sekilas tentang Lontar Siwagama - Siwa Budha
LONTAR SIWAGAMA
Siwagama merupakan teks yang tergolong jenls tutur yang juga disebut Purwagamasasana. Siwagama merupakan salah satu karya Ida Padanda Made Sidemen dari Geria Delod Pasar Intaran, Sanur. Karya ini diciptakan pada tahun I938, konon alas permintaan raja Badung.
Pengarang memulai teksnya dengan menyebutkan bahwa kisah cerita diawali dengan perbincangan raja Pranaraga dengan pendeta istana (Bagawan Asmaranatha) tentang tattwa mahasunya. Agama Hindu sesungguhnya menganut paham monotheisme bukan politheisme. Tuhan hanya satu tidak ada duanya, namun orang bijaksana menyebut-Nya dengan banyak nama.
Berbagai sebutan Tuhan muncul dalam agama Hindu karena Tuhan tidak terbatas adanya. Akan tetapi, kemampuan manusia untuk menggambarkan hakikat Tuhan sangat terbatas adanya. Di dalam teks Siwagama disinggung berbagai sebutan Tuhan. seperti Sanghyang Widhi. Sanghyang Adisuksma. Sanghyang Titah, Sanghyang Anarawang, Sanghyang Licin, Sang Acintya. dll
Disamping kepercayaan kepada Sanghyang Widhi. pengarang juga menegaskan kepercayaan adanya roh leluhur. Dalam hal ini. manusia diajak untuk berbakti kepada leluhur. Sebab pada hakikatnya antara atma dan dewa itu tunggal. sebab semua makhluk berasal dari Sanghyang Widhi. Kepercayaan adanya karmaphala juga dijelaskan pengarang dalam teks Siwagama. Tidak ada suatu perbuatan yang sia-sia, semua perbuatan akan membuahkan hasil, disadari atau tidak. Selain itu disinggung juga mengenai kepercayaan akan adanya samsara dan moksa. Hal ini dikaitkan dengan pahala-pahala yang ditemukan bagi orang-orang yang senantiasa rajin membaca, mendengarkan, dan mendiskusikan ajaran-ajaran teks suci, seperti Astadasaparwa, Itihasa. dan Puana-Purana. Konon sebagai pahala membaca, mendengarkan dan mendiskusikan teks-teks suci tersebut, selama hidupnya manusia dapat mencapai ketenangan pikiran, melenyapkan niat-niat jahat, kotoran diri, noda, dan dosa, serta ketika ajal tiba akan menemukan sorga dan moksa.
Di dalam teks Siwagama juga banyak didapatkan kutukan-kutukan yang menimpa sejumlah tokoh akibat perbuatan-perbuatan yang dilakukannya. Sebagaimana dikisahkan, Bhatari Uma dikutuk menjadi Durga sebagai pahala atas perbuatan serongnya dengan Si Pengembala, Dyah Mayakresna (putri Bhatara Guru) dikutuk menjadi Kalika sebagai pahala atas kejahatannya membunuh suami-suaminya. Sang Sucitra dan Sang Susana (Raja Gandarwa) menerima kutukan dari Bhatara Guru menjadi Sang Kalantaka dan Sang Kalanjaya sebagai pahala perbuatan jahatnya memperkosa Sang Batringsa dan Sriyogini (juru bunga Bhatara Guru). Ada pula tokoh-tokoh yang dikisahkan mendapat pahala baik akibat perbuatan baik yang dilakukan. Seperti Sang Kumara dinobatkan menjadi Sang Wredhakumara atas kemuliaan yoganya. Demikian pula pada dewa-dewa lainnya. seperli Bhatara Surya yang diberi gelar Siwaraditya oleh Bhatara Guru sebagai pahala atas ketekunannya menjadi saksi dunia dan atas kepatuhannya kepada Bhatara Guru.
LONTAR SIWAGAMA 2
Lontar ini pada intinya menyajikan tentang ajaran Siwa Buddha. Kemuliaan ajaran Budha dan ajaran Siwa itu adalah tunggal dan tentang sepenggal kisah cerita Mahabaratha yang tidak terexpose di epos mahabarata yang anda biasa baca.
Dikisahkan Sang Kunjarakama, putra raja Dumbajaya. bermhta di negeri Pandhi. Laku tapanya sangat hebat, memuja Sanghyang Werocana. Ia telah diberikan anugrah dam berganti nama menjadi Bhagawan Handasingha. la menjadi pertapa telanjang dan membangun asrama di tengah hutan. la mampu pulang ke alam gaib dan ia belajar sendiri tentang ajaran Budha. Di lain pihak diceritakan mengenai Sri Purnawijaya, putra raja Utarsa sebagai sepupu Sang Kunjarakama bertahta di Negeri Narajadesa atau dinamakan Kerajaan Kendran bergelar Sri Nilacandra. Dinamakan kerajaan Kendran karena Raja Nilacandra mampu membuat tiruan Kendran (sorga) dan tiruan Yamaloka (neraka), termasuk tiruan matahari dan bulan, dan telah diberkati oleh Raja Hastina atas kesempurnaan kerajaannya itu.
Diceritakan bahwa lstana Kendran telah dirasa sempuma. Sehubungan dengan itu, maka sang raja berniat mengadakan upacara selamatan untuk istana emasnya itu dengan mengundang raja Hastina. Raja Yudistira datang bersama keempat saudaranya beserta para permaisurinya. Mereka berlima (Pandawa Lima) bagaikan Sanghyang Panca Tatagata bersama kedelapan dewinya, ibarat mereka berada di alam Dewa Budha. Pada saat itu Raja Yudistira berpesan kepada Raja Nilacandra: “Wahai kau Raja Nilacandra dan para menterimu sekalian, kuatkanlah imanmu dalam melakoni ajaran Budha. sebab puncak keberhasilan laku tapamu akan mengantarkan dirimu mengetahui sorga dan neraka. Betapa sejuknya hati orang-orang di seluruh wilayah Negeri Narajadesa sebagai tonggak awal menjaga kehidupan, memegang teguh ajaran
Budha, menciptakan keselamatan dunia....”.Diceritakan dua orang raja besar bernama Maharaja Kresna dan Maharaja Baladewa mendengar berita kehebatan Raja Nilacandra yang gagah berani, yang telah menguasai sorga dan neraka, serta telah membuat sorga dan neraka tiruan di dalam istananya atas anugrah Sanghyang Werocana dari utusan mereka yang bernama Sang Satyaki dan Sang Kretawarma. Maharaja Kresna dan Maharaja Baladewa marah, merasa bagaikan ditantang keperkasaannya oleh Raja Nilacandra. Dengan cepat Maharaja Kresna dan Maharaja Baladewa merapatkan pasukan Yadu dan Wresnyandaka, serta kedua pamannya termasuk perdana menteri, panglima perang agar segera angkat senjata. Maharaja Kresna dan Maharaja Baladewa mendahului perjalanan mereka dengan mengendarai kereta emas permata, dengan kuda sangat sakti, Swalahaka berwarna hitam. Dalam sekejap mereka telah tiba di Kerajaan Hastina untuk menemui Raja Yudistira. Maharaja Kresna menjelaskan maksud kedatangannya ke sana adalah untuk menyampaikan bahwa mereka akan menyerang Raja Nilacandra oleh karena ia bisa membuat tiruan indraloka dan Pitreloka sebagai tanda keberhasilannya dalam menekuni ajaran Budha, dan Maharaja Kresna hendak mengetahui kehebatan ilmu Raja Nilacandra dalam mendalami ajaran Budha. Raja Yudistira tidak sepaham dengan penjelasan Maharaja Kresna, dan Beliau lalu menjelaskan bahwa tujuan Raja Nilacandra dalam meniru sorga dan neraka adalah untuk mengajarkan manusia di dunia ini kepada kesadaran yang sesungguhnya, yakui sebagai penahan bagi orang-orang bodoh di Negeri Narajedesa, untuk mecegah pikiran orang-orang dalam melakukan kejahatan.
Maharaja Kresna dan Maharaja Baladewa tidak terima dengan penjelasan dari Raja Yudistira. Mereka lalu bergegas pergi, dibuntuti oleh keempat Pandawa bersaudara yang penasaran ingin mengetahui kesaktian Sang Nilacandra.
Diceritakan peperangan telah terjadi. Pesan Raja Nilacandra kepada pasukannya adalah “Janganlah kalian takut mati. Aku menjadi jaminan atas kematianmu. Bukankah kau mengetahui diriku bahwa aku tidak bisa mati oleh senjata. Aku mampu menghidupkan orang yang telah mati, sebab aku mempunyai senjata Sanghyang Puspawijaya, anugrah Sanghyang Werocana".
Banyak korban berjatuhan di kedua belah pihak. Keempat Pandawa pun telah tewas Maharaja Yudistira yang mengetalmi bahwa keempat saudaranya telah tewas menjadi marah. Sifat ksatrianya mekar. ia memusatkan batin pada kekuatan senjata pustakanya yang dinamakan Sanghyang Kalimosada dengan merapalkan mantra dan aksara sucinya, untuk disemayamkan, dihadirkan agar meresit dalam dirinya. Dalam sekejap ia berubah menjadi Kalagni berkobar-kobar memenuhi medan perang.
Raja Nilacandra yang melihat hal tersebut juga menjadi marah. Matanya diselimuti kekuatan panah mahan, sehingga muncul nafsu merajai. Dengan cepat ia mengambil senjata gadanya yang tajam dan maju membidik. Tiba-tiba Sanghyang Werocana Turun. berdiri di pangkal tangkai bunga teratai, lengkap dengan senjata bajranya. Bagawan Handasingha juga turun menasihati adiknya Sang Nilacandra.
Katanya: “Wahai adikku Raja Narajadesa, kali ini ulahmu menyimpang, kau berani durhaka kepada raja Hastina. pastilah kekuatan tapamu dulu itu akan tenggelam. Pada saat kematianmu, kau akan ditenggelamkan di kawah neraka Tambragomuka karena kau dikutuk oleh ayahmu yang telah menjadi dewa. Kaulah yang memunahkan kekuatan laku tapa ayahmu. yang dulu diangkat menjadi Perdana Menteri oleh raja Pandu. Karena kau adalah abdi Raja Yudistira, maka kau akan terkena kutukan pada saat kematianmu sebagai abdi Bhatara Dharma, sebab Bhatara Dharma menjelma di dalam tubuh Raja Yudistira, mati tanpa meninggalkan jasad, dan lagi Raja Kresna adalah penjelmaan Wisnu sejati yang bertugas menyelamatkan dunia. Jika Raja Kresna dan Yudistira dibunuh di medan perang sekalipun kau berhasil melakukannya berkat anugrah Sanghyang Werocana kepadamu maka dunia ini akan lenyap berubah menjadi lautan luas Bhatara Guru akan marah kepadamu. Adapun sekarang sifat keras kepala Raja Kresna kepada dirimu tanpa ada dosa, ia datang menyerang dirimu sebab ia belum percaya kepada keimananmu sebagai penganut ajaran Budha, yang sudah ada di dalam dirinya, sebagai
tempat bersemayam Sanghyang Werocana.”
Raja Nilacandra memusatkan batin memuja kehadapan Sanghyang Werocana, menyembah kepada Bhagawan Handasingha, kepada Raja Yudistira, memobon maaf atas kesalahannya, sambil meneteskan air mata. Raja Yudistira masih tetap marah dengan sekuat tenaga menghujani Raja Nilacandra dengan senjata panah ampuh namun semua senjata itu tidak mempan sama sekali. sehingga raja Yudistira pun menjadi semakin marah dan terus menyerang Raja Nilacandra Akan tetapi Raja Nilacandra tetap bersujud menyembah, tiada melakukan perlawanan. Akhinya Raja Yudistira pun turun tergopoh-gopoh, mengelus-elus kepala Raja Nilacandra sambil berkata manis: "Berbahagialah kau anakku, kau telah mampu menaklukkan kebajikanku, tenangkanlah pikiranmu! Kan telah berhasil menguasai ajaran kesucian, sebagai saranaku dan dirimu pulang ke sorga nanti. Janganlah kau salah paham kepadaku, sebab orang sangat sulit menemukan keselamatan di dunia selama-lamanya, dirasuki oleh nafsu dan ketamakan, merintangi kebenaran dan kesetiaannya di dunia.
Raja Nilacandra lalu menyembah, memohon maaf. la memohon keris Raja Yudistira untuk dipakai menebas kepalanya. Raja Yudistira berkenan, lalu menghunus keris pusaka candrahasa. Keris itu diterima oleh Raja Nilacandra, kemudian kepalanya ditebas jasadnya ditidurkan di dalam kereta.
Puspakomala dilihat oleh Raja Yusdistira di dalam asta galaka, lalu puspakomala itu dicabutnya. Dipikir-pikir olehnya, ternyata kemuliaan ajaran Budha dan ajaran Siwa itu tunggal. Panca Tatagatanya sama dengan Panca Siwanya. la berwujud Budha, la berwujud Siwa. Bersatunya hakikat bayu dan sabda sebagaimana penunggalan perasaan dan penglihatan. sama-sama bisa saling merasuki, sebagai murid Bhatara Sadasiwa, digoreskan di dalam ketiadaan yang sangat rahasia, kelepasannya tunggal, yakni Sanghyang Adwaya dengan Adwayajnana. Puspakomala yang dipegang oieh Raja Yudistira kemudian dirampas oleh Raja Kresna, digunakan untuk menghidupkan kembali semua pasukannya yang telah mati di medan perang termasuk keempat Pandawa.
Demikianlah keutamaam Sanghyang Puspakomala, yang keluar dari puncak kepala Sang Nilacandra, dapat dipakai menghidupkan orang mati, jika belum saatnya mati. Puspakomala itu kemudian dikembalikan lagi kepada Raja Yudistira. Raja Yudistira kemudian beryoga memujakekuatan air kehidupan Sanjiwani, menyemayamkan kembali puspakomala Sang Nilacandra, dikembalikan ke tempatnya semula. Sang Nilacandra pun terjaga, hidup kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar