberapa prajurit teknisi yang sedang menyelesaikan pekerjaan perbaikan. Seluruhnya ada empat orang, termasuk Prita yang satu-satunya wanita.
”Lagi ngerjakan apa, Pak?” tanya Prita iseng-iseng pada prajurit berkumis tipis yang berdiri paling dekat dengannya.
”Biasa, Non, pengecekan rutin.” jawabnya sambil terus bekerja.
Tidak jauh dari situ, tampak seseorang sedang berjongkok di sebelah helikopter. Di bawahnya, seorang teknisi lain berbaring di bawah badan heli, cuma kelihatan kakinya saja. Prita segera mendekat kesana. Saat itu ia memakai blus ketat berlengan panjang yang potongan dadanya agak rendah, lekuk tubuh Prita jadi tercetak dengan jelas oleh pakaian seperti itu. Untuk bawahan, ia memakai rok hitam yang menggantung beberapa senti di atas lutut. Maka bukanlah hal yang aneh kalau para pria itu langsung mencuri-curi pandang ke arahnya, apalagi sesekali Prita sengaja menyilangkan kaki untuk memamerkan kulit pahanya yang padat dan putih mulus.
”Perlu bantuan, Pak?” tanya Prita sambil dengan sengaja berjongkok di hadapan prajurit itu. Lutut kirinya bertumpu di lantai sehingga otomatis paha putih mulusnya jadi tersingkap kemana-mana, bahkan celana dalam Prita yang berwarna merah muda juga terlihat sangat jelas.
Prajurit itu terlihat gugup, tapi matanya terus tertumbuk ke rok Prita yang kelihatan terangkat tinggi karena posisi jongkoknya. Prita tersenyum dalam hati, yakin kalau burung prajurit itu pasti sudah terbangun dan memberontak keras ingin lepas dari sangkarnya. Namun Prita berusaha untuk bersikap biasa saja, seolah tidak mengetahui kalau sedang diintip.
”Oh, nggak... nggak, Non. Nggak perlu!” jawab prajurit itu terbata-bata.
”Ok, sudah beres!” teriak teknisi satunya yang masih berbaring di bawah badan heli, lalu ia mendorong kursi berbaringnya keluar dari kolong. Begitu muncul, dia pun ikut terperangah dengan pemandangan indah yang ada di atas wajahnya. Kedua prajurit itu bengong menatap Prita tanpa berkedip.
”Kenapa? Kok bengong?” goda Prita dengan tersenyum nakal. Kemudian ia raih tangan si prajurit yang sedang berbaring di bawah dan diletakkan di atas kulit pahanya.
Tanpa harus disuruh lagi, tangan kasar yang kotor belepotan oli itu sudah bergerak dengan sendirinya; mengelus-elus paha mulus Prita, bahkan hingga sampai ke pangkalnya. Disana si prajurit menekan dua jarinya ke bagian tengah kemaluan Prita yang masih tertutup CD warna merah muda.
”Ooohh...” desah Prita merasakan remasan pada lubang kemaluannya.
Prajurit satunya yang dari tadi cuma melihat sambil berjongkok, perlahan bergeser dan mendekap tubuh mulus Prita dari belakang serta mulai menciumi leher jenjangnya. Hembusan nafas dan lidahnya yang menggelitik membuat birahi Prita semakin naik. Payudaranya yang masih tertutup baju juga diremasi dari belakang. Bahkan tak lama kemudian, blus beserta bra-nya sudah disingkap ke atas. Kedua belah payudara Prita yang putih mulus digerayangi oleh prajurit itu dengan gemas, putingnya dijepit dan dipilin-pilin ringan hingga mulai terasa sedikit mengeras.
”Hei, kalian ngapain?” seru prajurit berkumis tipis yang memergoki ulah mereka.
Prajurit di belakang Prita melambai memanggilnya, mengajaknya untuk ikut serta menikmati tubuh molek Prita. Si kumis pun dengan girang melangkah menghampiri sambil mulai mempreteli kancing bajunya satu persatu, kurang dari selangkah lagi, ia pun sudah telanjang bulat di depan wajah Prita.
”Wow...” Prita terlihat terpana saat menatap bagian tubuh si prajurit yang mengacung tegak di bawah perutnya, pasti nikmat sekali rasanya kalau ditusuk penis sebesar tongkat bisbol tersebut.
Prajurit yang tadi berbaring, kini ikut berjongkok di depan Prita. Pelan ia mulai memelorotkan rok dan celana dalam Prita. ”Hmm, indahnya... saya paling suka vagina yang kaya gini,” komentarnya mengenai vagina Prita yang sempit dan berambut tipis.
Lalu bersama temannya yang masih berpakaian, ia lekas mencopoti baju seragamnya hingga dengan cepat ikut berdiri telanjang di depan wajah cantik Prita yang masih bersimpuh di lantai. Terlihatlah batang-batang mereka yang sudah menegang dahsyat; standar ukuran Indonesia, namun sangat panjang, besar, dan berurat. Prita memandanginya sambil tersenyum, tubuh mulusnya hanya tinggal dibungkus blus ketat dan bra yang sudah tersingkap kemana-mana.
Salah satu prajurit menurunkan tubuh, ia berjongkok untuk mencium dan melumat vagina Prita yang sudah terpampang indah di depan mereka. Prajurit yang lain menopang tubuh Prita dari belakang, mendekapnya erat sambil tangannya kembali beraktivitas meremas dan memijiti bulatan payudara Prita yang putih mulus. Sementara prajurit ketiga yang berkumis tipis, ikut menyerbu dengan menetek di kedua payudara Prita. Ia menghisap-hisap putingnya yang kecil mungil sambil menggigitinya gemas beberapa kali.
”Ahh... uhh... auh...” Prita tentu saja menggelinjang dahsyat dan mendesah tak karuan diserang dari berbagai arah seperti itu. ”Ohh... jangan terlalu keras!” rintihnya sambil meringis ketika si kumis terus menggigiti putingnya dan menariknya rakus dengan mulut, secara refleks Prita segera menjambak pelan rambut laki-laki itu karena saking nikmatnya.
Sementara di bawah, prajurit yang kepalanya terbenam di selangkangan Prita, mulai menyedoti liang vagina Prita dalam-dalam, seolah ingin menelannya. Dia memasukkan lidahnya ke dalam vagina Prita sehingga memberi sensasi geli yang luar biasa pada perempuan cantik itu. Klitoris Prita juga ia gigit pelan-pelan dan digelitiknya dengan lidah. Sungguh teramat nikmat hingga sangat sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata.
Kemudian mereka membaringkan Prita di lantai dengan beralaskan baju. Si kumis yang tampaknya paling tidak sabar, segera mengambil posisi di selangkangan Prita, ingin langsung menyetubuhinya, tapi segera dicegah oleh prajurit yang dari tadi menggarap kemaluan Prita.
”Kamu tunggu giliran, kan saya dan Zaenal yang menemukannya terlebih dahulu.” kata pria itu.
Si kumis tidak bisa membantah lagi, ia pun mengalah. Dibiarkannya sang teman menyetubuhi Prita terlebih dahulu. Sebagai gantinya, ia mengambil posisi di dekat kepala Prita dan menyodorkan penisnya. Prita tanpa berkata segera meraih dan mulai menjilati batang itu hingga basah, kedua buah zakarnya juga ia emut-emut sambil terus mengocok pelan batangnya.
Di bawah, tepat di depan selangkangan Prita, si prajurit yang tidak bernama sudah selesai dengan pemanasannya. Ia kini mulai mengarahkan batang besarnya ke liang senggama Prita yang tampak memerah basah. Dengan sekali tusukan, ia memasukkannya.
”Auw!” Prita menjerit kecil ketika benda itu menyeruak masuk dengan sedikit kasar, apalagi saat prajurit itu mulai menggenjotnya dengan gerakan buas. Namun tidak terlihat Prita tersiksa karenanya. Yang ada ia malah meresapi setiap detail kenikmatan yang sedang menyelubungi tubuh sintalnya itu. Bahkan saking nikmatnya, ia juga semakin bersemangat pula mengemut penis si kumis yang terasa semakin kaku dan menegang di dalam mulutnya.
”Ooh... terus, Non... enak banget... ughh!” si kumis mengerang keenakan menerima perlakuan Prita yang begitu memanjakan 'adik kecil'nya. Ia remas-remas rambut pendek Prita sebagai pelampiasan rasa nikmatnya.
Sambil terus mengulum, tangan Prita juga tidak tinggal diam. Ia kocok penis prajurit yang dipanggil ’Zaenal’, yang pada saat yang sama sedang melumat payudaranya. Laki-laki itu tampak sangat menikmati setiap jengkal bulatan payudara Prita, ia menghisapnya kuat-kuat sambil diselingi gigitan-gigitan gemas yang meninggalkan jejak merah di kulit payudara Prita yang putih mulus.
Mereka terus dalam posisi seperti itu sampai akhirnya Prita melepaskan emutannya pada penis si kumis dan berkata, ”Sini, Pak Zaenal. Saya jilat punya bapak!”
Zaenal tanpa membantah langsung menggantikan posisi si kumis, ia sodorkan penisnya yang sudah mengacung tegak pada Prita. Prita membuka lebar-lebar mulutnya untuk memasukkan benda itu. Tapi sepertinya tidak muat karena ukuran penis si Zaenal ini sedikit lebih besar daripada milik si kumis. Prita akhirnya hanya bisa menjilat dan menciumi ujungnya saja, namun meski begitu sudah cukup membuat Zaenal merintih pelan penuh nikmat.
Maka begitulah, Prita terus menghisap dan mengemut penis si kumis dan prajurit bernama Zaenal secara bergantian. Sementara di bawah, prajurit ketiga, yang sampai saat ini tidak diketahui namanya, terus menyetubuhinya dengan brutal dan penuh nafsu. Sambil menggoyang, prajurit itu mengulurkan tangan untuk meremas dan memijiti payudara Prita yang kini tampak menganggur setelah Zaenal melepaskan jilatannya.
Prita sendiri tampak sangat menikmati dan menyukainya. Dikeroyok seperti ini benar-benar membuatnya terbuai dan terangsang berat. Ia pun mengerang sejadi-jadinya antara kesakitan dan kenikmatan, semakin lama semakin liar dan tak terkendali. Apalagi di bawah sana, si prajurit yang menyetubuhinya juga makin mempercepat frekuensi genjotannya. Maka lama-kelamaan, Prita pun tak sanggup lagi menahan cairan cintanya yang ingin menyembur keluar. Liang vaginanya sudah begitu membanjir, tanda kalau ia sudah di ambang puncak kenikmatan.
”Ahh... ahh… ahm...” Prita kelojotan, sementara tangannya semakin kencang mengocok dua batang penis yang ada di dalam genggaman jari-jarinya. Otot-otot kemaluannya terasa semakin cepat berkontraksi saat cairan cintanya mengalir deras tak terbendung lagi. Ia mencapai puncak kenikmatannya.
Tubuh mulus Prita masih mengejang hebat saat prajurit yang menyetubuhinya juga ikut berteriak kuat. Penis laki-laki itu meledak, memuntahkan segala isinya di lorong kemaluan Prita. Namun ia masih terus menggenjot sampai akhirnya penisnya benar-benar melemas tak lama kemudian. Setelah bergidik dan meremas-remas payudara Prita sebentar, ia pun mencabut keluar penisnya.
”Ayo gantian, siapa mau memek?” katanya pada si kumis dan Zaenal.
Zaenal yang merasa punya hak, segera menggantikan posisi temannya. Tapi ia minta ganti posisi, kali ini ia berbaring di lantai dengan Prita duduk di atas perutnya. Sambil membuka lebar-lebar liang senggamanya, Prita pun menurunkan tubuh dan membimbing batang Zaenal untuk lekas memasuki liangnya. Ia menggigit bibir dan mendesis pelan saat penis besar Zaenal mulai tertancap di lorong vaginanya. Prita terus mendorong, hingga akhirnya seluruh batang itu tertelan oleh liang surganya. Rasanya sungguh sesak dan sedikit nyeri saat dijejali benda sekeras dan sebesar itu. Prita dapat merasakan urat-uratnya yang menonjol bergesekan dengan dinding vaginanya saat Zaenal mulai menyentakkan pinggulnya ke atas, menyetubuhinya.
“Auw!” secara refleks Prita menjerit kecil, meski tak bisa dibantah kalau ia juga menikmatinya. Sambil ikut menggoyangkan tubuhnya naik-turun, mata Prita merem-melek keenakan dan kadang-kadang tubuhnya meliuk-liuk karena saking nikmatnya genjotan pinggul Zaenal.
Kembali ia raih penis si kumis yang berdiri di sebelah kirinya. Prita sudah akan mengulumnya saat si kumis malah menarik dadanya dan menjepitkan benda coklat panjang itu disitu. Si kumis lalu menggerakkannya maju-mundur, menyetubuhi payudara Prita. Tidak sampai lima menit, sperma laki-laki itupun muncrat; berhamburan ke muka dan dada Prita. Sambil terengah-engah puas, ia mengelap spermanya yang berceceran di dada Prita, meratakan ke seluruh permukaan benda bulat kembar itu hingga payudara Prita jadi nampak mengkilap indah karenanya.
”Sini, Pak!” Prita menjilati sisanya yang masih tampak menetes di ujung penis si kumis hingga bersih, sebelum laki-laki itu kemudian ambruk kelelahan di sebelah temannya.
Sementara di bawah, prajurit yang bernama Zaenal, terus menggerakkan penisnya yang terasa makin membengkak dan mengeras penuh. Kewanitaan Prita jadi semakin basah dan lengket karenanya. Cairan cinta terus mengucur membasahi rongga-rongga kemaluannya yang sempit dan legit. Otot-otot di tubuh Prita terasa semakin menegang saat ia akan menjemput kembali orgasmenya.
”Arghh...” desahan panjang keluar dari mulut Prita saat cairan hangat menyemprot hampir semenit lamanya dari dalam lubang kemaluannya. Sementara dari bawah, Zaenal menyusul menumpahkan spermanya lima detik kemudian. Mereka keluar secara hampir bersamaan.
Tubuh Prita melemas dan jatuh telungkup di atas dada bidang berbulu milik Zaenal. Penis laki-laki itu masih menancap di lubang vaginanya meski perlahan-lahan mulai terasa mengecil dan akhirnya terlepas dengan sendirinya. Pelan-pelan dia turunkan tubuh mulus Prita, tapi Prita masih belum sanggup untuk berdiri karena masih lemas sekali, jadi ia hanya duduk bersimpuh saja di lantai hanggar yang kini terasa panas akibat persetubuhan liar mereka berempat.
Prita baru bangun saat didengarnya suara Alex yang sedang mencarinya. Cepat ia membenahi pakaiannya yang acak-acakan dan berlalu dari tempat itu, tentunya setelah terlebih dahulu mengucapkan terima kasih pada ketiga prajurit yang telah menemaninya menghabiskan waktu.
“Kita berangkat,” kata Alex saat mereka sudah bertemu, tampak sama sekali tidak curiga dengan ’hilang’nya Prita selama sejam terakhir.
***
19.37 WIB
H minus 88:23:00
Sebuah helikopter kembali disiapkan, tapi kali ini bukan dari jenis Bell-412, melainkan dari Mi-17. Pun bukan helikopter milik Angkatan Laut, karena Angkatan Laut tidak pernah mengoperasikan heli bongsor ini. Simbol yang tertera di badan heli jelas menunjukkan bahwa ini adalah helikopter milik Angkatan Darat. Mengapa digunakan helikopter milik Angkatan Darat? Karena saat ini, hanya helikopter inilah yang dinilai masih cukup tangguh untuk menembus suasana angin yang kencang bertiup.
Suasana di luar sudah sepi, sehingga tidak ada yang memberi perhatian pada helikopter AD yang kini berada di Markas AL, sebuah hal yang seharusnya amat mencolok. Alex dan Prita dengan cepat segera dinaikkan ke dalam helikopter. Mereka sendiri tidak begitu banyak bertanya sehingga pemindahan bisa berlangsung cepat.
“Kita akan ke mana?” tanya Alex kepada pilot heli begitu heli ini mulai mengudara.
“Pangkalan Aju Gabungan di Pelabuhan Ratu,” jawab sang pilot, “di sana kalian akan transit sambil menunggu badai reda,”
“Kapan kita bisa ke KRI Ternate?” tanya Alex.
“Saya tidak tahu, menunggu badai reda mungkin,” kata pilot, “instruksi yang saya terima hanyalah untuk memindahkan Anda dari Jakarta ke Pelabuhan Ratu; selanjutnya itu keputusan yang di atas,”
Alex hanya mengangguk lalu kembali menghempaskan tubuhnya di atas tempat duduk heli, sementara heli terus menembus kegelapan malam. Angin yang bertiup kencang di angkasa terasa betul sedikit menggoyangkan helikopter ini, untungnya jenis Mi-17 memiliki kestabilan posisi yang sangat baik. Prita masih duduk di samping Alex, dan melihat Alex gusar, Prita kembali memegang tangan Alex.
“Sabar,” kata Prita.
“Aku sabar,” jawab Alex.
“Kalau Tuhan memang berkehendak Lucia selamat, pasti selamat,” kata Prita.
“Aku tahu,” kata Alex, “tapi banyak yang lagi aku pikirin,”
Prita tidak menjawab, hanya mengencangkan remasan lembutnya di tangan Alex. Sampai di sini, mulai timbul pertanyaan di benak mereka berdua akan mengapa mereka ikut dalam perjalanan ini. Prita lalu meletakkan kepalanya di pundak Alex, seolah bermanja di sana.
“Apa yang akan menunggu kita di sana?” tanya Prita sambil menerawang jauh.
“Aku nggak tahu,” kata Alex, “masih jauh, kamu istirahat saja,”
Prita mengangguk, lalu ia semakin membenamkan kepalanya ke pundak Alex. Maka Alex pun segera melingkarkan salah satu tangannya ke pundak Prita untuk memberinya kenyamanan. Prita juga mendekap tangan Alex yang satu lagi, kemudian matanya mulai terpejam dan ia tertidur di dalam pelukan Alex.
***
Location Unknown
Time Unknown
Aviani menangis sesenggukan meratapi nasibnya yang malang. Ia masih terduduk di kursi yang miring sehingga posisinya mirip seperti berbaring. Tangan dan kakinya terikat kuat sehingga dia tak bisa bergerak, dan tubuhnya yang telanjang terpapar sempurna di bawah nyala lampu ber-watt besar. Bagian kemaluannya masih terasa sakit akibat pembukaan paksa di sekitar vulva-nya; dan kini di sana telah tertancap sebuah selang kateter di lubang urine-nya. Sekali lagi kemaluannya terasa berdenyut dan cairan urine pun kembali keluar dari kateter itu tanpa bisa ia tahan.
Rupanya tadi “Sang Pemimpin” hanya memasang kateter ini di lubang urine Aviani, dan tidak melakukan lebih dari itu. Memang untuk ini dia harus membuka-paksa vulva Aviani, dan itu yang membuatnya terasa cukup sakit, karena baru kali ini vulva-nya dibuka selebar itu. Selain itu sakit juga dirasakan ketika kateter pertama kali masuk menerobos lubang urine-nya, sakit yang sebelumnya belum pernah dirasakan. Mengapa selang kateter ini dipasang di lubang urine Aviani, Aviani tidak mengetahui alasannya.
Akan tetapi, Aviani hanya tertarik bahwa pemasangan kateter ini dilakukan dengan cukup rapi, sehingga entah Sang Pemimpin ini memang memiliki pengetahuan bidang medis, atau ia sudah sering sekali memasang yang seperti ini. Dari kedua alasan itu, Aviani condong pada yang pertama, karena kalau apabila maksudnya sebagai bagian penyiksaan; tentunya Sang Pemimpin tidak akan repot-repot menggunakan kateter, masih memasang pelumas, juga mengolesi kemaluan Aviani dengan larutan suci hama sebelum kateter itu dipasang. Tapi siapa? Aviani sudah tidak mampu berpikir jernih.
Ia lebih banyak ditinggal di dalam ruangan ini, jarang ada yang menemaninya. Pernah ada yang datang untuk memberinya makan, yang walaupun Aviani berontak, tetap saja dia menyuapi dengan paksa. Minum pun menggunakan botol yang diberi selang, dimasukkan (kalau perlu secara paksa) ke dalam mulut. Semua dilakukan dalam keadaan diam, sama sekali tanpa ada suara dari mulut para penangkapnya; bahkan desahan ataupun geraman pun tidak. Mereka selalu mengenakan pakaian hitam dengan postur longgar sehingga Aviani tidak bisa menentukan seperti apa perawakan masing-masing. Hanya Sang Pemimpin saja yang bisa ia kenali, lainnya tidak. Semua penjagaan dilakukan dalam diam, tapi justru inilah yang membuat Aviani tambah senewen. Aviani sampai berpikir bahwa mungkin lebih baik ia disiksa dengan pukulan daripada dengan aksi diam.
Ada sebuah jam yang ada di ruangan ini, namun sama sekali di luar pengelihatan dari Aviani, sehingga dia sama sekali tak mengetahui waktu, hanya bisa mendengar bunyi detikannya saja. Namun di tengah suasana diam yang membuatnya amat senewen dan hampir gila; bunyi detik jam akhirnya menjadi pelipur satu-satunya di dalam lingkungan yang serba diam ini. Apa yang terjadi di luar sana, Aviani tidak tahu. Apakah ada yang mencarinya? Bahkan Aviani sendiri meragukannya, karena ia memang telah berpesan pada Mariska untuk tidak mencarinya.
Pintu pun terbuka, dan seseorang masuk. Setiap kali masuk, biasanya tidak sampai lebih dari dua orang, perkecualian ketika Aviani ditelanjangi untuk pertama kali. Pun yang masuk tidak membawa senjata, namun tetap, berpakaian hitam, bertopeng, serta tidak mengeluarkan suara. Yang Aviani perhatikan hanyalah bahwa semua memakai semacam bracer hitam di tangan kirinya, kecuali Sang Pemimpin yang memakainya di kedua tangan. Kali ini Sang Pemimpin lah yang masuk, Aviani mengenali dari bracer yang dipakainya. Ia hanya berdiri pada jarak satu setengah meter dari Aviani, dan bersedekap sambil arah kepalanya seolah memandangi Aviani dengan seksama.
Tidak ada suara, masih, hanya pantulan nyala lampu pada google hitam Sang Pemimpin. Aviani pun merasa amat malu, dilihat dalam keadaan telanjang seperti itu. Selama ini baru Gilang sajalah yang pernah melihatnya tanpa busana. Walaupun di balik google itu Aviani tak bisa melihat seperti apa ekspresi mata Sang Pemimpin, ia mengira bahwa mungkin Sang Pemimpin tengah tergiur dengan tubuhnya. Hei, mungkin ini bisa menjadi cara?
“Kamu mau apa?” tanya Aviani.
Tentu saja tak ada jawaban dari Sang Pemimpin.
“Jawab aku!!” teriak Aviani.
Sang Pemimpin masih saja diam, dan Aviani semakin senewen.
“Kamu mau memperkosa aku? Ayo cepat lakukan!” kata Aviani.
Mendadak Sang Pemimpin maju, dan ini membuat Aviani kecut. Astaga, jangan-jangan dia benar-benar akan… Tangan Sang Pemimpin pun diletakkan di atas perutnya dan mulai mengusap-usap perut Aviani. Terasa agak kasar akibat sarung tangan yang bergesekan dengan kulit. Aviani memejamkan mata dan terasa amat sangat ketakutan sekali. Usapan tangan Sang Pemimpin akhirnya semakin lama semakin menurun ke arah kemaluannya, dan begitu terasa mulai menyentuh bibirnya…
“Jangan…” kata Aviani sambil sesenggukan.
Sang Pemimpin tidak melepaskan tangannya, tapi sekarang kepalanya diarahkan lebih dekat kepada kepala Aviani.
“Jangan mulai apa yang tidak bisa kamu jalani, Nona Aviani,” kata Sang Pemimpin.
Aviani terperanjat, bukan hanya karena Sang Pemimpin ini akhirnya buka suara, melainkan juga bahwa suara itu adalah suara wanita! Ketika Sang Pemimpin berbicara pertama kali waktu pemasukan kateter, Aviani memang tidak begitu memperhatikan nada suara itu.
“K-kamu…” kata Aviani sambil menatap ke arah Sang Pemimpin.
Kepala Sang Pemimpin pun menjauh, begitu juga dirinya. Tampaknya ia puas akan sesuatu. Tanpa berkata apa-apa lagi, Sang Pemimpin pun langsung meninggalkan tempat.
“Tunggu!! Aku mau bicara!!” teriak Aviani.
Tidak ada jawaban, dan Aviani kembali hanya bisa menangis dalam sepi.
***
Pangkalan Angkatan Laut
Pelabuhan Ratu
22.19 WIB
H minus 85:41:00
Helikopter Mi-17 yang ditumpangi oleh Alex akhirnya mendarat di Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Alex dan Prita pun terbangun ketika merasakan roda helikopter menjejak tanah. Penerbangan malam itu bukanlah jenis penerbangan yang mulus. Akibat badai di Samudera Indonesia, maka angin pun berhembus dengan kencang di seluruh Pulau Jawa. Semakin helikopter bergerak ke selatan, semakin kencang pula hembusan angin terasa menggoyangkan helikopter. Bahkan bagi helikopter setangguh Mi-17 sekalipun, angin malam ini terasa cukup membahayakan. Untunglah pilot helikopter ini juga cukup tangguh dan berpengalaman.
Begitu mereka mendarat, beberapa marinir bersenjata segera masuk ke dalam helikopter dan segera “mengambil” Alex dan Prita, bahkan sebelum mereka berdua sempat mengusap matanya. Cepat sekali mereka berjalan melintasi lapangan-lapangan kosong di pelabuhan, apalagi Alex dan Prita harus berjalan sambil agak menunduk pula. Tidak seperti Lokasi X tempat Lucia bermula, Pelabuhan Ratu adalah sebuah pangkalan terbuka, dan di sini, instalasi militer bercampur dengan fasilitas sipil. Serta tidak ada larangan bagi pers untuk masuk ke pangkalan ini. Hanya dalam tempo singkat, mereka sudah dimasukkan ke dalam sebuah bangunan kecil.
Dalam keadaan masih belum begitu awas sepenuhnya, Alex dan Prita melihat bahwa dalam bangunan ini, ada beberapa orang wanita berpakaian dinas, entah siapa mereka. Pastinya, para marinir yang mengawal Alex dan Prita ke sini memberi hormat dengan takzim. Setelah para marinir itu meninggalkan bangunan, salah seorang wanita yang berpangkat lebih tinggi inipun memeriksa keadaan sebentar sebelum berbicara pada Alex.
“Maaf, sebaiknya kita langsung saja,” kata wanita itu, “tolong kalian buka pakaian, tolong,”
“Apa!!??” jerit Prita kaget. Permintaan bernada perintah itu jelas langsung saja membuat Alex dan Prita kaget setengah mati.
“Tolonglah, kita tidak punya banyak waktu,” kata wanita itu, “ini prosedur standar,”
“Jadi kita harus telanjang di sini!?” teriak Prita.
“Maaf soal keterbatasan yang ada, tapi antara ini atau kalian tidak akan boleh naik ke KRI Ternate,” kata wanita itu.
Prita hanya mendengus saja. Ia mengamati sekitar, dan hanya ada orang di sini kecuali Alex. Sepertinya pula tak ada kamera pengawas atau mata-mata.
“Tenanglah, ruangan ini steril,” kata wanita itu seolah bisa membaca pikiran Prita.
Dengan enggan, Alex dan Prita pun akhirnya membuka pakaian mereka hingga mereka berdua telanjang, dan barulah para wanita ini memeriksa tubuh serta pakaian mereka berdua. Prosedur ini memang sama dengan yang dialami Lucia di Lokasi X. Bedanya, pada Lucia, memang sudah dipersiapkan dengan baik, sementara pada kasus Alex dan Prita, semuanya lebih berlangsung secara mendadak, jadi tidak seperti Lucia, Alex dan Prita diperiksa secara bersamaan walaupun jelas mereka berbeda kelamin.
Prita sendiri jujur malu juga kalau dia harus telanjang di depan Alex dengan dilihat oleh banyak orang seperti itu. Kalau cuma berdua sih, tidak ada masalah. Alex sendiri juga merasa tidak nyaman, karena dia harus telanjang dibawah tatapan mata para wanita. Dan yang membuatnya makin malu adalah karena tanpa bisa ia kendalikan, kemaluannya mulai menegang.
Dua orang wanita yang berdiri di sebelah Alex langsung beringsut mundur, begitu pula dengan Prita. Hanya sang pemimpin yang tampaknya tidak terpengaruh, dengan santai ia menyuruh anak buahnya beserta Prita keluar dari ruangan itu. ”Biar aku yang tangani,” katanya sambil tersenyum tenang.
Tanpa disangka oleh Alex, wanita itu langsung melepas baju dinasnya, juga bh dan cd-nya. Pemandangan itu tentu saja membuat tubuh Alex kontan panas dingin, bahkan penisnya semakin menegang tak terkendali. Wanita itu meliriknya sekejap dan kembali tersenyum. Mengetahui kalau nafsu Alex sudah di ubun-ubun, ia kemudian berkata berbisik, ”Apakah kamu tidak keberatan...?” tanyanya terputus.
”A-apa?” jawab Alex tergagap, matanya tak berkedip menatap tubuh wanita cantik itu.
”... melakukannya denganku,” jawabnya.
Alex cuma diam saja, lalu tersenyum. Rupanya wanita itu mengerti dengan isyarat ini. Ia segera mengulurkan tangan untuk memegang burung Alex yang sedari tadi sudah sangat menegang, lalu mulai mengocoknya pelan. Alex memejamkan mata saat merasakan nikmat selama beberapa menit awal itu, sebelum ia merasakan kocokan itu berhenti total secara tiba-tiba beberapa saat kemudian.
Alex membuka mata, menyaksikan kalau wanita itu kini telah berbaring telentang di atas meja; vaginanya yang memerah tampak indah oleh sejumput rambut halus yang tumbuh di bagian atasnya. Alex segera menempelkan pinggulnya, membuat alat kelamin mereka saling berhimpitan nikmat. Ingin ia segera melakukan penetrasi, tapi masih sungkan karena mereka belum saling benar-benar mengenal.
Wanita itu mendekatkan wajahnya, mengajak Alex untuk saling berciuman. Meski sudah sangat terangsang, Alex masih membalasnya dengan setengah hati, lagi-lagi perasaan malu masih menyelimuti dirinya. Wanita itu kemudian melepaskan ciumannya. ”Kamu kok diam saja? Tidak suka ya sama aku?” tanyanya agak sedikit marah.
”Ah, tidak. A-aku... cuma... ” jawab Alex tergagap.
Wanita itu kembali menciumnya. Kali ini Alex agak sedikit membuka bibirnya, bahkan tangan kanannya mulai meraba dada kiri perempuan cantik itu sementara tangan kiri mengusap-usap punggungnya. Alex tidak ingin dimarahi lagi. Kedua tangan wanita itu berada di lehernya, seperti meminta Alex agar berani berbuat lebih jauh lagi.
”Lex, aku pingin dimasuki sekarang,” pintanya saat melihat Alex cuma diam. Rupanya ia sudah sangat terangsang, tidak peduli apakah Alex sudah siap atau belum.
Saat wanita itu membuka pahanya lebar-lebar, Alex bisa melihat sebuah lubang vagina yang sudah terkuak lebar, siap untuk ia isi dengan penis. Tanpa membuang waktu, Alex pun langsung memposisikan kepala burungnya disana.
”Masukkan sekarang,” perintah wanita itu.
Alex mulai menekan perlahan. Separuh sudah masuk. Mudah sekali masuknya? pikir Alex. Mungkin karena wanita ini sudah sering melakukannya, ia membatin.
”Ahh...” desah wanita itu saat Alex menekan lagi hingga kedua bulu kelamin mereka menyatu. Tangannya memegang erat pinggang Alex.
Alex menarik perlahan batang penisnya yang sudah terbenam dalam, lalu menekan lagi seluruhnya. Setiap kali ia menarik atau menekan, didengarnya wanita itu mendesah kuat penuh nikmat. Alex sendiri juga merasa luar biasa, meski agak sedikit longgar, tapi ia merasa burungnya seperti digenggam dengan erat oleh dinding-dinding vagina yang licin dan hangat. Dilihatnya mata perempuan itu terpejam menikmati sensasi yang mereka ciptakan berdua.
”Hah... hhh... hhh...” Alex mempercepat kocokan. Tapi karena begitu semangatnya, burungku malah terpeleset keluar dari liang vagina yang sempit dan legit tersebut.
Wanita itu membuka matanya lalu tersenyum, ”Masukkan lagi,” ia memerintahkan dengan pinggul diputar-putar mencari mangsa.
”I-iya, maaf.” Alex memasukkan kembali burungnya. Wanita itu memejamkan matanya kembali. Kali ini Alex bergerak dengan lebih hati-hati meski tetap dalam kecepatan tinggi karena ia ingin segera menyelesaikan permainan ini. Kasihan Prita yang menunggu di luar kalau ia sampai mengulur-ngulur waktu.
”Oohh... ohh...” Alex merintih, merasakan spermanya akan segera menyembur keluar. Sambil meremas dan menciumi bulatan payudara perempuan cantik itu, Alex pun menghujamkan burungnya keras-keras dan sangat dalam.
”Ahh... Lega,” kata Alex dengan penis berkedut-kedut pelan menumpahkan segala isinya. Tapi itu cuma bertahan sekian detik, karena dilihatnya wanita cantik itu masih belum mengalami orgasme, sebab dia masih menggerak-gerakkan pinggulnya seolah minta ditusuk lagi. Burung Alex terasa ngilu karena jepitan vaginanya, maka Alex segera menariknya keluar.
Wanita itu membuka mata sambil nafasnya masih terengah-engah. Dari sorot matanya, kelihatan bahwa ia meminta untuk dituntaskan. Alex memahami hal itu. Dilihatnya cairan putih kental meleleh keluar dari lubang vagina perempuan cantik itu saat ia memasukkan jari telunjuknya untuk menggantikan fungsi penis yang kini sudah tidak bisa dipakai lagi.
”Ohh...” Wanita itu kembali mendesah oleh kocokan jari-jari Alex di liang senggamanya. ”Ya... begitu, uh enak...” rintihnya suka.
Alex menggerakkan jarinya seperti lagi menggaruk. Kemudian mengganti jari telunjuk dengan jari tengahnya, dan ia gerakkan lagi menusuk-nusuk.
”Ahh... ahh...” wanita itu merapatkan pahanya. Rupanya ia berusaha mengatupkan vaginanya karena tidak kuat menahan geli akibat rangsangan jari-jari nakal Alex. ”G-geli... s-sudah ah... aku nggak tahan...” Matanya merem melek sambil tubuhnya bergerak liar ke kiri dan ke kanan.
Alex jadi tersenyum sendiri saat melihatnya, merasa bangga dengan kelihaiannya dalam merangsang wanita. Tapi lama-lama ia jadi kasihan juga dan akhirnya menghentikan kocokannya. Wanita itu membuka matanya sambil mengerutkan kening seolah bertanya kepada Alex.
”Please... jangan dihentikan, aku sudah mau orgasme,” katanya memelas. Ia lalu memegang burung Alex yang ternyata sudah kembali tegak dan lekas menuntunnya agar segera memasuki kembali lubang vaginanya.
”Eh... pelan-pelan,” rintih Alex, sebab dia merasa wanita itu menariknya dengan terlalu cepat, seolah tidak mau kehilangan rasa nikmat yang masih mendera lubang vaginanya.
”Eehh...” desah wanita itu ketika separuh burung Alex kembali memasuki liangnya yang sempit dan legit.
Alex perlahan-lahan terus menurunkan pantatnya sehingga burungnya bisa terbenam seluruhnya, dan lalu mulai menggerakkan pinggulnya naik turun dengan begitu cepat, dan semakin keras. Penis Alex rasanya seperti ditarik-tarik. Setiap kali pantat wanita itu menyentuh pahanya, terdengar bunyi plak... plak... yang sangat keras dan mengidikkan bulu kuduk.
Selama beberapa menit, mereka terus berada dalam posisi seperti itu, sebelum akhirnya si wanita merintih keras tanda kalau dia sudah mau orgasme. ”Ehh... ehh... ahh...” desahannya berhenti bersamaan dengan mengalirnya cairan lubrikasi dari liang vaginanya.
Wanita itu telentang di bawah tubuh Alex dengan mata masih terpejam menikmati sisa-sisa orgasme yang masih melanda tubuh sintalnya, meninggalkan Alex yang telanjur 'naik' dan butuh penyelesaian. Dengan burung masih bersarang dalam, Alex pun menusukkan kembali pinggulnya.
”Auw!” wanita itu mengerang, entah menahan sakit atau menahan nikmat, Alex tidak tahu. Ia terus mengocok dengan cepat, hingga kembali didengarnya wanita itu mendesah hebat. ”Ahh... ahh... ahh...”
Alex terus berkonsentrasi, dan akhirnya... ”Ohh...” rintihnya bersamaan dengan keluarnya cairan spermanya.
”Ehh...” hanya itu suara yang didengar Alex saat ia mencabut pelan batang penisnya. Tampak cairan putih lengket masih menetes-netes dari ujungnya yang bulat tumpul, sementara batangnya terasa licin dan agak lengket.
Alex mengambil celana dalam untuk membersihkan burungnya. Dilihatnya perempuan itu masih berbaring di atas meja dengan tubuh telanjang, hanya saja pahanya dikatupkan sekarang. Dari sela-sela pahanya yang putih mulus, Alex bisa melihat bulu-bulu halus yang basah oleh cairan spermanya yang bercampur dengan cairan lubrikasinya. Wanita itu memandang tersenyum kepada Alex. Alex membalas senyuman itu sambil memandangi tubuh bugilnya; tubuh tinggi langsing dengan dada yang tidak bisa dikatakan kecil, tubuh yang sangat proporsional.
”Thanks ya,” ucapnya membuka kebekuan suasana.
”Sama-sama.” balas Alex.
Wanita itu lalu memakai kembali pakaiannya. Untuk Alex, ia diberi selimut untuk membungkus tubuh sembari menunggu pemeriksaan pakaian selesai. Alex lalu keluar dari ruangan, menjumpai Prita yang terlihat tidak sabar menunggunya. Mereka duduk bersebelahan. Tapi kali ini tidak seperti biasanya, Alex sedikit agak menjaga jarak, merasa malu dengan kejadian barusan.
“Kenapa?” tanya Prita.
“Sorry, aku tidak bisa menahan diri…” kata Alex dengan muka agak memerah.
“Tapi kamu suka kan main sama dia?” tebak Prita.
Alex hanya mengangguk dengan malu-malu.
“Ya ampun, Lex, gitu aja,” kata Prita berusaha mencairkan suasana. ”Seperti aku nggak tahu nafsu kamu kaya gimana aja...”
“Duh, bukan... maksudku, kamu bikin aku ’tegang’,” kata Alex, “Padahal situasi kita...”
“Hei, bukan salah kamu; itu yang di bawah tahu ada barang bagus,” kata Prita agak tergelak.
“Mustinya kan ini jadi rahasia kita berdua,” kata Alex.
“Udah, nggak papa,” kata Prita, “aku bisa mengerti, koq,”
“Oke, trims yah,” kata Alex.
Untunglah kali ini pemeriksaan pakaian berlangsung cepat sehingga Alex dan Prita bisa cepat-cepat berpakaian. Wanita yang tadi main sama Alex keluar dari ruangan, namun ia memberi masing-masing sebuah seragam overall bermotifkan loreng marinir.
“Kalau kalian mau keluar dari ruangan ini, pakai baju ini,” kata wanita itu dengan sikap kembali profesional, “kalian terlalu mencolok kalau pakai baju kalian; kita harus menjaga rahasia untuk sementara ini,”
“Kapan kita bisa ke KRI Ternate?” tanya Alex.
“Sesegera mungkin,” kata wanita itu, “tapi aku nggak bisa bilang kapan, semua tergantung badai; nggak ada yang berani terbang di badai ini, jadi saranku, kalian istirahat aja dulu; besok masih ada hari baru,”
***
Kediaman Meutia
22.22 WIB
H minus 85:38:00
Meutia hampir saja memejamkan matanya ketika ia mendengar suara telepon berdering. Ya ampun, siapa sih telepon malam-malam? Padahal hari ini Meutia baru saja mengalami hari yang cukup sibuk. Untunglah pada acara News Today dia tidak harus membacakan obituari untuk Lucia. Bagaimanapun, masalah Lucia memang membuat semua orang di NewsTV menjadi tegang. Apalagi Alex pun ikut-ikutan pergi menyusul Lucia.
Pintu kamar Meutia pun dibuka, dan kakak perempuannya sudah berdiri di sana. Meutia sendiri hanya beringsut dari balik selimut dan menatap sejenak ke arah kakaknya.
“Mut!” kata kakaknya, “Ada telepon tuh, buat kamu,”
“Dari siapa?” tanya Meutia agak malas-malasan.
“Dari Rahma di Melbourne,” kata kakaknya.
Sontak mendengar bahwa telepon itu dari Rahma, Meutia langsung meloncat bangun, dan tanpa merapikan baju tidurnya, ia segera berlari menghampiri telepon yang masih terbuka.
“Halo, Ma?” sapa Meutia, “Assalamualaikum!”
“Eh, Mut, waalaikumsalam,” balas Rahma, “untung aja kamu jawab,”
“Aku udah mau tidur nih, capek banget,” kata Meutia, “ada apa sih, tumben telepon malem-malem?”
“Aku tuh justru yang mau nanya ada apa,” kata Rahma, “aku dari tadi coba hubungi Alex nggak diangkat, Lucia juga nggak ada, Prita juga nggak ada, terus aku baru nyambung ke kamu, deh,”
“Waduh, kayaknya baru pergi semua, tuh,” jawab Meutia sedikit berbohong.
Jujur Meutia agak tidak enak kalau harus membohongi Rahma, sahabatnya sendiri. Akan tetapi ini adalah kesepakatan untuk merahasiakan lebih dahulu soal keadaan Alex dan Lucia.
“Pergi ke mana? Koq bisa berombongan?” tanya Rahma.
“Biasa lah, NewsTV,” kata Meutia, “kayak nggak tau aja sih, kerjaan di sini kayak gimana,”
“Apa jangan-jangan gara-gara tadi pagi, yah?” tanya Rahma.
Nah, kali ini perkataan Rahma mulai menarik perhatian Meutia. “Emang tadi pagi ada apaan?” tanya Meutia.
“Lho? Alex belum cerita ke kamu?” tanya Rahma.
“Belum,” kata Meutia, “ceritain donk,”
Maka Rahma pun menceritakan hal yang pagi tadi ia ceritakan kepada Alex, mengenai sebuah kapal Australia yang berhasil menenggelamkan sebuah “kapal tidak dikenal” di Samudera Indonesia, namun rusak berat karena itu. Berita dari Rahma itu tentu saja bagaikan palu godam yang menghantam pikiran Meutia. Segera saja semuanya menjadi lebih jelas baginya.
“Astaga… jadi rupanya itu…” kata Meutia.
“Itu apanya, Mut?” tanya Rahma.
“Oh, enggak koq, nggak papa,” kata Meutia, “kamu ada beritanya lengkap, gak?”
“Ada nih, aku simpen, kamu mau?” tanya Rahma.
“Iya, aku mau, kirimin ke aku yah, secepatnya,” kata Meutia.
Nada suara Meutia berubah, sepertinya tengah diburu sesuatu. Mendengar itu maka insyaflah Rahma bahwa ada sesuatu yang sedang terjadi. “Mut, ada apa sih, sebenernya?” tanya Rahma.
“Ada apa gimana maksudmu?” tanya Meutia, “nggak koq, nggak ada apa-apa; kamu tahu aku kan, aku tertarik ama berita baru,”
“Jangan bohong!” kata Rahma, “ini ada hubungannya ama Lucia, kan?”
Kali ini Meutia terdiam, tidak tahu harus menjawab apa.
“Kapal tak dikenal itu, itu kapal yang dinaiki Lucia kan, Mut?” tanya Rahma lagi.
Meutia hanya menarik nafas panjang. “Kamu tahu, kita nggak seharusnya ngomongin soal ini,” kata Meutia.
“Masya Allah… jadi bener kalau…” kata Rahma, “jadi Lucia sudah…”
“Kita nggak tahu,” kata Meutia, “informasinya sedikit sekali, dan Angkatan Laut dah minta semuanya dirahasiakan dulu,”
“Astaga…” kata Rahma.
“Ma, makanya, aku minta tolong, kamu kirimin beritanya sekarang,” kata Meutia.
“Oke, malam ini juga aku kirim,” kata Rahma, “aku mau siap-siap, kalau-kalau nanti kalian butuh aku di sini,”
“Makasih, Ma,” kata Mutia, “oh ya, hati-hati yah, kayaknya telepon juga nggak aman deh,”
***
Samudera Indonesia
Kedalaman 200 meter
23.09 WIB
H minus 84:51:00
Lucia kembali menulis di buku hariannya, meskipun ia harus melakukannya di bawah tetesan air dari pipa di atas kabinnya. Pekerjaan perbaikan masih saja terus dilakukan. Beberapa pipa-pipa tidak bisa ditambal sehingga harus dilas dan ditutup, dan itu akan mematikan beberapa segmen sirkulasi. Setidaknya, kebocoran dan banjir sudah berhasil diatasi, dan seperti perkiraan sebelumnya, berkurangnya banjir membuat kapal selam bisa naik hingga ke kedalaman 200 meter. Meskipun begitu, kapal tidak bisa dinaikkan ke permukaan. Baik pompa balast maupun tangki balast yang merupakan piranti utama untuk menaikkan kapal selam, semua rusak. Untuk pompa sendiri masih bisa diusahakan karena posisinya berada di dalam kapal selam. Tapi kerusakan pada tangki balast berada di sisi luar kapal selam dan perbaikan tidak mungkin bisa dilakukan di kedalaman ini. Tekanan air akan segera meremukkan penyelam yang mencoba keluar untuk menambal tangki balast.
Masalah lain yang lebih parah adalah rusaknya hampir sebagian besar sistem di kapal selam ini. Sistem penggerak rusak sehingga kapal tidak dapat bergerak dan hanya hanyut ikut arus saja. Motor listrik korslet dan shaft baling-baling juga patah, beberapa kerusakan lain yang tidak bisa diperbaiki di sini. Mesin diesel masih baik-baik saja, tapi menyalakan mesin diesel ketika sedang menyelam sama saja cari mati, karena asap beracun buangan dari mesin diesel akan segera memenuhi kapal selam dan membunuh semua orang; ketika berada di permukaan atau snorkel-deep, asap ini bisa dibuang lewat lubang keluaran, tapi tidak saat ini. Untunglah sistem atmosfer yang memasok udara masih baik-baik saja, karena sistem inilah yang menyokong kehidupan di kapal selam. Apabila sistem ini ikut-ikutan rusak, maka awak kapal hanya punya persediaan udara selama 24 jam saja, dan bukan 100 jam seperti sekarang.
Erika masuk ke kabin dengan raut muka gontai. Seragam biru-nya sudah mulai bernoda keunguan akibat darah. Ia tampak sedih, maka Lucia pun segera menghiburnya.
“Gimana di ruang medis?” tanya Lucia.
Erika tidak menjawab. Ia hanya duduk di dekat Lucia, lalu merebahkan kepalanya di pangkuan Lucia dan langsung menangis di sana. Lucia tidak berkata apa-apa, ia hanya membelai lembut rambut Erika.
“Kenapa?” tanya Lucia.
“Ada yang mati lagi…” kata Erika sambil terisak, “tepat di tanganku,”
Lucia hanya menghela nafas saja mendengarnya. Erika memang memutuskan untuk membantu di ruangan medis, sehingga dia harus berurusan dengan banyak awak kapal yang terluka, dan juga mati. Lucia sendiri juga hendak membantu di sana, tapi oleh Laksma. Mahan, dia malah ditempatkan di anjungan. Sudah banyak yang membantu di ruangan medis, jadi tidak perlu membuatnya tambah penuh. Saat anjungan sudah berfungsi, maka Lucia akan stand-by di sana. Tapi untuk sementara, ia menunggu di kabin sambil menulis buku hariannya.
“Aku nggak bisa nyelamatin dia…” kata Erika lagi.
“Hei, sudahlah… ini yang namanya perang…” kata Lucia, “bakal ada yang mati, tapi coba deh, kamu liat berapa yang berhasil kamu selamatkan…”
“Tapi kan…” kata Erika.
“Udah, tenang dulu yah, Sayang…” kata Lucia sambil tetap membelai kepala Erika, “tenaga kamu masih dibutuhin di sana, jadi kamu kudu kuat…”
Erika hanya mengangguk kecil. Bagi beberapa orang yang tidak terbiasa, melihat orang yang mati di hadapan sendiri memang bisa menjadi sebuah pengalaman traumatis. Apalagi ini bukan hanya satu orang.
Lucia hanya menghembuskan nafas mencoba mengingat awal mula dari permasalahan ini. Ingatannya pun terbang melayang hingga beberapa tahun silam. Adalah Presiden Abubakar Zakaria, pendahulu Presiden Hariman Chaidir, mulai dari Beliau-lah Indonesia akhirnya mulai memperkuat angkatan perangnya. Pada saat Presiden Zakaria berkuasa, hubungan dengan Amerika Serikat masih cukup baik, dan di saat itulah Indonesia berhasil membeli 16 buah pesawat tempur F-16C block 60 dan 4 pesawat F-16D block 50 untuk peremajaan alutsista tempur. Sebagai imbalan, Amerika Serikat membuka keran impor yang lebih besar dari produk-produk ekspor Indonesia.
Namun, kebijakan luar negeri Amerika Serikat berubah dengan cukup cepat. Presiden John F. Mayweather yang selama ini baik dengan Indonesia, digantikan oleh Presiden Herbert M. Clarke. Presiden Clarke bukanlah orang yang “ramah”, dan itu akan ternyata dalam kebijakan luar negerinya kemudian. Bermula dari kecurigaan Presiden Clarke akan peremajaan TNI, secara sepihak, Amerika Serikat akhirnya membatalkan penjualan 8 pesawat F-16 yang masih belum dikirim. Langkah ini tentu saja diprotes oleh Presiden Zakaria, dan oleh penggantinya kemudian, Presiden Chaidir. Meskipun atas lobi tak kenal lelah akhirnya Indonesia masih diperbolehkan mengimpor suku cadang F-16, pembelian itu akhirnya tetap saja batal, dengan begitu dari 20 F-16 yang dibeli oleh Indonesia, hanya 12 buah yang sampai di tangan, yaitu 8 buah F-16C dan 4 buah F-16D. Bahkan Amerika pun membatalkan proses pelatihan bagi para pilot F-16 yang sedianya akan dilaksanakan di Miramar Base.
Langkah Amerika ini jelas membuat geram kalangan militer. Meskipun masih bisa mendapatkan suku cadang, tapi senjata bagi F-16 dan terutama pelatihan bagi pilotnya ini yang cukup jadi masalah. Dalam sebuah langkah yang amat tidak biasa, untuk mendapatkan dua kebutuhan ini, maka Indonesia pun berpaling ke… Israel. Yah, Israel memang memiliki kemampuan industri untuk mensuplai persenjataan F-16 dan juga pelatihan para pilotnya, akan tetapi bagi siapa pun orang awam, kerjasama antara Indonesia dengan Israel terlihat seperti suatu hal yang tidak bisa diterima.
Pada kenyataannya, hubungan antara Indonesia dengan Israel memang cukup rumit, pelik, sekaligus juga unik dan penuh intrik. Mirip seperti pasangan selingkuh saja, di luar, Indonesia sering mengecam Israel, terutama berkaitan dengan konflik di Timur Tengah dengan Palestina; akan tetapi secara rahasia, hubungan kerjasama antara Indonesia dengan Israel terus menerus dijalin dengan erat; secara rahasia, tentu saja. Ratusan pucuk senjata buatan Israel dari berbagai jenis tetap saja dibeli oleh Indonesia, dan lebih-lebih sekarang. Bahkan ditengarai pula ada hubungan erat antara BIN dengan MOSSAD mengenai kerjasama intelijen. Meskipun ini hanya bisa dijalankan selama keadaan Timur Tengah masih aman, setidaknya kerjasama dengan Israel cukup melegakan untuk menjaga kesiap-sediaan alutsista buatan Amerika Serikat yang dimiliki oleh Indonesia.
Di sisi lain, Indonesia pun mengikat kerjasama militer dengan Russia dan RR. Ini karena Presiden Zakaria sejak awal mencanangkan “Keseimbangan Timur dan Barat” dalam kebijakan internasionalnya. Poros kerjasama pun terbentuk antara Indonesia-Amerika Serikat-Russia/RRC; tapi seiring dengan menjauhnya hubungan dengan Amerika Serikat, timbal baliknya, hubungan dengan pihak lain pun semakin erat. Kerjasama dengan Russia mulai semakin mesra setelah Russia mengalami bencana musim dingin yang amat buruk sehingga bahan makanan berkurang dan rakyatnya kelaparan. Dalam keadaan itu, Indonesia mengirimkan berton-ton bahan makanan untuk membantu rakyat Russia, yang cukup untuk menghindarkan sebuah bencana alam untuk berubah menjadi bencana kemanusiaan.
Sebagai timbal balik, maka Russia pun membuka akses lebih luas pada kerjasama militer. Gelombang pertama dari bentuk kerjasama ini adalah pembelian pesawat tempur Sukhoi, terutama dari generasi yang terbaru. Total jumlah pesawat yang dibeli adalah 10 pesawat tempur Sukhoi Su-27, 6 pesawat tempur Sukhoi Su-30, dan 16 pesawat amfibi Beriev Be-200. Jumlah ini belum termasuk dikirimnya teknisi-teknisi dan prajurit dari Indonesia ke Russia untuk belajar dan berlatih. Angkatan Darat juga memperoleh kendaraan tempur BMP-3 untuk menggantikan BTR-50 dan PT-76 yang sudah menua. Bahkan 6 pesawat pembom strategis Tu-22M Backfire di Makassar adalah hasil pinjam dari Russia selama 5 tahun sebelum nanti digantikan oleh 10 buah pesawat pembom/intai maritim Tu-142 Bear F yang sampai sekarang masih dalam tahap produksi.
Sementara itu, kerjasama dengan Cina sendiri sudah dirintis jauh sebelum Russia. Namun, kerjasama ini lebih difokuskan pada pembelian alutsista untuk Angkatan Darat serta pembelajaran mengenai sistem persenjataan strategis Cina, meskipun dari RRC Indonesia juga berhasil mendapatkan sejumlah 16 pesawat pembom H-6K (tiruan Tu-16 Badger) serta 4 HD-6 (H-6 versi AEW). Cina juga bersedia menjual tank amfibi Type-63, kendaraan artileri Type-90A dan Type-90B MLRS, serta Type-95 SPAAA. Satu hal yang dipermasalahkan oleh Amerika kemudian adalah mengenai kerjasama dalam bidang persenjataan strategis, karena Cina mengizinkan teknisi-teknisi dan peneliti Indonesia untuk mempelajari rudal-rudal balistik Cina, seperti Dong Feng dan Ju Lang. Kemungkinan Indonesia memiliki senjata strategis jelas bukan hal yang bisa diterima begitu saja oleh Amerika Serikat. Mungkin, dari situlah semuanya bermula, dan penyerangan atas KRI Antasena adalah seperti sebuah kulminasi dari semuanya.
Reza pun tiba di sana sambil membawa beberapa lempengan besi. Reza tampak agak sungkan mengetahui Erika sedang berada di pangkuan Lucia, tapi Lucia segera memberi isyarat supaya Reza mendekat.
“Gimana bantu-bantunya?” tanya Lucia.
“Baik sih… duh, tadi ampe capek kudu ngangkat dongkrak buat nambal bocor,” kata Reza sembari mengurut tangannya sendiri.
“Terus itu bawa-bawa besi buat apa?” tanya Lucia.
“Anu, gini Mbak Lucia… kita kan cuman punya waktu kurang dari 100 jam nih,” kata Reza, “aku mau buat kotak penyimpan… maksudnya gini yah, kita nggak tahu bisa diselamatin apa gak; so… kenapa buat ngisi waktu, kita gak bikin memoir aja, untuk kita sendiri, terus kita masukin dalam kotak ini… siapa tahu yah, ntar kalau bisa ditemuin, ini bisa mengungkap kisah kita di saat-saat terakhir,”
“Ah, kamu mikirnya kejauhan,” kata Lucia, “optimis lah,”
“Yah, sekalian buat ngisi waktu sih…” kata Reza.
“Aku setuju!” kata seseorang tiba-tiba.
Lucia menoleh, dan ternyata itu adalah Ridwan Juhari, staf dari DPR yang memang sengaja diikutkan di sini. Erika pun segera bangkit dan duduk. Malu rasanya dia bermanja di pangkuan Lucia dengan kehadiran orang lain non-NewsTV.
“Kalau udah jadi bilang yah, aku juga mau nitip memoir di situ,” kata Ridwan lagi.
“Wah, Pak Ridwan jadi mau ikutan nih? Ada sponsor dong,” canda Reza.
“Yah, daripada kita ntar mati tanpa pesan, kenapa enggak?” kata Ridwan, “sayang juga yah, uang rakyat habis gini aja,”
“Memangnya buat kapal selam ini habis berapa, ya Pak?” tanya Lucia.
“Dari APBN? Milyaran lah,” kata Ridwan, “tapi nggak sia-sia juga bikin kayak ginian, orang terbukti bisa tahan ledakan; emang buatan Indonesia sendiri nggak kalah dari bikinan luar,”
“Malahan kadang lebih bagus, Pak, daripada buatan luar,” kata Reza, “secara orang Indonesia kan pinter-pinter; kita aja yang mau dibohongin ama orang luar, ngatain kita bodoh,”
“Nah, betul itu, aku setuju!” kata Ridwan.
“Mbak Lucia mau nitip memoir juga?” tanya Reza.
“Nanti aja lah, Reza,” kata Lucia, “ntar aku mau titip buku harian, tapi kalau udah selesai,”
Lucia mengambil sesuatu dari kantongnya. Itu HP-nya, tapi sudah mati. Sepertinya HP ini mati ketika Lucia pingsan dan terendam air di anjungan tadi.
“Mati yah?” tanya Reza.
“Iya,” jawab Lucia, “kayaknya kena air deh,”
“Sini, saya betulin,” kata Reza.
“Emang bisa?” tanya Lucia.
“Percaya aja deh,” kata Reza.
Lucia pun lalu menyerahkan HP itu kepada Reza. Yah, hitung-hitung buat mengisi waktu. Lagipula Reza memang teknisi handal, tapi Lucia baru tahu kalau Reza pun ternyata bisa memperbaiki handphone.
“Tapi nunggu yah, Mbak,” kata Reza, “gara-gara tadi, barang-barangku berantakan kemana-mana, padahal ada peralatan segala,”
“Nggak papa koq, nyantai aja,” kata Lucia.
Kali ini datang satu orang kelasi lagi. Lucia mengenalnya sebagai kelasi yang bertugas menyiapkan makanan di dapur.
“Maaf,” kata si kelasi, “kalau boleh tahu, Anda sekalian mau makan apa yah, buat nanti?”
“Lho? Emangnya boleh milih makanan?” tanya Lucia.
“Perintah kapten,” kata si kelasi, “kita kan bawa persediaan makanan buat dua minggu, tapi katanya kita cuman punya waktu 4 hari kurang; jadi ya, daripada mubazir, mendingan dipakai saja,”
“Oooo… macam makanan terakhir, begitu?” tanya Lucia.
“Sayangnya memang seperti itu,” kata si kelasi dengan getir, “kalaupun kita nanti mati, paling enggak kita mati dengan perut puas,”
***
Pangkalan Angkatan Laut
Pelabuhan Ratu
05.23 WIB
H minus 78:37:00
Alex dan Prita kembali terbangun, atau lebih tepatnya lagi dibangunkan. Sudah subuh di sini, dan mereka segera diperintahkan untuk bersiap-siap. Marinir yang membangunkan mereka tak memberitahu apa-apa, pun Alex juga tidak bertanya. Akhirnya, dengan memakai pakaian seragam marinir yang telah diberikan sebelumnya, Alex dan Prita pun akhirnya bangun dan berjalan mengikuti marinir itu.
Di luar, angin bertiup amat dingin. Saat ini adalah musim dingin di belahan bumi selatan, dan angin yang datang dari arah sana amat dingin. Prita bahkan sampai menggeretukkan giginya, sementara itu Alex bersin tak henti-hentinya. Tak hanya dingin, angin pun juga masih kencang menerpa sehingga rambut Prita berkibar-kibar. Dengan angin sekencang ini, apa masih bisa terbang tanpa mengambil resiko? Apalagi jaraknya sepertinya cukup jauh.
Pada pagi buta ini, suasana cukup sepi, karena aktivitas dari otoritas sipil yang berada di pelabuhan belumlah terlalu banyak menggeliat. Sepertinya memang apabila ingin berangkat tanpa harus menarik perhatian, ini adalah saat yang amat tepat. Mereka berjalan terus melewati helipad. Alex tertegun, karena tidak ada helikopter yang disiapkan di sana, tak ada helikopter apapun malahan. Lalu mereka akan dibawa kemana? Melewati udara yang cukup membekukan, mereka pun akhirnya turun ke sebuah jetty, dan barulah Alex melihat sesuatu yang disiapkan di sana.
Bukan, itu bukan helikopter, melainkan sebuah pesawat, lebih tepatnya lagi sebuah pesawat amfibi. Alex mengetahui pesawat itu, itu adalah pesawat intai yang diambil dari bentuk pesawat intai amfibi Jepang di Perang Dunia II, Aichi E13A1 (Jake). Oleh PT DI, pesawat ini dinamakan sebagai A13, dan apabila dilihat lagi, sepertinya ini adalah varian A13-V4. Meskipun jelas-jelas mencontek wujud Aichi E13A1, namun baik Indonesia maupun Jepang membantah telah ada transfer desain antara mereka, walaupun Alex sendiri yakin pasti ada perjanjian di bawah tangan antara dua negara. Karena berbentuk pesawat Perang Dunia II yang juga masih bermesin baling-baling, maka Amerika Serikat pun tak ambil pusing dengan arsenal baru ini.
Pesawat ini berawakkan 3 orang dan didesain dengan format floatplane. Ada beberapa perbedaan besar antara pesawat ini dengan Aichi E13A1 yang asli. Perkembangan teknologi memungkinkan dimasukkannya mesin yang lebih ringan namun bertenaga lebih besar serta penggunaan baling-baling dengan radius yang lebih lebar untuk memaksimalkan tenaga. Secara teori, pesawat ini memang bisa lebih cepat daripada pesawat berbaling-baling konvensional, tapi penggunaan tenaga maksimal di sini bukan dimaksudkan untuk menambah kecepatan, melainkan untuk memaksimalkan jarak jangkauan pesawat ini. Pengurangan bobot pun berpengaruh dengan bisa dipasangnya pelat-pelat kevlar tahan peluru, serta dimasukkannya piranti-piranti sensor modern, termasuk radar permukaan, pengelihatan inframerah, dan sistem GPS canggih. Radar permukaan yang dimasukkan pun tergolong canggih, sehingga pesawat bahkan bisa mendeteksi sebuah kapal selam yang menyelam di kedalaman snorkel.
Awalnya, desain pesawat ini hanyalah sebagai pesawat intai untuk membantu skuadron kapal cepat PC-40 (kelas Boa) yang beroperasi di Selat Malaka, sehingga tidak diberikan senjata (A13-V1). Namun dengan tingginya efektifitas pesawat ini dalam melacak target (berupa kapal penyelundup ataupun bajak laut), maka pada versi A13-V2, pesawat ini dibekali senjata berupa dua senapan mesin 7,62mm di hidung dan empat lagi di sayap. Senjata ini berubah di versi selanjutnya sehingga menjadi 6 buah senapan mesin berat 12,7mm di kedua sayap dengan peluru tipe pembakar. Sebagai senjata bantu, maka dipasanglah 14 buah roket jenis FFAR (Folding Fins Aerial Rocket) berukuran 40mm di cantelan bawah sayap. Dampak dari dipersenjatainya pesawat ini cukup hebat, karena sekarang pilot bisa saja mengambil tindakan apabila dalam radius operasi tidak ada kapal PC-40 terdekat.
Seorang reporter dari Biro Medan yang kini sudah di Jakarta, yaitu Sofie, pernah bercerita pengalamannya melihat aksi pesawat amfibi ini dari sebuah kapal PC-40 yaitu KRI Anakonda. Pada saat itu kebetulan KRI Anakonda yang ditumpanginya memergoki kapal penyelundup senjata sehingga terjadilah kejar mengejar. Namun kapal penyelundup itu cukup cepat, dan mereka pun lari sambil menembakkan senjata ke arah KRI Anakonda, salah satunya peluncur roket. Ini tentu saja cukup berbahaya, mengingat persenjataan paling besar dari kapal PC-40 hanyalah sebuah kanon 20mm di haluan. Karena tak mampu mengejar, mereka meminta bantuan dari sebuah pesawat A13 yang kebetulan meluncur di atas dan dari tadi mengikuti pertempuran itu. Hanya dengan serentetan panjang senapan mesin 12,7mm dikombinasikan dengan luncuran 6 buah roket dari pesawat A13, kapal penyelundup pun langsung menemui ajal.
Dengan dioperasikannya dua skuadron pesawat ini di Selat Malaka, jumlah kapal pelanggar menurun cukup drastis. Saking suksesnya, sehingga jumlah pesawat ini pun diperbanyak dan dua skuadron lagi ditempatkan di Armada Timur, bersamaan dengan pesawat-pesawat modern lainnya. Selain dari sensor dan persenjataannya, jarak jangkau dari pesawat ini pun cukup ditakuti. Pernah dilaporkan sebuah pesawat mengejar buruannya dari perairan Aceh hingga ke Laut Cina Selatan, lalu setelah menenggelamkan buruannya, terus ke Pangkalanbun, dan baru kembali ke Pangkalan di Tanjung Pinang setelah mengisi bahan bakar. Jelas ini jarak yang cukup jauh, bahkan bagi sebuah pesawat baling-baling tunggal. Hadirnya pesawat ini juga mampu menekan aktivitas kelompok-kelompok ekstrem dan separatis di seluruh nusantara, akibat banyak sekali pengangkutan personel, logistik, dan persenjataan mereka yang diganggu oleh pesawat bertampang jadul ini.
“Saya Letnan Danur,” kata seorang yang sepertinya adalah pilot pesawat itu kepada Alex, “saya akan menjadi pilot kalian pagi ini,”
“Terima kasih, Letnan,” kata Alex.
“Kalau tidak keberatan, bagaimana kalau kita berangkat sekarang? Angin bisa berubah menjadi tidak terduga kalau kita menunggu lebih lama lagi,” kata Lt. Danur.
Maka Letnan Danur pun membantu Alex dan Prita untuk naik ke atas pesawat. Pesawat itu bergoyang-goyang akibat air laut yang berombak, sehingga menyulitkan, terutama Prita, untuk naik ke atas kokpit. Kokpit itu memang diperuntukkan bagi 3 orang dengan konfigurasi memanjang ke belakang. Prita duduk di tengah tepat di belakang pilot, sementara Alex duduk di belakang Prita. Alex agak kaget juga melihat bahwa peralatan avionik pesawat ini sebenarnya tidak kalah dari instrumen pesawat bermesin jet. Bahkan ada sebuah komputer yang ada di dekat Alex. Mesin pesawat pun dinyalakan dan kokpit ditutup, lalu Lt. Danur memberi salut pada kru yang membantu tinggal landas di darat.
“Sudah siap?” tanya Lt. Danur.
“Silakan, Letnan,” kata Alex.
Alex dan Prita memasang helm dan sabuk pengaman mereka (yang terhubung juga ke atas parasut). Setelah kokpit ditutup, suasana di dalam pun cukup hangat, lagipula untuk ukuran pesawat jadul kursinya cukup nyaman. Tali penambat pun dilepas dan Lt. Danur memasukkan transmisi pesawat ke gigi jalan. Dengan perlahan, pesawat pun “berlayar” dengan terhuyung-huyung akibat ombak, tapi kemudian langkah pesawat makin dipercepat dan dengan menantang angin, pesawat pun akhirnya tinggal landas.
“Oh ya, minta tolong, masukkan koordinat ini ke komputer,” kata Lt. Danur sambil memberikan sebuah kertas putih kepada Prita, yang langsung diteruskan ke Alex.
“Langsung dimasukkan saja?” tanya Alex.
“Iya, masukkan saja lalu tekan enter seperti biasa,” jawab Lt. Danur.
Alex pun lalu memasukkan angka-angka yang ada di dalam kertas putih yang diberikan oleh Lt. Danur, dan setelah tombol enter ditekan, layar pada komputer dan juga pada HUD di depan Lt. Danur pun berubah menunjukkan sebuah gambar radar, dan ada titik merah yang berkedip-kedip. Pastinya titik merah itu adalah posisi dari KRI Ternate, tapi jauh sekali kelihatannya dari sini.
“Terima kasih,” kata Lt. Danur, “mohon kalian nikmati saja penerbangannya,”
Pesawat pun akhirnya melayang makin tinggi, menantang angin yang meskipun sudah melemah, tetap saja cukup kuat terasa. Untunglah Prita dan Alex bukan tipe orang yang suka mabuk udara, jadi mereka masih baik-baik saja meskipun pesawat ini bagaikan terbang “off-road”. Daratan pun akhirnya berangsur-angsur mulai menghilang, dan langit gelap pun ditinggalkan di belakang.
“Lex, lihat! Indah sekali!” kata Prita.
Memang benar, karena dari ufuk sana, matahari sudah mulai terbit dan berkas sinarnya menjulang menembus awan-awan gelap. Langit pun berwarna lembayung indah menyinari air laut gelap yang kini memantulkan warna keemasan. Bayangan matahari di laut pun tampak bagai api yang menyala-nyala, sementara itu awan dan kabut mulai menyingkir bersamaan dengan langit malam yang gelap. Alex terdiam, pesawat ini seperti tengah terbang berpindah dari sebuah kekelaman menuju sebuah harapan yang cemerlang, persis seperti yang tengah ia lakukan sekarang.
Alex pun mengeluarkan sesuatu dari dalam kantongnya. Itu adalah cincin kimpoi dan kalung salib perak milik Lucia. Alex meremas kedua benda itu dan menciumnya dengan amat haru.
“Lucia… tunggu aku,” kata Alex, “aku akan datang…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar