Sarwa Sadaka di Bali
Meskipun ada umat yang menganggap Dewa–Dewi merupakan Tuhan tersendiri, namun umat Hindu memandangnya sebagai cara pemujaan yang salah. Dalam kitab suci mereka, kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda:
ye ‘py anya-devatā-bhaktā yajante śraddhayānvitāḥ, te ‘pi mām eva kaunteya yajanty avidhi-pūrvakam(Bhagawadgita, IX:23)
Arti:
Orang-orang yang menyembah Dewa-Dewa dengan penuh keyakinannya, sesungguhnya hanya menyembah-Ku, tetapi mereka melakukannya dengan cara yang keliru, wahai putera Kunti (Arjuna)
Dalam agama Hindu, Sampradaya (IAST: sampradāya) dapat diterjemahkan sebagai "tradisi" atau "sistem religius". Sampradaya berhubungan dengan pelayanan berturut-turut yang disiplin sebagai jalan spiritual dan mengandung jaringan hubungan yang rumit yang membuat stabilitas identitas religius menjadi jelas saat jaringan tersebut menjadi tidak stabil. Perbedaan utamanya adalah sebuah garis keturunan guru tertentu disebut parampara. Maka dari itu konsep sampradaya terkait erat dengan realitas yang konkrit dari guru-parampara - garis keturunan guru spiritual sebagai pembawa dan pemancar tradisi. Diksa (pelantikan) adalah sarana untuk dapat menjadi anggota suatu sampradaya, itu merupakan prosedur ritual.
Penganut Hindu di India sejak berabad-abad telah berkelompok-kelompok menjadi ratusan sekta antara lain: Siwa Sidanta, Pasupata, Linggayat Bhagawata, Waisnawa, Indra, Saura, dll.
Maharesi Agastya seorang pemimpin sekta Siwa Sidanta menyebarkan pahamnya ke Indonesia pada abad ke-8, selanjutnya masuk ke Bali pada abad ke-10 kemudian disempurnakan oleh Mpu Kuturan pada abad ke-11 dan Danghyang Nirarta pada abad ke-14.
Sekta Siwa Sidanta menekankan pemujaan Lingga dengan tokoh Trimurti (Brahma, Wisnu, Siwa) dan Tripurusa (Siwa, Sadasiwa, Paramasiwa) sebagai inti.
Kitab suci Weda yang digunakan disebut Weda Sirah (pokok-pokok Weda). Setelah kedatangan Mpu Kuturan dan Danghyang Nirarta, mayoritas penduduk Bali adalah Sekta Siwa Sidanta.
Dr. I Made Titib dalam bukunya: Ketuhanan dalam Weda, Pustaka Manik Geni, 1994 di halaman 78 menyatakan bahwa sampradaya adalah sekta. Cuplikan kalimatnya sebagai berikut:
… Kitab-kitab seni sastra dalam bentuk puisi Sanskerta semakin banyak lagi setelah berkembangnya gerakan Bhakti melalui Sampradaya-sampradaya atau sekta-sekta yang berkembang pada masa sesudahnya …
Dictionary of American English, Longman, 95 Church Street, White Plains, NY 10601, 1983 menyatakan arti kata sekta sebagai berikut: Sect, agroup of people, sometimes within a larger group, having a special set of (esp. religious) beliefs.
Sampradaya-sampradaya yang ada di Bali dewasa ini dapat dikatakan suatu sekta baru (baca: lain dari Sekta Siwa Sidanta) jika mempunyai “special set of religious beliefs” yang berbeda dengan Sekta Siwa Sidanta, terutama yang menyangkut Tattwa, Susila, dan Upacara.
SARWA SADAKA VERSUS TRISADAKA
Sejak 1999 di Bali muncul istilah Sarwa Sadaka sebagai cetusan keinginan kelompok-kelompok warga mendudukkan Sulinggih mereka sejajar dengan Pedanda (yang lebih populer sebagai Pendeta sejak zaman Dalem Waturenggong di abad ke-15). Kelompok ini menggunakan istilah Sarwa Sadaka sebagai counter Trisadaka.
Istilah Trisadaka sejak berabad-abad telah ditafsirkan keliru, jika mengacu pada Lontar Eka Pratama yang menyatakan bahwa tiga kelompok Sadaka adalah: Sadaka yang berpaham Siwa, Sadaka yang berpaham Bauddha (Boddha), dan Sadaka yang berpaham Mahabrahmana (Bujangga).
Kekeliruan tafsir itu terjadi karena Sadaka yang berpaham Siwa dan Bauddha terlanjur diterjemahkan sebagai Pedanda Siwa-Boddha. Keterlanjuran itu membuat gerah para sisia Pandita Mpu, Rsi, Bhagawan, Dukuh, dll. yang juga disyahkan sebagai Sulinggih yang berpaham Siwa. Yang dimaksud dengan berpaham Siwa adalah penganut Sekta Siwa Sidanta.
Penggunaan istilah Sarwa Sadaka sebagai counter Trisadaka dalam upaya menunjukkan eksistensi Pandita Mpu, Rsi, Bhagawan, Dukuh, dll.
Sebenarnya kurang tepat, karena pengertian Sarwa Sadaka dapat dirumuskan sebagai Semua Pendeta dari berbagai Sekta, kecuali kalau memang ada terkandung maksud di kemudian hari bila Sampradaya eksis sebagai Sekta, maka para Pendetanya mempunyai legitimasi yang sama dengan Sulinggih/ Sadaka yang ada sekarang.
Jika tidak demikian, istilah Sarwa Sadaka sebaiknya tidak digunakan, cukup dengan penegasan PHDI dalam bentuk bisama, bahwa yang dimaksud dengan Trisadaka adalah Sulinggih/ Sadaka yang berpaham Siwa, Boda, dan Bujangga.