Sang Jarat Karu pesan bagi Anda untuk segera menikah
Epos Mahabharata dibagi menjadi delapan belas parwa, yang dikenal dengan Astadasaparwa. Parwa-parwa tersebut merupakan prosa yang diadaptasi dari bagian epos-epos dalam bahasa Sanskerta dan juga menunjukkan ketergantungannya dengan kutipan-kutipan dari karya asli bahasa Sanskerta tersebut. Delapan belas parwa tersebut secara berurutan mulai dari: Adiparwa, Sabhapawra, Wanaparwa, Wirataparwa, Udyogaparwa, Bhismaparwa, Dronaparwa, Karnaparwa, Salyaparwa, Sauptikaparwa, Striparwa, Santhiparwa, Anusasanaparwa, Aswamedhikaparwa, ramaparwa, Mausalaparwa, Mahaprasthanikaparwa, dan Swargarohanaparwa. Delapan belas parwa tersebut, Adiparwa merupakan parwa pertama, di dalamnya mengandung berbagai cerita, salah satunya Carita Jaratkaru yang seringkali dipakai acuan dalam kehidupan masyarakat Bali.
Carita Jaratkaru ini menjadi menarik, karena selain menjadi acuan dalam kehidupan masyarakat Bali, teks-teks parwa (prosa) semacam ini dibaca melalui sajian phalawakya, sebuah pembacaan teks dengan irama menarik (khusus), serta diikuti oleh terjemahan memakai bahasa Bali kepara (umum). Phalawakya adalah pembacaan teks-teks dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno) yang berbentuk parwa (prosa) disertai dengan terjemahan. Pembacaan teks parwa semacam ini telah diwarisi sejak dahulu terutama dalam aktivitas keagamaan, yaitu untuk mengiringi upacara pitra yadnya yang disebut "mamutru".
Carita Jaratkaru secara gramatikal dapat dipilah ke dalam dua pemaknaan sebagai kata carita dan jaratkaru. Carita dalam konteks kehidupan masyarakat Bali sering juga disebut dongeng (satua), merupakan genre cerita prosa rakyat. Sedangkan Jaratkaru adalah tokoh yang unsur katanya secara etimologi dipilah menjadi:
- jarat berarti kejatuhan/sengsara, dan
- karuna berarti perbuatan luhur, cinta kasih atau belas kasihan.
Dengan demikian Jaratkaru dapat diberikan arti lebih luas menunjuk kepada orang yang punya keluhuran budi sehingga peduli dan merasa belas kasihan kepada setiap orang yang sedang susah atau mengalami penderitaan.
sekilas cerita Sang Jaratkaru
Tersebutlah seorang pertapa sakti yang baik budinya bernama Sang Jaratkaru. Setiap hari pekerjaannya mengambil biji butir-butir padi yang tersebar dijalan. Biji butir-butir padi itu dikumpulkannya dan dicucinya, kemudian ditanaknya dan dipergunakan untuk korban kepada para Dewa. Demikianlah hal yang ia kerjakan tiap hari. Ia tak memikirkan istri, malahan hanya bertapa dan memuja para Dewa yang ia lakukan. Karena rajin bertapa, ia pun menguasai berbagai macam mantra. Ia diperbolehkan masuk ke segala tempat yang ia kehendaki.
Suatu hari, ia berziarah ke Ayatanasthana, tempat di antara surga dan neraka, dimana leluhurnya menunggu apakah ia akan naik ke surga atau masuk neraka. Ketika berziarah ke Ayatanasthana, Ia melihat leluhurnya tergantung pada sebuah buluh petung, mukanya tertelungkup , kakinya diikat, dibawahnya terdapat sebuah jurang dalam jalan ke neraka. Orang akan tepat masuk kedalamnya, kalau buluh tempat bergantung itu putus. Seekor tikus tinggal di dalam buluh ditepi jurang itu, setiap hari mengerat buku batang.
Sang Jaratkaru, berlinang-linang air matanya melihat hal itu. Maka timbulah belas kasihannya. Sang Jaratkaru pun mendekati leluhurnya yang berpakaian sebagai seorang petapa, berambut tebal, berpakaian kulit kayu dan tiada makan selamanya.
Sang Jaratkaru bertanya kepada leluhur itu,
“Apakah sebabnya tuanku sekalian bergantung pada buluh yang hampir putus oleh gigitan tikus, sedang dibawahnya jurang yang tiada terduga dalamnya?”
Leluhumya berkata:
Nahan ta hetu mami n pegat sangkeng tibeng narakolaka;tattwanikang petung sawilih, hana wangsa mami sakiki, jaratkaru, ngaranya, ndan moksa wih taya, mahyun lupeteng sarwa janmabandhana, ta tan pastry, ya sukla brahmacari.
Artinya :
Beginilah sebabnya mengapa saya putus hubungan dengan dunia roh, kini tergantung pada sebilah bambu, hampir-hampir jatuh ke dalam neraka. Adanya sebilah bambu ini ialah bahwa saya masih mempunyai seorang keturunan yang bernama Jaratkaru, (tetapi) ia berkepentingan untuk mencari moksa melepaskan diri dari ikatan hidup kemanusiaan, la tidak mau kawin, ia menjalankan sukla brahmacari.
Kata-kata leluhurnya ini dijawab, oleh Sang Jaratkaru:
Hana n pwa marganta muliheng swarga, tan sangsaya rahadyan sanghulun kabeh, marya nghulun brahmacarya, ametanakbi panaka ni nghulun.
Artinya:
Ada jalan untuk tuan pergi ke sorga. Janganlah tuan ragu dan takut. Hamba akan berhenti menjalankan brahmacari. Hamba akan kawin dan mempunyai anak.
Demikianlah kata Sang Jaratkaru, pergilah ia mencari istri yang senama dengannya. Ia pergi ke semua penjuru, tetapi tidak menemukan istri yang senama dengannya. Karena tidak tahu harus berbuat apa lagi, ia pun mencari pertolongan kepada bapaknya supaya dapat menghindarkan dirinya dari sengsara. Masuklah ke hutan sunyi, menangislah ia sambil mengeluh kepada semua Dewata.
Berkatalah ia pada semua makhluk, “Hai segala makhluk termasuk makhluk yang tidak bergerak, saya ini Jaratkaru seorang brahmana yang ingin beristri. Berilah saya istri yang senama dengan saya, biar saya mempunyai anak, supaya leluhur saya bisa pulang ke sorga.”
Tangis Sang Jaratkaru itu terdengar oleh para naga. Sang Naga Basuki pun mencari Sang Jaratkaru dan memberikan adiknya Sang Naga. Sang Jaratkaru hanya berkenan memperistri perempuan yang ‘senama’ atau mempunyai kesamaan dengan dirinya, yaitu perempuan yang punya rasa belas kasih dan berbudi luhur sehingga memungkinkan terjadinya keseimbangan dan keselarasan hidup.
Dari perkawinan inilah Sang Astika lahir menandai keberhasilan perkawinan Sang Jaratkaru dengan Nagini Jaratkaru yang dapat membebaskan kedua pihak leluhurnya. Yayawarabrata (ayahnya Jaratkaru) melayang lepas dari gantungan buluh petung, dan para ular (saudara-saudaranya Nagini Jaratkaru) terbebas dari upacara sarpha yadnya (korban ular).
Carita Jaratkaru mengungkapkan persoalan dilematis, merujuk pilihan hidup brahmacari dari Sang Jaratkaru.
- Di satu sisi Sang Jaratkaru komitmen ingin melakukan sukla brahmacari sesuai dengan harapan dan cita-citanya dari kecil. Cita-cita brahmacari atau brāhmacarya mempunyai misi suci dan mulia, yaitu membujang dengan pikiran terbebas dari pemikiran tentang seks atau hubungan fisik dengan lawan jenis. Pembebasan diri dari pemikiran tentang seks ini merupakan salah satu pengekangan indria, karena pikiran-pikiran yang membelenggu tentang kenikmatan jasmani menurutnya hanya menyisakan sedikit ruang bagi pikiran-pikiran mulia.
- Di sisi lain brahmacari sebagai pembujangan seumur hidup yang dilakukan Sang Jaratkaru berkonskuensi memutus tali hubungan antara leluhur dengan keturunannya. Ini berarti ia telah membuat kebuntuan proses reinkarnasi tempat (numitis) bagi leluhurnya yang telah disucikan/meninggal.
Lalu apa yang dimaksud Sukla Brahmacari?
Lontar Wrtisasana menjelaskan “Suklabrahmacari ta pa stri sangkan rare, tekang kapatinira… Suklabrahmacari ialah orang yang tidak kawin dari kecil sampai meninggal. (penggalan sebuah sloka Kitab Wrtisasana (Kirtya No. IIb. 76 halaman 3).
Inilah yang menjadi inti persoalan Carita Jaratkaru sehingga setiap orang diharapkan berketurunan karena berkaitan dengan pemujaan leluhur. Sebutan anak di Bali sering disebut "putra", dalam bahasa Sanskerta berarti penyelamat.
Dengan demikian mempunyai anak menurut pandangan Hindu selain bertujuan untuk meneruskan keturunan juga menyelamatkan leluhur. Dalam Slokantara bahkan disebutkan "
yan hana wong agawe yadnya satus alah ikang dening anak suputra",
artinya:
lebih utama mempunyai seorang anak yang pandai dan berbudi (suputra) daripada melakukan seratus kali yadnya/korban
Pentingnya berketurunan ini secara implisit disajikan melalui karya cerita yang kemudian dijadikan mitos pengukuhan bagi masyarakat Bali khususnya. Ketiadaan anak niscaya akan memutus lingkaran moral yang indah, bahwa hubungan kehidupan yang seharusnya tidak boleh terputus antara anak dengan leluhurnya.
Esensi cerita ini sampai kini masih diterima oleh masyarakat Bali terutama berhubungan dengan pemujaan leluhur. Meskipun pemujaan kepada leluhur bukan merupakan pemujaan tertinggi dalam konsep pemujaan Hindu, namun menyembah leluhur akan memperkuat penyembahan kepada Dewa manifestasi Tuhan Yang Mahaesa.
Pitra puja, yaitu penghormatan/pemujaan leluhur yang telah meninggal, yakni sesuai garis purusa yang distanakan pada tempat-tempat, seperti; sanggah/merajan, pura dadia, panti, paibon yang tergolong pura kawitan (pura leluhur). Pemujaan leluhur ini merupakan kepercayaan dan praktik berhubungan dengan pendewaan orang-orang yang sudah meninggal dalam suatu komunitas, khususnya dalam hubungan kekeluargaan.
Bentuk teks Carita Jaratkaru disajikan dengan menggunakan bahasa Jawa Kuno, meskipun masih terlihat ketergantungannya dengan teks asli dalam bahasa Sanskerta. Munculnya kutipan bahasa Sanskerta ini dapat memperkuat/mempertegas maksud sekaligus mendapat penjelasan lebih jauh dalam kalimat bahasa Jawa Kuno selanjutnya. Besarnya pengaruh bahasa Sanskerta terhadap bahasa Jawa Kuno banyak dipengaruhi oleh faktor kesamaan budaya antara corak budaya kerajaan di Jawa dengan corak budaya India yang berlatar Hindu. Tema cerita ini mengandung pemahaman tentang ruwatan, yaitu pembebasan seseorang dari penderitaan. Kemudian amanat yang ingin disampaikan oleh cerita ini adalah tuntunan prilaku bagi seorang anak agar senantiasa menjaga keselarasan dengan orang tua (leluhur).
Selain itu ada suatu pesan yang hendak disampaikan dalam cerita ini mengenai Sukla Brahmacari. Jika seseorang belum siap untuk melakukan pengekangan terhadap indriya, jangan mencoba untuk nyukla brahmacari. Untuk itu tahapan-tahapan dalam Catur Asrama sangat penting untuk diperhatikan dan dilaksanakan. Mengenai Jaratkaru yang menginginkan istri yang senama dengannya jika dianalisis bahwasanya seseorang harus pandai memilih calon pendamping hidup dengan memperhitungkan bibit, bebet dan bobotnya.
Dari penggalan cerita di atas dapat diartikan, bahwa seorang yang tidak memiliki keturunan kelak leluhurnya terancam masuk neraka. Seperti petikan cerita di atas roh leluhur Sang Jarat Karu terancam masuk neraka, karena ia tidak memiliki putra/anak karena Sang jarat Karu melakukan Sukla Brahmacari. Oleh karena roh leluhurnya terancam masuk neraka, maka Sang Jarat Karu memutuskan untuk tidak melakukan Sukla Brahmacari dan bersedia untuk menikah untuk mempunyai anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar